Suara kokok ayam hutan terdengar nyaring di lereng Gunung Lawu, membelah keheningan yang menyelimuti pagi. Sinar matahari perlahan menelusup di antara pepohonan, menyapu lembut hamparan rumput hijau yang mulai merekah. Di sebuah pondok kayu sederhana, Mahesa, dengan tubuhnya yang tegap dengan tatapan tajam, sedang mempersiapkan alat-alat untuk bekerja di ladang. Di sampingnya, Savitri, istrinya yang tengah hamil, berdiri sambil memandang ke arah timur, seolah menanti sesuatu di balik cakrawala yang jauh.
"Apakah kau mendengar kokok ayam itu, Kakang?" tanya Savitri tiba-tiba, memecah kesunyian.
Mahesa tersenyum, mengangguk pelan. "Tentu saja, Savitri. Itu tanda hari baru dimulai. Kita harus bersyukur atas hari ini."
Namun, ada kegelisahan di mata Savitri. Sebagai seorang wanita yang dulunya dikenal sebagai pendekar tangguh, Savitri merasakan sesuatu yang terus menghentak di dalam dirinya—sebuah panggilan dari masa lalu yang selalu menghantui batinnya. Meski hidup damai di pegunungan, jauh dari hiruk-pikuk dunia persilatan, hatinya merindukan petualangan yang pernah menjadi bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
"Ada apa, Savitri?" tanya Mahesa lembut. Tatapannya penuh perhatian.
Savitri menarik napas panjang, pandangannya kembali ke arah cakrawala yang tampak tak berujung. "Aku... Aku merindukan dunia di luar sana, kakang. Mengembara berpetualangan mengarungi rimba persilatan. Kadang-kadang, aku ingin kita kembali seperti dulu—berkelana, menghadapi bahaya bersama-sama."
Mahesa terdiam sejenak, seakan mengerti apa yang tengah bergemuruh di hati istrinya. Ia meletakkan tangannya dengan lembut di bahu Savitri. "Aku tahu, Savitri. Aku pun merasakannya. Namun kini, kau sedang mengandung. Tanggung jawab kita bukan hanya pada diri kita sendiri, tapi juga pada calon buah hati kita."
Savitri menunduk, merasakan desiran halus di perutnya. Ada kehidupan lain di sana, tumbuh dalam keheningan. Meskipun kerinduannya pada petualangan begitu kuat, ia tak bisa mengabaikan kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung, dan ini adalah hal terpenting saat ini.
"Jika saja aku tidak hamil," ujar Savitri pelan seolah kepada diri sendiri, "mungkin aku sudah membujukmu untuk turun gunung dan kembali ke rimba persilatan. Aku merindukan pertarungan-pertarungan yang memacu adrenalin itu, seperti saat dulu aku bersama... bersama suamiku yang terdahulu."
Mahesa mengerutkan kening mendengar kata-kata istrinya, ternyata Savitri masih mengingat lelaki yang sangat dia benci karena sempat menjadi suami Savitri yang begitu dia cintai. Dalam hatinya dia mengutuk lelaki bernama Danar itu.
"Kakang, apakah kau tak pernah ingin kembali ke dunia persilatan?" tanya Savitri, kini suaranya lebih tegas.
Mahesa menatap jauh ke arah gunung yang menjulang kokoh di hadapan mereka. "Keinginan itu selalu ada. Namun ada saatnya bagi seorang pendekar untuk meletakkan pedangnya. Bukan karena takut, tapi karena tanggung jawab yang lebih besar."
Savitri terdiam, merasakan berat dari kata-kata suaminya. Tapi di sudut hatinya, ada keraguan—bisakah ia terus hidup dalam kedamaian ini sementara jiwanya masih menginginkan kegilaan dan ketegangan dunia luar?
Di kejauhan, suara angin bertiup kencang, seakan membawa bisikan rahasia dari dunia persilatan yang tak pernah benar-benar jauh dari mereka.
Dia yakin suaminya akan mau dan melupakan hasrat untuk menjauh dari rimba persilatan. Karena Savitri tahu benar bahwa suaminya itu begitu mencintainya dan akan mau menuruti segala keinginannya. Tapi untuk saat ini dia tetap menikmati kebersamaan dengan Mahesa suaminya.
Saat sedang berduaan di serambi rumah mereka yang terbuat dari bambu Mahesa dan Savitri mendengar dari kejauhan derap langkah kaki kuda.
“Kau dengar suara kaki kuda itu sayang?” tanya Mahesa untuk meyakinkan.
“Iya kakang.” Sahut Savitri.
“Sepertinya lebih dari dari satu ekor kuda.” Mahesa menduga-duga.
“Benar kakang. Siapa gerangan mereka?”
Suara derap kaki kuda itu semakin terdengar kuat dan riuh menandakan bahwa bukan hanya satu dua ekor kuda melainkan banyak dan mereka semakin dekat. Mahesa melompat menggunakan ilmu meringankan tubuh melesat ke atas pohon disamping rumahnya untuk melihat siapakah yang datang.
Dari kejauhan terlihat ada sekitar enam ekor kuda berlari dengan kecepatan sedang karena menyusuri jalan setapak di lereng gunung lawu ini. Melihat sekilas saja Mahesa sudah tahu siapa yang datang. Dia bernapas lega karena mereka bukan orang asing baginya.
“Savitri nampaknya ayahandamu sudah kangen sama kamu... hahahhah baru berapa bulan ditinggal dia tidak tahan rupanya berpisah dengan anak tercinta.”
“benar suamiku? Itu yang mau datang ayahanda?”
“Iya sayang..”
Tidak menunggu lama enam ekor kuda itu sudah ada di halaman rumah. Benar saja yang datang adalah Ki Wajrapani beserta dua orang muridnya dan satu orang lain yang dikenal Mahesa sebagai tokoh sepuh rimba persilatan Ki Jayataka. Mungkin dua orang lainnya itu murid dari ketua padepokan gunung Merapi itu.
“Sampurasun..” Sapa ki Jayataka.
“Rampes.... ayah, paman Jayataka dan paman-paman yang lain.. waduh tumben kesini.” Balas Savitri.
“Mari silahkan masuk ke gubuk kami, Ayahanda dan paman-paman sekalian.” Mahesa mempersilahkan mereka masuk.
“Hmmmmm Savitri akhirnya hamil juga!” Seloroh Ki Jayataka.
“Siapa dulu dong suaminya hehehhehe..” Sahut Ki Wajrapani.
Wajah Savitri memerah karena malu dan juga agak kurang senang dengan gurauan ayahnya yang sedikitnya menyinggung mendiang suami pertamanya Danar yang tak bisa membuat dia hamil. Tapi Mahesa dengan cepat bisa mencairkan suasana. Dengan ramah dia menyambut ayah mertua dan muridnya serta Ki Jayataka dan muridnya.
“Kedatangan kami kesini nak Mahesa karena ada masalah penting.”Ki Jayataka memulai pembicaraan.
“Wah masalah apa itu paman?”
“Ini soal kerajaan kita.” Ki Wajrapani menimpali.
“Ada apa dengan kerajaan kita ayah?” Savitri ikut bertanya.
“Kalian mungkin sudah tahu atau kalau belum tahu aku ceritakan kembali. Sejak dua tahun lalu Prabu Wijayakarana bertahta sejak itu pula patih Arya Weling mulai berulah. Dia yang sebelumnya saat Prabu Sanjayakala masih hidup tidak banyak tingkah sekarang sudah menjadi orang yang sewenang-wenang. Kekuasaannya bahkan melampaui raja.”
Mahesa dan Savitri terdiam mendengar penjelasan Ki Jayataka dengan seksama.
“Arya Weling memanfaatkan jabatannya sebagai patih untuk menindas rakyat dengan menaikan pajak. Dia juga menyingkirkan pejabat-pejabat lain yang berpihak pada rakyat. Celakanya dia mengangkat tokoh-tokoh jahat menjadi pelindungnya dan mereka sekarang sangat menguasai istana raja. Coba bayangkan tokoh semacam Ki Semar Mesum bisa jadi orang kepercayaan istana raja.”
Mahesa kaget mendengar nama ki Semar Mesum disebut. Bagaimana dia tidak akan kaget. Ki Semar Mesum adalah gurunya. Salah satu dari hanya segelintir orang yang mau menerima dia sebagai murid setelah terlunta-lunta memohon kesana kemari untuk sekedar diangkat jadi murid perguruan kecil sekalipun dia tidak diterima.
Dari penuturan Ki Jayataka berikutnya dia jadi tahu bahwa dengan adanya ki Semar Mesum disampingnya sebagai orang kepercayaannya patih Arya Weling menjadi berani. Di sisi lain raja tidak memiliki wibawa sama sekali. Prabu
Wijayakarana hanya mementingkan kesukaannya memperindah istana dan membangun bangunan megah lainnya. Dia juga suka dengan barang-barang mewah dari negeri-negeri jauh seperti negeri Tiongkok, Parsi dan Keling. Sang Raja menghambur-hamburkan uang kerajaan untuk kesenangannya itu.
Dengan keadaan itu Arya Weling memanfaatkan sikap raja untuk menaikan pajak agar keuangan kerajaan mencukupi hasrat sang Raja. Arya Weling dengan tangan kanannya Ki Semar Mesum memiliki kesenangan sendiri . Dengan memanfaatkan situasi bobroknya wibabawa raja untuk memuaskan hasrat mereka untuk berkuasa dan bermaksiat.
“Penindasan kerajaan terhadap rakyat sudah mulai menimbulkan perlawanan. Beberapa pendekar sudah membentuk pasukan perlawanan rakyat. Mereka bukan memberontak tapi membela rakyat.” Tutur Ki Jayataka.
Perlawan itu masih bersifat sendiri-sendiri diwilayah masing-masing. Makanya Ki Jayataka dan tokoh-tokoh utama rimba persilatan berusaha menyatukan gerakan itu. Selain mencegah gerakan itu berubah menjadi pemberontakan yang hendak merebut kekuasaan. Karena ki Jayataka dan banyak tokoh sepuh persilatan tetap mengakui Raja sebagai pemimpin rakyat dan wakil tuhan di bumi. Yang hendak dilawan adalah patih Arya Weling dan kelompoknya.
“Kami mengundangmu untuk ikut pertemuan kaum pendekar di tempatku Padepokan Gunung Merapi bulan depan tanggal sebelas.” Pungkas Ki Jayataka.
Mahesa tediam sejenak karena dia sudah terlanjur berniat untuk mengasingkan diri dari rimba persilatan. Untuk bertobat dan menjadi orang biasa saja. Karena cita-citanya memiliki Savitri telah tercapai membuat dia tidak memiliki keinginan lain selain terus dekat dengan istri tercintanya itu.
“Baik paman suamiku pasti akan hadir. Aku juga akan pergi menemani kakang Mahesa!” Ucap Savitri dengan semangat.
Mahesa hanya bisa diam mendengar jawaban istrinya yang mengambil keputusan sendiri tanpa persetujuannya. Dia juga tidak bisa membatalkan kata-kata istrinya.
***
Meski ada rasa sayang terhadap anak muda hilang ingatan yang dia beri nama Sembara itu tapi Andini si Bidadari Hati Beku menepis hasrat untuk lebih dari sekedar sayang. Apalagi usia mereka terpaut cukup jauh. Anak muda itu jauh lebih muda dari dia sebagai seorang perempuan. Hal ini memang kurang pantas bagi Andini untuk jatuh cinta pada lelaki yang jauh lebih muda..
Selama Andini kembali ke rimba persilatan sebagai Bidadari Hati Beku dia tidak pernah bergaul lagi dengan orang-orang. Hanya gurunya saja seorang nenek berusia sepuh yang dipanggil eyang Nipah yang dekat dengannya sebelum nenek itu meninggal dunia hampir dua tahun lalu.
Kini dia tinggal di bukit tawon ini bersama muridnya Sembara muda yang cakap, cekatan dan begitu patuh, dalam hati ia menjadi luar biasa menyayangi anak muda itu layaknya seperti menyayangi adik kandungnya. Meski terkadang dia tetap bersikap dingin saja seperti sikapnya selama ini yang dikenal orang sebagai Biadari Hati Beku.
Memang Andini sangat dingin dan terkadang kejam. Itulah yang membuat kekasihnya Sembara putra Lugina ragu untuk menikahinya meski mereka sudah sering bercinta. Karena Sembara dari masa lalunya itu berkali-kali melihat Anjani menghajar orang hanya karena kesalahan sepele. Bahkan bukan hanya sekedar menghajar tapi terkadang sampai membunuh orang hanya karena tersinggung. Bersambung
ns 15.158.61.48da2