Dadaku seketika bergemuruh bak genderang perang saat mendengar ucapan Dion. Aku sama sekali tak mempersiapkan diri untuk menghadapi hal semacam ini. Kami hanya berdua di ruang konseling berteman dengan keheningan yang entah sejak kapan mulai tercipta. Dion masih menatapku, sama sekali tak ada ketakutan di wajahnya, justru akulah yang sekarang terlihat begitu gugup.
“Boleh ustadzah? Saya ingin onani sambil dilihat ustadzah Arum.” Ucapnya sekali lagi seolah kembali menyentak kesadaranku, semua ini adalah kenyataan. Aku benar-benar tidak sedang bermimpi.
Setelah tadi aku diperlihatkan foto telanjang Pak Hamdan, kali ini aku diminta oleh remaja tanggung yang akan memuaskan dirinya sendiri? Wajahku kian merona merah, efek dari perasaanku yang tercampur aduk tak karuan. Di satu sisi aku sadar betul jika apa yang diminta oleh Dion adalah sebuah kesalahan besar, tapi di sisi lain, jauh di lubuk hatiku yang paling dalam, aku penasaran seperti apa nanti jadinya saat aku bisa melihat secara langsung seorang pria memuaskan hasrat seksualnya.
“Ba-Baiklah…Kamu boleh melakukannya…” Kataku.
Pada akhirnya bisikan setan lah yang berhasil meyakinkanku untuk mengijinkan Dion melakukan onani di hadapanku. Sebagian kecil otak warasku mengatakan jika hal ini adalah salah satu tugasku sebagai pembimbing konseling untuk membantu para siswa menemukan solusi atas permasalahan mereka. Jika aku tak menuruti permintaan Dion saat ini, bisa saja dia akan melakukannya pada orang lain, dan itu pasti akan sangat berbahaya.
Perlahan Dion berdiri dari kursi, remaja itu kemudian mulai membuka ikat pinggangnya. Jemarinya bergerak lincah melepas pengait celananya, tak lama kain itu luruh begitu saja di atas lantai. Dion kemudian melanjutkan gerakan tangannya melepas celana dalamnya, sekuat hati aku berusaha untuk memalingkan muka tapi kembali bisikan setan memaksaku untuk tetap menyaksikan Dion melucuti bagian bawah tubuhnya hingga telanjang.
Dadaku kian bergemuruh saat Dion dengan bangganya memamerkan batang penisnya di hadapanku. Ini adalah pertama kalinya bagiku menyaksikan secara langsung batang penis seorang pria, dan celakanya aku melihatnya dari muridku sendiri. Bentuk penisnya cukup panjang, dari tempatku duduk aku bisa melihat bagaimana beberapa urat kecil tercetak di sekujur penis itu. Dion mulai menggenggam penisnya dengan tangan kanan, dia gerakkan tangan itu seperti gerakan mengocok. Maju mundur secara perlahan.
“Ouucchhhh…Ustadzah….” Lenguhnya sembari terus mengocok batang penisnya sendiri. Aku hanya terdiam sembari terus menyaksikannya memuaskan dirinya sendiri.
“Sakit?” Tanyaku sambil menggigit bibir bawahku sendiri.
“Nggak sakit ustadzah…Enak banget malah…” Jawab Dion.
Penisnya semakin mengeras, seolah beriringan dengan gerakan tangan Dion yang semakin lama semakin cepat pula. Batangnya pun semakin berurat, dari lubang kencingnya aku bisa melihat setitik cairan yang telah keluar. Aku meyakini jika itu adalah cairan precum, pelumas awal saat pria sedang menjemput masa ejakulasinya. Aku menjadi semakin tegang, sementara nafas Dion terdengar semakin berat. Remaja itu terus mengocok penisnya tepat di hadapan mataku.
“Ouucchhh ustadzah….”
Di satu momen aku menyadari jika pandangan mata Dion tak lagi menatap wajahku, namun justru mengarah ke payudaraku. Seperti hari biasanya saat aku datang ke sekolah, aku mengenakan celana kain panjang dipadu kemeja lengan panjang, sesekali aku padu dengan blazzer gelap. Namun hari ini aku tak memakainya. Dari segi penampilan, aku tak cukup menarik perhatian seperti halnya Bu Zubaedah yang sering mengenakan pakaian ketat untuk menunjukkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaianku normal-normal saja.
“Kamu lihat apa Dion??” Tanyaku tiba-tiba, membuat Dion terkejut meskipun masih terus mengocok batang penisnya.
“Ma-Maaf ustadzah…Saya membayangkan payudara ustadzah Arum.” Jawabnya sedikit tergugup. Entah kenapa kepercayaan diriku muncul begitu saja, ada rasa bangga yang menyeruak mengisi relung dadaku saat ini.
“Memangnya keliatan?” Tanyaku, Dion menggeleng, tangan kanannya masih mengocok batang penis yang entah kenapa ukurannya jadi makin membesar.
“Nggak kelihatan tapi, saya suka membayangkannya.” Jawab Dion.
Mungkin inilah penyebab lelaki disuruh menundukkan pandangannya saat bertemu wanita yang bukan muhrimnya, karena sebaik apapun perempuan menutup aurat, ada waktu dimana pria tidak dapat mengendalikan nafsunya. Pandangan mata Dion kian turun ke bawah, kali ini remaja itu mengarahkan pandangan matanya menuju pahaku. Dengan posisi duduk seperti ini, kain celanaku jadi sedikit tertarik ke bawah karena tertekan berat tubuhku. Kedaan ini membuat pahaku jadi tercetak jelas dan memamerkan bentuknya. Aku sedikit menggeser tubuhku dengan tujuan melonggarkannya, Dion sepertinya menyadari akan hal itu, kembali dia menatap wajahku.
“Kadang saat nonton bokep, saya membayangkan wajah ustadzah Arum.” Ucapnya, tangan kanannya masih bergerak maju mundur di batang penisnya sendiri.
“Jadi sekarang kamu sedang membayangkanku?” Tanyaku, sama sekali tak ada kemarahan, yang ada hanyalah rasa penasaranku. Dion mengangguk.
“Apa yang kamu bayangkan sekarang?” Entah kenapa pertanyaan ini begitu menggelitikku, padahal seharusnya aku tak melakukannya.
“Saya membayangkan ustadzah Arum sekarang telanjang sambil ngangkang. Saya bisa melihat vagina ustadzah Arum, payudara ustadzah…”
“Terus…?” Aku masih mengejar jawabannya, rasa penasaran dalam diriku perlahan berganti dengan perasaan aneh yang mulai merayapi tubuhku. Hangat dan sesuatu yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.
“Saya ciumi ustadzah…Ouucchhh Ustadzah…” Dion terus mengocok batang penisnya sambil mengutarakan khayalannya padaku.
Tatapan mata jalang Dion menyusuri tubuhku seolah sedang menelanjangiku. Sama sekali tak ada rasa jengah, justru aku merasakan tersanjung bisa membangkitkan birahi seorang pria meskipun itu muridku sendiri. Wajahku bahkan makin memerah, hangat yang terasa aneh mulai menjalari tubuhku. Gerakan tangan Dion sesekali dipelankan, mengurut sensual batang penisnya yang makin mengeras. Aku bisa dengan jelas melihat otot-otot penisnya membesar.
“Ouuhhh ustadzah Arum!! Saya mau crot…”
Dion mengerang memanggil namaku, gerakan tangannya kembali cepat. Di tengah ceracauan mulutnya, tubuh remaja itu menegang. Mataku mengarah ke bawah menyaksikan bagian ujung penisnya makin mengembung lalu detik berikutnya lubang kencingnya yang kecil menyemburkan cairan putih kental. Saking kerasnya semburan dari penisnya, sperma bahkan sampai menyentuh meja kerjaku. Aku yang awalnya duduk santai reflek menghindar agar tak terkena semprotan sperma muridku itu.
“OOOOUUCCHHHHH USTADZAAHH!!!!”
“Dion!!!”
Aku benar-benar terkejut, seumur hidup inilah pertama kalinya aku menyaksikan seorang pria mengalami ejakulasi secara langsung. Dion masih berdiri di depan meja kerjaku, nafasnya terengah-engah seperti orang yang baru saja melakukan kegiatan menguras energi. Tangan Dion masih mengurut batangnya, aku bisa melihat sisa air mani meleleh dari bagian ujung ke batang penisnya. Tanpa sadar Aku menggigit bibir bawahku sendiri kala mencium aroma aneh sperma yang membasahi meja kerjaku. Sesaat kupandangi ceceran cairan putih yang kental itu kemudian kuarahkan pandanganku pada wajah Dion yang nampak begitu puas.
“Terima kasih ustadzah…” Ujar remaja itu seraya mengenakan kembali celananya. Penisnya tampak sedikit melemas saat mulai tertutupi celana dalam.
“Jangan pergi dulu.” Kataku saat Dion hendak meninggalkan ruang kerjaku. Remaja itu terlihat bingung, mungkin dia mengira aku akan memarahinya.
“Afa apa ustadzah?” Tanyanya dengan raut wajah khawatir.
“Bersihkan air manimu dulu, kamu harus belajar bertanggung jawab dengan apa yang kamu lakukan Dion.” Kataku sambil menunjuk sisa spermanya di meja kerjaku.
“Ba-Baik ustadzah…” Sahut Dion.
“Bersihkan pakai ini, dan jangan pergi sampai benar-benar bersih. Jangan sampai meninggalkan bau juga.” Kataku sembari memberinya sebungkus tissu basah dari tas kerjaku.
“Baik ustadzah…”
“Oke, selamat bekerja.” Ujarku seraya pergi meninggalkan Dion seorang diri di ruang kerjaku.
Aku melangkah pergi menuju kamar mandi, aku merasakan ada yang aneh dengan reaksi tubuhku setelah menyaksikan secara langsung Dion melakukan onani. Selangkanganku terasa begitu lembab cenderung basah. Aku ingin memastikan jika semua baik-baik saja, dengan degup jantung masih berdebar kencang aku bergegas menuju kamar mandi yang berada beberapa meter dari ruang kerjaku.
Namun betapa terkejutnya aku saat hendak membuka pintu kamar mandi sayup terdengar suara rintihan seorang wanita. Baru aku sadari jika pintu kamar mandi tak tertutup secara sempurna, ada celah kecil yang memungkinkan untuk melihat dari luar. Diliputi rasa penasaran, perlahan aku arahkan kepalaku mendekati celah itu.
Apa yang aku lihat sungguh di luar dugaan, dan ini menjelaskan asal muasal suara aneh yang sekarang semakin jelas terdengar di telingaku. Dengan mata dan kepalaku sendiri aku melihat Bu Zubaedah tengah berdiri menyandarkan tubuhnya pada dinding di belakangnya, wajahnya seperti meringis melukiskan pesan berarti dengan mulut yang terbuka seperti menyebut huruf “O” dengan mata merem melek. Bagian bawah tubuhnya sudah tak tertutupi apapun alias telanjang bulat, sementara bagian atas tubuhnya masih mengenakan pakaian dan hijab.
Suara aneh itu semakin terdengar bercampur dengan suara serak dari tenggorokan wanita bertubuh sintal itu. Aku mengarahkan pandanganku pada sosok pria yang berada di bawah tubuhnya, dari postur tubuhnya aku meyakini jika pria itu adalah Pak Hamdan. Berbeda dengan Bu Zubaedah yang nyaris telanjang bulat, Pak Hamdan masih mengenakan pakaian lengkap. Pria itu berjongkok sambil kepalanya diremas Bu Zubaedah yang terlihat pasrah bagian bawah tubuhnya dijilati dan mengeluarkan suara aneh, suara becek yang khas.
“Astagfirullah…” Desisku lirih tak percaya dengan apa yang aku lihat saat ini.
Aku berusaha menutupi mulut dengan tanganku sendiri agar suaraku tak terdengar oleh dua orang itu. Kedua mataku masih mengintip perzinahan mereka berdua dengan dada makin berdegup kencang. Rupanya menyaksikan foto telanjang Pak Hamdan, kemudian ditambah melihat secara langsung Dion melakukan onani bukanlah satu-satunya kejutan untukku, kali ini bahkan aku bisa melihat bagaimana dua orang berlainan jenis melakukan persetubuhan terlarang.
“Arrrggggggghhhttt…”
Tubuh Bu Zubaedah mendadak menegang diiringi suara lenguhan panjang dari bibirnya. Raut wajahnya menandakan kegelisahan, aku masih menerka-nerka dengan apa yang dia rasakan sebelum kemudian Pak Hamdan bangkit berdiri. Petugas kemanan sekolah itu tanpa ampun langsung mencumbu bibir Zubaedah dengan sangat rakus. Bukannya menghindar, Bu Zubaedah malah meladeni ciuman Pak Hamdan tak kalah rakus. Dadaku berdegup makin kencang, rasa penasaran membuncah di ubun-ubun, tak sabar menanti kelanjutan kegiatan mesum mereka berdua.
22367Please respect copyright.PENANArPKHjptWS5
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.8da2