SUARA Celine Dion mengalun merdu dari dalam mobil yang kutumpangi saat ini. Di belakang kemudi, Adam Fatturrahman sedang menyetir. Duduk di sampingnya, seorang perempuan cantik yang mengenakan busana muslim serba coklat. Perempuan itu adalah Arsyila Salsabila, istri Adam.
Kami kini sedang berada di jalan tol. Tujuan kami adalah sebuah lokasi di Bandung. Tadi pagi, tak lama sesudah bangun tidur, aku mendapat panggilan telepon aplikasi WA dari Adam. Pria berperawakan tenang itu merupakan teman sekaligus tetanggaku. Kami bermukim di perumahan yang sama. Rumah Adam hanya berjarak dua rumah dari rumahku. Meskipun kami berbeda agama, tapi hubungan kami sangatlah dekat.
“Ya Bro? Ada apa?” Sahutku menjawab teleponnya. Aku dan Adam memang sudah terbiasa saling menelpon namun belum pernah sepagi ini.
“Lu ada acara nggak hari ini?” Terdengar suara Adam. Sebagaimana layaknya orang Indonesia, Adam terbiasa menjawab pertanyaan dengan pertanyaan.
“Sekarang kan Sabtu, nggak ngantor. Jadi Gue lowong hari ini. Emang kenapa Bro?”
“Gini Bro, bokap Gue kan punya rumah di Bandung. Selama beberapa tahun terakhir rumah itu dikontrakin. Tapi untuk tahun ini kontraknya nggak diperpanjang sama yang nyewa. Rencananya mau Gue pake aja daripada kosong.” Ucap Adam panjang lebar. Aku mendengarnya dengan berusaha mengumpulkan nyawaku.
“Terus?”
“Rencananya pagi ini Gue dan Arsyila mau nengokin rumah itu sekalian beres-beres. Tapi masalahnya ntar habis dzuhur Gue ada jadwal kajian.”
“Kajian apaan?” Tanyaku setelah menguap beberapa saat.
“Aduuh panjang kalo Gue ceritain, Lu nggak bakal ngerti. Intinya Gue harus ikut acara keagamaan gitu deh.” Cerocos Adam.
Sudah enam bulan belakangan ini memang mulai aktif menghadiri acara yang disebutnya sebagai kajian keagamaan. Suatu perubahan drastis setelah sahabatku itu menikah dengan Arsyila. Silahkan sebut dosa apapun di muka bumi ini kecuali mencuri, Adam pernah melakukannya. Aku tau karena dulu, akulah orang yang selalu ada di dekatnya ketika melakukan kemaksiatan.
Namun setelah menikah dengan Arsyila yang merupakan puteri tunggal seorang Kyai besar di daerah Jawa Timur, perlahan tabiat buruk Adam mereda. Pria yang bekerja sebagai seorang akuntan publik itu mulai mendekatkan dirinya pada Tuhan. Memperdalam agama agar tak minder saat bertemu mertua, begitu katanya beberapa minggu lalu padaku sambil bercanda.
Perubahan perilaku dan sikap Adam dalam keseharian ini membuatku cukup bahagia, setidaknya Adam sudah menemukan jalan yang benar dan tak tegoda untuk melakukan kemaksiatan. Sementara Aku? Aku masih seperti Daniel yang dulu, jiwa bebas yang sering gonta ganti pasangan. Bahkan untuk pergi ke gereja pun aku masih sering males-malesan, setahun terakhir malah bisa dihitung jari aku mengunjungi tempat ibadahku itu.
Menikah nyatanya membuat Adam jadi pribadi yang lebih baik. Tapi aku masih belum tergerak untuk mengikuti jejaknya. Apalagi membayangkan jika nanti istriku seperti Arsyila, bisa jadi neraka hidupku. Istri Adam itu memang cantik, sangat cantik malah, apalagi postur tubuhnya juga bisa dikatakan sempurna untuk ukuran wanita yang sudah bersuami. Tapi raut wajahnya selalu terlihat jutek dan pemarah. Bukan aku saja yang menganggap wanita itu demikian, banyak tetanggaku pun memiliki penilaian yang sama.
Ditambah sikapnya yang terkesan tertutup dan tidak mau bergaul dengan lingkungan sekitar membuat image jutek makin melekat pada diri istri Adam tersebut. Beberapa kali aku sempat bercanda tentang perangai istrinya dengan Adam saat kami bertemu, sahabatku itu terlihat santai menanggapinya. Baginya, Arsyila sudah sangat sempurna, jadi tak perlu lagi mendengar apa kata orang.
“Lalu apa hubungannya dengan Gue?” Aku kembali bertanya ketika Adam menghentikan kalimatnya.
“Lu bisa ikut ke Bandung nggak?” Tanya Adam.
“Biar nanti ada yang nemenin Arsyila waktu Gue tinggal ikut kajian.” Lanjutnya.
“Lah? Emangnya Arsyila mau?”
“Iya, dia setuju. Malah dia yang ngusulin ide buat ngajakin Lu.”
“Kenapa harus Gue sih bro? Emang Lu nggak ada kandidat lain apa?” Aku mengajukan pertanyaan sambil mengerutkan kening, meski aku tahu kalau Adam tak bisa melihat kerutan di keningku.
Selain aku, Adam masih punya banyak teman di kompleks perumahan. Berbeda dengan Arsyila yang agak judes dan tidak ramah serta terkesan tertutup, Adam tergolong laki-laki supel yang gampang bergaul.
“Kenapa Lu? Simpel aja sih, karena Lu masih single.” kata Adam.
“Ah tai Lu!” Balasku.
“Dengerin dulu penjelasan Gue.”
Potong Adam, seolah tau kalau aku tak begitu nyaman dengan candaan soal statusku yang masih sendiri, sementara banyak teman seusiaku sudah melepas masa lajang.
“Arsyila merasa nggak nyaman kalo ditemenin sama suami orang. Takutnya nanti muncul cerita yang aneh-aneh. Lagian kalau yang kami ajak itu udah punya istri, takutnya si istri yang jadi curiga. Lu tau sendiri kan mulut orang komplek di sini kayak gimana?” Jelas Adam panjang lebar.
“Mmm... gitu ya...”
Aku bisa memahami apa yang dimaksud Adam. Arsyila itu perempuan yang sangat cantik. Jika dia ditinggal berduaan dengan laki-laki yang merupakan suami orang, pasti akan menimbulkan banyak kecurigaan. Beda jika misalnya Arsyila bersama pria lajang seperti aku.
“Jadi gimana bro?”
“Arsyila beneran setuju? Soalnya... eh... soalnya istri Lu...”
“Jutek? Galak?” Adam melengkapi kalimatku dan diakhiri dengan tawa kecil.
“Ya semacam itulah bro, nggak enak Gue ngomongnya.”
“Hahaha...Arsyila sendiri kok yang ngusulin nama Lu.”
“Soal dia judes, ya memang udah dari sononya dia gitu. Tapi tenang aja, Lu bisa bilang kayak gitu mungkin karena kalian nggak begitu akrab. Ntar kalo kalian udah sedikit akrab, gue yakin Lu bakal menghilangkan asumsi kalo bini Gue orangnya jutek dan galak.”
Aku terdiam beberapa saat, memikirkan apakah menerima ajakan Adam untuk pergi ke Bandung.
“Oke deh kalo gitu. Jadi jam berapa kita jalan?”
“Ini Gue udah siap-siap. Satu jam lagi Gue jemput Lu, gimana?”
“Oke boleh, Gue prepare dulu kalo gitu.”
9579Please respect copyright.PENANATRPq9iQRvT
***
9579Please respect copyright.PENANAQih8Iw6t9u
SEKITAR lima puluh menit kemudian terdengar bunyi klakson mobil. Sebuah mobil SVU berwarna putih terlihat berhenti di depan rumahku. Aku mengenali mobil itu yang merupakan milik Adam. Aku yang memang sudah siap segera mendatangi mereka setelah sebelumnya mengunci pintu rumah dan pintu pagar. Aku memberikan salam yang dibalas Adam dengan hangat. Sementara Arsyila hanya melirik sekilas dan terlihat tak peduli.
Dalam perjalanan kami ngobrol ngalor ngidul. Atau tepatnya aku dan Adam saja yang keasyikan ngobrol karena istrinya hanya membisu, bahkan menyahut pun tidak. Aku bisa membayangkan bagaimana suasana dingin yang tercipta nanti saat kami hanya berdua saja.
Ah, terbersit penyesalan kenapa aku harus mengiyakan permintaan Adam hari ini. Akan lebih mengasyikkan menghabiskan hari libur dengan rebahan di kamar daripada harus menemani wanita sejutek Arsyila.
Sikap Arsyila yang terkesan tak peduli bukan hal yang aneh. Meski aku dan Adam tergolong dekat, namun dengan Arsyila aku sama sekali tidak akrab. Seingatku, aku dan Arsyila jarang berinteraksi secara langsung. Sikap dingin serta tak acuh seperti tadilah yang membuatku segan, atau lebih tepatnya enggan untuk mengakrabkan diri dengan Arsyila.
Meskipun demikian, sikap dingin dan kejutekan Arsyila tidak mengurangi kecantikannya. Istri Adam itu memang memiliki paras yang sangat cantik, dengan mata tajam namun lentik, hidung mancung dengan bibir tipis merah merekah. Arsyila bertubuh proporsional dan semampai. Tubuh indah itu selalu ditutupi busana muslim panjang dari ujung kaki hingga ujung kepala. Meskipun selalu tertutup tapi itu sama sekali tak bisa membuat lekuk tubuh indahnya terhalangi oleh pandangan mata.
Obrolan hangat dengan Adam membuat perjalanan kami seperti tidak terasa. Kami akhirnya tiba di Bandung. Rumah milik Adam berada di tepi jalan raya, yang diapit beberapa ruko dan toko. Rumah itu dua lantai dengan corak klasik. Rumah besar bercat putih dengan pilar-pilar yang membuat rumah itu terlihat berkelas dan megah.
Setelah memarkir mobil, kami memasuki rumah. Adam menghidupkan AC sehingga rumah yang tadinya pengap kini mulai terasa sejuk. Ruang tamu nampak kosong. Hanya satu buah sofa berwarna merah yang sudah agak kusam teronggok di sudut ruangan. Di dinding ada sebuah lukisan beberapa ekor kuda yang sedang berlari. Lukisan itu tergantung agak miring di dinding sebelah kanan.
Rupanya rumah ini dikontrakkan Adam tanpa perabot sehingga ketika kontrak habis, pihak penyewa memboyong seluruh perabotnya dan hanya menyisakan beberapa barang yang sudah tak terpakai. Kami berjalan ke belakang menuju dapur. Berbeda dengan ruang tamu yang terkesan kosong, dapur terlihat lebih berisi.
Nampak sebuah lemari es yang berdekatan dengan sebuah dispenser. Juga ada kitchen set yang tergantung. Di sebelah kiri yang berbatasan dengan dinding rumah nampak sebuah kolam renang. Kolam itu berukuran sekitar dua kali delapan meter dan sudah berisi air cukup penuh.
“Wah ada kolam renangnya? Keren banget rumah Lu!” Kataku tak mampu menutupi rasa takjub.
“Halah, biasa aja kali bro.” Sahut Adam santai.
“Ntar kalo kalian udah pindah kesini, Gue tiap minggu mampir ya, lumayan bisa renang gratis. Hehehehehe.” Celetukku sambil tertawa lebar.
“Jauh-jauh dari Jakarta ke Bandung cuma buat renang doang? Iseng banget Lu.”
“Iyain aja kenapa sih Bro, sekali-sekali bikin Gue seneng nggak apa-apa kan.”
“Iya deh, Lu boleh maen kesini ntar. Tapi inget, jangan bawa pasukan bocil-bocil dari komplek ya. Bisa jadi tempat wisata ntar rumah Gue.” Ujar Adam.
“Hahahaha! Ide bagus tuh, lumaya kan bro bisa dapet uang tambahan.” Sahutku bercanda.
Saat kami masih melihat-lihat keadaan di sekitar rumah, terdengar suara ponsel Adam berdering.
“Ya bro? Kalian udah di mana? Ok, Gue ke sana sekarang.” Adam berjalan mendekati Arsyila setelah menutup panggilan telepon.
“Hamdan baru saja telepon, acara kajian mau dimulai karena Ustadz Hanafi udah dateng. Abang berangkat dulu ya, nggak apa-apa kan aku tinggal sebentar?”
“Iya Bang, nggak apa-apa. Hati-hati di jalan, kabarin kalo udah nyampek.” Arsyila kemudian mencium tangan Adam.
Melihat bagaimana sikap Arsyila, jujur membuat hatiku bergetar. Ternyata perempuan jutek itu bisa bersikap lembut juga pada suaminya. Pantas saja Adam selama ini tak menghiraukan pandangan orang tentang perangai istrinya.
“Bro, Gue tinggal dulu ya. Nitip bini Gue, awas jangan Lu apa-apain ya. Hehehehehe.”
“Bereesss bosss.” Sahutku menimpali candaan Adam. Sesaat kulirik Arsyila yang mulai bisa tersenyum.
“Oh ya, Lu ntar balik jam berapa?” Tanyaku, Adam kembali berbalik badan.
“Bentar doang kok Bro, paling habis asyar udah ke sini lagi.”
“Habis asyar?” Tanyaku bingung.
“Ya sekitar jam 4-5 an gitu lah, makanya masuk Islam biar ngerti habis asyar tu jam berapa. Hahahahaha.” Ejek Adam sembari kembali melangkah pergi meninggalkan aku dan Arsyila.
“Ah tai Lu!”
Tak lama terdengar suara mesin mobil Adam menjauh. Kini di dalam rumah hanya ada aku dan Arsyila saja. Agak canggung tapi kupaksakan untuk memulai percakapan, aku tidak mau selama beberapa jam ke depan kami tejebak dalam situasi yang dingin.
“Terus kita mau ngapain nih?” Tanyaku. Arsyila menatap permukaan air kolam yang nampak sedikit keruh karena mungkin terlalu lama tak digunakan.
“Bagaimana kalo kita bersihin kolam renang dulu? Udah kotor banget kayaknya.” Ujar Arsyila.
“Oke siap!” Sahutku bersemangat.
9579Please respect copyright.PENANA2ghzqGH00C
BERSAMBUNG
Cerita "KUCUMBU ISTRI SAHABATKU" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI9579Please respect copyright.PENANAh96H1rTMqk