
Aku terdiam untuk beberapa saat. Waktuku terdiam ini bisa dibilang tidak cukup sebentar.
Widya masih menatapku intens, sama sekali tak ada ekspresi yang menunjukkan ia sedang bercanda sekarang.
"Gimana, mau nggak?" tanya Widya mendesak.
"Bentar." Aku memperbaiki posisi duduk. "Ekhm ... apa tadi?"
Gadis itu cemberun. "Entotin gue."
Kini aku merasa yakin kalau tadi tidak sedang salah dengar. "Entot lo?" ulangnya memastikan. "Beneran, Wid?"
"Ya beneranlah." Widya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. "Masa gue kurang serius mintanya? Udah kelihatan dari ekspresi gue, kan?"
"Bentar, kan lo punya Vino, Wid."
"Ya, terus?" Alisnya naik satu. "Terus kenapa?"
Dalam hati aku berpikir ada yang tidak beres dengan isi kepalanya.
"Ya lo nggak bisa gini dong."
"Ah susah jelasinnya." Dia mengambil HP nya. "Kasih nomer lo, kita ngobrol lewat chat aja. Bahaya kalo di tempat rame kayak gini."
Tak lama setelah itu Vino datang. Kami bersikap seolah tak ada yang terjadi.
Ya, saat ini belum ada yang terjadi.
__________
Sore hari, aku baru pulang ke kos setelah beli makan malam di warung dekat kampus. Kulihat mobil Pak Wan sudah terparkir di tempatnya. Kalau jujur, sih, tentu ada rasa sedikit kecewa.
Namun ketika aku tiba di halaman belakang, aku dengan iseng melihat jendela kamar Bu Alvi. Dia sedang ada di sana, melihatku pula.
Jantungku berdegup saat wanita itu mengedipkan sebelah mata. Tingkat kegenitannya luar biasa.
Kubalas dengan senyum singkat.
Aku lekas mandi tanpa membutuhkan waktu banyak. Saat kembali ke kamar, ternyata sudah ada pesan baru dari Widya.
"Lo nggak lagi sibuk, kan?" Demikian dia menulis.
Cepat kubalas. "Lagi santai."
Aku memakai kaos dengan tulisan "Jangan banyak omong!" Lalu membuka bungkus makanan yang sudah kubeli tadi.
Sampai tiga suapan Widya belum membalas lagi. Setelah suapan keempat barulah pesan baru masuk.
"Jangan salah paham dulu, ya. Gue minta bantuan lo buat entotin gue, bukan karena gue kegatelan kontol atau gue tergila-gila sama elo. Gue beneran minta bantuan, Lan," tulisnya.
Rasanya agak sakit juga. Kupikir dia mau aku entotin dia karena ingin berpisah dari Vino atau hal semacam itu. Aku terlalu memandang tinggi diri sendiri.
"Oke." Kukirim pesan itu. Kemudian, "bantuan apa?"
Statusnya masih mengetik. Aku menghabiskan makanku cepat-cepat karena tak ingin sering berhenti untuk membalas pesan. Namun, sampai nasiku hampir habis pun Widya masih mengetik.
Tiga menit kemudian, kurang lebih, pesan yang cukup panjang dikirimkan olehnya.
"Vino itu sangean, mungkin lo udah tahu karena Vino sendiri yang cerita kalau lo orang pertama yang jadi temen dia sejak awal masuk kuliah. Gua sama dia udah pacaran kurang lebih setahun, selama ini hubungan kami nggak ada masalah. Yah ... walau kadang gue risih pas dia grepe-grepe atau raba sana-sini."
Aku menghentikan bacaanku. Tak kusangka ternyata Widya, teman tomboi masa kecilku, berpacaran dengan cara seperti itu. Tiba-tiba aku tersentak karena baru ingat aku juga sudah ngentot dengan Bu Alvi tak cuma sekali.
"Tapi kami nggak sampai ngentot. Terus kemarin ini, belum lama sih tapi aku lupa, dia bilang ke gue intinya gue sama dia udah pacaran lama tapi kok masih gini-gini aja, kurang intim, gitu katanya. Gue tahu apa maksudnya, terus gue bilang buat nunggu waktu yang pas. Tapi nih, sebelum sebelumnya jauh sebelum hari itu, dia pernah bilang kalau dia kurang suka cewek perawan. Katanya kaku gitu, kurang luwes. Emang ANJING!!! Tapi gua masih cinta aja bangsatt! Nah, gue mau minta bantuan lo buat perawanin gue, Lan. Kita jujur jujuran aja di sini, elo bisa apa enggak? Elo bisa ngentot cewek apa enggak? Gue masih awam banget soalnya, nggak pernah gituan. Gue gak mau pisah dari Vino cuma gara-gara kaku pas ngentot, lo ngerti maksudku kan? Kalo elo emang nggak bisa atau keberatan, ngomong aja, Lan, gue nggak apa apa kok."
Aku menelan ludah, rasanya sedikit pahit dan berat. Dengan tangan gemetar, aku membalasnya. "Lo beneran, nih, Wid?"
Tanpa menunggu waktu lama, pesanku langsung centang biru dan mendapat jawaban. "Kalo nggak beneran, ya gue nggak ngomong sama lo lah, geblek."
Lalu dia menulis lagi. "Asli gue takut banget, Lan. Gue bayangin Vino bakal ninggalin gue cuma karena gua nggak bisa puasin nafsunya dia. Pliiissssss."
Kubalas pula. "Ini nggak buru-buru, kan?"
"Nggak sih, cuman gue pengen secepatnya jatuhin dia di ranjang. Gue khawatir dia udah selingkuh duluan."
"Gini aja, deh." Aku mengetik agak panjang. "Besok pulang ngampus, kita ketemuan, kita ngobrol langsung tatap muka biar makin enak. Gue perlu siap mental juga buat bantuin elo. Gue nggak mau juga pertemanan gue sama Vino hancur cuma gara-gara elo. Gue belum bisa jawab mau bantu apa kagak, tapi kita harus ketemuan dulu biar bisa ngobrolin banyak."
Dia cepat membalas. "Selama di wilayah kampus nggak bisa, gue takut ketahuan Vino nongkrong berdua sama cowok lain. Besok malem aja sekalian, kita ketemuan di luar."
"Oke, lo tahu Burjo Langgeng?"
"Tahu."
"Nah, kita ketemuan di sana gimana?"
"Oke deh."
Kupikir percakapan sudah selesai, tapi Widya mengirim pesan lagi.
"Enak lo, nikmatin gue pertama kali. Ini demi Vino, jangan baper lo ya. Lo ajarin gue, perawanin gue, entotin gue sampai sekelas bintang porno andalan lo. Selama itu, lo punya previlege nikmatin semuanya dari gue. Mulai dari bibir, leher, dada, perut, memek, paha, semua deh. Mau lo anal pun oke asal kalo itu bisa buat skill gue nambah dan bisa nyenengin Vino."
"Anal?" pikirku. Setahuku itu adalah ketika ngentotin anus. Widya yang masih perawan berani bilang gitu? Emang gila dia.
"Iya, deh. Makasih badannya," balasku lagi diakhiri emot ketawa.
"Anjing!!" Demikian dia mengetik. Tapi setelah itu, dia mengirimiku voice note. "Makasih Nolan." Dari nada suaranya, dia tidak terdengar sedang marah, tapi justru terdengar senang.
Itu sudah hampir jam tujuh malam. Aku berniat menyeduh kopi untuk dinikmati di teras kamar. Namun, aku mendengar suara mobil Pak Wan. Saat kutengok lewat jendela, Pak Wan kelihatan jengkel ketika dia masuk mobil. Sesaat kemudian, mobil itu pergi.
Entah mengapa, niatku untuk ngopi menghilang dan aku malah menunggu.
Tidak sampai sepuluh menit, sosok Bu Alvi berjalan dari rumah menuju kamarku. Kubuka pintu kamar, Bu Alvi masuk setelah memberiku senyuman khasnya.
"Pak Wan mau ke mana, Bu?" tanyaku.
Dia duduk di kasur. "Biasa, urusan mendadak kayak tadi pagi. Tadi pun sebenernya dia maksa buat pula karena udah suntuk banget. Entah apa masalahnya, dia sendiri pun masih agak bingung. Ini tadi pak bosnya nelpon, aku nggak tahu ngomong apaan, yang pasti itu bukan kabar baik. Dia nggak punya waktu buat cerita."
"Oh ...." Aku mengangguk-angguk.
Bu Alvi melirikku, tersenyum. "Dia nggak punya waktu buat cerita, jadinya kita punya waktu buat bikin cerita."
Aku tersenyum, pasti kelihatan canggung. "Membuat cerita?"
"Cerita manis. Sini Sayang." Bu Alvi merentangkan tangan.
Tanpa ragu lagi, aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Bibir kami langsung bersatu dan melekat, lidah kami saling bergulat, tentu saja milik Bu Alvi lebih kuat, dia punya kemampuan yang jauh lebih hebat.
Perlahan aku mendorong tubuhnya, kutindih badan Bu Alvi yang keseksiannya tak pernah meninggalkan kepalalu.
Toketnya yang besar, empuk dan lembut bergerak-gerak nakal ketika dadaku menyentuhnya. Selang beberapa lama, kami melepas ciuman.
"Ihh, makin pinter ciumanmu," katanya dengan pipi merah.
Aku baru menyadari satu hal. "Ibu ... Ibu nggak pake bh?" Aku merasakan putingnya menekan dadaku.
"Memangnya kenapa?" Kepalanya sedikit miring, tentu bermaksud untuk mengirim godaan dengan pose memikat. "Toh nanti juga telanjang, kan? Atau ... kamu pengen aku setengah telanjang? Cuma lihatin perut ke bawah?"
Aku tak menjawab. Aku justru baru menyadari hal lain saat wajah kami berdekatan. "Bu, ibu pake make up?"
Kepalanya dimiringkan ke sisi lain, seolah ingin memamerkan seluruh sisi wajahnya kepadaku. "Memangnya kenapa? Kamu nggak suka Ibu kosmu ini dandan dikit? Kalo kamu nggak suka yang tebel-tebel, tenang aja, bedakku tipis, kok."
Pantas saja pipinya merah, ternyata dia memakai pemerah pipi pula.
Kuamati wajah itu sampai lama. Kini kalau diperhatikan, memang jadi lebih cantik. Dengan sentuhan sedikit make up, Bu Alvi tampil elok tapi tidak berlebihan. Walau memakai make up, kecantikannya tetap natural.
Sepertinya dia merasa jengah juga karena terus kupandang jari jarak dekat. Senyumnya yang tadi lebar, kini sedikit menciut menjadi senyum malu-malu.
"Udah puas lihatin, Ibu?" tanyanya.
Tanganku meraba pinggangnya. "Ibu cantik banget malam ini ...," gumamku. Pandanganku masih melekat ke matanya, bulu matanya, hidung, pipi, dan bibir yang sedikit terbuka.
"Ah, kamu suka berlebih—emmhh!!"
Aku telah membungkam mulutnya tanpa sadar. Gairahku mulai naik, tubuhku memanas, aku menciumi Bu Alvi semakin ganas. Walau mungkin ciumanku tidak sepandai dia, tapi aku yakin Bu Alvi pasti tahu saat ini aku sudah sangat terangsang.
Dia mendorong tubuhku tiba-tiba, memaksaku duduk. "Kamu buru-buru banget."
"Ibu ...."
Dia mengelus selangkanganku. "Ibu mau manjain dia."
"Bu ...."
"Oh, kamu pengen lihat tetek? Hahaha, aku sampai lupa kamu suka banget liatin." Kemudian dia mengangkat kaos ketatnya lantas menggigitnya. "Gwimanah ... kamu sukwa, kwan?",
"Ibu ... saya ...."
Bu Alvi mengelus selangkanganku, awalnya lembut tapi semakin cepat.
"Aku mau ngentotin Bu Alvi, sekarang aku pengen genjot!"
Mata Bu Alvi terbelalak.
Namun sebelum dia bergerak, aku sudah menerkam sepasang toket besar itu. Kukulum putingnya, kucubit puting satunya. Saat salah satu payudaranya kuremas keras, puting yang sedang kukulum ini lalu kugigit keras-keras.
"Aakhh jangan ... ahhh ahhh ... aauuhh Nolan sakit! Aaaahhhh!"
Aku sudah menindih Bu Nolan yang kewalahan sendiri menahan gempuranku. Dia menggeliat tak karuan, tapi aku berpikir dia menikmati itu. Desahannya sangat merdu, tanda bahwa dia kenikmatan.
"Oohh ... ouuhhh ... aaahhh ... gigitanmu keras bangeeett aaahhh!!"
Kutarik putingnya dengan gigiku kuat-kuat, lalu kulepas mendadak. Toket kanannya memantul keras, aku pindah ke toket kiri. Kukulum putingnya, kujilat, dan kugigit.
"Uaahh, kamu galak banget malam ini, Sayaangg!"
Aku tak peduli. Bu Alvi terus menggeliat sambil menikmati kesakitan yang kuberikan pada putingnya. Setelah puas menyiksa kedua pueting itu, aku melepas dengan cara yang dama. Kulihat kedua putingnya merah.
Napas Bu Alvi terengah-engah, matanya terpejam. Aku masih mendindihnya.
Beberapa saat, Bu Alvi membuka mata. "Kamu kenapa, hm?" Ia mengelus pipiku. "Ada masalah di kampus?"
Aku ingin memeluknya erat, sikapnya yang ini sungguh membuatku ketagihan. Sikap perhatian dan kelembutan ini, aku tak mau kehilangannya.
Aku menggeleng. "Saya cuma penasaran gimana rasanya ngentotin Ibu. Dari kemarin saya yang Ibu entot, saya belum gerak. Saya pengen belajar."
Sampai sini aku baru sadar kalau malam ini sangat penting agar aku bisa tahu bagaimana cara menggenjot wanita. Aku harus tahu agar bisa menikmati Widya! Maksudku, mengajari Widya.
Bu Alvi memasang ekspresi seperti orang melihat benda lucu. "Uuhhh sampai agresif gini, ya? Kamu penasaran? Kamu pengen tahu, hm? Kasiannya ....",
"Saya pengen genjot Ibu," ulangku.
"Sini, Ibu basahin dulu ya Sayang. Kamu suka emutanku, kan?"
Namun, aku tidak bergerak. Bu Alvi awalnya kelihatan bingung, tapi sesaat kemudian tersenyum. "Kamu udah nggak tahan, ya?"
Aku mengangguk perlahan.
"Yaudah, lepas celana Ibu." Bu Alvi meletakkan tangan di atas kepala. Uh, satu pose yang selalu kusuka.
Aku menurut. Kutarik celana panjangnya dan ....
"Ibu nggak pakai celana dalam juga?"
Bu Alvi hanya terkekeh.
Memek yang punya sedikit rambut itu berkedut-kedut seolah menantangku untuk segera melakukan tindakan. Sungguh menggoda.
Kubuka kaki Bu Alvi lebar-lebar lalu kujilati memeknya. Mulai dari bibir, tengah, sampai ke klitoris. Bahkan kini aku mencoba ilmu otodidak yang kulihat dari film porno, memasukkan dua jariku ke memek Bu Alvi.
"Aahhh ... aahhhh!! Siapa yang ngajarin kayak gitu—aaahhh!!"
Tubuh Bu Alvi terangkat karena aku menekan klitorisnya dengan jempol sedangkan jari tengah dan manis masih menancap dalam.
"Nolan Sayaaaangg ... teruusss aaahhh!!" Tubuh Bu Alvi menggelinjang seksi dengan kenikmatan yang kuberi.
Aku semakin percaya diri.
Kukocok memeknya makin keras, kutekan klitorisnya yang mengeras makin kuat.
"Aahh ... aahhh ... aahhhh!!" Bu Alvi terus mendesah tak karuan.
Tiba-tiba kurasakan vagina itu menjepit jariku dengan keras. Cepat-cepat kucabut.
"Aahhh ... aaahhhh Sayang nakal ihhh!!" Bu Alvi menggoyang-goyangkan pinggul. "Lagiiii dikit lagi ...."
Aku tak mempedulikannya.
Kulepas celanaku, kontol ngaceng pun terlihat. Mata Bu Alvi sudah terpaku di sana, tapi dia masih terus merengek-rengek.
"Sekali aja ihhh ... Ibu hampir keluar tadi!"
"Ibu, saya pengen ...." Aku tak hiraukan ucapannya. Kini, aku sedikit meragu. "Ibu, saya ...."
Tiba-tiba tangan Bu Alvi terulur, menarik kaosku. "Jangan banyak omong!" bisiknya sambil mengetuk-ngetuk kaosku tepat pada tulisan tersebut. "Ibu udah sange, sesange dirimu. Ibu bakal mudah sange kalo sama yang lebih muda, Ibu pengen ngentot, sekarang, sama kamu. Jadi, jangan banyak omong."
Wajah Bu Alvi serius. Aku merasa bersalah karena tadi mempermainkannya. Mungkin saat ini Bu Alvi sedang kesal.
"Baik Bu." Anggukan singkatku sebagai jawaban.
Aku melepas kaos, kulempar sembarangan. Bu Alvi justru menggigit kaos ketatnya. Pemandangan yang hot sekali.
"Saya coba masuk." Kuarahkan kontol ini ke lubang memeknya.
Berkali-kali meleset. Ternyata tidak semudah yang dilakukan Bu Alvi. Aku menggigit bibir bawah dalam usaha keras ini. Memek Bu Alvi terus berkedut seolah mengejekku.
"Sayaaaanggg ...." Bu Alvi kembali merengek.
"Bentar ... Bu ... hampir masuk."
"Ayoooo ...."
Aku terus menyodok-nyodok. Hingga pada akhirnya ....
"Kamu nyogok ke mana—ahh!!" Bu Alvi tersentak.
Kudorong pelan-pelan.
"aahh aahh aaiihh!!" Kembali dia menggigit kaosnya. "Mmffff!!"
Dengan cepat kontolku tenggelam ke pelukan hangat memek Bu Alvi.
"Aahh ... ibu ...."
"Mmffff ...." Dada Bu Alvi membusung, toketnya terangkat dan bergoyang.
Tentu aku tergoda, kuremas mereka, kutarik putingnya, kupilin, kuremas lagi sampai Bu Alvi melepas gigitannya dan lepaslah desahan itu.
"Aaahhh enakk!"
"aahh ... aahhh ...." Aku terlalu menikmati gigitan memek Bu Alvi dan remasan di toketnya.
Sampai aku tersadar saat pinggul Bu Alvi sedikit bergoyang. "Ayo gerak Sayaang."
"Eh?"
"Gerak maju mundur," katanya dalam bisikan penuh nafsu.
Dengan gerakan kaku, aku menarik pinggangku sedikit. "Aaaaaaahhhh ...." Bu Alvi mendesah panjang. Kemudian aku mendorong lagi, sedikit lebih kuat. "Ahh!" Bu Alvi tersentak.
Aku mengulang lagi gerakan itu sampai ada sepuluh kali. Setiap kali aku keluar, Bu Alvi akan mendesah panjang. Saat aku menyodok masuk, Bu Alvi mendesah pendek tapi berbareng dengan tarikan napas cepat.
Aku mencoba mempercepat genjotanku. Tiga kali genjotan, tak ada masalah. Saat genjotan ke empat.
"Iiihhhh!" Bu Alvi meraba dadanya sendiri. "Kok dicabut sih?"
"Maaf Bu, nariknya kejauhan." Aku berusaha memasukkannya lagi.
"Ahh!" desahnya.
Kali ini, Bu Alvi mengaitkan kedua kakinya ke pinggangku.
"Ughh ... Bu ...." Aku mencoba lagi.
Bergerak ke depan, ke belakang, lalu ke depan lagi. Awalnya sangat kaku dan tidak teratur, tapi makin lama aku berani makin cepat. Gerakan pinggulku makin mantap. Ternyata tidak terlalu sulit.
Bu Alvi sudah pasrah, tangan tergeletak lemas di atas kepala, rambutnya tergerai indah. Dia sekarang hanya fokus mendesah-desah. Menjerit ketika kusodok, menarik napas ketika kutarik. Atau sebaliknya. Atau tanpa pola.
"Aahh ... ahhhh ... ahhh!! Ibu mau keluar... Aahh ahhh!!"
Genjotanku makin percaya diri. Rasa bangga datang ketika aku mampu membuat Bu Alvi menggila. Dia telah membusungkan dada, lagi-lagi toket itu menantangku.
"Ibuu ...." Aku meremas kedua toketnya keras.
"Aaaahhhh Sayaaangg!" Tubuhnya kejang, memeknya menggigit semakin keras, dadanya makin membusung.
"Uhh akhh ... keluar ... keluar ...." Suara Bu Alvi makin lirih seolah dia telah kehabisan napas. Urat-urat tegang tampak jelas di lehernya. Kepala Bu Alvi mendongak. "Ceooott ...."
Suara bisikan terakhir itu berbareng dengan gelombang dahsyat dari memeknya. Memeknya berkedut sesaat, mencengkeram keras sebelum melonggar dan datanglah cairan kenikmatan itu.
Aku memejamkan mata, menikmati guyuran air tersebut.
"Aaahhh ... Bu Alvi ...."
Aku kembali menggenjot tubuh Bu Alvi yang masih kejang-kejang.
ns 15.158.61.37da2