#4
Bertemu Mbok Warni
2665Please respect copyright.PENANAaUcfky9bB6
Malam hari aku datang ke rumah Mbok Warni. Rumahnya cukup besar dan halamannya luas. Kulihat ada beberapa motor dan satu mobil terparkir di depan rumahnya. Nampaknya banyak tamu yang datang ke sini.
Aku pun duduk di sebuah kursi, menunggu antrean di teras rumahnya. Kulihat ada orang yang sakit, mau berobat ke Mbok Warni. Ada juga kulihat orang berpakaian rapi dan necis, mungkin dia sedang punya masalah, mangkanya datang ke sini.
Setelah menunggu sekitar satu jam, akhirnya giliranku yang masuk ke dalam. Ada satu perempuan yang mengarahkanku untuk masuk ke dalam sebuah ruangan. Di dalam ada Mbok Warni yang menunggu.
Aku lihat Mbok Warni duduk di sebuah kursi. Ia mengenakan kebaya warna hitam. Rambutnya digelung kemudian memakai semacam bandana berwarna emas. Ia memakai make up dan lipstik warna merah.
Memang terlihat Mbok Warni terlihat jauh lebih muda daripada usianya. Lalu kulihat di belakangnya, ada sejumlah pusaka yang dipajang di dinding. Diantaranya ada keris, pedang, dan trisula. Oh, ini yang dimaksud Pakde Arif.
“Sini mas, silahkan duduk,” kata Mbak Warni memulai percakapan kami.
Sepertinya ia tak mengenaliku.
“Mbok lupa sama saya?”
“Siapa ya?”
“Aku mbok, anaknya Pak Dadang, cucu dari Mbak Karim,” kataku.
“Oh, kamu. Siapa namamu? Lupa aku.”
“Aku Irwan, mbok.”
“Oh, ya Irwan,” ucapnya. Entah dia benar ingat aku atau hanya pura-pura ingat saja.
“Mau apa datang ke sini? Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya.
“Ini mbok, usaha saya beberapa bulan ini mulai seret. Mohon bantuannya mbok, supaya laris lagi,” langsung kusampaikan masalahku.
“Apa usahanya?”
“Aku jual beli mobil bekas mbok, beberapa bulan ini, sulit lakunya.”
“Oh, butuh penglaris kamu ya. Iya, bisa saya bantu,” ucap Mbok Warni, lalu ia mengambil keris di sampingnya.
Aku diam saja.
Kulihat ia mengangkat keris itu, kemudian menggerakkan di depan wajahku. Lalu ia putar-putar di atas kepalaku.
Aku masih diam saja, melihat apa yang dilakukannya.
Lalu Mbok Warni menghentikan kerisnya tepat di depan wajahku. Keris ia hadapkan ke atas. Lalu ia memejamkan mata dan mulutnya komat-kamit, seperti membacakan doa.
Sekitar 10 menit dia melakukan ini. Aku masih diam saja. Menantikan Mbok Warni menyelesaikan itu. Akhirnya beberapa saat kemudian, ia membuka matanya dan selesai membacakan doa. Keris kembali ia masukan dalam sarungnya.
“Setelah saya terawang, kenapa usahamu tidak lancar, ada orang yang tidak suka dengan kamu. Ada orang yang sedang mencoba mengganggu usahamu. Orang itu tidak senang usahamu lancar,” kata Mbok Warni.
Deg! Aku pun cukup terkejut dengan ucapannya. Apa iya, ada orang yang tidak suka aku? Sampai dia ganggu aku, hingga bikin usahaku kayak gini.
Sebelumnya, aku mendatangi ke beberapa orang pintar, tidak ada yang mengatakan penyebab seretnya usaha yang kujalani.
“Siapa orang itu yang ganggu aku mbok?” tanyaku, sedikit emosi.
“Udah, kamu tidak perlu tahu siapa orangnya. Jadi orang ini, istilahnya memagari tempat usahamu secara ghaib, agar kamu susah buat jualan. Biasanya dia sudah tebar garam atau kemenyan di tempat usahamu,” katanya.
“Oh, terus gimana mbok, cara mengatasinya? tanyaku.
“Aku akan mencoba membantu membuka pagar ghaib itu, agar usahamu lancar kembali,” ucapnya.
“Iya mbok, tolong banget,” kataku.
Lalu, Mbok Warni mengambil kerisnya lagi, ia ambil dari sarungnya. Ia pegang di tangan kirinya. Kemudian ia ambil segenggam gula dari sampingnya dengan tangan kanannya.
Diarahkan keris itu ke gula yang digenggamnya. Kemudian mulutnya kembali komat-kamit membacakan doa. Cukup lama ia membacakan doa.
Beberapa menit kemudian, ia selesai membaca doa. Lalu menaruh gula itu ke dalam plastik klip. Lalu ia menyerahkan gula itu ke aku.
“Ini gula untuk membuka pagar ghaib yang menghalangi tempat usahamu. Sekaligus sebagai penglaris, untuk menarik rezeki, untuk melancarkan usahamu,” ujarnya.
“Iya mbok. Terimakasih,” hanya itu yang bisa kuucapkan saat menerima gula darinya.
“Ini kamu tabur 3 kali di tempat usahamu. Nanti malam setelah pukul 12 malam. Kemudian pagi sebelum kamu buka tempat usahamu, terakhir sore saat kamu tutup tempat usahamu,” ucapnya.
“Iya mbok,” jawabku.
“Tabur dikit-dikit tapi merata. Di pintu, di dalam, di halaman, pokoknya merata,” ucapnya lagi.
“Iya mbok,” jawabku lagi.
“Sebelum menabur, hentakkan dulu kakimu tiga kali, lalu dalam hatimu ucapkan doa: bumi apusen sing marai ciloko, apusen sing marai ora iso obah, apusen sing marai loro,” ucapnya.
“Iya mbok. Terimakasih,” ucapku.
“Berapa mbok biayanya?” tanyaku.
“Seikhlasnya,” jawabnya.
Aku pun bingung harus ngasih berapa. Kemarin di tempat lain, ada yang minta Rp 100 ribu hingga Rp 250 ribu. Tapi kali ini aku kenapa yakin sama Mbok Warni, sehingga aku ngasih dia Rp 500 ribu.
“Ini mbak, terimakasih banyak atas bantuannya,” ucapku.
“Iya sama-sama,” jawabnya.
Aku pun kemudian berjalan ke arah keluar.
“Wan, tunggu. Sini,” panggil Mbok Warni. Aku pun langsung menghentikan langkahku, dan kembali kepadanya.
“Iya mbok, ada apa lagi?” tanyaku.
“Lancar atau tidak usahamu setelah ini, kembalilah ke sini pada Malam Jumat Legi yang akan datang,” pintanya.
“Kenapa mbok?” tanyaku, penasaran.
“Masih ada satu lagi yang harus aku lakukan, agar usahamu makin lancar,” jawabnya.
“Iya mbok, terimakasih banyak,” aku senang mendengarnya.
“Iya, pulanglah,” ungkapnya.
Aku pun bergegas pulang, sambil mengingat-ingat doa yang diberikannya tadi.
2665Please respect copyright.PENANAmU9RBOWFwx
***2665Please respect copyright.PENANAJdqulKPQjn