#18
Mbak Laila
2847Please respect copyright.PENANAstSBMgOQQk
Ah, sial! Belakangan ini aku punya pengalaman bercinta yang aneh. Setelah dapat waria saat open BO, barusan aku malah bercinta dengan Mbok Yem, seorang nenek-nenek tukang pijat, yang sebenarnya masih ada hubungan saudara.
Selepas pijat dan ML dengannya, kuberikan uang lebih pada Mbok Yem. Sekalian aku bilang untuk merahasiakan kejadian ini. Jangan sampai dia cerita ke siapapun, apalagi sampai ke ibuku. Bisa malu aku. Ibu juga pasti marah besar atas kejadian ini.
Ibu pasti menyalahkanku, kenapa aku sampai menyetubuhi Mbok Yem. Padahal, Mbok Yem yang memulai dan memancingku. Hingga aku ikut terbawa suasana. Nafsuku menutupi mataku, penisku juga buta, tak peduli memek nenek-nenek, diterobos saja.
Mbok Yem kuakui pintar bikin aku sange, hingga akhirnya aku juga tak mau tanggung. Kutuntaskan sampai aku klimaks. Yang penting sudah lega.
“Le, ini kok banyak uangnya?” tanya Mbok Yem saat itu.
“Iya mbok, gak apa-apa. Tolong jangan cerita ke siapapun ya mbok, soal ini,” pintaku.
“Iya le, tenang saja. Ini jadi rahasia. Kalau besok-besok mau pijat lagi, bilang aja ya,” ucapnya.
“Iya mbok,” kataku. Dalam hatiku, aku tak ingin lagi pijat dengannya. Aku tak mau hal ini terulang lagi. Apalagi sampai ini kejadian ini didengar orang lain, ditaruh dimana wajahku.
Setelah pijat itu, Mbok Yem langsung pulang.
Aku pun keluar kamar, tak kulihat ibu. Rumah sepi. Aku ke kamar mandi untuk membersihkan buang air kecil dan membersihkan penisku.
Di dalam kamar mandi, kudengar ada ada yang mengetuk pintu. Aku pun bergegas, dan segera keluar ke kamar mandi.
Tok. Tok.. Tok.. “Assalamualaikum,” kudengar suara perempuan.
Aku kemudian berjalan ke depan. Aku kaget, saat mengetahui ternyata perempuan muda dan pakai kerudung yang datang. Sedangkan aku, hanya memakai calana kolor saja. Saat dia melihatku, dia langsung buang muka, malu.
“Maaf mbak, bentar ya. Aku berlari ke kamar untuk memakai baju. Kemudian kembali.
“Iya mbak, cari siapa?” tanyaku.
“Budhe Maria ada?” dia mencari ibuku.
“Lagi keluar mbak? Ada perlu apa mbak? Saya sampaikan,” kataku.
“Oh ya mbak, silahkan masuk,” kataku, karena dia masih berdiri di depan pintu.
“Sudah mas, bentar aja, ini mau ngantar baju Budhe Maria. Kemarin sudah selesai dijahit,” ucapnya, sambil menyerahkan tas kresek warna putih berisi baju ke aku.
“Iya mbak, terimakasih, nanti saya sampaikan,” jawabku, sambil menerima baju tersebut.
“Terimakasih mas. Assalamualaikum,” ucapnya sambil menundukkan kepala kemudian ia pergi.
“Waalaikumsalam,” jawabku, sambil terus kulihati dia, menuju ke motornya, lalu pergi.
Aku kemudian masuk ke kamarku lagi. Kucek ponselku dan membalas satu per satu pesan yang masuk. Kemudian aku kebayang perempuan yang barusan datang ke rumah. Perempuan muda, usianya mungkin 20 tahunan. Jauh usianya dengan aku.
Dia sangat cantik, pandangannya teduh, wajahnya putih bersih. Dia seperti perempuan yang pendiam dan pemalu. Siapa dia? tanyaku dalam hati. Kenapa aku secepat ini terpesona dan tertarik ke dia.
Beberapa saat kemudian, kudengar ibu datang. Aku kemudian bergegas keluar dari kamar.
“Sudah pijatnya?” tanya ibuku.
“Sudah bu,” jawabku.
“Mbok Yem langsung pulang?”
“Iya bu,” jawabku lagi.
“Gak kamu antar pulang tadi?” tanya ibuku.
“Gak bu, rumahnya kan gak jauh dari sini bu,” ucapku.
“Iya gak apa-apa, kasihan sudah tua, harus jalan kaki,” kata ibu.
Dalam hatiku, andai ibu tahu kelakuan Mbok Yem, tua-tua tapi masih beringas di ranjang. Hehe.
“Ibu ini ada yang ngantar baju tadi,” sambil kuserahkan baju itu ke ibu.
“Oh ya, sudah jadi ya. Ini ibu jahit kain yang didapat bapakmu dari tempat kerja,” kata ibu.
Aku sebenarnya pingin tanya ke ibu, siapa perempuan muda yang tadi ngantar baju ibu. Tapi aku malu, karena usiaku dan perempuan tadi kayaknya cukup jauh. Nanti ibu malah ngomong yang aneh-aneh.
“Bapak biasanya pulang jam berapa bu?” tanyaku.
“Gak mesti kadang sore, kadang malam kalau lembur,” jawab ibu.
Aku pun kembali ke kamar, aku ingin beristirahat. Tubuhku capek.2847Please respect copyright.PENANA4RosIm08Ta
2847Please respect copyright.PENANA8DKLvFDJtr
***
2847Please respect copyright.PENANAeqU3ncB2Fw
Keesokan harinya, saat pagi tiba, ibu menyuruhku ke rumah Mbak Laila, dia sudah tua sih, usianya mungkin sudah masuk 50 tahun. Namun karena aku sejak kecil manggilnya mbak, jadi kebawa terus. Dia sebenarnya famili jauh, namun sering main ke rumah, jadi dekat dengan keluargaku. Tapi aku sudah lama, tidak bertemu dengannya sejak aku merantau ke luar kota.
Ibu menyuruhku mengantar uang ke Mbak Laila. Entah itu uang apa, aku tidak tanya. Rumahnya di kecamatan sebelah. Sekitar 10 menit saja naik motor aku sudah sampai di rumahnya.
Mbak Laila ini kulihat adalah perempuan yang taat dalam beragama. Ia selalu memakai gamis panjang dan kerudung yang panjang ke manapun. Namun sayangnya, ia sempat ada masalah keluarga. Ibu pernah cerita, Mbak Laila bercerai dengan suaminya. Entah gara-gara apa, ibu tidak cerita detail ke aku.
“Assalamualaikum,” salamku, sambil kuketuk pintu rumah Mbak Laila.
“Waalaikumsalam. Bentar,” jawabnya.
Tak lama berselang kulihat Mbak Laili keluar sambil merapikan kerudungnya.
“Loh, Aji ini ya? Kapan pulang? Ayo masuk” tanyanya.
“Sudah dapat 3 harian mbak,” kataku kemudian masuk ke dalam rumahnya.
“Ini mbak, mau ngantar uang, titipan ibu,” kataku, sambil menyerahkan uang di dalam amplop.
“Terimakasih ya,” Mbak Laila menerima uang itu.
“Gitu aja ya mbak, aku pulang dulu,” ucapku, pamit.
“Bentar, duduk dulu, aku buatkan minum dulu,” katanya.
“Gak usah mbak, aku buru-buru,” alasanku, biar bisa segera pulang.
“Mau ke mana, lama gak ke sini kok buru-buru. Ayo duduk dulu. Aku buatin minum dulu,” jawabnya.
Akhirnya, karena tidak enak, aku duduk di kursi. Sementara Mbak Laila ke belakang untuk membuatkan minum. Sambil menunggunya, kecek ponselku, membalas pesan yang masuk.
Aku sudah lama tidak ke sini. Mungkin saat SMP, terakhir aku ke sini. Kalau Mbak Laila sering ke rumah. Tapi aku terakhir ketemu dia, beberapa tahun yang lalu, saat dia ke rumah.
Tak berselang lama, Mbak Laila datang, ia membawakan teh hangat untuk aku.
“Kok repot-repot sih mbak,” kataku basa-basi.
“Udah, ayo diminum kamu lama gak ke sini, kok buru-buru,” jawabnya.
“Kata ibumu, kamu kerja di Surabaya ya? Lancar kerjanya? Sudah sukses ya?” tanya Mbak Laila.
“Syukurlah mbak,” jawabku singkat.
“Terus kok belum nikah Ji?” tiba-tiba tanyanya ke arah sana. Aku pun malas, jika ada pertanyaan itu lagi.
“Mbak juga kok belum nikah lagi? Hehe?” aku balik tanya, sambil bercanda.
“Wah kamu nih Ji, ditanya malah balik tanya. Udah ngobrol yang lain aja kalau gitu,” jawabnya.
“Mangkanya mbak, jangan tanya itu. Aku ya pingin nikah, tapi belum ketemu jodohnya saja,” jawabku.
“Mbak, gak ada niatan nikah lagi? Hehe,” tanyaku bercanda.
“Enggak Ji. Udah jangan bahas itu,” katanya.
“Mbak sih, tanya-tanya dulu. Haha,” jawabku.
“Anak mbak udah besar ya?” jawabnya.
“Iya, anakku yang cewek sudah kuliah. Yang cowok masih SMP,” jawabnya.
“Yang cewek tadi pamit ke rumah teman-temannya. Yang cowok nanti siang pulang sekolahnya,” tambahnya.
“Ohh, iya mbak,” ucapku.
“Mbak kayaknya pilek ya?” tanyaku.
“Iya Ji, beberapa hari ini, gak enak badan. Gak bisa ke mana-mana. Ini mulai mendingan,” jawabnya.
“Badan juga pegel-pegel,” kata Mbak Laila.
“Pijat aja mbak,” jawabku.
“Iya pinginnya, tapi cari tukang pijat perempuan yang bisa dipanggil ke rumah belum ketemu. Kalau laki-laku aku gak mau,” katanya.
“Ada tukang pijat perempuan langgananku, aku yang harus ke sana. Besok-besok aja, lagi malas keluar kalau belum fit gini,” ucapnya.
“Oh, ya minta antar anaknya mbak,” jawabku.
“Iya besok mungkin, kamu maju bantu mijitin aku Ji?” tanyanya bikin aku kaget.
“Lah, akun kan laki-laki mbak. Hehe,” kataku. Sebenarnya malas jika harus dimintai tolong mijat. Aku sudah pingin pulang.
“Aku juga gak bisa mijat mbak. Haha,” jawabku lagi.
“Kita kan masih saudara Ji, gak apa-apalah,” jawabnya.
“Pijit pundak aja Ji, bentar aja. Pegel-pegel ini,” lanjutnya.
Aduh, Mbak Laila maksa. Tapi kasihan juga ya.
“Oke mbak, bentar aja ya,” jawabku.
“Iya,” katanya.
Aku pun berdiri, menuju ke ke kursi tempatnya duduk.
“Di kamar aja Ji, nanti dilihat orang gak enak,” jawabnya.
Aku nurut saja. Kemudian Mbak Lalila masuk ke kamarnya. Aku membuntutinya dari belakang. Mbak Laila naik ke atas ranjang lalu duduk.
“Ini Ji, pundak kanan yang paling sakit,” Mbak Laila menunjuk pundaknya untuk segera dipijat.
Aku pun ikut naik ke atas ranjang, lalu berada di belakangnya. Mulailah tanganku memijatnya. Kupijat dengan cara seadanya.
“Gini ya mbak mijatnya, aku gak bisa mijat,” kataku, sambil tanganku memijat pundak kanan dan kirinya.
“Iya, gitu aja udah enak Ji,” jawabnya.
Sambil memijit, tiba-tiba saja kuperhatikan tubuh Mbak Laila. Tubuh Mbak Laila ini agak bongsor, namun tidak terlalu gemuk lah. Payudaranya nampaknya juga besar, karena meskipun tertutup gamis dan kerudung panjangnya, tetap terlihat menonjol.
Saat memijatnya, pikiranku jadi ke arah yang aneh-aneh.
“Cuma di bagian pundak aja ini mbak?” tanyaku setelah beberapa menit memijat pundaknya.
“Bisa turun di punggung Ji, di situ juga sakit,” jawabnya.
Tanganku pun beralih ke punggungnya. Kupijat-pijat punggungnya dengan kekuatan yang sedang saja.
“Kurang keras apa pas saya mijitnya mbak?” tanyaku.
“Udah cukup, segini saja,” jawabnya.
Tambah lama, pikiran kotorku bertambah. Kenapa ku tiba-tiba mulai terangsang saat memijat Mbak Laila. Berdua di kamar dengannya, setan seperti berbisik pada telingaku untuk melakukan hal aneh-aneh padanya.
Apalagi, aku teringat jika Mbak Laila sudah lama menjanda. Tapi aku berusaha tepis pikiranku, bagaimana jika nanti dia marah dan lapor ke ibuku, bisa habis aku.
Tapi sial, sepertinya bisikan setan lebih kuat. Tanganku kini mulai bergeser, memijat pinggang kanan dan kirinya, tanpa diminta Mbak Laila. Hal ini membuat tubuh Mbak Laila seperti tersentak, saat aku mulai menyentuh pinggangnya. Antar dia geli atau kesakitan. Tapi sebenarnya, aku tak terlalu kuat memijatnya. Aku hanya menekan pelan.
“Sakit mbak?” tanyaku memastikan. Dan aku tak ingin dia curiga dengan maksudku.
“Geli Ji,” jawabnya.
“Kalau geli di sini, tandanya lama tidak disentuh laki-laki mbak. Haha,” jawabnya.
“Kamu ini ada-ada saja. Emang sudah lama Ji. Haha. ” jawab Mbak Laila, ikut tertawa kecil.
Aku pun terus menggerakkan tanganku. Kali ini ku kurangi kekuatan pijatanku, lebih seperti meraba pinggangnya. Mbak Laila pun berkali-kali menggerakkan tubuhnya saat kuraba pinggangnya.
“Geli mbak? tanyaku lagi.
2847Please respect copyright.PENANAfzciBdjuw9
***
2847Please respect copyright.PENANAUYVQ75XgRz
#19
Geli Jadi Nikmat
2847Please respect copyright.PENANALPHhbP10ZX
Mbak Laila masih tak menjawab pertanyaanku. “Geli mbak?” kutanya lagi. Tanganku kini sudah tak lagi memijat, tapi benar-benar meraba pinggangnya yang cukup lebar. Ukuran pinggul yang wajar bagi seorang ibu-ibu berusia 50 tahun.
“Ya geli Ji, kalau digitukan. Bukan mijit itu,” jawabnya, sambil pinggangnya terus bergerak akibat sentuhanku.
“Mau yang geli lagi?” tanyaku, aku sedikit berani, melihat responnya saat kuraba pinggangnya.
Tanpa menunggu jawabannya, tanganku kini berada di perutnya, kemudian mengelus-ngelusnya. Aku seperti memeluknya dari belakang. Dadaku kini menempel di punggungnya.
“Surut mijit punggung, malah sekarang elus-elus perutku kamu Ji,” katanya.
Kepalaku dekat dengan telinganya yang masih terbungkus kerudung. “Geli apa enak mbak?” bisikku di telinganya.
“Apa sih, kamu Ji,” ucap Mbak Laila. Ia tak melarangku. Tanganku masih terus mengelus perutnya.
Mbak Laila nampaknya benar-benar sudah lama tidak disentuh laki-laki. Ia membiarkan aku memeluknya dan tanganku terus meraba-raba perutnya yang agak buncit.
“Mbak, mau lebih dari ini ta?” tanyaku dengan berani, sambil tersenyum.
Mbak Laila diam saja. Antara dia mau tapi malu atau cukup sebatas ini saja.
“Kalau mbak gak mau, ya sudah mbak, kuhentikan. Aku takut mbak marah kalau kuteruskan,” kataku.
Mbak Laila masih terdiam. Sepertinya dia berpikir panjang untuk menjawab. Aku pun menghentikan gerakanku. Kubiarkan kedua telapak tanganku berhenti di atas perutnya. Akan kutunggu jawabannya. Aku tidak mau beresiko, jika Mbak Laila ternyata tidak mau dan marah. Bisa bahaya, apalagi sampai lapor ke ibunya. Juga bisa didengar saudara lainnya, malah nambah masalah.
“Tapi jangan cerita ke siapa-siapa ya soal ini Ji. Ini sebenarnya tidak boleh dilakukan kita,” katanya.
Jawaban dari Mbak Laila membuka pintu bagiku untuk melakukan lebih padanya.
“Aku tau mbak lama tak disentuh laki-laki, biarkan aku membantumu ya mbak,” kataku.
“Tapi bener ya Ji, jangan cerita ke siapa-siapa. Ini dosa besar Ji,” katanya. Mbak Laila sepertinya masih ada rasa bimbang dan ketakutan.
“Iya mbak, ini jadi rahasia kita,” jawabku.
Tanganku pun langsung berpindah, meraih kedua payudaranya yang terbungkus gamis dan BH. Benar, payudaranya begitu besar. Kuraba pelan-pelan dan sesekali kuremas. Wow, benar-benar besar dan kenyal. Payudaranya masih berisi. Tak berhenti tanganku terus meremasnya.
Kulihat dari samping kepalanya, mata Mbak Laila merem-melek. Ia sedikit mendongakan kepalanya. Ia terbuai oleh sentuhanku sepertinya.
“Mbak,” panggilku. Mbak Laila lalu menoleh ke kiri, karena kepalaku ada di sebelah kirinya. Ia menatapku, tatapannya seperti pasrah.
Kudekatkan wajahku ke wajahnya. Mbak Laila tetap diam, tak menjauh. Lalu kutempelkan bibirku ke bibirnya. Mbak Laila diam saja. Kegerakkan bibirku, aku mulai menciumnya. Mbak Laila hanya sedikit membuka bibirnya. Bibirnya tak bergerak, pasir. Hanya aku yang memainkan bibirnya.
Kurasakan bibirnya kenyal, lalu kumainkan lidahku. Kujulurkan lidahku dan menjilatinya. Mbak Laila masih pasrah. Sementara tanganku tak berhenti terus meraba payudaranya.
“Mbak, lepas kerudungnya ya,” kataku sambil menarik kerudung hitam yang dipakai.
“Jangan,” tangan Mbak Laila menahan kerudungnya, jangan sampai lepas.
“Biar gini aja, nanti takut jika tiba-tiba anakku atau orang datang ke rumah,” ucapnya.
Aku menurut saja. “Gamisnya juga gak dilepas mbak,” kataku.
“Apalagi gamis, jangan,” katanya, takut.
Aku kembali menurut, lalu kuminta Mbak Laila untuk rebahan. Ia menuruti kemauanku. Lalu kusibak gamisnya pelan-pelan dari bawah hingga di atas dadanya.
Mbak Laila diam saja. “Kalau diginiin aja boleh kan mbak, nanti jika ada orang tinggal nurunin aja,” ucapku.
Mbak Laila mengangguk saja.
Dan wow, pemandangan yang indah kini ada di hadapanku. Kulit putih bersih, payudara besar yang masih terbungkus BH, dan vagina tembemnya yang terbungkus CD.
Kuturunkan BH Mbak Laila hingga di bawah payudaranya. Mataku tak beranjak dari sana. Benar-benar besar dan masih padat.
“Gak apa-apa ya mbak dibuka? Aku kembali bertanya. Mbak Laila masih diam saja, seperti pasrah apa yang kulakukan.
Kedua tanganku mulai merabanya. Begitu halus kulit payudaranya. Lalu kumainkan puting hitamnya. Kupilin-pilin. Tubuh Mbak Laila mulai bergerak, sepertinya terangsang.
“Geli mbak? tanyaku. Mbak Laila hanya mengangguk saja.
Kini berganti, lidahku yang bermain. Mulai menjilati sekitar putingnya. Kemudian baru fokusku di putingnya. Kukenyot dan kusedot dengan cukup keras. Kemudian kuberikan gigitan kecil di putingnya.
“Sssshhh,” suara Mbak Laila, antara mendesah atau kesakitan. Lalu kutatap wajahnya sambil tersenyum. Ia jadi salah tingkah dan ikut tersenyum lalu mencubit lenganku.
“Udah besar kok masih suka nyusu Ji,” katanya.
“Ayo Ji, keburu anak-anak datang,” ucapnya.
Lalu kubuka resleting celanaku. Kupelorotkan celana dan CD-ku, penisku langsung menantang. Sejak tadi sudah berdiri tegak, aku sudah sangat bernafsu.
Maa Mbak Laila tak berhenti melihat penisku yang tegang.
“Kenapa mbak, besar ya? Besar mana sama punya suami mbak dulu? Hehe” ucapku sambil bercanda.
Mbak Laila pun kembali salting dan tersenyum. “Udah jangan tanya itu Ji,” katanya.
Kemudian kupegang penisku dan kuarahkan ke mulutnya. “Mbak, tolong diemut ya,” pintaku. Namun Mbak Laila menggelengkan kepala, menolak.
Ah sial, aku tak bisa memaksanya. “Kenapa mbak? tanyaku sambil tertawa.
“Gak boleh Ji itu dimasukkan ke mulut,” katanya. Aku tak bisa memaksanya. Jadi selama ini Mbak Laila tak pernah menyepong penis suaminya.
Kini aku naik ke atas dada Mbak Laila, penisku ketaruh di belahan payudaranya, lalu kujepir. Uhhh, rasanya nikamt banget dijepit payudara sebesar ini.
Setelah itu, mulai kumaju-mundurkan penisku. Benar-benar nikmat. Aku berharap sudah cukup sampai di sini bisa mencapai klimaks. Aku tak mau ML dengan Mbak Laila. Aku kasihan sama dia. Dia orang yang taat, tapi sudah kibawa ke permainan sejauh ini.
Beberapa menit aku hanya mencumbu payudaranya. Biar nikmat, namun belum kurasakan tanda-tanda akan mencapai klimaks.
“Uhhhh,” aku mendesah. Sentuhan kulit payudaranya yang lembut terasa banget di penisku.
“Gini aja Jj?” tiba-tiba Mbak Laila bertanya.
“iya gini aja sampai keluar punyaku mbak,” jawabku.
“Oooooh” ujar Mbak Laila.
“Kenapa mbak? Mbak mau lebih lagi?” tanyaku.
Mbak Laila diam, tak menjawab.
“Emang boleh mbak kumasukin? tanyaku.
“Ini zina mbak, mbak gak nyesal nanti?” tanyaku lagi.
Aku sebenarnya juga sangat ingin menikmati vagina Mbak Laila, tapi jika teringat di sangat dekat dengan ibuku, aku jadi menahannya.
“Ini sudah dosa besar Ji. Sudah teranjut. Sudah zina sejak tadi,” kata Mbak Laila, langsung bikin aku terdiam. Aku jadi merasa bersalah.
“Maaf ya mbak, aku salah bikin mbak jatuh pada dosa besar ini,” ucapku.
“Udah Ji, sudah terlanjur dan terlalu jauh Ji. Cepat selesaikan, khawatir anak-anak datang,” katanya.
Aku beranjak dari atas tubuhnya. Aku pindah posisi di bawah kakinya. “Kulepas ya mbak?” tanyaku. Mbak Laila mengangguk.
Akhirnya CD berwarna putih itu ketarik, kepelorotkan sampai di kakinya. Wow, sungguh sangat indah pemandangannya. Vagina tembem dengan warna kecoklatan. Kemudian di sekitarnya ditumbuhi cukup banyak bulu.
Kudekatkan wajahku ke vagina Mbak Laila, kemudian kujulurkan lidahku ke bibir vaginanya.
“Jangan Ji,” ucapan Mbak Laila menghentikan aksiku.
“Kenapa mbak? tanyaku.
“Gak boleh Ji, mulut dipakai untuk itu,” kata Mbak Laila seperti memberikan dalil. Lagi-lagi aku harus menurutinya.
Aku pun menggunakan jemariku, mulai meraba-raba vagina Mbak Laila. Jariku bermain di bibir vaginannya. Kemudian jari tengaku pelan-pelan kumasukkan ke vaginanya.
Sambil kulihat wajahnya, bagaimana ekspresinya. Mbak Laila memejamkan matanya. Ia gigit bibir bagian bawah. Kepalanya sedikit mendongak ke atas. Sepertinya ia merasakan kenikmatan yang sudah lama tak dirasakannya.
Jari tengahku sudah masuk seluruhnya. Kemdian mulai kumaju-mundurkan jarinu. Kucolok-colok vagina Mbak Laila.
“Ahhh,” Mbak Laika mendesah kecil. Ia menahan suaranya. Namun masih terdengar di telingaku.
Jemariku terus mengobok-ngobik vagina Mbak Laila. Kurasakan vaginanya mulai basah. Pinggulnya terus bergoyang tak karuan.
Ku senang sekali, Mbak Laila terangsang. Ia menikmati sentuhan jemariku di dalam vaginananya. Nafsuku jadi semakin naik melihat respon tubuh Mbak Laila.
“Ahhhh,” Mbak Laila kembali mendesah. Kali ini sedikit lebih kencang dari tadi suaranya.
Sambil terus kuobok-obok vaginanya, kembali kulihat wajahnya. Aku berharap, ia yang meminta vaginanya dimasukin penisku
Namun Mbak Laila masih merem-melek dan mendongak ke atas. Kulihat ia menikmati sekali, setelah lama tidak mendapat sentuhan laki-laki. Sayangnya, laki-laki yang mencumbunya saat ini adalah orang yang salah. Laki-laki yang seharusnya tak melakukan ini padanya.
Tapi aku ingat kata Mbak Laila tadi, ini sudah terlanjur, sudah terlalu jauh. Jadi harus diselesaikan.
Mbak Laila akhirnya melihatku sedang menatapnya. Ia kembali salting. Aku tersenyum kepadanya. Mbak Laila ikut tersenyum.
Saat kami saling tatap, kuhentikan gerakan tanganku.
“Mbak, boleh dimasukan pakai ini? tanyaku sambil kupegang penisku.
Mbak Laila terdiam, tak menjawab. Namun ia melempar senyum padaku.
“Boleh dimasukin apa enggak mbak? aku kembali bertanya sambil ikut tersenyum.
“Kita sudah terlanjur melakukan dosa besar Ji. Jangan bertanya lagi,” jawabnya.
Mendengar jawabannya, aku pun tak ragu lagi. Aku tak menyangka momen ini akan terjadi. Momen dimana aku menyetubuhi Mbak Laila.
Kulepas CD Mbak Laila dari kakinya, yang tadi berada di lututnya. Karena aku tak bisa membuka lebar-lebar kakinya jika ada CS-nya tadi.
Kaki Mbak Laila sudah kubuka lebar-lebar, penisku mulai kuarahkan ke vaginanya. Kutempelkan tepat di atas bibir vaginanya. Lalu mulailah kugesek-gesekan. Uh, rasanya sudah nikmat sekali. Aliran darahku terasa lancar.
“Ahhh,” Mbak Lailah mendesah. Mendengar desahannya, aku makin semangat menggesek-gesek penisku di belahan vaginanya.
“Uhhhh,” aku ikut mendesah.
Akhirnya, ini saatnya. Kini mulai kutekan kepala penisku untuk masuk ke dalam vagina Mbak Laila......... Baca lanjutan ceritanya atau versi lengkapnya di:
2847Please respect copyright.PENANAN3nnIF3xrs
https://novelkita.online/sang-penjelajah-tubuh-wanita-full-chapter/2847Please respect copyright.PENANAl6WLE6sgnV
https://karyakarsa.com/Bacaya/perjalanan-asmara-aji2847Please respect copyright.PENANALEhf8y1o0x