Adzan subuh membangunkan Gatot dari mimpi. Ia keluar kamar dan menuju belakang untuk mengambil wudlu. Tapi ia heran karena tidak biasanya Aisyah masih tertidur. Ia tidak berani membangunkan. Selesai sholat subuh, Gatot bersiap-siap untuk menuju rumah Murti. Hari mulai beranjak pagi tapi Aisyah masih dilanda mimpi. Gatot ingat hari ini merupakan hari pertama Aisyah mengajar setelah dua minggu lamanya libur. Jangan-jangan Aisyah masih merasa libur. Mau tak mau Gatot membangunkan Aisyah juga karena jarum jam sudah menunjuk angka enam.
“Aisyah bangun, sudah jam enam pagi.” kata Gatot.
“Huaaahm, aku masih ngantuk.” bukannya bangun, Aisyah malah semakin melipat tubuhnya dan menarik selimut.
“Ayo bangun, Aisyah. Kamu kan harus ngajar.” kata Gatot lagi.
Aisyah menggeliat dan mengucek-ngucek mata, dan sejurus kemudian mata itu terbelalak kaget. “Mas!!” pekik Aisyah tertahan sambil mengamati tubuhnya sendiri.
Gatot mengerti apa yang ada di kepala Aisyah. “Aku hanya membangunkanmu, Aisyah. Tidak ada maksud lain.” ia berusaha menjelaskan.
“Jam berapa ini, Mas?” tanya Aisyah.
“Jam enam. Hampir setengah tujuh.” jawab Gatot.
Aisyah langsung melompat dan hampir terjerembab. Untung Gatot cukup sigap menahan tubuh Aisyah agar tidak terjatuh meski dengan begitu ia harus memeluk Aisyah. Gatot segera melepaskan Aisyah dan membiarkannya berlarian ke kamar mandi dengan panik. Gatot pun meninggalkan kamar Aisyah dan langsung menuju rumah Pak Camat.
Murti sudah siap tapi Gatot belum melihat Pak Camat. Yang terlihat cuma Murti dengan penampilan baru. Tidak ada lagi baju muslimah yang biasanya dikenakan Murti. Juga tidak ada kerudung yang membingkai wajah cantik Murti. Semua yang dilihat Gatot benar-benar serba baru, sama seperti ia melihat Murti puluhan tahun lalu.
“Jangan memandangku seperti itu, Tot. Ayo berangkat,” kata Murti.
“Tidak nunggu Pak Camat?” tanya Gatot.
“Mas Joko sudah berangkat jam lima pagi. Tapi dia pesan agar kamu ke kantor kecamatan saja.”
“Oh begitu. Baiklah.” Gatot mengangguk.
Gatot mengantar Murti ke tempat kerjanya yang baru. Sebenarnya satu tujuan dengan Aisyah tapi Aisyah lebih suka naik motor. Sebenarnya baik Gatot maupun Murti selalu menawari Aisyah agar berangkat bersama-sama tapi Aisyah selalu menolak dengan halus. Merekapun tidak bisa memaksa.
Dengan penampilan baru Murti, maka Gatot juga dilanda suasana hati baru. Sama seperti yang ia rasakan puluhan tahun lalu. Dan Murti tidak berubah tingkahnya dengan masa-masa sekolah dulu. Tetap duduk sesuka hati dan bergerak kesana kemari, menunjukkan apapun yang disukai Gatot pada tubuh sintalnya. Perjalanan masih jauh.
“Penampilanmu mengingatkanku pada masa SMA kamu yang dulu, Mur.” kata Gatot.
“Mana yang paling kamu ingat? Kenakalanmu itu kan?” sela Murti.
“Iya. Aku ingat bila mengantarmu ke sekolah, aku selalu menjahilimu.”
“Sekarang kamu juga mengantarku, Tot. Kamu juga bisa menjahiliku seperti yang sering kamu lakukan dulu.” goda Murti.
“Benarkah?” Gatot melirik suka.
“Benar. Lakukan saja sesukamu. Aku rela menjadi pelacurmu, Tot.” Murti meyakinkan.
“Jangan bicara begitu, Mur.” Gatot menggeleng tak setuju. ”Kamu bukan pelacur. Berhentilah merutuki dirimu sendiri.” katanya.
Murti balas menggelengkan kepala dan melabuhkan diri di pangkuan Gatot. Ia memejamkan mata dan membiarkan tangis kecilnya tumpah membasahi celana Gatot. “Takdir hidupku sungguh buruk, Tot.” bisik Murti pilu.
“Jangan menyalahkan takdirmu, Mur. Kita sudah sampai. Jam berapa nanti kujemput?” tanya Gatot.
“Jam satu. Hati-hati di jalan, Tot.” Murti merapikan seragam kerjanya yang awut-awutan lalu keluar dari mobil dan berjalan memasuki gerbang SMA 3. Ia tidak menoleh lagi ke belakang dan langsung menuju ruang kantor. Ia harus memperkenalkan diri kepada semua orang yang belum mengenalnya. Sebagai guru baru, ia perlu menyesuaikan diri dengan tugas mengajar yang jauh berbeda dan materi pelajaran. Sekolah negeri tentu tidak sama dengan sekolah swasta, terlebih dengan madrasah. Semalam saja ia bekerja keras untuk kembali belajar dan membuka buku-buku.
“Bu Murti sudah sampai?” tanya Aisyah.
“Baru saja, Ais. Kok aku tidak ketemu kamu di jalan tadi?” balas Murti.
“Iya, Bu. Saya masih ngisi bensin. Bu Murti pulangnya nanti juga dijemput?” tanyanya balik.
“Begitulah, Ais.” Murti mengangguk. ”Bagaimana suasana di rumah Gatot, apa kamu kerasan?”
“Sangat nyaman, Bu. Mas Gatot juga tidak macam-macam.” jawab Aisyah tanpa curiga, sama sekali tidak mengetahui perbuatan Gatot beberapa malam yang lalu.
Murti bersyukur dalam hati. Bahaya kalau sampai Gatot berani macam-macam pada Aisyah. Ia sangat tidak menginginkan ada apa-apa antara Gatot dan Aisyah. Ia berharap tidak ada hubungan spesial antara Gatot dan Aisyah. Gatot adalah segalanya baginya saat ini, saat kehidupan rumah tangganya semakin tidak harmonis. Sedangkan perselingkuhannya dengan Gatot berjalan dengan manis. Ia serahkan semua pada sang waktu.
Gatot juga sedang memburu waktu untuk bisa segera sampai di kantor kecamatan. Jangan sampai ia terlambat gara-gara keluyuran di jalan memakai mobil dinas. Bisa-bisa Pak Camat marah. Pak Camat sendiri yang mengingatkan agar kalau membawa mobil dinas jangan sampai jauh-jauh dari kantor. Untung ia datang tepat waktu, jam setengah delapan sudah sampai di kantor kecamatan. Dan seperti biasa ia langsung duduk santai menunggu perintah. Siapa saja siap ia antar kemana saja.
“Gatot, dipanggil Pak Camat tuh.” seru seorang wanita.
“Saya segera kesana, Mbak Dewi.” balas Gatot tanggap.
“Oh ya, Tot, jam istirahat nanti antar aku ya?” pinta Dewi.
“Mbak Dewi mau kemana?” tanya Gatot.
“Pokoknya antar saja.” balas Dewi sambil tersenyum manis. ”Sudah pergi sana, Pak Camat sudah nunggu kamu.”
Gatot lekas menuju ruang kerja Pak Camat dan duduk di hadapan majikannya itu. Belum ada yang disampaikan Pak Camat dan Gatot menunggu. Panggilan Pak Camat pasti ada sebabnya. Dan melihat wajah Pak Camat yang masam, Gatot pun paham ada yang salah dengan dirinya.
“Begini, Tot, saya mau mengurangi beban kerjamu.” akhirnya Pak Camat berkata.
“Maksud Pak Camat?” tanya Gatot belum mengerti.
“Mulai sekarang, kamu tidak perlu berjaga malam di rumahku. Tugasmu kembali seperti dulu, mengantar aku dan Murti kerja.” kata Pak Camat.
“Apakah ada kesalahan yang saya perbuat, Pak?” tanya Gatot penasaran.
“Sama sekali tidak ada, Tot. Ini juga demi kamu. Apalagi sekarang di rumahmu ada Aisyah. Dia yang lebih penting untuk kamu jaga.” Pak Camat tersenyum.
“Saya bisa terima keputusan Pak Camat.” Gatot mengangguk.
“Satu hal lagi, Tot. Entah dari mana Murti bisa tahu perumahan residence.” pancing Pak Camat.
“Demi Tuhan, saya tidak pernah melanggar kesepakatan kita, Pak. Mungkin Murti tahu dari orang lain. Yang pasti saya sama sekali tidak memberitahu Murti apapun.” Gatot berusaha meyakinkan.
“Aku percaya padamu, Tot. Cuma lain kali lebih berhati-hatilah.” pesan Pak Camat.
“Baik, Pak.” Gatot mengangguk.
“Kembalilah ke tempatmu.”
Gatot kembali ke tempat semula, di paseban kantor kecamatan. Ia duduk termenung menelaah segala yang telah disampaikan oleh Pak Camat. Mulai hari ini tugasnya kembali seperti dulu, sebatas mengantar jemput Pak Camat dan Murti kerja. Pasti ada pertimbangan lain yang membuat Pak Camat tidak lagi mempercayainya sebagai petugas jaga malam. Selain itu ia juga agak marah karena Pak Camat seolah olah telah menuduhnya membocorkan rahasia. Padahal ia sama sekali tidak pernah menyampaikan hal itu pada Murti. Ia bertanya-tanya dalam hati siapa orang yang telah mempersulit posisinya. Siapa orang yang memberitahu Murti tentang keberadaannya di perumahan residance. Pasti ada mata-mata yang berniat membuat kacau hubungannya dengan Pak Camat.
Jam dua belas siang pas, Dewi minta dijemput. Gatot memenuhi permintaan itu dengan setengah hati, sedangkan setengah hati yang lain masih memikirkan hasil pembicaraannya dengan Pak Camat. Kediamannya membuat Dewi gigit jari. Padahal Dewi berharap bisa bercakap-cakap dengan Gatot. Daripada menunggu Gatot yang pasif, Dewi memilih untuk lebih aktif dan berinisiatif memecah kebisuan.
“Mikir apaan sih, Tot?” tanyanya memulai pembicaraan.
“Tidak ada apa-apa kok, Mbak.” Gatot berusaha untuk tersenyum. ”Jadi Mbak Dewi ini mau kemana?” tanya Gatot kemudian.
“Pulang. Aku sudah ijin ke Pak Camat untuk kerja setengah hari saja.” jawab Dewi.
“Enak ya, Mbak, jadi pegawai negeri. Kerja nggak kerja tetap dapat gaji.” kata Gatot.
“Tapi lebih banyak nggak enaknya, Tot. Apalagi kalau dapat pimpinan kayak Pak Camat.” seru Dewi.
“Memangnya kenapa dengan Pak Camat, Mbak?” tanya Gatot penasaran.
“Jangan bilang-bilang ya. Pak Camat itu genit, suka ngintip.” bisik Dewi
“Masa sih?” tanya Gatot tak percaya.
“Semua pegawai wanita sudah tahu keburukan Pak Camat itu. Aku ini pernah jadi korbannya lho.” mata Dewi mendelik.
“Maaf, Mbak. Tapi saya kok tidak percaya dengan kata-kata Mbak Dewi ini,” sahut Gatot.
“Ya terserah kamu mau percaya atau tidak. Yang pasti Pak Camat itu bukan contoh pemimpin yang baik.” tegas Dewi.
Nah, untuk yang terakhir itu Gatot sangat setuju dan seratus persen percaya bahwa Pak Camat memang bukanlah contoh pemimpin yang baik. Gatot juga sepakat kalau Pak Camat itu orang yang genit, suka lirik-lirik daun muda, terlebih pada paha-paha mulus. Gatot yakin pasti Dewi pernah diintip Pak Camat. Apalagi dengan kebiasaan Dewi yang sembarangan dan semau gue. Pasti Pak Camat sudah sering melihat-lihat paha mulus Dewi dan sering mencuri-curi ke belahan dada Dewi. Jangankan Pak Camat, ia sendiri juga sering menyaksikan kemulusan dan kehalusan kulit Dewi.
“Makanya Mbak Dewi harus hati-hati.” kata Gatot pada akhirnya.
“Saya sudah hati-hati, tapi kebiasaan sulit diubah, Tot. Tak apalah, toh Pak Camat cuma melihat, nggak sampai menjilat.” Dewi tertawa terkikik.
“Kalau itu terjadi, gimana?” pancing Gatot.
“Kamu mulai nakal juga ya?” Dewi memukul pundak Gatot. Mereka telah sampai di tempat kosnya Dewi. Setelah memarkir mobil, mereka masuk. Dewi sendiri yang mengajak Gatot.
“Istirahat disini aja, Tot. Kalau kamu kembali ke kantor sekarang pasti banyak kerjaan disana.” seru Dewi.
“Apa dibolehkan seorang pria masuk ke kamar wanita?” tanya Gatot.
“Tempat kos ini bebas. Siapa saja boleh membawa tamunya sampai kamar, wanita ataupun pria.” Dewi menerangkan.
Gatot masuk ke kamar kos Dewi yang tidak begitu luas, kira-kira berukuran tiga kali tiga meter. Hanya ada satu tempat tidur dan satu almari, itupun sudah membuat kamar terasa sesak. “Kalau Mbak Dewi mau ganti baju, biar saya keluar dulu.” kata Gatot, merasa tidak nyaman dengan keberadaannya sendiri.
Tapi Dewi tak ambil peduli. “Duduk aja, atau kamu bisa berbaring.” katanya sambil membuka dan melepasi satu persatu seragam kerjanya lalu berjalan di hadapan Gatot hanya dengan mengenakan cawat dan bh.
Bahaya, Gatot segera membuang muka dan menunggu sampai Dewi selesai berganti busana. Tapi busana yang dikenakan Dewi tetap saja mengundang bahaya.
“Aku mau pindah ke komplek, Tot.” kata Dewi memulai obrolan, ia duduk di sebelah Gatot.
“Mbak Dewi mau kos di komplek? Tinggal di mana, Mbak?” tanya Gatot sedikit rikuh.
“Di rumah yang paling ujung. Memang lumayan jauh dari rumahmu, Tot.” Dewi menjelaskan.
“Kalau tidak salah rumah yang di ujung itu dulunya milik Mbah Surti.” Gatot mengingat-ingat.
“Benar. Kebetulan cucunya Mbah Surti itu teman kuliahku. Aku akan tinggal bersamanya.” sahut Murti.
“Mbak Dewi mau tinggal bersama Karmila yang janda itu?” tanya Gatot memastikan.
“Iya.” Dewi mengangguk. ”Aku boleh kan sewaktu-waktu main ke rumahmu?” tanyanya kemudian.
“Boleh, Mbak. Apalagi Aisyah belum punya teman. Mbak Dewi bisa berteman dengannya,” jawab Gatot ringan.
“Aisyah yang guru itu? Jadi dia tinggal bersamamu ya?” ada sedikit nada cemburu di suara Dewi.
“Iya. Kok Mbak Dewi kenal?” tanya Gatot heran.
“Kebetulan saja kami bertemu di rumah sakit pas kamu koma. Dia juga salah satu pendonor buatmu, Tot!” jawab Dewi.
“Pendonor? Maksud Mbak Dewi?” tanya Gatot tak mengerti.
“Memangnya Mbak Murti belum cerita ke kamu?” tanya Dewi bingung.
“Belum,” Gatot menggeleng.
“Baiklah. Kuberitahu sekarang. Kamu waktu itu butuh banyak darah. Jadi kami berempat yang kebetulan cocok dengan darahmu mendonorkan darah buatmu.” terang Dewi.
“Siapa saja empat orang yang menyelamatkan nyawa saya, Mbak?” tanya Gatot penasaran.
“Aku, Mbak Murti, si Aisyah itu, dan yang satu lagi kalau tidak salah namanya Ningsih. Kami adalah penyumbang darah.” jelas Dewi.
“Astaga, bagaimana saya harus berterima kasih pada mereka? Pada Mbak Dewi?” tanya Gatot rikuh, malu karena baru mengetahui kenyataan ini sekarang.
“Tidak usah berterima kasih. Cukuplah kamu mengerti saja.” Dewi tersenyum.
Gatot sangat mengerti dan khusus terhadap Dewi, ia memberi tanda terima kasih sesuai yang diinginkan oleh perempuan cantik itu. Waktu yang singkat tidak disia-siakan untuk menjalankan sebuah niat. Dalam panasnya udara siang, Dewi berhasil membuat Gatot mabuk kepayang. Itulah kelemahan paling mendasar yang dimiliki Gatot. Ia belum sanggup meninggalkan dunia hitam sepenuhnya. Ia tidak bisa mengabaikan wujud indah seorang wanita.
Gatot memang sedikit kaget saat bibir Dewi mulai menyentuh bibirnya, namun itu cuma di awal saja, karena begitu Dewi memasukkan lidahnya, Gatot dengan pintar segera mengimbangi dengan ikut menghisap dan menjelajahi setiap rongga mulut perempuan cantik itu. Ia bahkan menahan kepala Dewi agar ciuman mereka tidak sampai terlepas.
Lama mereka saling berpagutan, sebelum akhirnya Gatot mengalihkan ciumannya ke pangkal telinga Dewi dan menjelajahinya turun hingga ke leher. Dewi mengerang dan menarik tangan Gatot agar berpindah ke tonjolan buah dadanya. Dengan mesra Gatot segera meremas-remasnya.
”Ohh… akhh…” Dewi mulai mengerang dan semakin membusungkan dadanya ke depan.
Gatot menurunkan ciumannya sampai ke belahan buah dada Dewi, ia berusaha memasuki dada gadis itu tanpa membuka pakaiannya. Lidahnya menari-nari di dada Dewi yang membusung indah, tapi yang dapat dijangkau lidahnya hanya setengah dari gundukan buah dada itu.
Tak sabar menerima perlakuan Gatot, Dewi lekas membuka kancing bajunya sendiri dengan satu tangan, sementara yang satunya masih menekan kepala Gatot ke arah buah dadanya. Baju itupun terbuka, kini tinggal beha warna krem yang masih menutupi. Mata Gatot terbelalak menyaksikan semua itu. Mulusnya buah dada Dewi dan ukurannnya yang begitu besar sungguh melebihi perkiraannya. Tampak beha 36B yang dikenakan oleh Dewi seperti tidak muat menampung tonjolan buah dadanya. Sedikit terburu-buru, ia segera menyingkap beha itu ke atas. Muncullah puting susu Dewi yang sebesar jari kelingking. Masih rapi bentuknya, dengan aerola yang berukuran mungil. Mulut Gatot langsung turun untuk menyambutnya dengan sedotan dan hisapan yang begitu kuat dan ketat.
”Auuwww… akhh,” erang Dewi sambil tangannya semakin kuat menekan kepala Gatot.
Dengan rakus Gatot terus menghisap puting susu Dewi yang sebelah kanan, sementara tangan kirinya memilin-milin puting susu yang satunya. Bergantian ia menjilat dan menghisapnya, dengan lincah lidahnya terus menari-nari di gundukan payudara Dewi hingga membuat benda bulat padat itu jadi begitu basah dan lengket oleh air liurnya.
“Ohh… terus… yang lama… aku mau yang lama…” kata Dewi mengerang penuh kenikmatan. ”Ayo, Tot… ahh… ambil semuanya… sekarang ini milikmu… ayo ambil…” Dewi meracau dengan dada semakin membusung ke depan, sementara pinggulnya ia angkat tinggi-tinggi menyambut remasan tangan Gatot di belahan vaginanya. Batang zakar Gatot yang tegang juga ikut menekan tonjolan vaginanya dari luar. Dewi membalas dengan menjulurkan tangan ke bawah dan dengan gemas segera meremas-remas batang zakar Gatot dengan begitu kuatnya.
Puas bermain di dada, jilatan Gatot kini turun ke bawah. Ia gelitik pusar dan perut Dewi yang masih tampak langsing dan rata dengan mulutnya. Dewi memekik dan menggelinjang, terdengar semakin kegelian, apalagi saat jilatan Gatot terus merambat ke bawah sambil berusaha membuka rok kerjanya. Setelah terbuka, tampaklah gundukan vaginanya yang tebal dan basah. Dewi tersipu malu, namun tak urung tetap membuka kakinya juga.
Gatot tak berkedip menatap dua paha putih mulus milik Dewi, juga belahan vaginanya yang masih tertutup celana dalam. Pelan ia menyelipkan lidah, berusaha memasuki bagian atas vagina Dewi tanpa membuka celana dalamnya. Tentu saja ini membuat Dewi jadi tak sabar.
“Ayo, Tot… jilat semua… cepatan… ahh…” erangnya dengan pinggul mulai bergerak berputar dan menghentak-hentak ke mulut Gatot.
Perlahan Gatot mengintip sedikit vagina Dewi dengan membuka bagian atas celana dalam gadis itu. Samar-samar ia bisa melihat bentuk vagina Dewi yang mengembang tebal dengan bulu-bulu tipis yang tumbuh rapi dan teratur, rupanya Dewi rajin mencukurnya. Gatot memandanginya sejenak sebelum akhirnya dengan tak sabar memelorotkan celana dalam itu hingga terbukalah belahan vagina Dewi secara utuh di depan matanya.
”Ooohh,” erang Gatot manakala menyaksikan vagina Dewi yang ternyata jauh lebih indah dari yang ia bayangkan sebelumnya. Lama Gatot memandanginya. Karena Dewi terus mengangkat-angkat pinggulnya ke atas hingga membuat gundukan vaginanya jadi tampak semakin cembung dan menantang dengan klitoris yang menonjol indah melewati kedua bibir vaginanya.
Perlahan Gatot menjulurkan lidah, ia sentuh klitoris Dewi pelan-pelan, diusapnya dari bawah ke atas. Reaksinya sungguh spontan, pinggul Dewi langsung menghentak kuat, bahkan sampai berbenturan dengan mulut Gatot. Melihat yang seperti itu, Gatot jadi suka. Dengan juluran lidah yang lebih panjang, ia segera menyerbu vagina Dewi. Dijilatnya benda sempit itu, diusapkannya lidahnya berulang-ulang, bahkan hingga sampai ke lubang anus Dewi. Perbuatannya itu membuat Dewi semakin cepat menghentakkan pinggul, bibir vaginanya juga jadi semakin terkuak dan mengembang lebar, menampakkan lorongnya yang begitu hangat dan basah.
”Oohh… terus, Tot… jilat semuanya… ayo jilat… lebih kuat…” erang Dewi sambil tangannya berusaha membuka celana panjang Gatot. Begitu sudah terlepas, dengan gemas ia meremas-remas batang kontol Gatot kuat-kuat hingga membuat laki-laki itu jadi sedikit kaget. Namun Gatot membiarkannya saja karena setelah mengocok-ngocok, Dewi tiba-tiba memutar tubuhnya hingga mereka jadi berposisi 69 sekarang.
Dengan rakus Dewi memasukkan penis Gatot ke dalam mulutnya dan mulai menghisapnya, membuat Gatot jadi merasa nyaman dan nikmat. Gatot mengimbangi dengan kembali mengulum dan mencucup bibir kemaluan Dewi. Ia masukkan lidahnya ke lubang vagina Dewi yang sudah sangat licin dan basah, juga ia hisap biji klitoris Dewi yang kini tampak semakin membusung dan menonjol indah. Terus diperlakukan seperti itu membuat Dewi semakin cepat menaik-turunkan pantatnya.
”Ooh Tot… enak banget… ahh… aku nggak tahan lagi…” dia semakin meracau dengan hentakan pantatnya yang semakin liar dan kulumannya di batang zakar Gatot yang semakin kuat.
Tiba-tiba paha Dewi menjepit kepala Gatot dan berkontraksi keras. Lubang vaginanya yang masih disantap oleh Gatot berdenyut-denyut cepat sebelum akhirnya menyemprotkan cairan kental yang banyak sekali, membasahi lidah dan bibir Gatot yang tidak sempat menjauh. Gatot ikut merintih karena sambil orgasme, Dewi juga menyedot penisnya dengan begitu kuat, menahannya di dalam mulut.
Bersama-sama mereka saling merintih dan menggelinjang sampai akhinya Dewi melepaskan jepitan pahanya, juga kulumannya di batang penis Gatot. Gadis itu telentang lemas di bawah tubuh Gatot dengan mata masih tertutup rapat. Dewi nampak lelah, namun juga puas. Pahanya yang masih terbuka membuat Gatot bisa melihat dengan jelas liang vaginanya yang begitu basah dan lengket. Gatot kembali menjilatinya hingga Dewi jadi kembali merintih dibuatnya.
”S-sudah, Tot…” desah Dewi setelah nafasnya sedikit agak tenang.
Gatot segera memutar tubuh. Masih tetap saling bertindihan, mereka kini saling berpandangan. Gatot menekan pinggulnya, membiarkan batang penisnya yang masih tegang mengganjal di bibir kemaluan Dewi yang licin dan hangat. Gatot hanya menggesek-gesekkannya, masih belum ingin memasukkan.
”Enak, Mbak?” tanya Gatot dengan senyum.
Dewi mengangguk, ”Enak banget, Tot. Sentuhanmu begitu indah dan nakal,” sahutnya
”Masih ada yang lebih indah, Mbak.” goda Gatot.
”Iya, Tot. Aku mau lebih lagi, berikan padaku ya,” balas Dewi dengan senyum juga.
”Berapa yang Mbak Dewi mau?” tantang Gatot penuh percaya diri.
”Sampai aku nggak bisa bangun, apa kamu kuat?” tantang Dewi balik.
”Jangan kuatir, Mbak. Saya akan berusaha memuaskan Mbak, sebagai ungkapan terimakasih karena Mbak Dewi sudah nolong saya.” kata Gatot menyanggupi.
”Kupegang kata-katamu, Tot,” Dewi tersenyum.
Kembali mereka saling melumat. Tangan Gatot yang nakal kembali memijit dan meremas-remas buah dada Dewi yang membusung indah, sementara kakinya dijepitkan ke pinggang Dewi yang kurus dan ramping. Puas dengan itu, ia beranjak dan berjongkok diantara paha Dewi yang putih mulus dan merentangkannya lebar-lebar. Dengan menatap mata Dewi yang pasrah, pelan Gatot memegang batang zakarnya dan mengarahkan menuju ke lubang vagina Dewi yang sudah menganga lebar, menunggu penetrasinya.
”Aku masukkan ya, Mbak?” tanya Gatot. Dewi menjawab dengan satu anggukan ringan.
Pelan Gatot menempelkan kepala penisnya ke bibir vagina Dewi, menggesek-gesekkannya sebentar sebelum akhirnya mulai menusuk tak lama kemudian.
”Akhh…!!!” Dewi langsung mengerang ketika kepala penis Gatot mulai memasuki lubang vaginanya. Tangannya langsung menangkap pantat Gatot.
”Sakit, Mbak?” Gatot bertanya, dorongan pinggulnya spontan berhenti.
”E-enggak… t-terus aja… m-masukkan semua… ahh.. e-enak kok…” erang Dewi dengan bibir vagina terkuak lebar oleh batang penis Gatot yang sudah masuk setengahnya.
”S-saya juga enak, Mbak.” Gatot merintih merasakan jepitan vagina Dewi yang sangat ketat, seolah tidak mengijinkannya untuk masuk lebih dalam. Ia membiarkannya sejenak, berharap agar vagina Dewi bisa menyesuaikan diri dengan ukuran penisnya yang besarnya diatas rata-rata laki-laki Indonesia.
Kembali Gatot melumat bibir tipis Dewi yang mendesah-desah. Dewi membalas dengan mengangkat kakinya dan menempatkannya di atas pantat Gatot. Ia tekan pinggul laki-laki itu untuk semakin memperdalam masuknya kontol Gatot ke belahan vaginanya.
”Ayo tekan lagi, Tot… ahh…” bisik Dewi tak sabar. Vaginanya mengempot seperti menyedot penis Gatot.
Mengangguk mengerti, Gatot segera menekan pantatnya. Dengan sekali hentakan, batang penisnya yang besar dan panjang meluncur masuk membelah lorong vagina Dewi yang licin dan hangat, memenuhinya hingga sampai ke rongganya yang terdalam.
”Auwww… Tot… ahh…” jerit Dewi sambil mendekap tubuh kurus Gatot kuat-kuat. ”Ohh enaknya… sungguh luar biasa… ayo, Tot, ambil… ambil semua… puaskan aku dengan tubuhmu… jangan sisakan sedikitpun… sampai nggak bisa bangun… ahh…” erang Dewi dengan pinggul mulai berputar pelan.
Gatot pun ikut menggoyang. Pelan ia mulai menggerakkan pantatnya naik turun, menyetubuhi Dewi. Dengan kemalauan saling menjepit dan bergesekan ringan, bisa ia rasakan beapa sempit dan hangatnya lorong vagina Dewi yang melingkupi batang penisnya. Meski sudah tidak perawan lagi, namun rasanya masih tetap nikmat. Apalagi ditambah body tubuh Dewi yang begitu menggairahkan, membuat semua urat syaraf yang ada di tubuh Gatot seperti terbangkitkan.
Dengan kedua tangan terjulur ia membetot gundukan payudara Dewi yang bergoyang-goyang indah dan lantas memijitnya dengan penuh nafsu, merasakan betapa empuk dan kenyalnya benda bulat padat itu. Putingnya yang mungil kemerahan juga ia pilin-pilin ringan sebelum dicucupnya secara bergantian tak lama kemudian dengan pinggul terus menghentak semakin cepat menggenjot tubuh langsing Dewi.
”Enak banget, Tot… aku kamu apain sih?” tanya Dewi sambil mengerang.
Gatot bisa merasakan siraman hangat di kepala penisnya. rupanya Dewi sudah orgasme lagi dengan jurus pembuka ini. Ia yang masih belum apa-apa lekas mempercepat goyangan pinggulnya. Seperti piston, penisnya terus keluar masuk di lorong vagina Dewi. Begitu keras dan cepatnya hingga mengeluarkan suara decakan-decakan yang memenuhi seluruh dinding-dinding kamar.
Dewi yang masih lemas hanya bisa pasrah dengan tubuh terlonjak-lonjak menerima segala serangan Gatot. Kedua tangannya mencengkeram kasur sambil berusaha menegakkan kepala untuk melihat keluar masuknya kontol Gatot di lorong vaginanya. Dewi tampak seperti mau menangis padahal itu adalah ekspresi rasa nikmat yang belum pernah ia dapatkan dari laki-laki lain selain Gatot. Inilah persetubuhan terindah yang pernah ia alami.
Tak berapa lama, kembali Gatot merasakan kepala penisnya disiram oleh cairan hangat. ”Ahh… aku keluar lagi, Tot… kamu memang hebat…” kata Dewi memuji dengan tubuh semakin lemas.
Sebenarnya saat itu Gatot juga telah berada di puncak gairah, namun karena melihat Dewi yang masih terus memburu kenikmatan, ia jadi tidak sampai hati untuk menumpahkan spermanya. Gatot bertekad akan memuaskan perempuan cantik itu sekuat tenaga sebagai wujud rasa terima kasihnya. Biarlah ia ejakulasi di saat berikutnya, saat Dewi mendapatkan kembali orgasmenya. Mereka akan keluar secara bersama-sama.
Dengan tekad seperti itu, Gatot terus menggerakkan penisnya. bahkan ia membalik tubuh Dewi sehingga gadis itu sekarang menungging dengan kaki tertekuk ke bawah, sementara buah dadanya yang besar tergencet hingga melesak pipih ke tempat tidur.
”Auhh… enak, Tot!” erang Dewi saat Gatot semakin kuat menghentak-hentakkan pantatnya sambil memeluk tubuhnya dengan begitu erat. ”Ohh… Tot, kamu pintar sekali… nyaman bangat posisi gini…” erang Dewi mendesah-desah.
Gatot terus mempercepat kocokan penisnya di vagina sempit Dewi yang terasa semakin membanjir. Sepertinya gadis itu kembali mendekati puncak permainannya, terlihat dari pantatnya yang semakin menungging menyambut setiap sodokan penis Gatot pada lubang vaginanya.
”Ayo, Tot… tekan yang kuat… ayo puaskan aku…” rintih Dewi penuh gairah.
Gatot yang merasakan waktunya juga semakin mendekat, lekas mempercepat kocokan penisnya. Semakin lama menjadi semakin cepat, cepat, dan semakin kuat hingga tiba-tiba Gatot mendekap dan memeluk tubuh telanjang Dewi erat-erat. Dengan satu sodokan akhir yang menghunjam begitu dalam, Gatot melepaskan cairan spermanya. Cairan putih kental itu muncrat berhamburan memenuhi liang rahim Dewi yang jadi begitu basah karena di saat yang sama, Dewi sendiri juga melepaskan orgasmenya.
”Ahh… a-aku keluar, Tot… ahh… ahh…” Erang Dewi dengan tubuh terhentak-hentak dan pantat semakin menungging ke atas.
Gatot memeluknya semakin erat. ”Ah… enak sekali, Mbak.” bisiknya mengakhiri sisa-sisa orgasmenya yang masih mengucur pelan.
”Kamu sungguh luar biasa, Tot… aku puas… beneran nggak bisa jalan ini,” kata Dewi dengan ekspresi geli di wajahnya yang cantik. Sementara penis Gatot masih tertancap di liang vaginanya dan tubuh laki-laki itu masih menindih tubuhnya yang tengkurap lemas.
Setelah sedikit tenang, barulah Gatot mencoba mencabut penisnya dari jepitan vagina Dewi yang terus berkedut-kedut ringan. Mereka saling tersenyum dan merubah posisi rebahan di tempat tidur dengan kepala Dewi bersandar di dada Gatot yang bidang.
”Makasih, Tot, aku belum pernah merasa sepuas ini,” kata Dewi bahagia.
“Saya tidak bisa mempertanggung jawabkan semua ini, Mbak.” kata Gatot saat Dewi mulai memeluk tubuhnya.
“Aku tidak butuh itu. ini kehendakku, Tot. Aku sendiri yang akan mempertanggung-jawabkannya.” bisik Dewi lirih.
Gatot mengangguk. Sebenarnya ia masih lapar, tubuh telanjang Dewi begitu menggodanya. Namun jam di dinding sudah berdentang satu kali, menandakan ia harus segera kembali ke kantor kecamatan.
“Terima kasih, Mbak.” kata Gatot pada akhirnya.
“Akulah yang harus berterima kasih. Jangan bilang siapa-siapa ya,” pesan Dewi sebelum Gatot pergi.
Gatot kembali mengangguk dan lekas pamit. Dewi tersenyum sendiri. Ada arti di balik senyuman itu yang Gatot tidak mengerti. Yang Gatot mengerti ialah ini; saatnya ia menjemput Murti. Gatot segera mengarahkan mobil ke SMA 3. Belum sampai di tujuan, di tengah jalan ia melihat Aisyah dan motornya melaju sambil membonceng Murti. Ia segera memutar dan berbalik arah mengejar Aisyah sampai akhirnya bisa menjajari motor itu. Ia bunyikan klakson dan membuka kaca mobil. Aisyah juga berhenti dan Murti turun. Gatot sempat berbagi senyum dengan Aisyah sebelum gadis itu melanjutkan perjalanan pulang seorang diri sementara Murti sudah berada bersama Gatot untuk meneruskan perjalanan juga.
“Tumben kamu lambat, Tot?” tanya Murti agak sedikit curiga.
“Maaf, Mur. Aku banyak kerjaan. Disuruh ini dan diminta itu oleh suamimu.” jawab Gatot berbohong.
“Kalau memang sibuk jangan dipaksakan menjemput. Tuh wajahmu seperti nggak ikhlas.” Murti menunjuk.
“Ikhlas kok. Ini kan sudah kewajibanku.” Gatot tersenyum. Ini karena capek habis ngentot, Mur, bukan karena nggak ikhlas, terangnya dalam hati.
“Mas Joko ada di kantor? Ada acara apa lagi dia hari ini?” tanya Murti menyelidik.
“Pak camat ada. Menurut Mbak Dewi, bapak mau ada pertemuan dengan anggota dewan. Bisa jadi sampai malam.” jawab Gatot.
“Sampai malam tapi kalau masih bisa pulang nggak masalah, Tot. Yang kutakutkan Mas Joko kerja sampai malam tapi nyantol di rumah orang.” ketus Murti.
“Curiga terus bawaanmu.” Gatot mencoba menengahi. ”Bagaimana dengan tempat barumu?” tanyanya untuk mengalihkan pembicaraan.
“Sama saja. Yang namanya mengajar ya begitulah. Ada murid yang pintar ada juga murid yang kurang ajar.” jawab Murti kaku.
“Kurang ajar gimana?” tanya Gatot tak mengerti.
“Ya itu, ada segelintir murid yang suka menggoda guru, suka ngintip guru.” terang Murti.
“Kalau yang digoda dan diintip adalah guru seksi sepertimu, ya wajar dong.” Gatot tersenyum.
“Kamu mulai kurang ajar ya. Nih rasakan!”
Cubitan-cubitan Murti mulai menyerang bertubi-tubi dan Gatot segera memperlambat mobil. Satu tangannya memegang setir, satu tangan lagi menghadang cubitan Murti. Cubitan berhenti tapi kenakalan Murti tidak kunjung mati dan terus menggoda Gatot bahkan sampai tiba di rumah.
“Sudah ah, Mur, aku mau balik ke kantor.” kata Gatot mencoba berkilah.
“Sebentar saja, Tot.” tapi Murti terus memaksa.
Maka, meski masih berada di dalam mobil, terjadilah hubungan kilat. Murti sendiri yang nekad memaksa Gatot agar mau melayaninya. Gatot yang masih belum puas main dengan Dewi, melampiaskan sisa nafsunya pada Murti. Dan hasilnya, biar hanya hubungan kilat, tapi yang terjadi malah lebih dahsyat. Gatot sangat puas, begitu juga dengan Murti.
Begitulah kalau kebiasaan kemudian tumbuh subur menjadi perselingkuhan. Tiada hari yang terlewat tanpa maksiat. Entah berapa kali sudah Murti dan Gatot melakukan seks sebebas-bebasnya tanpa halangan apapun. Yang pasti mereka sadar sepenuhnya itu sangatlah beresiko. Tapi Murti siap menanggung resiko apapun dan juga siap mempertaruhkan rumah tangganya.
“Sudah cukup, Tot,” Murti mendorong dan menyingkirkan Gatot, lalu memasang lagi seragam kerjanya tanpa memasang pakaian dalam karena ia sudah ada di dalam rumah. Sebuah ciuman panjang mengakhiri pertarungan di hari siang itu.
Gatot kembali pada rutinitas, kembali ke kantor kecamatan dengan hati puas. Hari ini dua wanita dengan sangat mudahnya menggoda iman, menuntunnya kembali ke lembah hitam. Baginya lebih baik berjudi dan mabuk berat daripada meniduri wanita. Ia dulu memang bejat tapi sekarang ia mencoba tobat dari segala jenis maksiat.
Apalah daya, setan berwujud wanita mulus seksi sungguh lebih kuat dan membelenggu jiwanya dengan erat. Ia di kelilingi wanita wanita pembelenggu, wanita-wanita yang lapar akan kasih sayang, para wanita yang serba mau dan tak punya malu. Gatot sampai hapal seperti apa dan bagaimana memperlakukan wanita-wanita itu. Ada satu wanita lagi tapi Gatot sangat berharap wanita yang ia pikirkan bukanlah budak setan. Ia berharap wanita yang satu ini bisa memberinya jalan terang.
ns 15.158.61.8da2