x
Hari masih teramat pagi tapi Murti sudah berdandan sangat rapi. Dengan baju muslimah warna pink, ia terlihat lebih anggun dan ayu. Sementara Pak Camat, suaminya, masih tidur mendengkur kayak lembu. Murti tidak berniat untuk membangunkan. Suaminya pasti kelelahan dari bepergian. Ia tidak tahu jam berapa Pak Camat datang. Yang pasti ketika ia bangun jam dua dini hari, suaminya sudah ada.1704Please respect copyright.PENANAmuZmuvIBkm
“Besok aku libur, Mur. Kamu pergi saja ke pendopo dengan Gatot.” kata suaminya tadi malam.
“Baik. Mas Joko istirahat saja. Mas pasti capek setelah dua hari keluyuran.” balas Murti pedas.
“Kamu kok gitu sih? Aku kan ada tugas luar kota.” kilah Pak Camat.
“Bukannya apa-apa, Mas. Aku cuma sedikit rindu,” kata Murti.
“Rindu tapi benci ’kan?” sela Pak Camat.
Biarpun rindu tapi benci, namun tadi malam sempat terjadi juga keintiman suami istri. Tapi Murti tahu suaminya tidak bersungguh-sungguh. Keintiman tadi malam dibayangi ragu. Pelukan dan cumbuan tadi malam terjadi dengan setengah hati. Terasa hambar dan kaku. Keintiman yang tidak berlangsung lama, bahkan sangat singkat bagi Murti. Belum setengah ronde, suaminya sudah loyo. Murti tersenyum kecut. Memang lebih enak barang milik Gatot.
“Baik, Mas, saya berangkat.” kata Murti pada akhirnya.
Hari ini ia memang hendak ke pendopo untuk menghadiri acara pelantikan dirinya sebagai sebagai pegawai negeri sipil. Sebenarnya ia sangat ingin didampingi suami seperti para undangan yang lain. Murti kecewa karena hanya dialah satu-satunya tamu undangan yang datang seorang diri. Yang lainnya datang bersama istri dan suami masing-masing. Ia melangkah gontai menuju kursi yang telah diberi nomor.
Sementara Gatot yang mengantarnya lebih suka menunggu di luar pendopo, ngobrol bersama petugas pamong praja. Ternyata bukan hanya polisi yang mengenal Gatot, tetapi pamong praja juga kenal baik dengannya. Boleh dibilang kalau semua aparat di kota mengenal sejarah Gatot dari masa ke masa. Biarpun cuma lulusan SD, Gatot masih ingat wajah teman-teman mainnya dulu.
“Hei, kamu Gatot kan?” sapa seseorang.
“Iya, kamu pasti si Bejo.” balas Gatot.
“Betul. Makin subur saja kamu, Tot.” kata lelaki yang dipanggil Bejo.
“Jangan memuji.” sahut Gatot. ”Kamu sudah mapan, Jo, jadi pegawai negeri.” tambahnya.
“Ini sih sudah nasib. Mainlah ke rumah,” tawar Bejo.
“Pasti. Tapi aku masih sibuk, Jo, maklum cuma babunya Pak Camat.” Gatot beralasan.
“Kakakku pasti senang kalau ketemu kamu, Tot.” kata Bejo lagi.
“Si Ningsih?” tebak Gatot. ”Dimana kakakmu itu sekarang? Sudah punya suami?” tanyanya kemudian.
“Kak Ningsih ada kok. Dia sering menanyakan kamu.” jawab Bejo. ”Makanya main ke rumah!” kembali ia menawarkan.
Gatot tertawa kecil. Perbincangannya dengan Bejo telah membuatnya teringat pada Ningsih. Dulu ia, Bejo, Ningsih, dan juga Murti adalah teman bermain dan bersekolah. Mereka sering bersama kemana-mana, belajar kelompok bersama, bermain di sungai sampai puas. Sampai kemudian Bejo dan keluarganya keluar dari kompleks dan pindah ke jalan lain. Gatot ingat Ningsih dulu sama nakalnya dengan Murti, sama-sama suka mempermainkannya ketika kecil dulu, sering membuatnya menangis. Murti dan Ningsih juga sama cantiknya ketika masih bocah. Cuma sekarang ia tidak tahu seperti apa bentuk dan rupa Ningsih. Tentu tidak sama dengan puluhan tahun silam.
“Sampaikan saja salamku pada ningsih, Jo.” kata Gatot sambil tersenyum.
“Kak Ningsih berharap ketemu kamu, Tot.” sahut Bejo sedikit memaksa. ”Main saja ke rumah, nanti kukenalkan ke istri dan anakku.” ia masih belum mau menyerah.
“Baiklah.” Gatot akhirnya mengalah. ”Tapi aku tidak janji ya…”
Sementara itu Murti duduk dengan gelisah di bangkunya. Acara pelantikan masih setengah jam lagi, tapi Murti sudah sangat ingin keluar dari pendopo. Ia tahu bahwa semua mata tengah memandanginya dengan sorot mata dan ekspresi wajah bermacam-macam. Sekelompok orang yang ada di baris paling belakang kasak-kusuk dan sayup terdengar oleh Murti, membuatnya makin ingin angkat kaki. Untung ia duduk di sebelah Aisyah, membuatnya sedikit tenang dan terhibur.
“Bu Murti sepertinya tidak semangat,” kata Aisyah memecah kebekuan.
“Iya, Aisyah. Semalam saya begadang.” jawab Murti sekenanya.
“Pantas Bu Murti kelihatan loyo.” angguk Aisyah, ia memang gadis yang lugu dan polos. ”Kok tidak bersama Pak Camat?” tanyanya kemudian.
“Bapak lagi libur, Aisy. Beliau istirahat di rumah.” jawab Murti.
“Jadi ibu diantar Mas Gatot?” tanya Aisyah dengan wajah bersemu merah, senang sekaligus grogi karena ada kesempatan bertemu dengan Gatot.
“Benar.” Murti tersenyum memandang Aisyah yang menunduk malu-malu. ”Nanti kamu bisa pulang bersama kami,” jawabnya untuk makin menyenangkan gadis itu.
“Terima kasih, Bu. Tapi saya malu,” lirih Aisyah.
“Malu sama siapa? Anggap saja aku ini kakakmu, Aisy.” sahut Murti menggoda.
“S-saya malu sama mas Gatot, Bu.” ucap Aisyah dengan muka makin merona.
“Ibu ngerti kok. Nggak usah malu. Gatot senang kok berkenalan denganmu.” jawab Murti.
“Ah, Bu Murti bisa saja,” Aisyah makin tersipu.
Murti tertawa melihat Aisyah yang malu-malu kucing seperti itu. Ia ingin bicara lagi, tapi acara pelantikan sudah mulai dibuka. Saat-saat membosankan telah berlalu, berganti dengan wajah-wajah penuh harapan baru. Ada sekitar seratus orang yang semuanya adalah guru yang mengikuti pelantikan. Murti tidak begitu mendengarkan sambutan dari Bupati dan Kepala Diknas. Ia lebih suka menunggu dan berharap acara segera berakhir. Memang kata sambutan itu yang paling lama, sementara acara acara lain berlangsung cepat, begitupun dengan penyerahan SK yang sengaja dikebut.
Murti merasa bahagia sekaligus kecewa. Ketika membuka SK, wajahnya kontan berubah. Ia memang resmi jadi pegawai negeri, tapi juga dipindah tugaskan ke sekolah negeri, bukan lagi di madrasah.
“Kamu juga dimutasi, Aisyah?” tanya Murti pada Aisyah.
“Benar, Bu. Mulai besok saya mengajar di SMA 3.″ jawab Aisyah kalem.
“Syukurlah kita masih satu tempat. Rasanya berat sekali meninggalkan madrasah.” kata Murti.
“Saya juga begitu, Bu. Sedih meninggalkan sekolah rintisan Abah. Tapi memang harus ada regenerasi.” jawab Aisyah bijak.
“Kamu benar. Semoga tempat baru memberi kita rejeki baru.” dukung Murti.
“Semoga. Kita berdoa saja, Bu.” Aisyah mengangguk mengiyakan.
Mereka menunggu dengan sabar sampai acara pelantikan bubar. Setelah berjabat tangan memberi ucapan selamat pada semua orang, Murti dan Aisyah segera keluar dari aula pendopo dan menghampiri Gatot yang masih setia menunggu di bawah pohon. Bertiga mereka menuju mobil.
“Sudah selesai acaranya?” tanya Gatot pada Murti.
“Sudah. Aku dan Aisyah mau ke madrasah. Antar kesana ya?” ajak Murti.
Gatot menatap Aisyah yang masih dibayangi duka. Ingin rasanya ia menghapus wajah duka itu agar terlihat kembali ceria seperti sedia kala. Kematian memang menimbulkan duka mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan. Dan gatot menghitung kematian Pak Asnawi, ayahnya Aisyah, telah memasuki hari ke tujuh. Ia dibayangi ketakutan bahwa suatu saat nanti kejahatan itu akan terbongkar. Ia takut berhadapan dengan Aisyah bila saat itu tiba.
“Nanti malam terakhir tahlilan ya, Aisyah?” tanya Gatot pada Aisyah yang berjalan pelan di sebelahnya.
“Benar.” Aisyah mengangguk, dia tidak berani menatap Gatot. ”Saya akan senang bila Mas Gatot mau hadir mendoakan abah.” tambahnya.
“Saya ingin sekali datang. Tapi semua tergantung ijin Pak Camat.” jawab Gatot.
Aisyah mengangguk, lalu menoleh pada Murti. “Oh ya, Bu Murti, saya berniat tinggal di komplek. Adakah di sekitar situ rumah yang dikontrakkan?” tanyanya sopan.
“Komplek sudah penuh.” sahut Murti. ”Coba kamu bicara ke Gatot. Siapa tahu dia mau menyewakan rumahnya,” tambahnya sambil tersenyum penuh arti.
Gatot menoleh dan memandang Murti. “Apa maksudmu?” tanyanya tak mengerti.
“Maksudku, rumahmu kan sering kosong. Bagaimana kalau kamu sewakan saja?” jawab Murti ringan.
“Lalu saya mau tinggal dimana, Mur?” tanya Gatot sedikit kesal.
“Ya tinggal di rumahku. Mas Joko sudah lama ingin kamu tinggal bersama kami, Tot.” sahut Murti dengan senyum dikulum di bibir.
“Nggak,” Gatot menggeleng, dengan cepat menolak. ”Saya tinggal di rumah saja.” putusnya. Beda rumah aja, mereka sering melakukannya. Apalagi kalau satu rumah, bisa-bisa Murti makin lengket dengannya, dan ujung-ujungnya Pak Camat jadi curiga. Gatot tidak mau itu terjadi. Dia masih ingin menikmati tubuh molek Murti sedikit lebih lama, kalau bisa memberikan anak kepadanya. Mudah-mudahan saja …
“Bagaimana kalau saya saja yang tinggal di rumah Bu Murti?” tawar Aisyah, nadanya sedikit penuh harap.
“Bukannya ibu menolak niat baikmu, Aisyah. Tapi ibu dan Pak Camat sudah sepakat untuk tidak menerima wanita di rumah kami.” tolak Murti dengan halus.
“Tidak apa-apa, saya bisa paham kok sikap keluarga ibu.” Aisyah mengangguk, kemudian berpaling pada Gatot, ”Bagaimana kalau saya kos di rumah Mas Gatot saja?” tanyanya ragu.
Ganti Gatot yang terkejut mendengar permintaan Aisyah. Ia melihat kesungguhan di balik kata-kata gadis itu. Mungkin ada sisi baiknya, ia jadi punya teman ngobrol. Tetapi Gatot merasa akan lebih banyak sisi buruknya bila sampai Aisyah tinggal serumah dengannya. Gatot harus menebalkan iman untuk menghadapi kecantikan dan kemolekan tubuh gadis itu, yang mana ia yakin tidak akan bisa melakukannya. Belum sehari, bisa-bisa ia sudah memperkosa Aisyah. Belum lagi tanggapan warga yang lain, pasti akan ada pergunjingan dan cemoohan.
“Sebenarnya apa yang membuat Aisyah ingin pindah?” tanya Gatot menyelidik.
“Capek mas tiap hari bolak-balik ke Cemorosewu. Kalau kos kan bisa irit waktu dan tenaga. Bagaimana, Mas Gatot setuju?” tanya Aisyah, ia kembali menunduk saat Gatot menatap wajahnya.
“Saya belum bisa putuskan, Aisyah. Saya harus diskusikan dulu dengan Pak Camat dan Pak RT.” jawab Gatot.
“Secepatnya ya, Mas. Saya tunggu keputusan Mas Gatot.” Aisyah meminta.
Setelah mengantar Murti dan Aisyah ke madrasah, Gatot pulang ke rumah Pak Camat. Murti yang menyuruhnya pulang karena ada sms yang intinya Pak Camat sangat butuh bantuan Gatot. Sampai di rumah Pak Camat, ia sudah ditunggu majikannya itu di teras. Pak Camat tampak sangat rapi, membuat Gatot bertanya-tanya dalam hati hendak pergi kemana beliau. Ia segera menghampiri Pak Camat.
“Bapak mau kemana?” tanyanya tanpa berniat usil.
“Tempat biasa.” jawab Pak Camat tanpa beban. “Tapi kalau Murti tanya, bilang saja aku rapat.” pesannya pada Gatot.
“Baik, Pak.” Gatot mengangguk, ia sama sekali tidak boleh melawan perintah Pak Camat meski itu bertentangan dengan kata hatinya.
Merekapun pergi. Gatot tahu tempat biasa yang dimaksud oleh Pak Camat. Tidak begitu jauh dari komplek, tepatnya di sebuah kawasan perumahan mewah yang tidak sembarang orang bisa masuk. Ke situlah Gatot mengantar Pak Camat. Di depan sebuah rumah tingkat yang terletak paling ujung, Gatot menghentikan mobil, membunyikan klakson dan masuk ke halaman rumah begitu pagar terbuka. Dengan cepat pula pagar itu kembali tertutup. Seorang wanita muncul dan tersenyum pada Gatot, lalu wanita itu menggelayut manja dipelukan Pak Camat.
“Tot, terserah kamu mau kemana. Tapi jemput nanti jam lima sore ya,” pesan Pak Camat yang tanpa malu-malu melingkarkan tangan ke pinggul selingkuhannya, dan meremasnya pelan.
Gatot mengangguk, “Baik, Pak. Saya pergi dulu.” iapun pamit, tidak tahan melihat pemandangan itu lebih lama lagi.
Gatot meninggalkan rumah itu, meninggalkan Pak Camat yang sudah sibuk dengan wanita simpanannya. Ia bingung mau kemana, tapi akhirnya ia putuskan untuk pulang saja ke rumah Pak Camat.
Sepi. Murti belum pulang dan pintu masih terkunci. Untung Pak Camat memberikan kunci serep sehingga ia bisa masuk sesuka hati bagai di rumah sendiri. Dalam kesendirian itu, Gatot teringat semua kejadian yang menimpanya dalam kurun enam bulan terakhir ini. Sejak bercerai dari istrinya, Gatot merasa hidupnya berputar bagai yoyo. Pahit manis kehidupan telah ia jalani dengan beragam perasaan suka duka, senang sedih, rindu benci, dan segudang perasaan lain. Ia teringat pada mantan istrinya yang berada nun jauh disana, di seberang pulau. Ingin sekali ia kembali ke pulau itu, pulau yang telah memberinya banyak harapan dan kenangan.
Gatot duduk di teras rumah Pak Camat. Matanya menatap lurus ke depan, ke jalanan yang ramai oleh anak-anak komplek. Tapi ia tidak merasakan keramaian itu. Ia terasing di alamnya sendiri. Gatot memandang foto yang ada di dompetnya. Itu adalah foto Zulaikha, mantan istrinya. Tidak secantik dan semontok Murti, tetapi Gatot sangat mencintainya sepenuh hati. Dua tahun lamanya membina rumah tangga bersama Zulaikha, ia belum pernah melihat istrinya itu marah. Istrinya adalah wanita yang sabar dan rendah hati, pintar menjaga perasaan dan emosi.
Gatot menyesal kenapa ia harus meninggalkan istri sebaik Zulaikha. Ia berpikir rasanya tak mungkin lagi bisa menemukan wanita sebaik Zulaikha. Sayang semua itu kini hanya menjadi memori yang membelenggu jiwa. Ia ingin mendapat kabar tentang Zulaikha, tetapi ada rasa ketidakpantasan untuk menelepon mantan istrinya itu. Gatot menghela napas dan mengusap wajahnya, mengembalikan foto Zulaikha ke dalam dompet.
Tepat tengah hari, Murti pulang. Gatot merasa bersalah. Gara-gara tertidur di teras, ia sampai lupa menjemput istri majikannya itu. Untung Murti tidak marah dan memang tidak pernah bisa memarahi Gatot, yang ada ia malah menginginkannya. Murti cuma bisa tersenyum masam sambil menyeka keringat yang menetes di kening.
“Maaf, Mur, aku tertidur.” kata Gatot jujur.
“Tidak apa-apa. Tapi kenapa tidur di teras? Mana Mas Joko? Kamu sendirian di rumah?” tanya Murti cepat, ada sedikit nada curiga dan penasaran dalam suaranya.
“Tadinya aku berniat cari angin, eh malah ketiduran.” Gatot mencoba untuk tersenyum. ”Pak camat rapat. Tadi aku nganter beliau ke gedung dewan.” jawab Gatot, hatinya ngilu karena sudah berbohong pada Murti.
“Bukannya bapak libur?” Murti bertanya tak percaya, namun selanjutnya ikut tersenyum mengingat kesempatan langka yang terbuka di depan mata. ”Ayo masuk ke dalam.” ajaknya kemudian, sedikit terburu-buru.
“Aku disini saja, Mur.” Gatot mencoba untuk menolak, setelah persetubuhan mereka kemarin, ia masih sedikit lelah.
“Masuk saja. Ada yang mau kubicarakan!” tapi Murti memaksa, ia sama sekali tidak mau tahu alasan Gatot yang menolak untuk masuk. Ia dengan agak kasar menyeret Gatot dan menutup pintu saat mereka sudah ada di dalam.
Murti terus menyeret Gatot hingga ke kamar. Disitu ia baru membebaskan Gatot. Pintu kamar telah terkunci dan kuncinya disimpan oleh Murti, Gatot sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa. Diperhatikannya Murti yang kini mengganti baju muslimahnya dengan baju rumahan.
“Benarkah Pak Camat rapat, Tot?” tanya Murti dengan tubuh hanya terbalut bh dan celana dalam.
Gatot tidak langsung menjawab, ia mendesah dengan mata tak berkedip menatap tubuh molek Murti. Ia tidak bisa menjawab dengan jelas pertanyaan istri majikannya itu. Semakin hari pertanyaan demi pertanyaan yang diajukan oleh Murti semakin datang bertubi tubi, semua bernada ketidakpercayaan dan kecurigaan.
“Begitulah, Mur.” jawab Gatot pendek, suaranya sedikit serak.
“Bohong!” Murti memotong.
“Terserah kamu, Mur. Tapi memang begitulah kenyataannya.” Gatot melihat Murti yang kini berjalan mendekatinya.
“Kamu tidak jujur, Tor!” tuduh Murti. ”Katakan dimana suamiku sekarang!” ancamnya sengit.
“Aku tidak bisa katakan.” Gatot menggeleng, sementara matanya tetap lekat menatap tubuh mulus Murti yang kini cuma berjarak sejengkal.
Murti mencopot lagi daster merah kembang-kembang yang baru saja ia kenakan, berharap dengan begitu bisa lebih mudah mengorek keterangan dari Gatot. Tubuh sintalnya biasanya selalu berhasil membuat Gatot menyerah. “Kenapa? Berapa mas joko menyuapmu sampai kamu tega membohongiku, Tot? Mana belas kasihanmu padaku?” hibanya pura-pura.
“Maafkan aku, Mur.” Gatot menatap sayu. ”aku mengasihimu. Tapi aku juga harus menjaga semua yang diamanatkan oleh Pak Camat.” katanya menegaskan. Tapi itu cuma di mulut, karena tak urung penisnya mulai bangkit juga melihat provokasi Murti yang kelewat berani.
Wanita itu sekarang sudah mencopot bh hitamnya, membuat Gatot bisa melihat dengan jelas tonjolan buah dadanya yang ranum dan indah. “Jujurlah demi aku, Tot.” Murti meminta. Digoyang-goyangkannya benda itu tepat di depan muka Gatot, membuat Gatot makin melongo dan bertekuk lutut, tak tahu harus berbuat apa lagi.
Gatot menggeleng untuk yang terakhir kali saat Murti merangkul dan menempelkan tonjolan buah dada itu tepat di mukanya. Keduanya segera larut dalam pelukan bisu, namun penuh dengan gairah. Keduanya hanyut dalam gelombang nafsu, yang meski begitu besar dan menggelora, tetap membuat Gatot ragu untuk berkata sejujurnya mengenai sepak terjang Pak Camat yang sudah kebablasan.
Setelah menunggu lama, dan Gatot tetap diam, Murti akhirnya mendesah. Ia memang ragu pada kesetiaan suaminya yang dirasa makin luntur dari hari ke hari, namun sepertinya keterangan itu tidak bisa didapatnya dari Gatot hari ini. Mungkin lain kali. Yang bisa diberikan Gatot saat ini cuma kehangatan. Murti bisa melihatnya lewat penis laki-laki itu yang kini sudah mengacung tegak dalam genggaman tangannya.
“Sampai kapan jiwa kita terbelenggu seperti ini, Mur?” bisik Gatot lirih sambil mulutnya mulai menghisap dan menciumi puting Murti satu per satu.
”Ahh…” sedikit menggeliat, Murti menjawab. “Mungkin sampai detak jantung kita berhenti, Tot.” balasnya berbisik. Tubuh sintalnya cuma dibalut oleh celana dalam, tapi tak lama benda itupun juga melayang, membuat Murti benar-benar telanjang bulat seperti bayi yang baru lahir sekarang.
Gatot tidak pernah menang bila sudah berhadapan dengan Murti yang seperti ini. Ia menyerah dengan begitu mudah dan kalah dalam satu kali serangan. Hati nuraninya memang bilang ini tidak boleh dan sangat dilaknat oleh Tuhan, tetapi Setan lebih berani dengan berkata bahwa keintiman yang dijalaninya bersama Murti adalah sesuatu yang sah dan wajar. Gatot tak tahu mana yang benar. Yang ia tahu cuma dahaga batin Murti harus terpenuhi. Dan hanya ia yang bisa memenuhinya.
Toh Murti juga sama sekali tidak merasa tersakiti, malah seperti menikmati. Dengan sigap dia menurunkan celana panjang Gatot, juga celana dalamnya hingga Gatot jadi sama-sama telanjang sekarang. Kejantanan Gatot yang sudah mengeras dan menegang tajam langsung digenggamnya dengan begitu erat, terlihat sangat mengagumi dan menyukainya.
”Hmm…” Murti mulai menjilat dengan sangat lembut, dimulai dari ujung hingga pangkal kejantanan Gatot, seakan ingin memanjakannya. Tak sesenti pun kejantanan Gatot yang tak tersapu oleh lidahnya yang mahir itu. Murti juga mengemut-ngemut kantong pelir Gatot dengan gemasnya, bahkan dia tak sungkan menjilati lubang dubur Gatot.
Mungkin karena didorong oleh perasaan cemburu pada Pak Camat, kenikmatan yang diberikan oleh Murti pada Gatot jadi sangat total dan berlipat ganda. Gatot jadi melenguh keenakan saat menikmatinya, ini sungguh diluar perkiraannya.
”Mur, uuh… enak sekali. Terus jilat punyaku, Mur… arghh!!” gumam Gatot dengan tubuh bergetar pelan. Jarang-jarang Murti mau mengulum penis dengan begini telaten.
Murti semakin ganas menghisap kejantanannya, benda itu terus keluar masuk di mulutnya, dari sisi kanan bergerak ke sisi kiri, menggesek susunan gigi dan lidahnya yang basah. Kenikmatan yang dirasakan oleh Gatot sungguh luar biasa, tidak dapat ia ungkapkan dengan kata-kata. Ngilu, geli, nikmat, semua bercampur menjadi satu. Hingga akhirnya pangkal penis Gatot terasa berdenyut kencang, ingin menembakkan apapun yang sudah sejak tadi berusaha ia tahan-tahan.
“Mur, aku mau keluar…” rintihnya sambil menahan batang penis di dalam mulut Murti.
Tanpa bisa menolak, Murti hanya bisa pasrah saat Gatot memuncratkan seluruh spermanya di dalam mulut mungilnya yang berbibir tipis itu. Croot… croot… croot… tidak ingin muntah dan tersedak, iapun lekas menelan semuanya hingga tak tersisa. Murti juga membersihkan sisa-sisa sperma yang masih terlihat meleleh dari lubang kencing Gatot dengan menjilatinya sampai puas. Bagaikan wanita yang kehausan di tengah padang gurun pasir, Murti menyapu seluruh batang kejantanan Gatot dan menelan semua cairannya tanpa ragu.
”Ahh… Mur,” Gatot dengan lemas berguling ke sisi kiri, ia rebahkan tubuhnya yang sudah lunglai itu di sebelah Murti.
”Tot, aku belum dapat lho…” ingat Murti, ”Aku pengen nih,” pintanya memelas sambil terus mengelus-elus penis Gatot yang kini sudah meringkuk dan melemas gemas dalam genggaman tangannya.
”Iya, Mur, kamu pasti dapat kok…” janji Gatot. ”Tapi aku istirahat dulu ya.” ia tarik Murti ke dalam pelukannya dan diciuminya dengan mesra.
”Aku pengennya sekarang, Tot.” Murti menggeliat, tapi tak urung mendesah juga saat jari-jari nakal Gatot mulai meremas-remas pelan gundukan payudaranya.
”Tapi punyaku masih lemes, Mur.” Gatot berkata malu.
”Aku jilatin lagi biar cepet bangun.” sahut Murti penuh semangat.
”Terserah kamu saja, yang penting punyaku bisa kaku lagi.”
Tanpa menjawab, Murti dengan cekatan segera mengambil posisi. Kepalanya kini tepat berada di atas penis Gatot, dan kembali menghisap-hisapnya dengan begitu rakus dan cepat. Segala upaya ia lakukan, mulai dari membelai ujungnya yang tumpul hingga melumat habis biji pelirnya yang bulat kembar. Tak lama, penis Gatot pun sudah kelihatan basah oleh air liur Murti. Dan tak cuma itu, benda itupun juga mulai kaku dan menegang.
Merasa usahanya berhasil, Murti semakin mempercepat temponya. Alhasil kejantanan Gatot kembali mencuat dan mengeras dengan gagahnya, siap untuk bertempur kembali.
“Sudah, Tot. Ayo cepat lakukan!” seru Murti saat melihat batang penis Gatot sudah menegang maksimal.
Gatot yang juga sudah sabar ingin menerobos masuk dan mengaduk-aduk isi memek Murti, memberi aba-aba pada Murti agar bergerak. ”Kamu di atas,” bisiknya.
Dengan sigap Murti menggenggam batang penis Gatot dan menuntun untuk menyentuh lubang vaginanya yang sudah basah sedari tadi. Penis Gatot ia gesek-gesekkan terlebih dahulu di bibir memeknya, sesekali dibiarkannya membelah gemas, hingga perlahan batang penis itu mulai menerobos masuk saat Murti mulai mendudukinya pelan.
”Eghh…” rintih Gatot saat seluruh batang penisnya sudah terbenam di liang kewanitaan Murti. Goyangan pinggul istri Pak Camat itu juga membuatnya nikmat sekali, begitu lihai dan sangat menggairahkan. Semakin lama semakin kencang, hingga mau tak mau Gatot jadi makin melenguh nikmat dibuatnya.
”Pelan-pelan, Mur. Bisa patah punyaku!” sela Gatot sambil meremas-remas gundukan payudara Murti kuat-kuat.
Tapi seperti kesetanan, Murti tidak menghiraukannya. Bongkahan pantat semoknya terus bergoyang liar mempermainkan batang penis Gatot yang masih terbenam dalam. ”Uuh… Tot, punya kamu perkasa sekali. Nikmat… beda dengan punya suamiku!” bisik Murti dengan mata merem melek menikmati hujaman penis Gatot di liang senggamanya.
”Punya kamu juga enak, Mur.” balas Gatot. ”Rasanya punyaku jadi seperti dipijit-pijit… kamu apakan sih, kok bisa enak gitu?” tanyanya penasaran.
”Ahh… mau tahu aja kamu! Gak penting aku ngapain, yang penting kita bisa sama-sama enak!” sahut Murti sambil menggoyang semakin cepat. ”Cepat, Tot, aku sudah mau keluar… ooh!” ujarnya sambil menengadahkan kepala ke atas.
Bersamaan dengan itu, Gatot merasakan ada semburan cairan hangat yang sangat banyak sekali dari lubang kewanitaan Murti. Istri Pak Camat itu sudah mencapai orgasmenya. Dengan lunglai Murti ambruk merebahkan tubuhnya yang telanjang tepat di atas badan Gatot.
”Tahan, Mur, aku juga sudah hampir…” seru Gatot sambil menyuruh Murti mengangkat pantatnya sedikit. Masih dengan posisi women on top, kembali ia menyodok-nyodokkan penisnya dengan beringas ke dalam liang kewanitaan Murti yang sudah basah kuyup.
”Tot, ini yang aku suka dari kamu… kuat sekali, tidak seperti suamiku… aah… aah… uhh…” erangan demi erangan keluar silih berganti dari bibir tipis Murti, bersama dengan keringat yang semakin mengucur deras di sekujur tubuh sintalnya.
Kata-kata Murti itu membuat darah muda Gatot semakin panas membara, sekaligus semakin membuatnya terangsang. ”Ehm… aku juga suka tubuhmu, Mur, nikmat sekali!” seru Gatot dengan nafas menderu karena nafsu birahinya sudah semakin memuncak.
Gerakan kontolnya juga semakin mengencang, mungkin seusai pertempuran ini, memek Murti akan lecet-lecet karena sodokannya. Tapi tidak apa-apa, yang penting mereka sama-sama puas sekarang. Merasa sebentar lagi akan keluar, maka Gatot segera membalikkan posisi tubuh Murti ke bawah tanpa harus melepaskan batang penisnya yang sudah tertanam rapi di liang kewanitaan istri Pak Camat itu.
”Lanjut ya, Mur?” pinta Gatot sambil membuka lebar-lebar selangkangan Murti dan kembali memompa tubuhnya.
”Lakukan, Tot, lakukan!” jerit Murti, dalam posisi seperti ini, terasa sekali milik Gatot seperti menyentuh hingga ke mulut rahimnya. Setiap hujaman yang Gatot berikan, maka erangan Murti yang tertahan terdengar semakin mengeras.
Sampai akhirnya, denyut-denyut nikmat yang sudah dirasakan oleh Gatot, terasa semakin menghebat. Bagaimanapun Gatot berusaha untuk menahannya, rasa itu tetap semakin menjadi. Hingga saat tak dapat ditahan lagi, akhirnya…
”Mur, aku mau keluar…” rintih Gatot.
”Jangan dicabut, keluarkan di dalam saja, tidak apa-apa. Jangan sia-siakan sperma kamu, siapa tahu aku bisa hamil karenanya!” seru Murti penuh harap.
”Arghh!!!” menjerit sedikit kencang, Gatot pun memuncratkan spermanya di liang senggama Murti Dian.
Bagi Murti, semprotan sperma di liang kewanitaannya terasa begitu nikmat sekali. Berbeda dengan milik suaminya yang biasanya cuma sedikit, cairan Gatot terasa sangat panas dan banyak, terasa meluncur hingga ke mulut rahimnya. Murti yakin, ia akan bisa hamil karenanya.
Ketika Gatot mencabut penisnya, tampak beberapa tetes cairan putih ikut mengalir keluar secara perlahan-lahan dari sela-sela belahan bibir vagina sempit Murti. ”Terima kasih, Tot.” ucap Murti sambil merebahkan dirinya yang lemas terkuras akibat pertempuran yang membawa kenikmatan ini.
”Aku yang terima kasih, Mur. Kamu sudah memberikanku kenikmatan yang tidak setiap orang bisa mendapatkannya.” balas Gatot, tangannya kembali meraih gundukan payudara Murti dan meremas-remasnya pelan.
”Aku juga merasa beruntung, Tot. Banyak gadis yang mengejarmu, tapi cuma aku yang bisa merasakan kejantananmu!” sahut Murti sambil membelai mesra penis Gatot yang sudah terkulai lemas.
”Awas, Mur… nanti bangun lagi lho. Apa kamu kuat meladeninya?” goda Gatot sambil memilin-milin puting Murti yang mungil seperti wanita yang belum menikah.
”Ihh… kamu kuat banget sih. Bisa mati aku kalau kamu hantam lagi seperti tadi.” Murti merajuk.
”Hahaha… habisnya tubuhmu sungguh menggiurkan.” sehabis berkata begitu, Gatot tiba-tiba terdiam.
”Kenapa, Tot?” tanya Murti bingung.
”Aku tidak ingin kehilangan kamu, Mur.” bisik Gatot sungguh-sungguh.
“Bagaimana kalau kamu menikahiku di bawah tangan?” tawar Murti.
“Itu takkan menghapus dosa kita, Mur.” ucap Gatot.
“Kalau begitu biarlah gelimang dosa ini kutanggung sendiri.” kata Murti yakin. Ia menarik napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. Ia meneliti setiap inci tubuhnya dan tertawa sendiri. “Bukankah aku masih segar?” katanya di sela tawa yang tak kunjung berhenti. “Adakah yang lebih segar hingga Mas Joko tak lagi ingat aku?” katanya lagi.
“Tidak ada siapapun di hati Pak Camat, Mur. Dia hanya sibuk dengan tugasnya.” jawab Gatot.
Murti tertawa semakin keras, sampai tubuhnya terguncang-guncang, begitu pula dengan pembaringan yang bergoyang. Gatot hanya bisa memeluk dan mendekap Murti. Dan tak lama, mereka menyatu lagi dalam kobaran api birahi yang tak kunjung padam.