Gemuruh petir menggema kencang timbulkan getaran halus. Pecahan kilat menyambar sekilas terangi kamar perlihatkan cahaya silau. Aku sudah tiba di kamar sebelum sore mendekati akhir. Sejenak kupandangi hujan dari jendela kamarku, pikiranku kembali melayang mengulang semua kejadian di sekolah hari ini. Benakku penuh dengan slide-slide adegan tabu yang aku saksikan di ruang kerjaku saat Dion melakukan masturbasi tepat di hadapanku. Untuk pertama kalinya dalam hidup aku bisa melihat seorang pria yang telah akhil baligh menyemprotkan sperma kental.
Tak hanya itu saja pemandangan tabu yang kulihat hari ini. Memori otakku masih merekam jelas bagaimana Bu Zubaedah mengerang penuh kenikmatan saat liang senggamanya dirojoki penis besar milik Pak Hamdan. Ya Allah, apa yang sebenarnya terjadi padaku hari ini? Seharusnya aku tak boleh melihat segala ketabuan itu, tapi sisi hatiku yang lain mengatakan sebaliknya. Rasa penasaranku membuncah ke titik paling tinggi karena sepanjang hidup tak sekalipun aku pernah menyaksikannya secara langsung.
Tak mau terlalu larut dalam bayangan mesum yang menggelanyuti benak serta pikiranku. Aku memutuskan untuk melangkah ke dalam kamar mandi, sepertinya guyuran air hangat akan menetralkan otakku agar kembali normal. Kulucuti pakaianku satu persatu hingga telanjang bulat, tubuhku bergidik sesaat kala air hangat menerpaku. Kunikmati kehangatannya sembari membasuh kulitku dengan sabun. Tak seperti biasanya, saat jemariku menyentuh permukaan kulit ada getaran aneh di sana. Apalagi saat aku menyabuni payudara dan selangkangan. Aku ingin berlama-lama menyentuhnya, menggeseknya, bahkan tanpa sadar aku mulai mendesah membayangkan jika yang melakukannya adalah…..
Ya Allah!
Otak warasku seolah mengembalikan jati diriku sebagai wanita terhormat yang menjunjung tinggi nilai etika. Kupercepat mandiku dan segera kembali ke kamar. Aku tak mau kembali larut dalam tindakan cabul yang entah kenapa kini semakin akrab denganku.
Guyuran air hujan menghantam begitu keras kaca jendela hantarkan suara berisik. Terlihat jelas, percikan-percikan air yang seperti ingin menerabas masuk. Hmmmph, Aku menghela napas panjang. Handuk tipis berlahan terjatuh saat aku sedikit berjinjit menutup gorden. Belahan pantatku yang mulus kencang, tersingkap seketika. Entah kenapa Aku sama sekali tak merasa terganggu. Mungkin karena aku hanya sendirian di kamar, perasaan bebas begitu menyenangkan.
Usai menutup tirai, aku lantas berbalik dan hempaskan badanku ke atas ranjang. Adzan magrib masih satu jam lagi, tak ada salahnya aku manjakan diriku seperti ini. Begitu pikirku dalam hati. Di saat pikiranku kosong, tiba-tiba godaan itu kembali datang. Aku ingin kembali menyentuh diriku sendiri dan bermain dengan organ-organ intimku.
Aku mulai terpejam dengan raut tersiksa kala tangan kiriku merayap nakal meremas-remas gunduk payudara, sementara yang lain menyelinap ke bawah telusuri helai-helai rambut kemaluan yang selalu kucukur rapi. Dua jariku menekan-nekan bukit vagina, dimana kelentit mungilku tersembunyi di celah sana.
“Uuuuhhh…”
Aku merengek kecil, kala tangan kananku mulai menggesek-gesek. Aku masih perawan sehingga tak berani menelusupkan jariku jauh ke dalam. Namun, merangsang klitoris seperti ini pun sudah cukup bagiku. Sudah bisa membuatku berperang dengan kenikmatan.
Ada selimutan hawa hangat nan ganjil berkisik saat itu, tapi aku kadung karam dengan kegiatan cabul. Remasan-remasan tangan kiriku di buah dada semakin liar, seakan menggiring sekujur badanku untuk mengejang-ngejang pelan tak terkendali. Rasa geli pun mulai menghantar di bawah sana. Aku merasa daging bibir kemaluannku berkedut-kedut geli. Deru nafasku semakin berat. Hingga semua berakhir kala tubuhku tiba-tiba melenting hebat lampiaskan segala hasrat.
“Ooooooohhhh..”
“….”
Sunyi seketika. Sampai Aku terpejam tanpa sadar dibuai suara adzan Magrib dari surau dekat rumahku.
***
Seminggu berlalu setelah pertemuan pertamaku dengan Dion. Awalnya aku berniat menceritakan masalah kecanduan masturbasi salah satu muridku itu dengan Bu Zubaedah tapi aku urungkan niat itu. Dion yang datang sendiri padaku, dia bisa terbuka menceritakan masalahnya, itu artinya Dion sudah begitu percaya padaku. Aku tak ingin merusak kepercayaannya, lagipula ini bisa jadi pengalaman baru di bidang pekerjaanku saat ini.
Karena “kasus” ini pula membuatku jadi penasaran dengan video porno yang membuat Dion kecanduan masturbasi. Beberapa malam terakhir aku beranikan diri untuk mulai menjelajahi website porno guna mencari tau sebab kenapa Dion tak bisa mengontrol keinginannya untuk masturbasi. Tak terhitung sudah berapa banyak video mesum yang aku tonton setiap malamnya, dan semakin aku tonton, rasa penasaranku makin membuncah dan akhirnya berakhir dengan usahaku untuk memuaskan diri sendiri. Kini, apa yang dilakukan oleh Dion justru jadi kegiatanku sehari-hari.
Hari ini aku berada di ruang konseling sendirian karena Bu Zubaedah mendapat tugas untuk mendampingi siswa kelas 10 mengikuti ajang perlombaan IT. Sepanjang hari aku habiskan waktu untuk membuat rangkuman pekerjaan selama beberapa minggu terakhir. Aku data semua siswa yang sempat singgah di ruang konseling, setidaknya jika kepala sekolah menanyakan progres pekerjaanku selama menjadi pembimbing konseling, aku bisa menunjukkan data yang valid.
TOK
TOK
TOK
“Assalamualikum…”
“Waalaikumsalam”
Konsentrasiku terpecah saat pintu ruang kerjaku diketuk oleh seseorang. Dion sudah berdiri di sana dengan senyum mengembang. Entah kenapa jantungku mendadak berdegup kencang saat kembali melihatnya.
“Permisi ustadzah, boleh saya masuk?” Tanyanya dengan sopan.
“Masuk aja Dion.” Remaja itu melangkah pelan menuju meja kerjaku. Aku menyimpan data yang aku kerjakan sebelumnya di folder sekolah sebelum kemudian mematikan komputer. Dion sudah duduk di depanku.
“Ada apa Dion?” Tanyaku, seperti minggu kemarin Dion kembali tertunduk.
“Dion? Kamu kenapa? Apa ada masalah?” Tanyaku kembali, kali ini aku menjadi khawatir dengan sikap Dion.
“Saya tau ustadzah Arum minggu lalu…” Ujarnya lirih, sebuah kalimat menggantung tanpa akhir namun seketika menyadarkanku tentang kejadian minggu lalu. Jangan-jangan anak ini melihatku sedang mengintip kegiatan cabul antara Bu Zubaedah dan Pak Hamdan.
“Dion! Tatap mata ustadzah kalau sedang bicara.” Kataku memberi perintah, Dion langsung menatapku. Jantungku berdegup makin kencang, tapi sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap bersikap tenang.
“Minggu lalu kenapa Dion? Kamu tau apa?” Desakku seolah ingin mencari validasi atas kekhawatiranku.
“Minggu lalu saya melihat ustadzah Arum di kamar mandi sedang melihat Ustadzah Zubaedah dan Pak Hamdan.” Ujar Dion, suaranya masih pelan tapi itu sudah cukup membuatku terperanjat. Bibirku kelu, otakku berputar ribuan kali untuk mencari alasan yang tepat tapi semuanya sia-sia, aku sudah tertangkap basah oleh remaja ini.
“Ustadzah Arum menyukainya?” Pertanyaan Dion bak peluru tajam yang menerobos dadaku.
“Ma-Maksudmu apa???” Aku belum menemukan jawaban yang tepat dan masuk akal, maka satu-satunya cara untuk mengelak adalah memberinya pertanyaan balik.
“Saya juga pernah melihat Ustadzah Zubaedah dan Pak Hamdan seperti yang ustadzah Arum lakukan minggu lalu. Saya menyukainya, apalagi saat Pak Hamdan menyemprotkan spermanya ke wajah ustadzah Zubaedah. Sexy.” Ucap Dion berterus terang tanpa canggung sedikitpun. Justru kini akulah yang nampak kerdil di hadapannya. Bagaimana tidak, aku sudah tertangkap basah mengintip perbuatan cabul oleh muridku sendiri.
“Kadang saya juga membayangkannya saat melakukan onani. Tapi tak seindah seperti saya membayangkan ustadzah Arum.” Lanjutnya. Dalam permainan catur, ucapan Dion barusan adalah langkah terakhir untuk mematikan rajaku. Skak!
“Jadi maksudmu datang ke sini hanya untuk memberitahu hal itu?” Tanyaku dengan wajah tegang, Dion menggeleng pelan. Remaja itu kemudian berdiri dari tempat duduknya, mataku langsung menyasar selangkangannya yang telah menggelembung. Aku tau dia akan melakukannya lagi.
“Saya ingin onani lagi sambil dilihat ustadzah Arum.”
Tanpa menunggu persetujuanku, Dion langsung melucuti ikat pinggang dan celananya hingga bagian bawah tubuhnya telanjang bulat. Wajahku memerah karena gabungan marah dan perasaan malu yang berkecamuk dalam dada. Tangan kanannya lincah turun meraih batang penisnya yang telah mengeras sempurna. Diurutnya batang itu perlahan naik turun sambil matanya menyasar wajahku. Aku sama sekali tak melarangnya, tubuhku seolah terpatri dan dipakasa tetap duduk dan kembali menyaksikannya melakukan onani.
“Ouucchhhh ustadzah Arum…”
“Kenapa? Sakit apa enak?” Tanyaku dengan polos.
“Enak banget ustadzah….Apalagi kalo yang ngocokin tangan ustadzah Arum….”
Dion menghentikan aksi cabul pada batang penisnya, perlahan dia melepaskan tangannya dari penis, membiarkan batangnya mendongak, aku menggigit bibir bawahku saat melihat batang yang terlihat ngaceng keras itu.
“Ustadzah Arum mau coba?” Meskipun terlihat ragu tapi Dion perlahan mendekati tempat dudukku.
Aku tercekat, kali ini aku tak hanya sebatas melihatnya saja. Dion bahkan menawarkan sebuah pengalaman baru dimana aku turut serta dalam tindakan cabulnya. Alarm bawah sadarku meraung-raung sedari tadi, memberitahu jika semua ini adalah sebuah kesalahan besar. Sebagai seorang guru tak sepatutnya aku bersentuhan fisik dengan muridku sendiri. Haram dan dosa!
Tapi sekali lagi, sisi lain dalam diriku mengatakan sebaliknya. Rasa penasaran yang membuncah ditambah dorongan syahwat yang sudah berada di titik tertinggi, sekat tabu sekaligus malu seketika hilang begitu saja. Norma yang selama ini aku pegang runtuh karena hantaman godaan syetan.
Perasaan ingin tahuku meledak tak terbendung, karena perasaan inilah yang membuat aku mendapatkan IPK 4 saat kuliah dulu, karena segala sesuatu yang tidak aku pahami pasti aku cari tahu jawabannya, hanya saja aku tidak menyangka nafsuku yang membawaku ke titik ini. Perlahan tanganku masuk ke dalam kerudung panjang yang aku kenakan, lalu aku turun berlutut di antara celah kaki Dion. Aku dapat melihat wajah Dion sangat tidak percaya dengan apa yang sedang aku lakukan sekarang.
“Oucchhh ustadzah….” Erangnya, walaupun aku sama sekali belum menyentuhnya.
Aku membawa tanganku yang berlapiskan kain kerudung menggenggam batang penisnya yang keras. Batangnya terasa sangat keras, padat, dan hangat. Walaupun berlapiskan kain kerudung, aku dapat merasakan setiap urat yang timbul di sekeliling batang penis Dion.
“Aaaahhh Ustadzah….” Dion kembali mendesah, tangannya mencoba memegang kepalaku tapi aku masih sempat menepisnya. Aku menatap matanya sedikit marah, seakan memberi tahu kalau ada batasan yang tak bisa dia langgar. Dion beringsut, tak melanjutkan aksinya.
“Ma-Maaf ustadzah…” Ucapnya lirih.
Pandangan mataku kemudian turun kembali pada batang penisnya. Syahwatku bergejolak dan mengajakku untuk setidaknya mencoba mencium lubang kencingnya seperti halnya yang sering aku saksikan di video-video porno beberapa hari terakhir. Tapi sekuat hati aku tepis keinginan liar itu, aku hanya menggigit bibir bawahku untuk menahan gejolak sambil mulai mengurut batang penis Dion.
Tanganku belum sepenuhnya lincah dan terbiasa mengocok alat kelamin pria, sesekali Dion meringis seperti menahan sakit, yang aku lakukan hanyalah meniru gerakan tangan Dion saat onani. Namun lama kelamaan tanganku mulai bisa beradaptasi, aku merasakan kenyamanan lewat cengkraman tanganku yang berlapis kain kerudung pada batang penisnya.
“Ouucchhhh ustadzah…Enak banget….”
Dion melihat wajahku yang hanya beberapa inchi dari batang penisnya. Aku merasakan penis itu mulai terasa berdenyut. Tanganku bergerak naik turun makin cepat.
“Ahhhh! Jangan kenceng-kenceng ustadzah…Ngilu banget…” Protes Dion dengan wajah memelas.
Aku melonggarkan sedikit genggamanku pada batang penisnya sebelum kemudian kembali mengocoknya perlahan. Aku bisa merasakan penis muridku itu berdenyut berkali-kali saat gerakan tanganku bergerak ke bawah, mengarah ke pangkal penis.
“Dion udah pernah dikocokin kayak gini?” Tanyaku. Tanganku terasa pegal namun aku tetap menggerakkannya naik turun, mengocok penis Dion.
“Ahhh..Belum pernah ustadzah…Ustadzah wanita pertama yang melakukannya.”
“Masih sakit?” Tanyaku kembali, kami saling bertatapan, kulihat ekspresi keenakan di wajahnya.
“Nggak ustadzah…I-Ini enak banget…Eeemppffhhh..” Jawab Dion sambil terus melenguh menikmati kocokan tanganku pada batang penisnya.
Pujian Dion membuat hatiku berbunga-bunga, seolah tertantang, aku rubah gerakan tangan yang sedari tadi hanya naik turun, kini sesekali kuselingi dengan gerakan memutar seperti sedang meremas. Aku mempraktekan apa yang sempat aku lihat di sebuah video porno tadi malam. Dion makin belingsatan, dari ekspresi wajahnya serta respon tubuhnya yang mengejang aku bisa memastikan jika apa yang aku lakukan membuatnya keenakan.
“Ouucchhh! Ustadzah! Aku nggak kuat lagi!! Pengen crot!!” Erang Dion keenakan. Satu tangannya meremas permukaan meja untuk menahan berat tubuhnya karena aku melarangnya memegang kepalaku. Alam bawah sadarku menanyakan arah semprotan spermanya akan kemana, sementara wajahku hanya berjarak sekian senti dari ujung penisnya.
“Aaahhh! Ustadzah!!! Ustadzaahh!!” Dion mengerang dan aku dapat merasakan batangnya berdenyut kuat di dalam genggaman tanganku, beberapa detik kemudian cairan kental berwarna putih tiba-tiba muncrat begitu saja. Celakanya cairan itu langsung menerpa wajahku tanpa bisa aku hindari.
“Dion!!! Ummph!” Aku reflek menutup mulutku agar spermanya tak menyasarnya.
Spermanya terus muncrat begitu banyak, karena panik dan tak memiliki pengalaman sebelumnya, lubang kencingnya langsung kututup dengan kain kerudungku dan membiarkan air maninya meluap di tanganku. Entah kenapa tanganku masih bergerak naik turun mengurut batang penisnya, seolah ingin mengeluarkan semua sari-sari sperma di dalam sana.
Saking banyaknya sperma yang keluar dari penis Dion, kain kerudungku jadi belepotan dengan cairan kental berwarna putih pekat, pun begitu pula dengan wajahku. Nafas Dion naik turun tak beraturan, aku tunggu dia hingga menuntaskan semua hajat birahi sebelum kemudian melepas genggaman tanganku pada batang penisnya. Kugunakan bagian bawah kain kerudungku yang lolos dari semprotan sperma untuk membersihkan wajah. Dion menatapku dengan pandangan yang aneh, entah apa yang ada dalam pikiran remaja itu.
“Ustadzah Arum makin cantik kalo belepotan peju.” Ujarnya sambil tersenyum. Aku mendelik ke arahnya.
“Buruan pakai celanamu dan kembali ke kelas!” Perintahku tegas. Wajah ceria Dion seketika musnah berganti dengan kepanikan saat menyaksikan ekspresi kemarahanku.
Dion tergesa memakai kembali celananya sebelum kemudian berpamitan padaku untuk kekmbali ke kelas. Kini giliranku yang jadi panik karena kerudungku telah basah dan lengket akibat semprotan sperma Dion. Aku memutar otak bagaimana caranya menyembunyikan noda di kerudungku ini, karena jika samapi ada yang tau maka bisa makin runyam. Satu-satunya solusi adalah mengganti kerudung, beruntung di mobil aku ingat menyimpan selembar hijab, maka dengan tergesa aku mengambilnya untuk segera kupakai.
3036Please respect copyright.PENANAcAUUQ7zJq0
***
3036Please respect copyright.PENANA88C5rwN4RW
Pulang kembali ke rumah aku segera menuju ruang cuci pakaian, beruntung pembatuku sedang pergi jadi tak ada yang tau saat aku mengeluarkan kerudungku yang terdapat noda bercak sperma Dion. Saat aku mengeluarkan kain halus itu dari dalam tas dan perlahan membukanya lebar-lebar, bercak sperma tercetak di sana membentuk cetakan-cetakan warna yang berbeda dengan warna kain kerudungku. Pikiranku kembali melayang, mengulang kejadian saat Dion memuncratkan spermanya ke wajahku. Tak sadar aku sampai menggigit bibirku sendiri.
Masih jelas rasanya saat jemariku merasakan keras dan hangatnya batang penis muridku itu. Aku begitu menikmati saat Dion melenguh pasrah menikmati kocokan jemariku pada pusakanya. Ini memang pengalamanku yang pertama, tapi aku pastikan sepanjang hidup tak akan pernah terlupakan. Perlahan kuarahkan kain kerudung yang ada bekas sperma Dion, kuciumi aromanya, kuendus beberapa kali layaknya seekor anjing pelacak yang mencari buruannya.
Ya Allah….
Aku menyukai aroma ini, aroma kejantanan. Tanpa sadar aku mulai menciumi bekas sperma di kain kerudungku, menjulurkan lidah lalu menjilatinya. Rasanya aneh, tapi aku tetap menyukainya. Penyesalanku, seharusnya tadi aku coba cicipi sperma Dion langsung dari sarangnya. Sisi liar dari dalam diriku menyeruak, menginginkan hal lebih dibanding kejadian hari ini.
3036Please respect copyright.PENANA9ASS6tMx0s
BERSAMBUNG
Cerita "USTADZAHKU KEKASIHKU" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI3036Please respect copyright.PENANA2poIoL8cbx