Chapter 1.
Di antara presenter berita di negeri ini, hanya ada segelintir yang mengenakan hijab. Di antara mereka, Aliyah adalah salah satu yang paling menonjol. Wajahnya yang cantik dan anggun, dipadukan dengan hijab yang selalu rapi, membuatnya menjadi sosok yang tak hanya memikat di depan kamera, tetapi juga memberikan ketenangan bagi jutaan pemirsa. Setiap malam, suaranya yang lembut dan penuh ketenangan membawa berita-berita penting ke ruang tamu jutaan orang, membuat isu-isu berat terasa lebih mudah diterima.
Di balik layar kaca yang gemerlap, suasana di studio stasiun TV selalu dipenuhi kesibukan yang tak pernah berhenti. Suara langkah kaki para kru menggema di lantai marmer, diselingi dengan bisikan-bisikan dan arahan dari produser melalui headset. Lampu-lampu sorot yang menyilaukan mulai menyala, menyoroti meja berita dengan intensitas yang tak kenal kompromi. Namun, di tengah hiruk-pikuk itu, Aliyah duduk tenang di kursinya, bersiap memulai tugas malamnya.
Setiap kali ia berada di sini, dunia di sekelilingnya seolah terhenti. Hijabnya tersusun rapi, sepadan dengan setelan blazer biru tua yang memberikan sentuhan elegan pada penampilannya. Aliyah menarik napas dalam, menenangkan detak jantung yang sedikit meningkat. Meski sudah bertahun-tahun menjadi presenter berita utama, setiap kali ia berada di depan kamera, ada rasa gugup yang selalu menyelinap. Namun, senyumnya yang tenang tak pernah luntur, membawa aura kesejukan bagi setiap orang yang berada di sekitarnya.
Di sudut ruangan, Andreas, sang produser, berdiri dengan sikap tegas, memberikan instruksi terakhir. "Aliyah, siap di posisi. Lima detik menuju live," ucapnya sambil memandangnya dengan pandangan penuh keyakinan. Bagi Andreas, Aliyah adalah sosok yang tak tergantikan. Ketenangan dan karisma yang dimilikinya mampu menyampaikan berita paling kelam sekalipun dengan cara yang membuat pemirsa tetap tenang.
"Lima... empat... tiga... dua... satu... dan live!" seru suara dari ruang kontrol.
Aliyah mengangkat kepalanya perlahan, menatap lurus ke kamera di depannya, seolah-olah ia berbicara langsung kepada setiap individu yang menyaksikannya. Bibirnya mulai bergerak, mengucapkan kata-kata yang tersusun rapi dalam setiap berita yang ia bawakan. Suaranya lembut, namun tegas, seperti angin sejuk yang menyapu malam. Setiap kata yang meluncur keluar dari bibirnya terdengar sempurna, seolah-olah ia telah melafalkannya berulang kali di dalam benaknya.
Namun, di balik ketenangan itu, Aliyah sering kali merasa ada ruang kosong dalam dirinya. Sebuah kehampaan yang tak bisa dijelaskan. Hatinya, yang selama ini ia bentengi dengan dinding kokoh, mulai merasakan getaran-getaran aneh setiap kali ia melangkah keluar dari studio.
Setelah selesai membawakan berita, Aliyah melangkah keluar dari studio dengan langkah yang sedikit lesu. Di lorong sempit yang menuju ke ruang makeup, ia bertemu dengan Andreas, produser muda yang baru saja bergabung dengan timnya. Andreas adalah sosok yang tegas dan profesional, tetapi ada sesuatu yang berbeda malam itu. Dia adalah seorang lelaki asal Flores NTT. Kulitnya hitam manis dan rambutmnya keriting. Tapi terlihat gagah bagi Aliyah.
Andreas menghentikan langkahnya dan memanggil Aliyah, "Aliyah, bisa bicara sebentar?"
Aliyah menoleh, sedikit terkejut. "Tentu, ada apa, Andreas?"
Wajah Andreas tampak serius, tetapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang membuat Aliyah merasa nyaman. Sejenak mereka saling menatap sebelum Andreas mulai berbicara lagi.
"Aku cuma mau bilang... kamu benar-benar luar biasa di depan kamera. Setiap kali aku melihatmu membawakan berita, aku bisa merasakan ketulusan dan dedikasimu," kata Andreas dengan nada tulus.
Aliyah tersenyum kecil, merasa sedikit tersanjung dengan pujian itu. "Terima kasih, Andreas. Itu bagian dari pekerjaanku."
Andreas menggeleng pelan, langkahnya semakin dekat ke arah Aliyah. "Bukan hanya sekadar pekerjaan, Aliyah. Kamu membawa sesuatu yang berbeda. Dan... sebenarnya, sudah lama aku ingin mengatakan sesuatu padamu."
Aliyah merasakan jantungnya berdetak lebih cepat. Nada suara Andreas yang serius namun lembut membuatnya sedikit gugup. "Apa itu, Andreas?"
Andreas menarik napas dalam-dalam, mencoba mengumpulkan keberanian. "Aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tapi... aku ingin mengenalmu lebih baik. Bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai seseorang yang lebih dari itu."
Aliyah terdiam, menatap Andreas. Ini pertama kalinya seseorang di tempat kerjanya berbicara dengan begitu jujur padanya. Andreas memang pria yang menarik, tetapi Aliyah tidak pernah membayangkan akan terjadi sesuatu di antara mereka.
"Andreas, aku... aku nggak tahu harus bilang apa. Aku nggak pernah berpikir tentang kita seperti itu," jawab Aliyah dengan jujur.
Andreas mengangguk, wajahnya tetap tenang. "Aku mengerti, Aliyah. Aku cuma ingin jujur padamu. Tidak ada tekanan, tidak ada paksaan. Aku cuma berharap kita bisa saling mengenal lebih dalam."
Aliyah melihat ketulusan di mata Andreas. Di dalam hatinya, ada perasaan baru yang mulai tumbuh, perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Mungkin, untuk pertama kalinya, Aliyah ingin mencoba membuka hatinya.
"Baiklah, Andreas. Kita lihat ke mana ini akan membawa kita," jawab Aliyah dengan senyum yang lembut.
Mereka tersenyum satu sama lain, dan malam itu, Aliyah merasakan ada cahaya baru yang mulai menyinari hidupnya. Dunia di balik layar kaca, yang biasanya dingin dan penuh tekanan, kini terasa lebih hangat dan penuh harapan. Andreas menjadi alasan baru bagi Aliyah untuk menantikan setiap hari dengan semangat yang berbeda.
Namun, ketika lampu-lampu studio padam, dan Aliyah kembali ke apartemennya, pikiran-pikiran gelisah mulai menyelimuti hatinya. Ia tidak bisa mengabaikan satu hal yang terus membayangi pikirannya—perbedaan keyakinan di antara mereka. Aliyah adalah seorang Muslimah yang taat, sementara Andreas adalah seorang Kristen yang juga memegang teguh keyakinannya.
Malam itu, Aliyah duduk sendirian di ruang tamu apartemennya. Di depannya, cermin besar memantulkan bayangan dirinya yang sedang termenung. Dalam hatinya, ada pergulatan antara perasaan cinta yang mulai tumbuh dan prinsip hidup yang selama ini ia pegang erat.
"Apa yang sedang aku lakukan?" gumamnya pelan pada dirinya sendiri. "Ini tidak akan mudah..."
***
Keesokan harinya, suasana di studio terasa berbeda. Aliyah mencoba bersikap seperti biasa, tetapi ada sesuatu yang mengganjal di hatinya. Saat mereka bertemu kembali di studio, Andreas bisa merasakan perubahan dalam sikap Aliyah. Senyuman Aliyah tidak secerah biasanya, dan Andreas bisa melihat ada beban di matanya.
"Aliyah, ada yang salah? Kamu kelihatan nggak seperti biasanya," tanya Andreas dengan nada khawatir.
Aliyah menunduk, mencoba menyusun kata-kata yang tepat. "Andreas, aku... aku ingin kita jujur satu sama lain. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, dan aku rasa kamu perlu mengetahuinya."
Andreas mengangguk, siap mendengarkan apapun yang ingin disampaikan Aliyah.
Aliyah menarik napas panjang sebelum mulai berbicara. "Tentang pembicaraan kita tempo hari!”
“Gimana Aliyah?”
“Jujur aku akui aku juga suka sama kamu, Andreas. Tapi... kita berbeda. Aku seorang Muslimah, dan kamu seorang Kristen. Ini bukan masalah sepele bagi kita, terutama bagi orang-orang di sekitar kita. Aku harus mempertimbangkan ini dengan sangat serius."
Andreas sudah menduga hal ini akan muncul, tetapi tetap saja mendengarnya dari Aliyah membuat hatinya sedikit tersentuh. "Aliyah, aku mengerti. Perbedaan ini memang bukan hal yang mudah diatasi. Aku juga tahu betapa pentingnya keyakinanmu bagimu. Tapi aku percaya, kalau kita jujur dan terbuka, kita bisa menemukan cara untuk mengatasi ini bersama-sama."
Aliyah menatap Andreas dengan tatapan lembut, tetapi penuh keraguan. "Aku berharap bisa begitu, Andreas. Tapi ada begitu banyak hal yang harus dipikirkan. Keluarga, teman, masa depan... semuanya bisa sangat rumit."
Andreas menggenggam tangan Aliyah dengan lembut, memberikan kekuatan yang ia bisa. "Aliyah, aku nggak akan memaksakan apapun padamu. Aku cuma ingin kita punya kesempatan untuk melihat apakah kita bisa menjalani ini bersama. Tapi keputusan ada di tanganmu. Aku akan menghormati apapun yang kamu pilih."
Aliyah merasa hatinya hancur. Dia tahu Andreas adalah pria yang baik, dan perasaannya terhadapnya tidak bisa dipungkiri. Tetapi masa depan yang mereka impikan mungkin saja berbeda.
"Aku butuh waktu, Andreas. Waktu untuk berpikir dan memastikan bahwa apapun yang kita putuskan, itu adalah yang terbaik untuk kita berdua," kata Aliyah dengan suara yang hampir bergetar.
Andreas mengangguk, memahami sepenuhnya. "Aku akan menunggumu, Aliyah. Apapun yang kamu putuskan, aku akan menghormatinya."
Aliyah tersenyum kecil, merasa sedikit lega, tapi juga tahu bahwa keputusan ini tidak akan mudah. Perjalanan mereka masih panjang, penuh tantangan, dan mungkin mereka akan harus menghadapi kenyataan bahwa cinta saja tidak selalu cukup untuk menyatukan dua jiwa yang berbeda keyakinan.
Hari-hari berikutnya, Aliyah terus merenung. Ia tak bisa mengabaikan perasaannya terhadap Andreas, tetapi ia juga tak ingin mengkhianati keyakinan dan prinsip hidupnya. Setiap kali mereka bertemu di studio, ada kecanggungan di antara mereka, namun Andreas selalu menunjukkan kesabaran dan pengertian.
Suatu malam, Aliyah memutuskan untuk berbicara dengan seorang teman dekatnya, Nafisyah, yang juga seorang Muslimah yang taat. Mereka bertemu di sebuah kafe kecil yang tenang, tempat mereka biasa berbincang.
"Nafisyah, aku butuh nasihatmu," kata Aliyah dengan suara pelan setelah beberapa saat mereka berbicara.
Nafisyah menatap Aliyah dengan penuh perhatian. "Apa yang terjadi, Aliyah? Kamu kelihatan bingung."
Aliyah menceritakan segalanya—tentang Andreas, perasaannya, dan keraguannya. Nafisyah mendengarkan dengan saksama, tanpa memotong cerita Aliyah.
"Aliyah, perasaanmu pada Andreas itu wajar. Cinta bisa datang pada siapa saja, kapan saja. Tapi kita juga harus realistis dan memikirkan masa depan kita," kata Nafisyah bijaksana.
"Aku tahu, Nafisyah. Tapi aku bingung. Aku nggak mau menyakiti Andreas, tapi aku juga nggak bisa mengabaikan perbedaan keyakinan kami," jawab Aliyah dengan wajah penuh kebingungan.
Nafisyah tersenyum lembut. "Aliyah, kamu harus jujur pada dirimu sendiri. Tanyakan pada hatimu, apa yang benar-benar kamu inginkan. Jika kamu merasa perbedaan ini terlalu besar untuk diatasi, maka mungkin itu adalah jawaban yang kamu cari. Tapi jika kamu yakin bisa menghadapinya bersama Andreas, maka kamu harus siap menghadapi segala konsekuensinya."
Aliyah terdiam, merenungi kata-kata Nafisyah. "Aku hanya ingin memastikan bahwa keputusan yang aku ambil adalah yang terbaik untuk semua orang."
Nafisyah mengangguk. "Itu adalah hal yang bijak, Aliyah. Tapi ingat, pada akhirnya, ini adalah hidupmu. Kamu yang harus menjalaninya, bukan orang lain. Jadi, pastikan keputusanmu membuatmu bahagia."
Aliyah tersenyum, merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Nafisyah. Meskipun keputusan belum diambil, ia tahu bahwa ia harus mendengarkan hatinya dan memilih jalan yang akan membawanya pada kebahagiaan sejati, meskipun itu berarti harus melepaskan seseorang yang ia cintai.
Waktu terus berjalan, dan di tengah kegelisahan, Aliyah menemukan ketenangan dalam doanya. Ia memohon petunjuk kepada Tuhan, berharap diberikan kekuatan untuk membuat keputusan yang tepat. Dan suatu malam, setelah melalui berbagai pergulatan batin, Aliyah merasa hatinya telah mantap.
Bersambung
ns 15.158.61.8da2