Getaran tak henti dari ponselnya menganggu tidur siang Keira. Dia mendecak kesal karena harus kembali terjaga saat baru saja terbang ke alam mimpi. Dengan mata masih tertutup sempurna, dia meraba sisi kanan tempat tidurnya mencari benda berukuran 5 ̎ itu. Tanpa melihat siapa si pengganggu acara tidur siang yang hanya bisa dia lakukan saat weekend, dia menyentuh dan menggeser tombol hijau di layar lantas menempelkan ponsel tersebut ke telinga kirinya.
Hening. Tak terdengar suara dari si penelpon maupun Keira.
“…Halo? Siapa nih? Jangan iseng deh,” ucap Keira sudah siap mematikan ponsel dan meletakkannya kembali di sisi tempat tidur.
“Eh sori lo lagi tidur ya, Kei?” seketika Keira terlonjak mendengar suara si penelpon. Dia segera menjauhkan ponselnya dari telinga. Dugaannya tepat. Itu suara Indra.
“Eh… Indra… sori aku nggak lihat siapa yang nelpon barusan,” Keira sontak bangun dari tidurnya. Rasa kantuknya sudah menguap entah kemana. “Ada apa, Ndra?”
“Tadinya gue mau ngajak jalan soalnya gue lagi ada di kompleks rumah lo. Tapi sori malah jadi ganggu lo tidur.”
“Eh nggak ganggu, kok. Mau jalan kemana?” tanya Keira antusias.
“Ya paling makan sama ngobrol-ngobrol. Setengah jam lagi gue ke rumah lo. Waktunya cukup kan buat lo siap-siap?”
Keira mengangguk tetapi langsung menyadari kebodohannya. Mereka sedang berbicara di telpon sekarang jadi mana mungkin cowok itu bisa melihat apa yang dia lakukan. “Iya, cukup kok Ndra.”
Keira teringat kembali peringatan kedua sohibnya untuk menghindari cowok itu, tapi salah satu sudut hatinya mengatakan dia tak ingin menjauhinya. Perasaan dan ingatannya mengenai cowok itu saat kelas tujuh dulu masih membekas di hatinya. Ajakan Indra barusan seperti mimpi yang bahkan tak pernah dia bayangkan saat kelas tujuh dulu.
Keira segera menyambar handuk yang berada di jemuran dan bergegas menuju kamar mandi sambil bersenandung kecil. She’s got a date!
Setengah jam kemudian Keira sudah duduk tegang di teras. Kedua matanya tak berhenti melirik ke kiri dan kanan mencari sosok Indra yang seharusnya sudah sampai. Lima menit kemudian sebuah motor hitam berhenti di depan gerbang rumahnya. Keira segera menghampiri si pengendara dengan senyum ceria terlukis di wajahnya.
Indra tak mengatakan apa-apa, bahkan cowok itu sama sekali tidak membuka helm full-face-nya. Dia hanya menyerahkan helm pada Keira dengan wajah datar. Sesaat Keira tertegun dengan sikap cowok tersebut, sangat kontras dengan dirinya. Dirinya tiba-tiba merasa bodoh karena menganggap ajakan pergi berdua ini spesial. Dia segera membunuh benih-benih ekspektasi yang mulai menjalari hati dan pikirannya. Dia tidak boleh berharap lebih jika tidak ingin menyakiti hatinya sendiri.
Cowok itu menghentikan motornya di parkiran salah satu restoran fast-food di daerah Dago. Wajahnya masih datar bahkan cenderung menjadi dingin dan kaku. Satu kata pun tak terdengar terucap dari bibir cowok itu. Keira merasa ada yang berbeda darinya, padahal tadi saat berbicara di telpon mereka terlihat hidup.
Indra menyuruh Keira untuk menunggu di salah satu meja yang berada di luar restoran. Cowok itu masuk ke dalam untuk memesankan keduanya tanpa bertanya terlebih dahulu apa yang ingin Keira makan. Keira awalnya sudah siap untuk mengatakan sesuatu, tapi melihat tatapan tajam dari kedua manik hitam cowok itu, tubuhnya kembali merosot ke kursi.
Salah satu meja yang cukup jauh darinya terlihat ramai dengan dua perempuan dan seorang laki-laki yang terlihat seperti mahasiswa. Mereka tertawa membicarakan sesuatu yang tak Keira mengerti. Melihat ketiga mahasiswa itu mengingatkannya pada Juna dan Felly. Seharusnya dia merasa senang saat ini bisa makan berdua dengan Indra, tapi hatinya tak bisa berbohong bahwa dia lebih memilih untuk pulang ke rumah dan menelpon Felly dan Juna lalu menonton film di rumahnya seperti biasa.
Sepuluh menit berlalu tapi Indra belum juga kembali. Keira menyentuh aplikasi Twitter di ponselnya untuk menghilangkan rasa bosan. Dia membaca percakapan Juna dan Felly yang tengah berbalas tweet tentang kejadian memalukan Juna saat kelas sebelas lalu. Keira sudah siap untuk bergabung dengan membalas tweet mereka saat sebuah nampan besar datang di mejanya. Dia sontak mendongak dan menemukan Indra sudah kembali. Keira mencoba tersenyum tapi wajah cowok itu masih tanpa ekspresi.
“Antriannya panjang, ya?” tanya Keira sambil tersenyum kikuk. Cowok itu hanya mengangguk dan tersenyum tipis.
Perut Keira mendadak penuh oleh sikap dingin Indra yang tiba-tiba. Tapi cowok yang duduk di hadapannya mulai mengunyah makanannya seperti tak terjadi apa-apa. Keira benar-benar ingin pulang sekarang.
Hening di antara mereka. Keira mencoba untuk mengunyah makanannya dengan susah payah. Setiap satu suap yang berhasil dia telan, Keira segera meneguk minumannya hingga kini tinggal seperempat gelas.
“Lo udah jadian sama Gilang?” tanya Indra dingin.
Keira menatap cowok itu bingung. Dia segera berasumsi Indra bersikap dingin padanya gara-gara kedekatannya dengan Gilang. Salah satu sisi di dalam hatinya bahagia jika cowok itu merasa cemburu.
Keira menggeleng. “Nggak ada yang berubah antara aku dan Gilang. Aku malah lebih suka kalo lebih deket sama kamu.”
“Lo merasa istimewa ya gue ajak jalan sekarang?” tanya Indra dengan nada mengejek. Keira tercengang. Cowok yang duduk di hadapannya saat ini seperti bukan Indra yang dia kenal di sekolah.
“Maksud kamu apa, Ndra?” Keira mengangkat kedua alisnya tak mengerti.
“Nggak usah pura-pura tolol, deh. Oh tapi emang lo tolol sih dari dulu.”
Felly dan Juna sering mengatai bodoh atau naif, namun dirinya tak pernah sakit hati. Tapi kali ini entah kenapa hatinya perih mendengar seseorang mengatainya seperti itu. Dia sadar dirinya tak sepintar Felly atau Annisa yang selalu ranking satu sejak kelas sepuluh, tapi bukan berarti cowok itu berhak mencacinya. Dia nggak tahu apa yang terjadi pada Indra saat ini, tapi dia merasa sama sekali nggak pantas menerimanya. Hatinya benar-benar sakit seolah ribuan jarum menghunusnya.
“Maksud kamu apa sih, Ndra? Kalo yang kamu maksud buat ngobrol-ngobrol itu cuma buat ngata-ngatain, mending aku pulang sekarang.”
Keira sudah bersiap untuk bangkit dan meninggalkan tempat itu, tapi kedua tangan Indra menariknya hingga dia kembali duduk.
“Duduk! Lo nggak boleh pulang sampe denger semua apa yang ingin gue omongin,” Keira segera bersikap kooperatif walaupun tubuhnya mulai bergetar. “Gue benci sama lo.”
Wajah Keira kaku dan matanya mulai memanas. Tak percaya selama ini cowok itu begitu membencinya. Air mata sudah siap untuk turun membasahi pipinya tapi dia coba untuk menelannya habis. Dia harus mendengar alasan sesungguhnya kenapa Indra bersikap seperti itu selama ini.
“Awalnya gue mau tetep ngelanjutin rencana dan permainan yang udah gue buat sejak ketemu lo. Tapi semakin gue deket sama lo, semakin gue nggak tahan ingin menghancurkan lo.”
Keira berusaha sekuat tenaga untuk membuka mulut. “Kenapa? Aku punya salah apa sama kamu?”
“Lo nggak salah apa-apa.”
Keira bingung. “Terus kenapa kamu benci sama aku?”
“Karena nyokap lo udah menghancurkan keluarga gue.”
Keira membeku. Jika ini mimpi, dia ingin seseorang membangunkannya dan menariknya keluar dari pembicaraan ini. Jika diteruskan, pembicaraan ini akan lebih menghancurkan pertahanan yang susah payah dia bangun selama enam tahun. Keira belum sepenuhnya mengerti apa yang terjadi, tapi dugaan sementara sepertinya keluarga Indra pun mengalami hal yang sama dengan keluarganya akibat ulah ibunya.
“Gue yakin lo udah tahu apa yang terjadi. Nyokap lo menggoda bokap gue sehingga dia berniat untuk menceraikan nyokap. Gara-gara nyokap lo, nyokap gue meninggal terkena serangan jantung pas tahu suaminya selingkuh. Ironis, kan? Oh tapi belum seironis kehidupan keluarga lo kayaknya. Lo nggak tahu seberapa ingin gue ketawa sekeras-kerasnya di depan muka lo waktu lo nangis gara-gara ketemu selingkuhan bokap gue. Asal lo tahu, gue ada di supermarket itu bukan sebuah kebetulan. Selingkuhan bokap gue yang tolol maksa gue untuk menemani dia belanja.”
He’s being sarcastic. Seketika Keira teringat kebodohannya menceritakan apa yang sudah terjadi pada keluarganya pada Indra. Keira yakin Indra sudah tahu sejak awal apa yang terjadi sebenarnya. Selapis bening air yang sedari tadi menumpuk di kedua matanya perlahan meleleh dan membasahi pipi Keira. Dia tak tahu jika bukan hanya keluarganya saja yang hancur. Keluarga lelaki yang kini bersama ibunya pun ikut hancur.
“Kenapa gue malah baik-baikin lo padahal gue bisa aja ngejahatin lo saat pertama kali kita ketemu? Kalo gue begitu nggak akan seru, dong. Temen-temen lo bakal ngebantu lo buat balik menghancurkan gue. Itu bakal merusak recana yang udah gue buat. Keep your enemy close so you can stab and watch them suffering.”
“Selamat rencana kamu udah berhasil,” suara Keira bergetar. Dia bahkan tidak berani untuk menatap kembali cowok itu.
“Rencana gue belum seratus persen berhasil. Lo belum merasakan penderitaan yang sama seperti apa yang dialami keluarga gue terutama nyokap gue!”
Keira kembali mendongak. “Kamu ingin aku mati? Kenapa harus aku?”
Indra bangkit lalu tersenyum mengejek. “Karena melihat orang yang paling musuh lo sayang menderita lebih menyenangkan. Ternyata lo nggak bego-bego amat untuk mengerti apa yang gue omongin. Ini baru permulaan. Lo akan lebih menderita. Gue nggak sabar untuk nunggu hari itu datang.”
Keira menghapus habis air matanya kemudian menatap cowok itu tepat di manik matanya. “Kamu sakit, Ndra. Tapi tenang, aku juga nggak sabar untuk nunggu gimana cara kamu untuk membuatku menderita.”
“Bagus deh. Oh iya satu lagi, gue benci denger lo pake ‘aku-kamu’. Nggak usah sok alim deh!”
Kening cewek itu berkerut. “Kamu juga dulu waktu kelas tujuh selalu pake ‘aku-kamu’!” desis Keira.
“Nggak usah ungkit-ungkit gue yang dulu!” balas Indra nyaris membentak.
Cowok itu tersenyum sinis kemudian meraih jaket dan ponselnya lalu pergi menjauh. Keira melipat kedua tangannya di atas meja lalu menundukkan kepalanya disana. Entah dari mana datangnya kekuatan untuk balik membalas perkataan cowok itu barusan. Tapi sekarang penyesalan mulai menjalari hatinya. Dia belum siap untuk menerima hal-hal pahit yang lebih menyakitkan lebih dari ini. Air matanya sudah tak terbendung lagi. Untung dia duduk di teras luar restoran fast-food tersebut sehingga suara isak tangisnya terkalahkan oleh deru mesin yang saling bersahut-sahutan.
Pegawai restoran yang sejak tadi memperhatikannya sudah siap untuk menghampirinya dan bertanya jika ada sesuatu yang terjadi. Tapi niat tersebut menguap saat dilihatnya Keira kembali mengangkat kepalanya dan menghapus habis sisa air matanya. Spekulasi sementara pegawai tersebut adalah pacarnya baru saja memutuskannya sehingga dia menangis.
Keira meraih ponselnya lalu menghubungi dua orang yang ada dipikirannya saat ini melalui fitur FaceTime.
“LHO? LO KENAPA, KEI?” Felly histeris. Wajahnya pun berubah panik.
Juna yang sedang mengunyah wafer cokelat pun sontak ikut-ikutan panik. “Eh Kei kenapa? Lo dimana sekarang?”
“Guys bisa jemput aku sekarang nggak? Aku lagi di Dago nih. Ceritanya panjang,” sahut Keira sembari membersihkan hidungnya dengan tisu.
“Kita jemput lo sekarang, Kei. Lo jangan kemana-mana. Untung mobil bokap lagi nganggur hari ini. Tapi lo agak sabar nunggunya ya soalnya gue jemput Felly dulu,” ujar Juna.
Keira mengangguk. “Thanks ya! Aku tunggu kalian disini.”
ns 15.158.61.41da2