“Mayang... Damar... Hermawan...” Pak Bambang memanggil sambil melambaikan tangan. Tidak terasa setahun sudah terlewati, hari itu adalah hari pertama Mayang masuk sekolah.
Awalnya Mayang merasa sangat gerogi. Damar yang mengetahui perasaan Mayang, datang mendekat untuk menenangkannya. Berkatnya, Mayang menjadi lebih percaya diri dan mudah beradaptasi dengan lingkungan kelas.
“Bagaimana kabar mu di sekolah Mayang?” Pak Bambang bertanya penasaran.
“Baik yah, teman-teman Mayang baik sekali. Banyak yang mengajak kenalan sama Mayang. Hehehe... lucu sekali” Mayang tertawa geli.
Pak Bambang dan kedua anaknya pun ikut tersenyum senang.
“Kok lucu? Bukannya seru?” Tanya Hermawan.
“Hehehe... iya lucu, mereka semua berkumpul di mejaku, terus tanya ini dan itu. Lalu waktu jam istirahat mereka mengajakku ke kantin. Jadi berasa kayak orang terkenal” Mayang tertawa geli lagi.
“Itu bagus dong Mayang, kamu jadi punya banyak teman” Damar membelai kepala Mayang.
“Iya kak, terima kasih.” Mayang tersenyum manis.
“Tapi kamu harus jadi pemilih dalam berteman. Nggak semua teman itu baik, jadi kamu harus hati-hati” Hermawan memperingatkan Mayang sambil membaca buku yang ia bawa.
“Hmm... tapi aku tidak takut kalau nanti ada yang jahat sama Mayang, soalnya di sekolah Mayang kan ada Kak Damar dan Kak Mawan. Ayah juga datang menjemputku pulang sekolah” Mayang memasang wajah serius dan berkata sambil mengepalkan tangan.
Pak Bambang dan Damar tertawa bersama sedangkan Hermawan menghembuskan nafas panjang sambil menggelengkan kepala. Hermawan kembali membaca bukunya dan tidak peduli dengan Mayang yang sedang kebingungan.
“Setelah sampai rumah nanti, Mayang harus belajar dan mengerjakan PR dari bu guru ya?” Pak Bambang menghentikan tawanya dan menyuruh Mayang belajar setibanya di rumah nanti.
“Aku sudah mengerjakan PR ku di sekolah sama teman-teman yah. Aku juga sudah mengerti apa yang diajarkan sama bu guru” Mayang menjawab ucapan Pak Bambang dengan wajah polosnya.
“Hmmm... coba ayah lihat buku sekolah kamu” Pak Bambang meminta Mayang membuka tasnya untuk mengecek PR Mayang. Mayang segera membukakan tasnya dan menyodorkan semua bukunya.
“Mayang kamu benar, ternyata PR nya sudah dikerjakan” Pak Bambang senang melihat Mayang semangat sekolah.
“Dua ditambah tiga sama dengan berapa Mayang?” Darmar melontarkan soal kepada Mayang.
“Lima” Mayang menjawab dengan antusias.
“Wah ... pinternya adikku yang cantik ini” Damar memuji Mayang sambil membelai kepala Mayang.
Mayang tersipu malu.
“Empat dikali lima sama dengan berapa Mayang?” Hermawan menggoda Mayang dengan memberikan pertanyaan yang sulit.
“Mawan.... Mayang kan masih belum sampai kesitu” Damar memarahi Hermawan namun Hermawan membalas dengan kedipan mata.
“Dua puluh kak” Mayang ternyata bisa menjawab soal dari Hermawan.
“Kalau Tujuh dikali delapan?” Hermawan ingin mengetes Mayang sampai sejauh mana dia tau.
“Lima puluh enam” Mayang menjawab dengan antusias lagi.
“Kalau lima belas kuadrat sama dengan berapa?” Hermawan menambah tingkat kesulitannya
“Dua ratus dua puluh lima” Mayang bisa menjawab dengan cepat tanpa menghitung.
“Fotosintesis memerlukan zat hijau daun yang biasa disebut?” Hermawan beralih ke pengetahuan alam
“ Klorofil” Mayang menjawab dengan tegas.
“Bahasa latin tulang belakang?” Hermawan mencoba memberikan pertanyaan sulit lagi.
“Vertebrae” Lagi-lagi mayang menjawab dengan cepat, tepat dan benar.
Pak Bambang, Damar dan Hermawan terkejut dengan keahlihan mayang.
“Wah, mayang hebat. Belajar dimana? Dari bu guru ya?” Pak Bambang memuji Mayang.
“Tidak, bu guru membosankan. Aku di sekolah disuruh membaca dan menulis. Aku bisa menjawab karena aku baca semua buku Kak Damar dan Kak Mawan. Saat malam hari, terkadang aku tidak bisa tidur, jadi aku mengambil buku kakak dan aku baca. Kemudian aku tertidur dan segera aku kembalikan sebelum kakak bangun. Hehehe.... aku juga baca buku-buku ayah sedikit. Terakhir buku ayah yang aku baca tentang astronomi” Mereka bertiga tercengang mendengar penjelasan Mayang. Seketika itu mereka saling menatap dan memunculkan ide yang sama.
Keesokan harinya, Pak Bambang berangkat kerja pagi sekali sampai tidak sempat sarapan dan mengantar ketiga anak Pak Bambang. Damar dan Hermawan mengantarkan Mayang untuk pergi ke sekolah.
“Mayang, jadi anak baik dan tetap sabar meskipun pelajaran bu guru membosankan. Jangan jadi anak nakal ya?” Damar menasehati Mayang sebelum masuk kelas.
“Iya kak” Mayang tersenyum dan segera masuk kelas.
Hari itu Mayang diajarkan bernyanyi, menari dan bermain musik.
“Mayang..... Mayang.... Mayang Arum Purnomo!” Bu guru memanggilnya dengan nada tinggi. Mayang tidak fokus menyanyi dan menari tapi dia terpaku dan terkesima dengan alunan melodi piano yang dimainkan oleh bu guru.
“Ya bu guru” Mayang terkejut mendengar suara bu guru. Seluruh temannya menertawakannya.
“Hehehe.... maaf bu guru, aku tidak fokus karena tertarik dengan melodi piano. Apakah saya boleh belajar piano bu?” Mayang mendekat dan bertanya kepada bu guru.
“Sayang.... nanti ibu guru ajarkan tapi kamu harus fokus dulu belajar menyanyi dan menari dulu ya?” Bu guru menasehati Mayang dengan lemah lembut.
“Baik bu guru” Mayang sangat senang mendengar perkataan bu guru. Mayang kembali masuk barisan dan segera berkosentrasi fokus pada bernyanyi dan menari.
Mayang merasa sangat mengenal piano, dentingan tut piano dan alunan melodi yang beberapa kali ia senandungkan tanpa sadar.
“Kak, hari ini menyenangkan. Bu guru mengajariku bermain piano. Aku senang sekali” Mayang bercerita kegirangan setelah pelajaran usai. Damar dan Hermawan seketika teringat mendiang ibu mereka.
“Kamu suka piano ya?” Damar mencoba mengendalikan perasaannya dan mulai bertanya kepada Mayang.
“Iya, aku suka. Suaranya merdu ting ting ting...” Mayang bercerita sambil berjalan pulang.
Damar dan Hermawan sekali lagi teringat ibunya meskipun begitu mereka masih mendengarkan Mayang dengan seksama. Ibunya juga suka sekali bermain piano, dan lagu yang ia mainkan sama dengan melodi yang disenandungkan oleh Mayang.
“Assalamualaikum....” Mayang masuk ke dalam rumah.
“Waalaikumsalam...” Ada seseorang di dalam rumah menjawab salam Mayang.
“Ayah?” Mayang terkejut karena Pak Bambang pulang lebih awal.
“Mayang ayah punya hadiah buat kamu” Pak Bambang memberikan hadiah kepada Mayang.
Mayang antusias membuka hadiah tersebut.
“Waow.... buku cerita....terima kasih yah” Mayang berlari memeluk Pak Bambang.
“Ini untuk Damar dan ini untuk Hermawan” Pak Bambang juga memberi kedua anak laki-lakinya hadiah.
“Wah, buku baru juga” Damar tersenyum geli. Ia tau bahwa ayahnya bukan tipe yang handal dalam memilih hadiah, jadi dia menerima apapun yang diberikan kepadanya.
“Loh, Kak Mawan hadiahnya kok tidak dibuka?” Mayang melihat Hermawan dengan setengah marah.
Hermawan menyadari kalau Mayang akan marah jika ia tidak membuka hadiahnya “Aku akan membukanya, jadi hilangkan kerutan jelek di dahimu itu”.
“Wah.... buku baru juga” Ucapan Hermawan terdengar datar. Hermawan harus bersikap seperti Damar jika ia tidak ingin Mayang memarahinya.
Mayang menatap Hermawan dengan wajah cemberut.
“Terima kasih ayah hadiahnya sangat bagus” Hermawan berterima kasih kepada Pak Bambang dengan senyum yang dipaksakan sehingga terlihat aneh.
Damar dan Pak Bambang tertawa terbahak-bahak, Hermawan cemberut karena ditertawakan, sedangkan Mayang bingung dengan tingkah Pak Bambang dan Damar.
Mayang segera membaca buku dari Pak Bambang setelah selesai makan malam. “Hmmm..... buku cerita yang bagus, disampulnya ada seorang gadis yang sangat cantik membawa burung elang. Judulnya Petualangan Serena dari Negeri Thresen karya Chocho Yucho. Pft... namanya lucu sekali”. Mayang membaca buku tersebut sampai selesai dan tertidur tepat saat cerita telah usai.
Semua hal berjalan dengan baik. Mayang mendapat hidup yang lebih lama, keluarga yang hangat, pendidikan dan memiliki kekuatan yang istimewa. Happy ending untuk Mayang. Tapi, kepingan puzzle belum terbuka, masih bxk pintu misteri yang belum terbuka. Oleh karena itu, kehidupan Mayang tidak bisa dikatakan memiliki akhir yang bahagia. Sebab kisah Mayang belum di mulai.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
ns 15.158.61.20da2