Chapter. 2
Malam itu, di kafe kecil yang dipenuhi suasana tenang, Aliyah merasa sedikit lebih ringan setelah berbicara dengan Nafisyah. Udara dingin dari AC mengiringi detak jantungnya yang perlahan-lahan kembali tenang. Namun, dalam hatinya, perasaan tetap bercampur aduk. Ia tahu bahwa pilihan ini akan menjadi salah satu keputusan terbesar dalam hidupnya.
Selama beberapa hari setelah percakapan itu, Aliyah terus memikirkan kata-kata Nafisyah. Malam-malamnya dipenuhi dengan renungan panjang tentang cinta dan keyakinan. Andreas adalah pria yang baik—selalu sabar, menghormatinya, dan tak pernah memaksa. Tetapi di balik semua itu, perbedaan keyakinan mereka tetap menjadi tembok besar yang harus mereka hadapi.
Suatu malam, Aliyah memutuskan untuk mengambil langkah. Setelah selesai siaran, ia meminta Andreas untuk bertemu di taman dekat studio, tempat yang tenang dan jauh dari hiruk-pikuk pekerjaan. Udara malam yang sejuk menyelimuti mereka, sementara lampu-lampu taman berpendar lembut, menciptakan suasana yang intim namun penuh keraguan.
Aliyah menatap Andreas dengan mata yang jernih, namun hatinya masih berdebar. "Andreas, aku sudah memikirkan ini dengan sangat matang," katanya perlahan, suaranya bergetar, tapi tegas. "Aku tidak bisa menolak perasaan yang tumbuh di antara kita. Aku menyukaimu... bahkan mungkin lebih dari itu. Tapi aku juga tidak bisa mengabaikan keyakinanku."
Andreas menatap Aliyah dalam-dalam. Di matanya, ada kehangatan yang selalu berhasil membuat Aliyah merasa nyaman, namun malam ini ada ketegangan yang berbeda. "Aliyah, aku tahu perbedaan ini sulit. Aku tidak pernah ingin memaksamu untuk memilih antara aku atau keyakinanmu. Aku mencintaimu apa adanya... dan aku akan menghormati apa pun keputusanmu."
Kata-kata Andreas menyentuh hati Aliyah, dan ia merasa sebuah kehangatan menyebar di dadanya. Pria di hadapannya ini begitu pengertian, sesuatu yang jarang ia temukan di dunia yang serba cepat dan penuh tekanan ini.
"Aku tidak ingin kita harus memilih antara cinta dan keyakinan, Andreas," lanjut Aliyah. "Aku ingin kita menjalaninya bersama. Tapi, aku akan tetap teguh dengan apa yang aku percayai. Keyakinanku adalah bagian dari diriku yang tidak bisa aku lepaskan."
Andreas mendekatkan diri, jemarinya yang hangat menyentuh tangan Aliyah dengan lembut. "Aku paham, Aliyah. Aku mencintaimu bukan untuk mengubahmu. Kalau itu yang kau inginkan, aku siap menjalaninya bersamamu. Aku hanya ingin kita tetap bersama, menemukan cara untuk membuat semuanya berhasil."
Air mata hampir menetes dari sudut mata Aliyah. Ia merasa terharu dengan kesungguhan Andreas. Tanpa sadar, ia menggenggam tangan Andreas lebih erat. "Aku juga ingin kita tetap bersama, Andreas. Aku percaya bahwa selama kita bisa saling menghormati, kita bisa menghadapi apa pun."
Malam itu, di bawah langit yang berkilauan dengan bintang, cinta mereka bersemi dengan cara yang berbeda. Mereka sadar bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi bersama-sama, mereka berjanji untuk tetap kuat dan saling mendukung. Aliyah tahu bahwa ia telah membuat keputusan yang tepat—memilih cinta tanpa harus mengorbankan keyakinannya. Dan dengan Andreas di sisinya, ia merasa bahwa cinta bisa menjadi lebih dari sekadar perasaan—cinta bisa menjadi kekuatan untuk bertumbuh dan menemukan kebahagiaan sejati.
Di tengah malam itu, saat tangan mereka saling menggenggam, Aliyah menatap ke depan dengan hati yang lebih tenang. Cinta mungkin tidak selalu mudah, tapi ia percaya bahwa dengan cinta yang tulus dan keyakinan yang kuat, mereka akan menemukan jalan untuk menghadapi segalanya, bersama.
****
Aliyah telah mengenakan hijab sejak awal masuk SMA, sebuah penanda keimanannya yang kuat. Namun, meskipun begitu, ia tak bisa menghindari rasa ingin tahu dan getaran cinta muda yang sering kali menyapanya. Pacaran, baginya, adalah sesuatu yang bisa dijalani dengan tetap menjaga batasan-batasan yang dipegang teguh dalam keyakinannya.
Pacar pertama Aliyah datang saat ia baru menginjak kelas satu SMA. Mereka sering bertukar pesan, pergi bersama setelah pulang sekolah, dan sesekali berpegangan tangan. Hanya sebatas itu. Hingga suatu hari, pacarnya meminta sesuatu yang lebih—ciumannya. Aliyah, yang merasa bahwa ciuman adalah sesuatu yang terlalu intim untuk diberikan, dengan tegas menolak. Pacarnya tidak menerima penolakan itu dengan baik, dan hubungan mereka pun berakhir.
Aliyah merasa sedikit bersalah, tetapi ia juga merasa lega karena telah menjaga prinsipnya. Namun, saat pacar keduanya datang, Aliyah mulai melonggarkan sedikit batasannya. Ciuman pertama mereka adalah sesuatu yang tidak ia sesali. Tapi ketika pacarnya mulai meraba-raba tubuhnya, Aliyah kembali merasakan ketidaknyamanan yang sama seperti sebelumnya. Ia tahu bahwa ini bukanlah sesuatu yang bisa ia terima, dan sekali lagi, hubungan itu harus berakhir.
Pacar ketiga Aliyah datang di saat ia sudah lebih dewasa. Kali ini, ia lebih terbuka pada keintiman. Mereka mulai saling meraba, menyentuh, dan menjelajahi tubuh satu sama lain. Namun, ketika pacarnya meminta lebih dari itu, Aliyah merasa kembali ada batasan yang tidak bisa ia langgar. Ia menolak permintaan itu, dan hubungan mereka pun berakhir dengan penuh rasa kecewa.
Masa-masa SMA berlalu, dan Aliyah terus melanjutkan hidupnya. Ia menjadi seorang wanita dewasa yang lebih bijaksana dalam melihat cinta dan keintiman. Ia tahu apa yang ia inginkan, dan lebih penting lagi, ia tahu apa yang tidak ia inginkan. Tapi ketika Andreas datang, segalanya berubah.
Andreas adalah seorang pria yang berbeda dari siapa pun yang pernah Aliyah temui. Ia tenang, dewasa, dan penuh perhatian. Namun, yang paling membedakan Andreas dari yang lain adalah perbedaan agama mereka. Di awal perkenalan mereka, Aliyah berusaha menjaga jarak. Ia takut bahwa perbedaan ini akan membawa banyak masalah di masa depan, seperti yang selalu dikhawatirkan oleh keluarga dan teman-temannya.
Namun, semakin sering mereka berbicara, semakin Aliyah merasakan bahwa Andreas memahami dirinya dengan cara yang tak pernah dilakukan oleh orang lain. Andreas tidak pernah memaksanya untuk melewati batas yang telah ia tetapkan. Sebaliknya, Andreas menghargai setiap keputusan yang Aliyah buat.
Mereka menghabiskan waktu bersama, saling mengenal dengan cara yang lebih dalam daripada hanya sekadar keintiman fisik. Setiap obrolan mereka dipenuhi dengan canda, tawa, dan percakapan yang membangun. Aliyah mulai melihat bahwa meskipun mereka berbeda dalam keyakinan, hati mereka berirama dalam nada yang sama.
Ada malam ketika mereka duduk berdua di sebuah taman kota, di bawah langit yang dipenuhi bintang. Aliyah merasakan kenyamanan yang luar biasa berada di sisi Andreas. "Aku takut kita tidak akan pernah bisa bersama," kata Aliyah dengan suara lembut, matanya menatap langit yang luas.
Andreas menggenggam tangan Aliyah dengan lembut, menghangatkan jemarinya yang dingin. "Aku tahu ini tidak mudah, Aliyah. Tapi aku tidak ingin kehilanganmu. Aku ingin kita menjalani ini bersama, apapun yang terjadi."
Kata-kata Andreas menggema di dalam hati Aliyah. Ia tahu bahwa perasaannya untuk Andreas telah tumbuh lebih dalam dari yang pernah ia bayangkan. Dan untuk pertama kalinya, Aliyah merasa siap untuk menerima Andreas, meskipun ada begitu banyak hal yang harus mereka hadapi.
Di tengah malam itu, dengan hati yang terbuka, Aliyah memutuskan untuk memberi kesempatan pada cinta yang telah tumbuh di antara mereka. Ia menatap Andreas dan tersenyum, sebuah senyuman yang penuh dengan kepercayaan dan harapan.
"Aku juga tidak ingin kehilanganmu, Andreas," bisik Aliyah. "Mari kita jalani ini bersama, apapun yang harus kita hadapi."
Andreas menatap Aliyah dengan mata yang bersinar. "Aku berjanji, aku akan selalu berada di sisimu, Aliyah."
Dalam pelukan Andreas, Aliyah merasakan ketenangan yang telah lama ia cari. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi untuk pertama kalinya, ia merasa siap. Ia telah menemukan seseorang yang tidak hanya mencintainya, tetapi juga menghargai segala hal yang ia yakini.
Dan di bawah langit malam itu, Aliyah menerima Andreas sepenuhnya—sebagai kekasih, sahabat, dan partner hidupnya. Meskipun mereka berbeda, cinta yang mereka miliki telah menyatukan hati mereka dalam cara yang paling indah.
Malam itu, di bawah langit yang dihiasi bintang-bintang berkilauan, Andreas dan Aliyah melaju perlahan di jalanan yang sepi, menuju sebuah hotel di pinggiran kota. Suasana di dalam mobil dipenuhi keheningan yang hangat, hanya diiringi oleh suara lembut musik dari radio yang seolah menambah keintiman di antara mereka.
Aliyah duduk dengan tenang, memandangi jendela, menyadari apa yang akan terjadi malam ini. Ini bukan pertama kalinya ia diajak ke tempat seperti itu oleh seorang kekasih, tapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Aliyah merasa damai, tak ada keraguan atau rasa takut yang biasanya menghantui pikirannya. Di usianya yang sudah mencapai 27 tahun, ia merasa lebih matang, lebih siap untuk menghadapi kenyataan cinta yang tak hanya soal perasaan, tapi juga tentang keintiman yang tak terhindarkan.
Sesampainya di hotel, Andreas dengan sopan menggandeng tangan Aliyah, membawa mereka menuju kamar yang sudah dipesannya. Aliyah merasa jantungnya berdebar, tapi ini bukan debaran kecemasan. Ini adalah perasaan percaya. Selama ini, ia mengenal Andreas sebagai seseorang yang penuh perhatian, yang selalu menghargai batasan-batasan yang ia tetapkan. Namun, malam ini, Aliyah tahu bahwa batasan itu sudah ia lepaskan, bukan karena paksaan, melainkan karena keinginannya sendiri. Ia sudah siap.
Kamar hotel itu sederhana namun nyaman. Cahaya lampu remang-remang menambah suasana tenang yang menyelimuti mereka berdua. Aliyah berdiri di tengah ruangan, sementara Andreas menatapnya dengan lembut. "Apakah kau yakin?" tanya Andreas dengan suara pelan, matanya penuh perhatian, seolah tak ingin membuat Aliyah merasa terdesak.
Aliyah tersenyum, sebuah senyuman penuh ketulusan dan kepastian. "Aku yakin," jawabnya. "Aku siap untuk ini, Andreas."
Andreas mendekat, mengangkat tangan Aliyah dengan lembut, lalu mencium punggung tangannya dengan penuh kasih sayang. Sentuhan itu membuat Aliyah merasa tenang, seolah ia sedang dipeluk oleh cinta yang tulus. Ia tahu bahwa apa yang akan terjadi malam ini adalah bentuk dari kasih sayang dan kepercayaan yang telah mereka bangun selama ini.
Dengan gerakan perlahan, Andreas mendekap Aliyah. Mereka saling memandang dalam diam, seolah kata-kata tak lagi dibutuhkan. Dalam keheningan itu, mereka berbicara melalui sentuhan, melalui detak jantung yang saling berirama. Aliyah merasakan tubuh Andreas hangat di sisinya, membuatnya merasa aman dan dicintai. Tak ada paksaan, tak ada desakan—hanya keinginan yang murni dari dua orang yang saling mencintai.
Andreas mengecup bibir Aliyah dengan lembut, sebuah ciuman yang tidak terburu-buru, penuh kesabaran dan penghargaan. Aliyah membalas dengan lembut, merasakan kehangatan yang meresap ke seluruh tubuhnya. Di antara ciuman mereka, Aliyah merasakan sentuhan tangan Andreas yang lembut di wajahnya, di rambutnya, seolah mengagumi setiap detil dari dirinya.
Malam itu, Aliyah menemukan keintiman yang berbeda dari pengalaman-pengalamannya di masa lalu. Tidak ada ketergesaan atau kekhawatiran. Semua berjalan begitu alami, seolah ini adalah momen yang telah lama ditunggu-tunggu, dan kini ia siap menerimanya dengan sepenuh hati.
Dalam pelukan Andreas, Aliyah merasakan kehangatan yang menyelimutinya, perlahan meleburkan segala keraguan yang pernah ada. Ia menyadari bahwa keintiman ini bukan hanya soal fisik, melainkan sebuah ikatan yang jauh lebih dalam—sebuah pertemuan antara dua jiwa yang saling mengerti dan saling menerima.
Malam terus beranjak, dan kehangatan di antara mereka semakin dalam. Aliyah merasakan tubuhnya menyatu dengan Andreas dalam tarian cinta yang tenang, lembut, namun penuh gairah. Setiap sentuhan, setiap ciuman, terasa begitu tulus, tanpa ada tekanan. Ini adalah momen yang sepenuhnya milik mereka, momen di mana Aliyah benar-benar merasa dicintai, dihargai, dan diterima apa adanya.
Saat malam berakhir, mereka berbaring di samping satu sama lain, saling memandang dengan mata yang berbicara lebih banyak daripada kata-kata. Aliyah tersenyum, dan Andreas membalas dengan senyuman yang lembut, menyingkirkan helai rambut dari wajahnya.
“Aku mencintaimu,” bisik Andreas.
Aliyah tersenyum lebar, hatinya penuh dengan perasaan yang meluap-luap. “Aku juga mencintaimu, Andreas.”
2748Please respect copyright.PENANAZpbTFWSMLE
Bersambung
ns 15.158.61.6da2