Chapter 3.
Di usia 27 tahun, Aliyah telah melewati berbagai fase dalam hidupnya, dan malam ini ia merasa telah menemukan bagian lain dari dirinya. Ini bukan hanya tentang keintiman fisik, tetapi tentang cinta yang ia yakini akan terus tumbuh. Malam itu, Aliyah menerima bahwa cinta dan keintiman adalah bagian dari hubungan mereka, dan ia siap menjalaninya bersama Andreas, tanpa ragu, tanpa takut.
Malam itu, di dalam kamar hotel yang temaram, Aliyah memutuskan sesuatu yang selama ini selalu ia jaga dengan sepenuh hati. Dengan usia yang telah matang dan perjalanan hidup yang penuh liku, ia merasa bahwa malam ini adalah saatnya. Bersama Andreas, kekasih yang ia cintai sepenuh hati, Aliyah merasa siap untuk memberikan seluruh dirinya, termasuk sesuatu yang paling berharga, keperawanannya.
Aliyah berdiri di dekat jendela, memandang keluar sejenak. Hatinya tenang, meski di dalamnya ada perasaan campur aduk yang ia rasakan untuk pertama kalinya. Bukan ketakutan atau keraguan, melainkan kepercayaan dan ketulusan. Dia tahu bahwa cinta mereka tidak terbatas pada keinginan fisik semata; ini adalah perasaan yang mendalam, dan malam ini adalah bukti dari cinta yang telah mereka bangun selama ini.
Andreas mendekat, menyentuh lembut pundak Aliyah dari belakang, memberikan ciuman ringan di tengkuknya. Sentuhan itu membuat Aliyah tersenyum tipis, sebuah senyuman yang penuh kepastian. Dia membalikkan badan, menatap mata Andreas yang penuh dengan cinta. “Aku sudah siap,” bisiknya pelan, suaranya terdengar lembut namun tegas.
Andreas meraih tangan Aliyah, menggenggamnya erat. "Aku mencintaimu, Aliyah," ucapnya dengan suara yang penuh perasaan. "Dan aku berjanji akan selalu menjaga dan menghargaimu, apapun yang terjadi."
Aliyah menatapnya dalam-dalam, merasakan ketulusan di balik kata-kata Andreas. Tanpa ragu, dia mendekatkan tubuhnya ke Andreas, merasakan detak jantungnya yang berdetak serempak dengan miliknya. Keintiman itu terasa berbeda malam ini, lebih dalam, lebih bermakna. Ini bukan hanya tentang gairah atau keinginan sesaat; ini adalah ungkapan cinta yang paling tulus.
Dengan lembut, Andreas membimbing Aliyah menuju ranjang. Mereka berdua duduk di tepi, saling menatap penuh kasih. Perlahan, Aliyah merasakan jari-jemari Andreas menyentuh wajahnya, menghapus semua keraguan yang mungkin tersisa. Dia tahu, bahwa dalam pelukan Andreas, dia akan selalu merasa aman.
Ketika malam semakin larut, Aliyah membiarkan dirinya menyerah pada momen itu. Tubuhnya menyatu dengan Andreas dalam sebuah harmoni yang sempurna. Setiap sentuhan, setiap ciuman, dipenuhi dengan cinta yang tulus. Dan ketika akhirnya Aliyah memberikan keperawanannya kepada Andreas, itu bukan sebuah keputusan yang diambil dengan terburu-buru atau dengan paksaan. Itu adalah sebuah penyerahan diri yang penuh kesadaran, penuh cinta, dan penuh keyakinan bahwa dia telah menemukan orang yang tepat untuk berbagi momen berharga ini.
Air mata tipis mengalir di pipi Aliyah, bukan karena rasa sakit, melainkan karena kebahagiaan dan kepastian. Malam itu, dia memberikan sesuatu yang telah lama dia simpan dengan penuh kehati-hatian. Namun, bersama Andreas, dia merasa siap untuk melepaskannya. Di bawah selimut hangat dan dalam keheningan malam, mereka berdua berbagi momen yang akan selamanya tersimpan di dalam hati mereka.
Ketika momen itu usai, Andreas memeluk Aliyah erat-erat, tak berkata apa-apa. Hanya kehangatan tubuh mereka yang berbicara, seolah memberi tahu bahwa apapun yang terjadi, cinta mereka akan tetap kuat. Aliyah merasa damai dalam pelukan Andreas, mengetahui bahwa dia telah memberikan dirinya dengan tulus kepada orang yang tepat.
"Aku mencintaimu, Aliyah," Andreas berbisik lembut di telinganya sekali lagi, membuat Aliyah tersenyum dalam kebahagiaan yang mendalam.
"Aku juga mencintaimu," jawabnya penuh kepastian. Dan di malam itu, cinta mereka terasa sempurna.
*****
Hubungan Aliyah dan Andreas awalnya penuh dengan kebahagiaan. Mereka menikmati setiap momen yang dihabiskan bersama, baik di dalam maupun di luar studio. Meski sering dihadapkan pada jadwal yang padat, mereka selalu menemukan waktu untuk saling berbagi kasih sayang. Cinta yang tumbuh di antara mereka terasa begitu kuat, begitu dalam. Hubungan mereka semakin intens, bahkan hingga melampaui batas fisik.
Aliyah, yang selalu memegang teguh keyakinannya, merasakan getaran cinta yang begitu dalam terhadap Andreas. Ia tahu, hubungan ini tidak mudah. Namun, cinta yang mereka bagi seolah mampu menutupi keraguan yang sesekali muncul. Di setiap pelukan, setiap bisikan mesra, Aliyah merasakan kehangatan yang membuatnya merasa dihargai dan dicintai dengan tulus.
Namun, seiring berjalannya waktu, Aliyah mulai merasakan sesuatu yang lebih mendalam dalam dirinya. Sebagai seorang wanita yang taat pada agamanya, ia tahu bahwa hubungan mereka harus dilanjutkan ke jenjang yang lebih serius. Aliyah ingin perasaannya kepada Andreas disahkan dalam ikatan yang suci—pernikahan.
Suatu malam, setelah menghabiskan waktu bersama di apartemen Andreas, Aliyah memutuskan untuk mengutarakan keinginannya. Saat itu mereka berdua duduk di balkon, menikmati pemandangan kota yang berkilauan di bawah cahaya bintang. Aliyah menggenggam tangan Andreas dengan lembut, matanya menatap penuh harap.
"Andreas, aku merasa sudah cukup lama kita bersama," Aliyah memulai dengan suara lembut, tetapi jelas. "Aku mencintaimu, dan aku ingin hubungan ini menjadi lebih dari sekadar hubungan yang kita jalani sekarang. Aku ingin kita menikah."
Andreas terdiam sejenak, menatap ke arah langit, seolah sedang memikirkan sesuatu yang berat. Aliyah merasakan ketegangan di udara, dan hatinya mulai berdegup kencang.
Andreas menarik napas dalam, kemudian menatap Aliyah dengan mata yang penuh perasaan. "Aliyah, aku juga mencintaimu. Tapi, kalau kita menikah... kamu harus mengikuti agamaku."
Hati Aliyah seperti tertusuk saat mendengar kata-kata itu. Matanya melebar, perasaannya bercampur antara kekecewaan dan kebingungan. "Andreas... kamu tahu aku tidak bisa melakukan itu. Keyakinanku adalah bagian dari diriku. Aku mencintaimu, tapi aku juga tidak bisa meninggalkan agamaku."
Andreas menunduk, tampak berat menerima kenyataan itu. "Aku mengerti, Aliyah. Tapi keluargaku juga mengharapkan hal yang sama dariku. Aku tidak ingin memaksamu, tapi aku tidak bisa menikahimu jika kita berbeda agama."
Malam yang tadinya begitu indah mendadak berubah dingin. Aliyah merasa seolah ada jarak yang tiba-tiba muncul di antara mereka, padahal tangan mereka masih saling menggenggam. Kekecewaan perlahan menyelimuti hatinya. Ia merasa terjebak antara cinta yang begitu dalam untuk Andreas dan keyakinan yang tidak bisa ia tinggalkan.
"Andreas, aku tidak bisa meninggalkan keyakinanku," Aliyah berbisik, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku berharap kamu bisa memahami itu."
Andreas mengangguk pelan, namun di matanya terlihat jelas bahwa keputusan ini tidak mudah bagi keduanya. "Aku mengerti, Aliyah. Tapi aku juga harus memikirkan masa depanku dan keluargaku. Mungkin... ini akan sulit bagi kita."
Sejak malam itu, hubungan mereka mulai berubah. Aliyah dan Andreas masih saling mencintai, tapi bayangan perbedaan keyakinan di antara mereka mulai menciptakan jurang yang semakin lebar. Setiap kali mereka bertemu, ada kecanggungan yang sulit dihindari. Andreas tetap menunjukkan rasa sayangnya, tapi Aliyah bisa merasakan bahwa ada sesuatu yang hilang.
Hubungan mereka tidak lagi seperti dulu. Cinta yang tadinya penuh gairah, kini terasa seperti terbungkus oleh keraguan dan kebingungan. Aliyah seringkali menangis dalam diam, memikirkan bagaimana mereka bisa sampai di titik ini. Di satu sisi, ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Andreas, tapi di sisi lain, ia juga tahu bahwa ia tidak bisa mengorbankan keyakinannya.
Malam-malam yang dulu dipenuhi tawa dan pelukan, kini berganti dengan percakapan singkat yang penuh keheningan. Meski mereka masih saling merindukan, cinta saja tampaknya tidak cukup untuk mengatasi perbedaan besar yang ada di antara mereka.
Pada suatu titik, Aliyah merasa semakin tertekan. Ia tahu bahwa mereka harus segera membuat keputusan, karena cinta yang penuh ketidakpastian hanya akan menyakitkan bagi mereka berdua. Dengan berat hati, Aliyah mulai mempertanyakan apakah cinta ini layak untuk diperjuangkan jika harus mengorbankan bagian dari dirinya yang paling penting.
Andreas pun menyadari hal yang sama. Meski perasaannya untuk Aliyah masih kuat, ia juga tahu bahwa mereka tidak bisa terus seperti ini. Di dalam hatinya, Andreas juga merasakan kekosongan yang perlahan-lahan mulai menggerogoti cinta mereka.
Dan malam itu, ketika Aliyah dan Andreas duduk bersama untuk terakhir kalinya di balkon yang sama, keduanya tahu bahwa perjalanan cinta mereka mungkin akan segera berakhir. Meski begitu, mereka tetap menghargai setiap momen yang telah mereka lalui, meski harus menerima kenyataan bahwa cinta saja tidak selalu cukup untuk mengatasi perbedaan yang begitu mendasar.
Dengan air mata yang tertahan, Aliyah memandang Andreas dengan penuh cinta dan kesedihan. "Aku akan selalu mencintaimu, Andreas. Tapi mungkin, kita harus menemukan jalan kita masing-masing."
Andreas mengangguk, meski hatinya hancur mendengar kata-kata itu. "Aku juga akan selalu mencintaimu, Aliyah."
Dan di bawah langit malam yang penuh bintang, cinta mereka berakhir, bukan karena kurangnya cinta, tapi karena kenyataan yang tak bisa mereka abaikan.
2610Please respect copyright.PENANA3JGG9mgds5
****
Aliyah tidak pernah membayangkan hidupnya akan berubah begitu drastis dalam hitungan waktu yang singkat. Ketika pikirannya masih berkutat dengan Andreas dan perasaan bimbang yang belum tuntas, seseorang yang tak terduga muncul dalam hidupnya. Hasanuddin, seorang politikus senior sebuah Partai Islam yang disegani, tiba-tiba hadir membawa ketenangan yang berbeda. Hasanuddin adalah lelaki yang sudah sangat matang, tenang, dan memiliki aura yang mendalam. Di usianya yang menginjak 53 tahun, Hasanuddin sudah melewati berbagai fase kehidupan. Ia adalah seorang duda dengan anak-anak yang sudah dewasa, namun kewibawaannya membuatnya sangat dihormati.
Pertemuan pertama mereka terjadi dalam sebuah acara amal yang diselenggarakan oleh komunitas Islam. Aliyah hadir sebagai pembicara, membawakan materi mengenai peran media dalam menyebarkan informasi positif. Seusai acara, Hasanuddin mendekatinya dengan sopan. Ia mengenakan setelan rapi, wajahnya tenang namun penuh kharisma. Senyumnya lembut, dan matanya memancarkan ketulusan.
“Aliyah, presentasi yang kamu bawakan sangat menginspirasi,” ujar Hasanuddin ketika mereka berbincang di meja teh seusai acara.
Aliyah tersenyum malu, merasa tersanjung mendapat pujian dari sosok yang begitu dihormati. “Terima kasih, Pak Hasanuddin. Bapak terlalu baik.”
Hasanuddin tertawa kecil, nada suaranya rendah namun penuh kehangatan. “Panggil saja Hasanuddin. Saya merasa seperti orang tua kalau kamu terus memanggil saya ‘Bapak’.”
Malam itu, perbincangan mereka berlanjut dengan lancar. Aliyah merasa nyaman di hadapan Hasanuddin, seolah pria itu membawa angin baru yang menenangkan. Meski usia mereka terpaut cukup jauh, Aliyah merasakan ada kedalaman yang berbeda dalam setiap kata yang diucapkan oleh Hasanuddin. Tidak ada kegugupan atau keraguan, hanya kejujuran dan ketulusan.
Setelah pertemuan pertama itu, Hasanuddin mulai lebih sering menghubungi Aliyah. Mereka bertemu dalam beberapa kesempatan, baik dalam acara formal maupun dalam obrolan santai. Aliyah merasakan perubahan yang perlahan namun nyata. Jika bersama Andreas ia selalu dihantui oleh kebingungan dan pertanyaan besar tentang masa depan, bersama Hasanuddin, semuanya terasa lebih sederhana. Hasanuddin tidak pernah memaksakan apa pun. Ia selalu memberi ruang untuk Aliyah merenungkan setiap langkahnya.
Suatu sore, mereka berjalan bersama di sebuah taman yang sepi. Udara sore yang sejuk mengelilingi mereka, dan daun-daun jatuh berderai di atas jalan setapak yang mereka lalui. Hasanuddin menoleh ke arah Aliyah dengan senyum yang lembut.
“Aliyah, aku tahu hubungan kita ini mungkin mengejutkanmu, mengingat perbedaan usia kita yang cukup jauh,” katanya, suaranya tenang namun sarat makna.
Aliyah menunduk, merenung sejenak sebelum menjawab. “Ya, awalnya memang mengejutkan. Tapi setiap kali berbicara denganmu, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada kedamaian.”
Hasanuddin tersenyum. “Kedamaian adalah hal yang sangat penting, terutama dalam hubungan. Aliyah, aku sudah lama kehilangan pasangan hidup. Aku tidak pernah memikirkan untuk menikah lagi sampai aku bertemu denganmu. Kamu membawa cahaya baru dalam hidupku.”
Mata Aliyah berkaca-kaca mendengar pengakuan tulus itu. Meski perasaan cinta yang ia rasakan terhadap Hasanuddin tidak meledak-ledak seperti yang ia rasakan untuk Andreas, ada sesuatu yang lebih dalam. Rasa nyaman, rasa dihargai, dan rasa aman yang tidak pernah ia duga akan datang dari seorang pria yang terpaut usia begitu jauh darinya.
“Hasanuddin, aku merasa tenang bersamamu. Tapi, aku masih bingung. Aku baru saja keluar dari hubungan yang rumit, dan aku takut membuat keputusan yang salah lagi,” Aliyah mengaku jujur, matanya menatap Hasanuddin dengan lembut.
Hasanuddin berhenti berjalan dan menggenggam tangan Aliyah dengan lembut, seolah ingin menenangkan kegelisahan di hatinya. “Aku mengerti, Aliyah. Aku tidak akan memaksamu untuk mengambil keputusan sekarang. Aku ingin hubungan ini berjalan dengan niat yang baik, dengan restu dari Allah. Jika kamu butuh waktu, aku akan menunggu. Tapi ketahuilah, niatku sungguh-sungguh.”
Kata-kata Hasanuddin masuk ke dalam hati Aliyah seperti air yang menyejukkan. Pria itu tidak pernah membuatnya merasa tertekan, tidak pernah memaksakan apa pun. Aliyah merasa ada keikhlasan dalam cinta yang ditawarkan Hasanuddin, sesuatu yang ia cari-cari selama ini.
Bersambung.
ns 15.158.61.8da2