Sudah 3 hari ini Mayang mengurung dirinya di dalam kamar. Dia juga enggan untuk berangkat ke sekolah, kejadian yang dia saksikan di ruang kesehatan tempo hari membuatnya malas untuk menginjakkan kaki ke sekolah. Bahkan kemarin dia mengutarakan pada Mamanya untuk pindah sekolah, rasa sakit hatinya terhadap Boy dan Bu Rini membuat Mayang ingin tak bertemu kedua orang tersebut, untuk selamanya jika perlu.
Kedua orang tua Mayang tentu sangat bingung atas permintaan anak bungsunya tersebut, apalagi 2 bulan lagi ujian nasional akan segera dilakukan. Tentu bukan hal yang mudah berpindah sekolah saat waktu ujian nasional tinggal beberapa bulan lagi.
"Mayang udah makan Ma?" Tanya Om Hari, Ayah Mayang.
"Belum sepertinya Pa, bingung aku ngadepin putri kesayanganmu itu. Baru kali ini dia ngambek dan ngurung diri di kamar terus, tiap ditanya ada masalah apa dia nggak pernah mau jawab." Jawab Tante Santi, Ibu Mayang, sambil meletakkan nasi pada piring Om Hari.
"Hmmm, apa perlu kita tanya wali kelasnya Ma? Udah 3 hari ini kan dia nggak mau masuk sekolah?"
"Aku juga punya pikiran seperti itu Pa, Mama khawatir kalau Mayang jadi korban bully teman-temannya di sekolah, anak jaman sekarang kan kayak gitu Pa, duuuhhhh Mama jadi khawatir lagi."
"Ya udah, besok pagi sebelum berangkat ke kantor, Papa bakal mampir ke sekolahnya Mayang, semoga kita bisa tau penyebab Mayang jadi mogok sekolah."
"Iya Pa, semoga masalahnya nggak terlalu berat ya."
TOK
TOK
TOK
Terdengar pintu depan rumah diketuk dari luar, tanda ada tamu yang bertandang ke rumah Mayang.
"Biii Tatiiiiii!" Teriak Tante Santi memanggil asisten rumah tangganya. Dengan tergopoh-gopoh, seorang wanita paruh baya keluar dari dalam dapur.
"Ii..iyaa Bu."
Wanita itu bernama Bi Tati, asisten rumah tangga keluarga Mayang, yang sudah mengabdikan dirinya pada keluarga itu sejak Mayang berada dalam kandungan.
"Itu ada tamu, coba kamu bukakan pintu, kalau cari Bapak dan itu urusan kantor, kamu bilang kalau Bapak lagi istirahat dan nggak bisa diganggu." Perintah Tante Santi.
"Baik Bu." Bi Tati langsung menuju ruang tamu, melaksanakan perintah dari nyonya nya itu. Beberapa saat kemudian Bi Taty kembali ke ruang makan.
"Maaf Bu, yang datang temen-temennya Non Mayang, saya suruh masuk atau saya suruh pulang saja?"
"Oh ya? Temennya Mayang yang mana?" Tanya Tante Santi.
"Itu Bu, yang biasanya maen ke sini, cewek, trus satu lagi cowok tapi saya nggak pernah liat dia maen ke sini."
"Siapa Ma?" Tanya Om Hari
"Ehhmmm, Nadia mungkin Pa."
"Oohhhh, Ya udah Bi, suruh masuk aja dulu, bentar lagi biar aku dan Mamanya Mayang temuin mereka." Kata Om Hari pada Bi Tati.
"Baik Pak." Bi Tati kembali ke ruang tamu untuk melaksanakan perintah dari majikannya itu.
"Besar juga ya rumah Mayang." Kata Bima sambil mengamati tiap sudut ruang tamu rumah Mayang.
"Iyalah, dia kan anak orang kaya." Jawab Nadia singkat.
"Wah kalau jadi suaminya Mayang enak nih, nggak usah kerja segala, hehehe." Lanjut Bima dengan muka kocaknya.
"Apaan sih!! Belum juga lulus SMA udah ngomong suami-suami segala!" Nadia tampak cemberut setelah mendengar kalimat barusan dari mulut Bima.
"Hehehe, becanda kaliii, gitu aja udah cemberut." Goda Bima setelah tau Nadia berubah cemberut.
Beberapa saat kemudian Om Hari dan Tante Santi terlihat berjalan menuju ruang tamu, Nadia dan Bima secara bersamaan berdiri dari sofa dan menyambut kedua orangtua Mayang tersebut.
"Om, Tante." Kata Nadia sambil mencium tangan kedua orang tua Mayang, hal yang sama dilakukan oleh Bima.
"Tumben ke sini malem-malem Nad?" Tanya Tante Santi setelah duduk di atas sofa.
"Iya Tante, maaf sebelumnya kalo kedatangan kami mengganggu, kami cuma khawatir dengan keadaan Mayang. Sudah 3 hari ini nggak masuk sekolah, handphonenya juga nggak aktif, apa Mayang baik-baik saja ?" Nadia mencoba menjelaskan maksud kedatangannya bersama Bima.
"Hmmm, itulah Nad, Om sama Tante ini juga bingung dengan Mayang, tiap hari kerjanya cuma mengurung diri di kamar terus, tiap kali disuruh berangkat sekolah dia selalu menolak, sebenarnya ada apa sih di sekolah sampai-sampai Mayang jadi ngambek kayak gitu?" Kata Om Hari.
"Iya Nad, apa kamu tau penyebab Mayang jadi males pergi ke sekolah kayak gitu? Apalagi kemarin dia minta buat pindah sekolah segala." Tante Santi menambahkan pertanyaan pada Nadia yang mulai tampak bingung.
Nadia diam untuk sejenak, dia tidak mungkin menceritakan kejadian tempo hari di ruang kesehatan sekolah, dia tau kejadian seperti itu tidak boleh diceritakan pada sembarang orang, apalagi diceritakan pada orang tua Mayang.
"Setau saya tidak terjadi apa-apa Tante..Mayang juga tidak sedang bermasalah dengan teman-teman di sekolah." Kata Nadia, menyembunyikan kebenaran peristiwa tempo hari.
"Lalu kenapa Mayang bisa jadi kayak gini kalau nggak terjadi apa-apa di sekolah?" Tanya Om Hari kembali.
"Ehhmm, kalau diijinkan, saya mau ketemu dengan Mayang, siapa tau kalo dengan saya, Mayang mau cerita." Kata Nadia dengan tenang.
"Ide bagus, ya sudah kamu langsung aja ke kamar Mayang." Om Hari memberi ijin pada Nadia.
"Dan kamu di sini saja sama Om sambil nunggu Nadia ketemu Mayang." Kata Om Hari pada Bima yang sedari tadi terlihat kikuk.
"Oh..ii..iya Om. Hehehe." Jawab Bima terbata-bata.
409Please respect copyright.PENANAV5I5plzoyi
***
409Please respect copyright.PENANAAeuWEex78q
"Pokoknya aku nggak mau!" Suara Boy sedikit meninggi.
"Dengerin dulu Boy, Kamu tenang dulu." Bu Rini coba menenangkan Boy.
"Aku rela nglakuin apa aja buat kamu, tapi kalo kamu minta buat mengakhiri hubungan ini, aku nggak bisa!" Boy masih berdiri membelakangi Bu Rini yang masih duduk di kursi ruang tamu rumahnya.
"Ini yang terbaik buat kita Boy, kamu harus ngerti." Kata Bu Rini lirih.
"Apa baiknya buatku kalo nggak ada kamu???" Kali ini Boy membalikkan badannya, sorot matanya tajam menatap mata Bu Rini yang terlihat sendu.
"Insiden kemarin menyadarkanku, kalo hubungan kita ini bakal sulit banget untuk kita jalani berdua. Usiaku akan terus bertambah, aku tak akan cantik lagi buatmu. Belum lagi pandangan orang tentang hubungan kita, apa kita bakal terus menyembunyikannya ini dari orang lain? Kamu mau kayak gini terus sama Aku??" Bu Rini coba menahan isak tangisnya yang akan pecah.
"Denganmu, aku bakal jalanin semua. Aku juga nggak peduli apa pendapat orang tentangmu, tentangku, tentang kita..bagiku apa adanya kamu sudah melengkapi hidupku." Boy kini bersimpuh di depan Bu Rini, tangannya meremas erat jari-jari kekasihnya itu, mencoba meyakinkan Bu Rini bahwa perasaannya nyata terhadap janda 32 tahun itu.
"Perjalananmu masih panjang Boy. Egois kalau aku memaksamu untuk bertahan denganku, suatu saat nanti kamu bakal temukan penggantiku, seseorang yang lebih pantas bersanding denganmu, seseorang yang lebih bisa melengkapi hidupmu dan orang itu bukan aku."
Air mata Bu Rini akhirnya tumpah, pilihan berat untuk mengakhiri hubungannya dengan Boy harus dipilih wanita ini, bukan karena dia tak lagi sayang dan cinta lagi terhadap Boy, tapi karena memang ini yang terbaik buat dirinya maupun buat Boy.
"Tapi aku nggak bisa." Ucap Boy lirih.
"Kamu pasti bisa Boy, pasti bisa, sebaiknya kamu pulang saja sekarang, tenangkan dulu dirimu, akupun akan melakukan hal yang sama." Bu Rini berdiri dari duduknya, memberi tanda agar Boy segera meninggalkan rumahnya.
"Baiklah jika itu mau kamu, tapi yang perlu kamu tau, perasaanku terhadapmu selama ini nyata. Aku benar-benar mencintaimu." Boy meninggalkan Bu Rini, malam itu separuh hati Boy serasa dipaksa untuk hilang, untuk pertama kalinya dia merasakan pedihnya patah hati.
409Please respect copyright.PENANATIMdfH4RFQ
***
409Please respect copyright.PENANAUzYJeGQS9L
Boy sudah sampai di depan rumahnya, ada rasa enggan untuk masuk ke dalamnya, apalagi di depan rumah terlihat Anwar sedang berpesta miras bersama teman-temannya. Dengan sedikit keraguan Boy melangkahkan kakinya menuju pagar rumah, semakin dekat gelak tawa Anwar dan teman-temannya semakin jelas terdengar oleh Boy.
"Heh begundal!!" Teriak Anwar setelah menyadari kehadiran Boy dari kejauhan, Boy sempat kaget oleh teriakan itu tapi dia tetap berjalan menuju pintu rumah tak mempedulikan teriakan Ayah tirinya itu.
"Kurang ajar Lu!! dipanggil maen nylonong aja! Sini Lu!"
Anwar tampak tak suka melihat sikap cuek Boy, dia berdiri dari duduknya dan berjalan menghampiri Boy, beberapa teman Anwar mencoba menahan geraknya tapi percuma, laki-laki itu sudah tidak bisa mengontrol emosinya karena pengaruh minuman keras.
"Darimana aja Lu?!! Jam segini baru pulang, Hah?!!"
Anwar kini sudah mencengkram kerah seragam Boy, tubuhnya merangsek maju ke depan membuat Boy sedikit terhuyung ke belakang.
"Sudah Bang, jangan emosi. " Kata salah satu teman Anwar yang mencoba meredakan amarah Anwar.
"Diem Lu!! Nggak usah ikut campur urusan Gue! Ini urusan Gue sama begundal kecil ini!" Bentak Anwar pada salah satu temannya itu, membuat orang tersebut sedikit demi sedikit memundurkan langkahnya, dia tidak ingin amarah Anwar justru beralih pada dirinya.
"Lepasin Gue!!" Teriak Boy saat cengkraman tangan Anwar semakin kuat, Boy mencoba berontak melepaskannya.
"Brengsek!! Makin kurang ajar juga Lu!!"
PLAK!!!
PLAAKK!!
Dua buah tamparan keras mendarat mulus ke muka Boy, badan remaja itu masih bisa terkontrol karena satu tangan Anwar masih memegang kerah baju Boy. Mendapat perlakuan seperti itu, amarah dan keberanian Boy menjadi tumbuh. Dengan dorongan keras dia mencoba menjauhkan tubuh Anwar , dan itu berhasil. Karena pengaruh alkohol, Anwar terhuyung ke belakang saat hentakan tubuh Boy secara tiba-tiba mendorongnya menjauh, preman kampung itu jatuh terjerembab berguling di tanah.
Beberapa teman Anwar yang awalnya hanya melihat kini berhamburan mendekat, mereka tau sesaat lagi Anwar akan meluapkan emosinya pada Boy, hal yang coba mereka hindari, bagaimanapun mereka tidak menginginkan keributan terjadi.
"Bangsat!!!!"
Anwar berteriak kencang saat menyadari tubuhnya jatuh ke tanah akibat perbuatan Boy, dengan mengumpulkan semua tenaga yang masih tersisa Anwar mencoba bangkit, dia berdiri dan berlari menerjang tubuh Boy yang sudah siap menerima serangan itu.
Usaha teman-teman Anwar untuk menghindarkan perkelahian antara Ayah dan Anak itu sia-sia, Anwar dan Boy sudah bergumul di atas tanah. Beberapa orang mencoba memisahkan keduanya, tapi masih juga tak berhasil.
BUG!!!
BUUUGGGG!!!!
BUGGGH!!!
"Aaaarrgghhttttttt!!!"
Satu tendangan Anwar berhasil menghempaskan tubuh Boy ke pagar besi, pemuda itu merasakan ngilu pada rusuk kirinya setelah menghantam pagar.
"Ayo maju sini Lu!! Gue matiin sekarang juga Lu!! " Teriak Anwar penuh emosi.
Secara mengejutkan Boy tak menunggu lama untuk menetralkan rasa sakitnya, denga sekuat tenaga dia berlari menerjang tubuh Anwar. Karena kesimbangan tubuhnya sudah tak lagi terkontrol, Anwar langsung jatuh ke belakang dengan keras setelah menerima terjangan tubuh Boy. Kepala bagian belakang pria itu terbentur pot bunga dengan keras.
Darah mengucur deras dari kepala Anwar, pria itu tiba-tiba tak bergerak, tubuhnya lemas tanpa nafas. Teman-teman Anwar langsung mengerubungi tubuh pria tersebut. Boy langsung mundur ke belakang, tubuhnya bergetar saat melihat wajah ayah tirinya itu berlumuran darah dan tak sadarkan diri.
"Boy panggilkan Ibumu!! Cepat!!" Perintah salah satu teman Anwar yang ikut mengerubungi tubuh Anwar. Boy masih berdiri mematung, melihat tubuh Anwar lemas tak berdaya, perintah orang tadi seolah tidak didengarkannya.
"Ada apa ini???!!"
Bu Ranti keluar dari dalam rumah setelah mendengar keributan yang terjadi. Wanita itu melihat Suaminya telah jatuh berlumuran darah dan anak tunggalnya berdiri mematung di depan tubuh sang suami.
"Maasss!!!! Dia kenapa??!!!" Teriak Bu Ranti setelah melihat Anwar tak sadarkan diri.
"Mbak, sepertinya Mas Anwar sudah meninggal."
Detik itu tubuh Boy melemas, perkelahiannya dengan Anwar ternyata menghilangkan nyawa ayah tirinya itu. Boy duduk di depan pagar, pikirannya begitu kalut dan berputar-putar memikirkan segala sesuatu yang baru saja terjadi antara dirinya dan Anwar. Meskipun Boy begitu membenci Anwar, tapi tak pernah terbesit dalam benak Boy untuk membunuh Ayah tirinya itu.
409Please respect copyright.PENANAvgWxsSQOR1
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.6da2