Semenjak kejadian cahaya misterius itu muncul, Mayang terus menantikan ulang tahun ke 17 nya. Hari –hari berlalu begitu saja. Kini ia berumur 16 tahun, dan 10 hari lagi akan beranjak menjadi 17 tahun. Ia tidak sabar untuk segera mengetahui jati dirinya. Ulang tahunnya yang ke 17 adalah ulang tahun yang sangat dinantikan karena Pak Bambang berencana membuat pesta ulang tahun yang meriah untuk Mayang. Pesta yang tak kan pernah terlupakan.
Hari yang cerah dengan suasana hati yang ceria, Mayang dan kedua kakaknya mengantar undangan ke keluarga Paman Doni. Namun, sesampainya di sana kedatangan Mayang disambut dingin oleh Paman Doni dan Tante Maria. Sambutan yang tak seharusnya dilakukan oleh keluarga besar.
“Tante, Mayang mengundang tante sekeluarga untuk datang ke acara ulang tahunku yang ke 17” Mayang menyodorkan undangan
“Aku dan pamanmu sibuk bekerja, kalau sempat aku dan paman mu akan datang” Tante Maria mengambil undangan tanpa dibaca. Ia meletakkan undangan tersebut di atas meja.
“Anak hasil perselingkuhan diperlakukan dengan berlebihan. Semoga saja kelak bisa jadi bidan bukan beban” Paman Doni melirik tajam ke Mayang, lalu kembali menatap koran. Matanya menyusuri setiap kata di kolom bisnis.
“Papa, jangan terlalu kejam kepada Mayang” Tiba-tiba Rio datang dan langsung memeluk Mayang dari belakang. Damar dan Hermawan terkejut dengan kemunculan Rio. Sedangkan Mayang berusaha untuk melepaskan diri dari dekapan Rio.
“Papa tidak kejam, tapi mengatakan pendapat berdasarkan fakta” Bisma membela Paman Doni sembari mengangkat dagu Mayang. Hari ini Mayang benar-benar terjebak. Rio di belakangnya dan Bisma tepat di depannya. Hermawan yang ingin membantu Mayang, tapi dicegah oleh Damar karena Paman dan Tantenya pasti akan menyalahkan Hermawan.
“Kak, tolong lepaskan Mayang” Damar mencoba membantu Mayang yang berada pada posisi terjepit diantara Rio dan Bisma.
“Jangan berlebihan Damar, mereka hanya bermain-main saja” Paman Doni menasehati Damar. Sesuai dengan dugaan Damar, Paman Doni pasti akan menyalahkannya bukan anak-anaknya.
“Iya, kalian main saja di pavilliun sana” Tante Maria menunjuk tempat yang ia maksud.
Damar, Hermawan, Mayang, Rio dan Bisma berkumpul di taman pavilliun. Damar dan Hermawan bergerak cepat menjadi benteng untuk Mayang. Mereka tau bahwa Rio dan Bisma mengincar Mayang untuk jadi mainan mereka. Hari ini mereka tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
“Kenapa kalian berdua bersikap berlebihan?” Bisma tidak meyangka bahwa Damar dan Hermawan akan bereaksi seperti itu. Ia berjalan mendekati mereka bertiga.
“Tolong jangan ganggu Mayang. Kita akan bermain dengan kalian, tapi biarkan Mayang pergi” Wajah Damar terlihat sangat tegang padahal pembawaannya sehari-hari tenang dan berwibawa.
Rio, Bisma, Damar dan Hermawan sibuk beragumen. Bisma dan Rio terus saja memancing emosi Hermawan dan Damar. Pembicaraan mereka berempat terus berlanjut tanpa ada yang menyadari bahwa Mayang telah pergi dari sana.
Mayang pergi dari pavilliun menuju aula dibelakang rumah. Aula itu sangat besar dan letaknya di dekat dengan danau. Suara melodi piano yang berasal dari aula yang membuat Mayang datang ke tempat tersebut. Melodi itu membentuk simponi yang indah, iramanya seakan-akan menyentuh hati dan mengisih kekosongan di dalam sana.
Ia melihat laki-laki berumur sekitar 28 tahun duduk bermain piano dengan setelan kemeja hijau dan celana hitam. Laki-laki tersebut terlihat sangat tampan saat ia menggerakkan jari-jarinya di atas piano, ekspresinya seakan menggambarkan perasaan yang tertuang dalam tiap not yang ia mainkan. Jari-jarinya sangat terampil menari di atas tuts hitam dan putih. Permainan yang sangat hebat, melodi yang indah dan wajah yang memukau bersatu dengan pemandangan danau yang sangat indah. Tapi, ada satu hal yang kurang disana.
Mayang melangkah masuk ke dalam aula. Laki-laki tersebut menghentikan permainan pianonya saat ia mengetahui kedatangan Mayang. Mayang pun berhenti berjalan, ia kebingungan harus berkata apa saat ditanya nanti. Laki-laki itu pun menatap tajam Mayang, ia berdiri dan berjalan menghampiri Mayang. Perlahan Mayang berjalan mundur karena tidak tau harus memberikan penjelasan apa dan bagaimana ia bisa sampai di tempat tersebut.
“Kamu siapa?” Laki-laki itu mulai bertanya saat Mayang sudah terpojok. Ia memojokkan Mayang dengan kedua tangannya. Mayang terjebak di tengah antara tangan kanan dan tangan kiri laki-laki tersebut.
“Aku Mayang anak Pak Bambang. Aku datang untuk mengundang seluruh keluarga Paman Doni ke acara ulang tahunku” Mayang menjawabnya sambil mencari cela untuk keluar dari keterpojokannya.
Kecanggungan Mayang hilang saat mendengar teriakan dari depan aula “Kak Bram!” Bisma, Rio, Damar dan Hermawan datang bersama. Mereka terkejut melihat si kelinci Mayang yang malang diterkam oleh si serigala Bram.
Bram tersenyum melihat ekspresi mereka berempat. Ia mendekatkan wajahnya ke Mayang dan berkata “Aku akan datang ke pestamu”, Bram mencium punggung tangan Mayang sebelum ia pergi meninggalkan aula.
“Mayang, kamu baik-baik saja?” Damar berlari mendekati Mayang
“Apakah dia melakukan sesuatu kepadamu?” Hermawan pun ikut khawatir setengah mati.
“Aku baik-baik saja kak, apakah kakak mencariku?” Mayang mencoba mengendalikan perasaannya agar kedua kakaknya tidak terlalu khawatir.
Damar dan Hermawan merasa lega karena Mayang baik-baik saja. Setelah itu Mayang mendapat teguran dari Damar dan ocehan panjang dari Hermawan. Diantara semua anak Paman Doni, Bram lah yang paling berbahaya dan perlu diwaspadahi. Setelah lelah memberi ceramah kepada Mayang, mereka bertiga kembali pulang.
Hari-hari selanjutnya berjalan seperti biasa. Mayang mulai bosan menunggu di rumah. Semua bukunya telah habis ia baca. Ia ingin sekali bermain keluar tapi kakaknya sedang tidak ada di rumah. Mereka sibuk dengan kegiatan mereka. Akhirnya Mayang memutuskan untuk pergi keluar bersama temannya.
Mayang dan temannya pergi menuju kafe di kota. Kafe itu baru saja di buka dan ramai pembeli. Mereka ingin mencoba pesan makanan dan minuman di sana. Kafe yang sangat unik, dekorasi ala kerajaan inggris, pembeli disambut oleh pramusaji yang tampan dan cantik, lalu makanan dan minumannya berkarakter lucu dan imut. Setelah dari sana, mereka pergi ke toko buku untuk berbelanja buku. Buku apapun yang terbaru dan sedang populer saat itu.
Pukul 12 siang Mayang pulang ke rumah, ia harus berada di rumah atau kedua kakaknya akan khawatir. Ia belum memberitau siapapun kalau ia ingin pergi keluar rumah. Saat tiba di rumah, ternyata di depan rumahnya ada Rio.
“Kamu, ada perlu apa?” Mayang terkejut dengan kedatangan Rio
“Tidak ada, aku hanya ingin mengajakmu pergi ke taman hiburan” Rio gugup saat berbicara dengan Mayang.
“Ah, maaf mungkin lain kali saja. Aku sudah pergi keluar bersama temanku” Mayang ingin sekali pergi ke taman hiburan tapi kedua kakaknya memperingatkannya untuk tidak terlalu dekat dengan anak-anak Paman Doni.
Setelah berbelanja buku, hari-hari yang ia lalui terasa sangat cepat. Ia tidak menyangka bahwa nanti malam usianya sudah genap 17 tahun. Itu bearti saatnya ia bertemu dengan cahaya misterius dan mengetahui siapa dirinya yang sebenarnya.
Saat malam datang cahaya itu kembali muncul, cahaya itu masuk ke dalam kamar Mayang. Beberapa saat kemudian cahaya itu berubah menjadi orang yang ia kenal.
“Nenek Pon?” Mayang terkejut tidak percaya bahwa cahaya misterius tersebut adalah Nenek Pon.
“Nak, sesuai janjiku. Aku akan menunjukkan siapa dirimu yang sebenarnya. Sekarang pegang tanganku” Nenek Pon mengulurkan tangan dan menutup matanya.
Mayang di bawah ke tempat ia tercipta. Danau yang selalu muncul di mimpinya. Beberapa saat kemudian ada bidadari turun ke danau untuk mandi. Wajahnya sangat sedih, sepertinya dia sangat kesepian. Saat berendam di danau, bidadari itu menggunakan kekuatannya untuk membuat teman dari gelembung sabun. Gelembung-gelembung itu bermain dengan riang bersama bidadari tersebut.
Meskipun gelembung itu bergerak karena kekuatan bidadari, tapi gelembung tetaplah gelembung. Waktunya sangat singkat untuk tidak meletus. Gelembung-gelembung itu pun satu per satu hilang. Bidadari itu sedih dan kembali terbang ke langit. Tapi di dekat danau itu ada satu gelembung yang belum meletus.
Nenek Pon adalah penjaga hutan yang tidak sengaja menemukan gelembung tersebut. Gelembung itu segera memohon pertolongan kepadanya agar hidupnya diperpanjang. Nenek tersebut menyetujui permintaanya tapi dengan syarat. Gelembung tersebut setuju apapun syaratnya dan terciptalah gadis kecil yang kini bernama Mayang. Nenek Pon memberikan kekuatan hutan kepada gadis tersebut. Kekuatan tersebut bersinergi dengan kekuatan bidadari yang sudah tertanam sebelumnya di dalam gelembung.
Setelah mengetahui siapa dirinya dan kekuatan yang ia miliki, Mayang sangat bahagia. Tapi, Mayang juga harus menyiapkan diri untuk menerima konsekuensi dari perjanjian yang ia buat dengan Nenek Pon. Hari esok dan seterusnya akan menjadi hari bagi Mayang untuk bertahan hidup dan menikmati hidup, karena waktunya Mayang dihitung mundur sejak usianya 17 tahun.
“Terima kasih nek, berkat nenek aku bisa hidup lebih lama, bertemu dengan Pak Bambang sekeluarga, merasakan kehangatan kasih sayang keluarga dan merasakan banyak hal yang menyenangkan” Mayang tersenyum bahagia
“Tak usah berterima kasih, karena yang kulakukan adalah sebuah kontrak yang kau buat denganku. Seperti yang kita sepakati dalam perjanjian, saat waktumu berakhir, tubuhmu akan musnah, semua emosi yang kau dapat selama hidup akan jadi milikku dan kamu akan terlahir kembali secara terus menerus dengan hidup dalam kekosongan. Tapi, jika kehidupanmu habis sebelum waktunya maka kamu hanya akan berakhir tanpa terlahir kembali.” Nenek Pon memunculkan kertas kontrak antara Mayang dengan dirinya.
“Oh ya, bijaklah dalam menggunakan kekuatanmu” Setelah berkata demikian Nenek Pon kembali menjadi cahaya dan pergi menghilang di kegelapan malam.
“Jika aku boleh memilih aku memilih untuk hidup selamanya bersama keluargaku saat ini. Tapi itu adalah keinginan yang serakah. Perjanjian tetaplah perjanjian jadi aku harus menepatinya. Meskipun aku takut harus terlahir kembali dengan hidup dalam kekosongan. Kehidupan yang membuat orang hidup merasa tak hidup. Parahnya kehidupan yang menyiksa itu akan terus terulang setiap kali aku dilahirkan kembali” Mayang merenungi kata-kata yang diucapkan Nenek Pon kepadanya. Ia duduk di dekat cendela dan menatap keluar cendela.
Setidaknya di kehidupan ini Mayang memiliki kehidupan yang luar biasa dan keluarga yang begitu hangat. Kehangatan kasih sayang dari seorang ayah dan kedua kakak laki-laki. Mayang pun tertidur lelap ketika mengenang kehangatan keluarga yang ia miliki sekarang ini. Biarkan takdir menjalankan apa yang seharusnya terjadi, biarkan waktu berjalan sesuai saatnya. Yang terpenting adalah menikmati apapun yang terjadi, mensyukuri apa yang telah didapat dan menghargai apa yang telah dimiliki.
ᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥᴥ
ns 15.158.61.42da2