#3
1090Please respect copyright.PENANAWQOYorptNU
Jafiaa membuka kamarnya lalu masuk ke dalam. Namun Fauzi menghentikan langkahnya, tak mengikutinya. Berhenti pas di tengah pintu. Matanya melihat ke dalam kamar itu. Sangat luas, tiga kali lipat ukuran kamarnya.
Temboknya berwarna putih. Tidak ada barang apapun di dalamnya, kecuali sebuah ranjang yang cukup besar berwarna keemasan. Dengan kasur empuk di atasnya, terbungkus sprei putih.
Jafiaa duduk di atas ranjang tersebut dan menghadap ke arah Fauzi. “Ayo masuk,” ucapnya.
“Tidak. Tidak boleh, laki-laki dan perempuan dalam bukan muhrim dalam satu kamar. Ini bisa menjadi dosa,” jawab Fauzi.
“Sudah berapa kali aku katakan, dan akan sampai berapa kali lagi aku mengatakan. Di sini tidak ada dosa. Dosa hanya di duniamu,” kata Jafiaa.
“Memangnya aku sekarang ini di mana? Ini di mana? Ini tempat apa? Fauzi bertanya.
“Kita sudah berada di alam berbeda. Jangan berbicara dosa di sini. Kita bebas melakukan apa saja. Jangan takut dosa. Kita tidak akan berdosa di alam ini,” Jafiaa kembali mempertegas.
“Ha? Apa maksudmu?” tanya Fauzi lagi.
“Sudah. Aku lelah menjelaskan kepadamu. Sekarang kamu mau bertemu istrimu apa tidak? tanya Jafiaa.
“Iya mau, mana istriku, mana istriku, mana? Fauzi tidak sabar.
“Masuklah. Jangan banyak bertanya lagi,” singkat Jafiaa.
Fauzi ragu. Ia takut masuk ke dalam kamar itu. Karena hanya akan berdua dengan Jafiaa. Namun demi bertemu istrinya, ia melawan rasa takutnya. Mulailah ia melangkahkan kakinya.
Brekkk.. pintu kamar tiba-tiba tertutup saat Fauzi sudah berada di dalam. Ia panik. Coba membuka pintu kamar itu. Tapi tak bisa.
“Kenapa ini, kenapa kau mengunciku di dalam?” kata Fauzi, sambil menarik gagang pintu, berusaha membukanya.
“Jangan panik. Sekali lagi, saya ingatkan. Jangan banyak bertanya. Turuti semua perkataanku, jika kau ingin berjumpa istrimu. Jika memang kau tidak mau bertemu istrimu, silahkan tinggalkan tempat ini. Kembalilah ke duniamu,” Jafiaa berbicara dengan kesal.
Fauzi kembali terdiam.
“Iya. Aku sangat ingin bertemu istriku,” kata Fauzi dengan nada lemas.
“Kemarilah, mendekat ke aku,” kata Jafiaa.
Jafiaa sangat tertarik pada ketampanan Fauzi. Bukan hanya Jafiaa, cukup banyak wanita yang tertarik pada Fauzi. Selain ketampanannya, juga karena ia adalah seorang yang taat beragama. Namun Fauzi menolak semua wanita yang mendekatinya, tidak ada yang pas dengannya, kecuali Sahidah. Sahidah adalah cinta pertamanya dan langsung ia nikahi.
Fauzi sudah berada dekat di hadapan Jafiaa. Jaraknya hanya selangkah. Tangan Jafiaa kemudian meraih resleting gaun di punggungnya, ia tarik ke bawah, hingga terlihat punggungnya.
“Ha? kenapa kau mau melepas bajumu?” tanya Fauzi. Ia kemudian mundur beberapa langkah.
“Kenapa kau masih bertanya lagi, bukannya aku sudah bilang, jangan banyak bertanya dan ikuti kemauanku, kalau kau masih ingin bertemu istrimu,” Jafiaa kesal.
“Emangnya kita mau apa?” tanya Fauzi.
“Bercintalah denganku. Setelah itu akan kutemukan kau dengan istrimu,” ucap Jafiaa.
“Ha?” Fauzi kaget dengan ucapan Jafiaa.
“Jangan kau tipu aku.” Fauzi marah.
“Kenapa ada syarat ini?” bentak Fauzi.
Jafiaa diam. Kesal. Ia menghela nafas. “Aku tidak akan bohong,” ucapnya.
“Kalau begitu, aku mau bercinta denganmu, tapi aku juga punya satu syarat,” kata Fauzi.
“Apa itu?” tanya Jafiaa.
“Aku ingin melihat istri sebentar saja. Sebagai tanda kamu tidak membohongiku. Biar aku yakin dia ada di sini. Setelah itu, aku mau bercinta denganmu. Aku berjanji,” kata Fauzi.
“Oke. Aku pegang janjimu,” singkat Jafiaa. Kemudian ia menaikkan kembali resleting gaun di punggungnya.
Jafiaa berdiri. “Ikuti aku,” ucapnya.
Jafiaa membuka pintu kamarnya dengan mudah, yang sebelumnya tak bisa dibuka Fauzi.
Jafiaa keluar kamar. Fauzi mengikutinya.
Jafiaa menuju salah satu kamar di sana dan membuka pintunya. “Itu lihat, siapa di dalam,” katanya.
Fauzi langsung menuju ke pintu kamar itu. Fauzi seketika tertegun. Ia melihat istrinya duduk di atas ranjang yang sama bentuk dan warnanya seperi di kamar Jafiaa.
Ia mengucek matanya, memastikan itu benar istrinya. Fauzi juga mencubit tangannya, memastikan ini bukan mimpi. Benar, ia merasa ini nyata. Benar, yang ia lihat adalah istrinya.
Fauzi sangat senang sekali. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan ini, Fauzi langsung masuk ke dalam, menghampiri istrinya.
Namun ketika berlari ke arah Sahidah, kakinya kemudian memaku. Langkahnya terhenti tiba-tiba.
Fauzi hanya bisa berdiri. Tidak bisa melangkah. Mulutnya juga tak bisa bersuara lagi. “Mmmm… mmm.. mmm….”
Di depannya, ia melihat Sahidah juga memakai gaun putih yang panjang. Tidak memakai kerudung. Wajahnya bercahaya, terlihat sangat cantik dari yang pernah ia lihat selama ini.
Fauzi begitu senang akhirnya bisa kembali melihat istrinya. Meskipun ia tak bisa mendekat kali ini.
Lalu Sahidah dengan gerak yang gemulai membuka gaun yang dipakainya. Ia pelan-pelan melucuti apa yang yang menutupi tubuhnya hingga telanjang.
Fauzi pun langsung bergairah melihat tubuh istrinya. Tubuh Sahidah terlihat sangat sempurna kali ini. Serta terlihat memancarkan cahaya.
Fauzi sudah tidak tahan, kejantannya berdiri melihat buah dada dan kewanitaan istrinya yang terlihat jelas, menggoda di hadapannya. Ia benar-benar ingin mendekat ke istrinya. Ia ingin memeluk istrinya. Ia ingin melepaskan kerinduan. Ia ingin mencumbu istrinya.
Sahidah tersenyum ke arah Fauzi, kemudian mengisyaratkan tangannya ke Fauzi untuk mendekat.
Namun apalah daya, kaki Fauzi masih diam terpaku. Tak bisa mendekat.
Dari belakang, Jafiaa mendekati Fauzi. Ia kemudian bertanya padanya.
“Aku sudah mempertemukanmu dengan istrimu, sekarang mari bercinta denganku sesuai janjimu,” kata Jafiaa.
Namun Fauzi menggelengkan kepala. Ia menolak melakukannya dengan Jafiaa. Fauzi jelas memilih istrinya, Fauzi ingin bercinta dengan istrinya.
“Kau sudah tak menepati janjimu. Pergilah dari sini,” ucap Jafiaa.
Seketika pandangan Fauzi gelap. Ia tak bisa melihat istri maupun Jafiaa lagi. Ia tak bisa melihat apa-apa. Ia kebingungan.
“Hah…. hah…. hah….” Fauzi kebingungan. Kemudian tubuhnya jatuh tersungkur ke bawah. Barulah ia bisa melihat lagi. Namun ia sudah berada di tempat berbeda. Ia sudah kembali di atas sajadah di kamarnya. Tempat ia berdzikir.
“Istriku… Sahidah…,” teriak Fauzi. Ia sudah bisa berbicara kembali. Kakinya juga sudah bisa bergerak dan berdiri lagi. Ia berlari ke arah dinding di depannya. Tempat di mana lorong cahaya muncul tadi, untuk menuju ke tempat istrinya.
“Istriku….,” teriak Fauzi lagi sambil memegangi dinding itu. Berharap lorong cahaya itu muncul kembali.
“Sahidah…..,” teriak Fauzi. Ia pun menangis.
Berkali-kali Fauzi meneriaki nama istrinya sambil menangis.
Orangtua dan saudara Fauzi yang mendengar ini, langsung panik. Mereka masuk ke kamar Fauzi. Mereka melihat Fauzi menangis di dinding, tangannya terus meraba-raba dinding itu sambil menyebut nama Sahidah.
“Mas… tenang mas...,” ucap adik Fauzi menenangkan.
“Sudah nak… Ikhlaskan istrimu,” ucap ibu Fauzi.
“Biarkan Mbak Sahidah tenang mas,” ucap adik Fauzi.
Jam di dinding menunjukkan pukul 6 pagi. Fauzi terlambat menunaikan Sholat Shubuh. ***
ns 15.158.61.48da2