Sabtu malam, Liana mendapati Sean sedang duduk di ruang tamu sambil menonton TV seperti biasanya.
"Sean, nggak pergi malam mingguan? Kok di rumah aja?” Tanya Liana sambil duduk di samping putranya dan merangkul pundak anak semata wayangnya itu. Mereka melakukan percakapan ini hampir setiap akhir pekan.
"Sean pengen istirahat Ma, lagipula aku lebih suka di rumah sama Mama."
Sean selalu memiliki jawaban yang sama saat Liana menanyakan alasan kenapa pemuda itu lebih sering menghabiskan waktu di rumah sepanjang hari.
"Sean, sesekali cobalah keluar rumah. Kamu harus punya teman atau bahkan seorang pacar." Kata Liana sembari menghela nafas panjang. Kemudian wanita berparas cantik itu menatap Sean dengan ekspresi serius dan berkata,
"Mama mengkhawatirkanmu."
"Mama juga terlihat baik-baik saja kan walaupun nggak ada pasangan?”
"Ayolah Sean, itu berbeda dan kamu tahu itu. Mama sudah pernah menikah. Sementara Kamu?" Liana berkata sambil meremas bahu Sean dengan penuh kasih sayang.
"Yah, next time lah Ma. Lagipula, aku sudah punya wanita sempurna. Mama!" Sean tersenyum sambil menatap lekat wajah Mamanya. Liana menghela napas dengan frustrasi.
"Yah, kita pasangan yang serasi kan?"
"Mama adalah sahabat terbaikku." kata Sean sebelum meringkuk di lengan Liana.
"Iya, Sean juga sahabat Mama." Balas Liana, sambil memeluk Sean.
"Tapi kamu tetap harus punya pacar Sean. Mama nggak mau punya anak jomblo seumur hidup.” Sean menarik napas panjang.
"Ma..."
"Apa?"
Mulut Sean terbuka tetapi tidak ada kata yang keluar dari sana. Kepalanya jatuh kembali ke sofa dan dia memejamkan matanya. Wajahnya tampak memerah karena malu.
"Lupakan Ma, nggak penting kok." Ujar Sean lirih.
"Ada apa Sean? Kamu tau kan kalo Mama tidak suka ada rahasia diantara kita?" kata Liana, wanita cantik itu memalingkan wajahnya ke arah Sean dan menatap mata anaknya yang berkabut.
"Ada apa Sean? Ayo cerita sama Mama.”
Sean sudah lama ingin berbicara dengan Mamanya tentang rasa malunya, tetapi dia tidak ingin membebani Mamanya. Selain itu, dia merasa malu berbicara dengan Liana soal percintaan. Namun entah kenapa malam ini Sean punya keberanian untuk mulai bercerita.
"Ehmmm, Sean selalu malu kalau dekat dengan cewek yang Sean suka. Setiap kali momen itu datang, Sean terlihat seperti orang bodoh dan tak bisa memulai percakapan. Malah kadang yang lebih memalukan, Sean jadi gagap.” Kata Sean, dia palingkan wajahnya seolah tak berani menatap wajah Mamanya sendiri. Liana terkejut tetapi berusaha untuk tidak menunjukkannya. Wanita cantik itu ingin menjadi pendengar yang baik bagi Sean.
"Tunggu dulu, kamu bilang selalu merasa malu jika dekat dengan cewek? Lalu kenapa waktu sama Mama kamu nggak kayak gitu?” Tanya Liana coba untuk memahami masalah anak tunggalnya itu.
"Ma, ini beda. Sean selalu merasa nyaman kalau dekat dengan Mama.” Balas Sean sembari mengusap-usap rambutnya sendiri dengan telapak tangan.
“Jadi selama ini kamu belum pernah pacaran?” Sean menggeleng lemah, ada perasaan malu yang tiba-tiba menyeruak dalam dadanya.
Ya Tuhan, Sean sudah berusia 18 tahun dan belum sekalipun merasakan momen pacaran? Pikir Liana. Sean pasti masih perjaka! Kesadaran itu mengejutkan Liana. Kemudian masalah yang lebih besar muncul di benaknya.
"Kamu suka perempuan kan Sean?"
"Mama! Tentu saja aku suka perempuan! Sean masih normal Ma!" Kata Sean dengan jengkel, kali ini dia benar-benar malu. Liana menghela napas lega.
Perasaan bersalah menggelanyuti perasaan Liana karena baru menyadari jika selama ini dia lalai pada Sean. Setelah kematian sang suami, wanita cantik itu begitu sibuk bekerja, bukan hanya untuk mengembalikan stabilitas kehidupan ekonominya, tapi juga sebagai cara untuk melupakan kesedihan karena kepergian Haryo. Liana baru menyadari jika Sean punya masalah besar dalam hidupnya sebagai remaja yang tumbuh dewasa, dan dia baru mengetahuinya saat ini. Mereka berdua duduk dalam diam untuk waktu yang lama. Tak satu pun dari mereka tahu harus berkata apa. Akhirnya, Liana mencairkan suasana dengan sebuah ide.
"Sean, bagaimana kalau malam ini kita kencan?”
"Ah Mama, serius dong, jangan becanda terus."
"Mama serius Sean, kamu tadi kan bilang kalo dengan Mama, kamu merasa nyaman. Malam ini kamu boleh memperlakukan Mama seperti teman kencanmu. Mama juga akan memberitahu kesalahanmu saat bersama seorang wanita. Ayolah, ini akan menyenangkan Sean!” Liana berhenti ketika dia menyadari bahwa Sean mungkin akan malu untuk pergi dengan Mamanya.
"Eh...tapi itu kalau kamu tidak malu keluar dengan Mamamu yang sudah tua ini ya."
"Mama nggak tua kok, lagipula Mama adalah wanita tercantik yang pernah Sean lihat.” Wajah Liana seketika memerah begitu mendengar ucapan Sean barusan.
"Terima kasih sayang, jadi gimana? Mau kencan sama Mama malam ini?” Sean terdiam selama beberapa menit, berpikir.
"Oke, sepertinya menyenangkan.” Kata Sean akhirnya dengan nada santai.
"Kok nggak semangat gitu sih?" Ujar Liana sambil cemberut.
"Bukan begitu Ma…" kata Sean dengan cepat.
"Ada apa sayang?"
"Sean cuma takut akan mengacaukan semuanya. Sean nggak pernah kencan sama sekali Ma…” kata Sean, suaranya terdengar gugup.
"Nggak ada yang perlu kamu takutin sayang. Mama selalu ada di samping Sean, ok?” Liana menepuk-nepuk pundak Sean dengan penuh kasih sayang.
"Ayo, kita ganti pakaian dulu.” Ujar Liana seraya bangkit dari sofa.
“Kita mau pergi kemana Ma?”
“Hmmm, bagaimana kalo makan malam romantis di restoran favorit Papamu, terus setelah itu kita nonton bioskop?” Ujar Liana memberi ide.
“Oke Ma!”
5520Please respect copyright.PENANA4g7OAbPaIZ
***
5520Please respect copyright.PENANAJe2bye39IC
Dua puluh menit kemudian, Sean mondar-mandir di sekitar ruang tamu dengan gugup, menunggu Mamanya. Ketika dia melihat Mamanya menuruni anak tangga, Sean tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, kekaguman lebih tepatnya. Mulutnya bahkan sampai terbuka. Liana mengenakan atasan ketat berwarna putih dengan potongan rendah, memperlihatkan bagian atas payudaranya yang montok, serta rok pendek berwarna hitam dan sepatu hak tinggi.
"Kamu kenapa Sean?" Tanya Liana saat melihat perubahan raut wajah Sean. Wanita cantik itu menyusuri penampilannya, memastikan tidak ada yang salah.
"Mama…I-Itu..A-Anu…" Sean tergagap-gagap mencoba mengatakan betapa cantiknya Liana malam ini.
"Apa lebih baik Mama ganti baju aja?" Liana berbalik untuk kembali ke lantai atas karena khawatir dia sudah terlalu berlebihan dalam usahanya terlihat muda dan "seksi".
"Nggak usah Ma! Mama cantik sekali malam ini! Sean suka!" Sean berseru. Liana berbalik dan tersenyum.
"Wah terima kasih sayang, Mama kira kamu malu melihat Mama pake pakaian kayak gini."
“Mana mungkin Sean malu, justru Sean yakin banyak orang yang akan cemburu melihat kita jalan berdua malam ini." Liana tertawa lebar mendengar ucapan Sean.
"Baiklah, ayo kita buat mereka cemburu. Untuk malam ini, jangan panggil Mama ya, panggil Liana aja." Ujar Liana sambil tersenyum.
"Oke Ma... eh Liana." Sean menyukai bagaimana nama Liana keluar dari lidahnya.
Sean bergegas menuju mobil, sigap remaja itu membukakan pintu untuk Liana. Saat Liana duduk, Sean tidak dapat menahan diri untuk tidak melihat hamparan paha sang Mama yang tersingkap saat rok pendeknya terangkat. Dada Sean berdebar tak beraturan, sejenak dia lupa jika wanita yang ada di dekatnya saat ini adalah Mamanya sendiri.
Saat menyetir, konsentrasi Sean terbagi antara melihat jalanan dan melirik ke arah paha Mamanya yang putih mulus. Perasaan aneh kemudian perlahan muncul dari dalam diri remaja itu, sebuah perasaan asing yang baru pertama kali dia rasakan sepanjang hidup.
Sean mengemudikan mobilnya ke sebuah restoran Italia kecil yang sering mereka kunjungi saat sang Ayah masih hidup. Restoran itu berada di pusat kota, meskipun begitu tak banyak pengunjung yang datang malam ini, dengan tampilan khas Mediterania membuat restoran tersebut telihat cukup segmented bagi sebagian orang. Meja-meja ditutupi dengan taplak meja kotak-kotak merah dan masing-masing memiliki botol anggur tua di tengahnya dengan lilin yang menyala. Bahkan ada pemain biola yang memainkan musik.
Makan malam berjalan lancar dan sangat santai. Liana bahkan membiarkan Sean meminum beberapa gelas anggur. Liana ingin membuat anak tunggalnya itu merasa lebih dewasa. Beberapa teguk anggur rupanya membuat Liana merasa sedikit mabuk tapi juga hangat dan rileks. Sean sama sekali tak menunjukkan kegugupan saat makan malam berdua romantis dengan Mamanya. Anggur mungkin melonggarkan lidahnya sedikit.
Mereka berbicara tentang sekolah, teman, musik, film, dan semua hal yang dibicarakan oleh pria dan perempuan saat berkencan. Kadang, Liana memberikan tips pada Sean tentang hal-hal yang harus dia lakukan saat berkencan. Seperti menunggu hingga teman kencannya mengambil tempat duduknya sebelum dia duduk atau membukakan pintu restoran untuk sang pujaan hati.
Liana berusaha untuk tidak terlalu kritis terhadap Sean. Menurut Liana, Sean tidak perlu banyak dilatih. Anak tunggalnya itu adalah seorang pria yang alami, seperti ayahnya. Untuk beberapa saat, Sean benar-benar lupa bahwa Liana adalah Mamanya.
Liana juga lupa untuk beberapa saat bahwa dia sedang bersama putranya. Tiba-tiba saja Sean tampak begitu dewasa. Mata birunya yang indah berkilau dalam cahaya lilin yang redup saat dia tertawa dan wajahnya bersinar seperti neon saat dia tersenyum. Ya Tuhan, dia sangat tampan, pikirnya. Tiba-tiba, Liana merasa ada hal yang berbeda malam ini.
Makan malam usai, kini acara kencan anak dan Ibu itu berlanjut ke sesi berikutnya. Liana sedikit goyah saat berdiri, sepertinya wanita cantik itu terlalu banyak menenggak anggur. Sean dengan sabar dan telaten mendampingin Mamanya, membukakan pintu restoran kemudian berjalan tenang menuju parkiran mobil. Sean rupanya menyerap tiap saran yang diberikan oleh Mamanya saat makan malam tadi. Liana makin terkesan.
Ketika Sean membuka pintu mobil, dan Mamanya meluncur masuk, dia mencoba untuk tidak melihat paha Liana yang terhampar bebas. Akan tetapi, hal itu mustahil. Tidak peduli seberapa keras dia mencoba, matanya tetap tertuju pada area gelap di antara kedua kaki Mamanya. Cahaya dari lampu jalan melelehkan bayangan dan Sean menarik napas dalam-dalam.
Kaki Mamanya terbuka, memperlihatkan bagian atas celana dalam nilon setinggi paha yang halus, paha mulus dan celana dalam sutra berwarna biru pucat yang memeluk kantong kemaluannya. Sean berhenti sejenak dengan satu kaki keluar dari mobil. Sean berdiri hampir membeku, matanya melotot.
"Kita jadi nonton?" Tanya Liana, sekali lagi menyadari bahwa putranya sedang melihat pahanya yang terbuka.
Bukannya marah, pengaruh alkohol rupanya sedikit mengacaukan pikiran sehatnya, ekspresi kekaguman Sean pada lekuk tubuhnya dianggap hanya sebagai sebuah kenakalan kecil. Jauh daripada itu, Liana merasa sangat tersanjung karena masih bisa membuat remaja seusia Sean terkagum-kagum. Sean buru-buru mengalihkan pandangan matanya, dia sadar betul tatapan jalangnya beberapa detik lalu telah diketahui oleh Liana. Wajah Sean merah karena malu.
“Jadi dong Ma, yuk!” Sahut Sean seraya menyalakan mobil dan beranjak pergi dari parkiran restoran
5520Please respect copyright.PENANAgukJwmLrc2
***
5520Please respect copyright.PENANATHB9qsNvpo
Setelah membeli dua gelas coke ukuran tanggung dan popcorn mereka berdua langsung menuju studio. Tiket di tangan Sean menunjukkan posisi duduk mereka di barisan paling belakang. Hanya ada beberapa orang penonton lain, tak begitu ramai mungkin karena film yang dipilih Sean bukanlah jenis film box office.
Filmnya lucu dan ringan, membuat mereka berdua tertawa lepas. Di pertengahan film, Sean dengan hati-hati mengangkat lengannya dan meletakkannya di sandaran kursi di belakang punggung Liana, lengannya yang telanjang menyentuh pundak sang Mama. Liana tidak melewatkan gerakan itu dan merasakan getaran kecil menghampirinya.
Pada momen lainnya saat mereka tertawa karena adegan lucu di film, Sean menggerakkan lengannya hingga melingkari tubuh Liana, tangannya menggantung di bahu Mamanya. Liana memberi respon dengan dengan menghela napas dan meringkuk lebih dekat lagi ke lengan Sean. Liana tersenyum pada dirinya sendiri atas keberanian putranya. Liana merasa sangat nyaman dan dicintai pada saat itu. Sudah lama sekali dia tidak merasakan hal seperti ini.
Tiba-tiba, Sean menyadari bahwa ujung jarinya menyentuh bagian atas payudara Liana yang terbuka, Sean bahkan bisa dengan jelas melihat gundukan daging lembut berukuran jumbo itu menyembul. Sean dapat merasakan jantungnya mulai berdetak dengan cepat. Liana pun merasakan jari-jari tangan itu sedikit menyentuh permukaan kulit bagian atas payudaranya, karena ia tidak ingin merusak suasana dia sama sekali tak menghindar.
Sean tidak dapat lagi berkonsentrasi pada adegan film. Hampir tanpa kendali, jari-jarinya mulai bergerak maju mundur dengan lembut di atas payudara Liana yang membengkak. Gerakannya halus, hampir tidak terlihat. Namun, Sean bisa merasakannya.
“Hentikan!” Jerit Sean dalam hati.
Setelah beberapa menit, Liana menyadari jemari Sean bergerak liar. Itu adalah sentuhan yang sensual, hampir menggelitik. Mungkin saja itu tidak disengaja. Ketika ia merasakan bulu kuduknya merinding, Liana tahu bahwa ia harus menghentikannya.
Namun, dia tidak ingin membuat Sean malu. Tangan Sean gemetar, saat jari-jarinya semakin berani. Ujung jarinya bergerak lebih jauh ke bawah hingga hampir berada di bawah pakaian yang dikenakan oleh Mamanya. Liana gelisah, dia tak menyangka jika Sean akan seberani ini.
Nafas Liana semakin memburu. Dia ingin menghentikannya tapi sudah lama sekali dia tak merasakan sentuhan seorang pria yang begitu mencintainya. Jiwa keibuannya bertempur dengan instingnya sebagai seorang wanita normal yang begitu merindukan kedekatan intim seperti ini.
Liana mulai menggeliat di kursinya. Tanpa disadari, celana dalamnya mulai basah. Ketika Liana merasakan jari-jari Sean mulai bergerak lebih jauh ke bawah, dia meraih dan memegang tangan anaknya itu, mencegah gerakan lebih lanjut. Namun, dia tidak melepaskan jari-jari itu dari bagian atas payudaranya, melainkan hanya menahannya, Liana bahkan hampir menekan jemari Sean ke dagingnya yang lembut.
Sean menghela nafas lega ketika Mamanya ternyata tidak marah. Pada satu momen, Liana melepaskan tangannya untuk meraih popcorn di dekat kursi. Ketika dia berbalik badan, Sean mengambil kesempatan untuk menggerakkan jari-jarinya ke bawah lagi, hampir seluruh tangannya berhasil merogoh dada Liana tanpa bisa dicegah lagi.
Sekarang Liana memegang jari-jari Sean dari luar bagian atas dadanya. Detak jantungnya sendiri berdetak semakin cepat. Sean merasa jantungnya akan meloncat keluar dari dadanya. Penisnya sekarang sangat tidak nyaman di dalam celana. Sean menggeliat, mencoba mencari posisi yang nyaman.
Liana menggenggam tangan Sean yang gemetar dengan erat, mengetahui bahwa satu inci lagi jemari anaknya itu akan menyentuh putingnya. Bahkan, ujung jari Sean sudah menyentuh areola besar berwarna coklat itu. Sean dapat merasakan puting Mamanya mengeras, berdenyut-denyut menciptakan sensasi menggairahkan. Sekarang, nafas keduanya terengah-engah.
Keduanya duduk hampir membeku di atas kursi. Liana mulai melonggarkan pegangan tangannya, dia merasakan jari-jari Sean kembali bergerak ke bawah lagi. Liana memejamkan matanya dan menarik napas dalam-dalam. Wanita cantik itu bisa merasakan jemari Sean bergerak melintasi permukaan areola-nya yang bergelombang. Kemudian jari-jari itu membelah di sekitar putingnya yang mengeras sebelum kemudian tiba-tiba lampu teater menyala terang.
Liana melonjak kaget seakan tersengat aliran listrik. Wanita cantik itu dengan cepat menarik tangannya pun begitu pula dengan Sean yang tak kalah kikuk. Keduanya hanya terdiam menunggu beberapa orang pergi dari ruang studio, sebelum kemudian ikut menyusul turut meninggalkan teater. Sean memilih untuk berjalan di belakang Mamanya, penisnya sudah begitu keras, dia tak ingin Liana mengetahuinya.
Liana menarik napas dalam-dalam dan menghela nafas saat berjalan di lorong di depan Sean. Liana bertanya-tanya mengapa Sean berjalan di belakangnya. Liana menoleh ke belakang dan menyadari masalah yang dimiliki teman kencan mudanya itu. Liana harus menahan diri untuk tidak menoleh ke arah putranya untuk kedua kalinya. Tiba-tiba, ia merasa seperti kembali ke masa kuliah. Bagaimana hatinya berdebar-debar saat kencan pertama dengan Haryo, ayah Sean.
5520Please respect copyright.PENANAq93OGpPRL1
***
5520Please respect copyright.PENANAxFjR4BsEeZ
Perjalanan pulang ke rumah sangat sunyi. Sean tidak bisa mempercayai apa yang telah terjadi di teater. Rasanya seperti mimpi. Sial, dia hampir saja memegang payudara Mamanya dan Liana sama sekali tidak menghentikannya. Namun, Sean masih merasa malu. Mamanya sudah cukup baik untuk mengajaknya kencan dan inilah cara dia membalasnya?
Liana juga tidak bisa mempercayai apa yang telah dia biarkan terjadi. Sekali lagi, dia berkata pada dirinya sendiri bahwa itu hanyalah kesenangan kecil yang tidak berdosa. Lagipula, putranya memang perlu membangun rasa percaya diri, pikirnya. Sesampainya di rumah Sean bergegas turun dari mobil dan membukakan pintu untuk Mamanya. Remaja itu kemudian mendahului langkah Liana untuk membuka pintu rumah.
"Terima kasih ya Ma, udah mau kencan dengan Sean malam ini." Sean tampak malu-malu.
"Sama-sama sayang, malam ini Mama juga seneng banget." Ujar Liana dengan tulus. Sean berdiri dengan gugup di depan Liana, seolah ada sesuatu yang mengganjal sebelum malam indah ini berakhir.
"Ada apa Sean?" Tanya Liana menyadari ada yang salah dengan raut wajah Sean yang mendadak tegang.
“Emmhh, apa aku boleh menciummu Ma? Ciuman seperti layaknya orang yang habis berkencan.” Kata Sean gugup. Jantungnya berdetak kencang lagi. Lututnya terasa seperti akan roboh saat Mamanya tidak langsung menjawab, Sean mengira dia telah membuat Liana marah kali ini.
"Biasanya kencan pertama tidak diakhiri dengan sebuah ciuman sayang, tapi karena Mama bahagia banget malam ini, kamu boleh melakukannya." Otak waras Liana yang masih terpengaruh alkohol tak bisa menolak permintaan Sean. Perlahan mata Liana terpejam, jantungnya berdebar kencang sekarang. Momen seperti ini mengingatkannya saat pertama kali mendapat ciuman dari Haryo.
"Ta-Tapi aku tidak tau bagaimana caranya Ma…" Ujar Sean lirih. Mata Liana kembali terbuka, senyum mengembang di bibirnya, dia kembali sadar kalau anaknya sama sekali tak berpengalaman.
"Begini…" Liana mendekatkan bibirnya ke bibir putranya. Lengannya secara otomatis melingkari punggung Sean. Remaja itu masih tampak kaku saat bibir Mamanya bergerak maju.
"Tunggu…" Liana tak melanjutkan aksinya, dia mundurkan tubuhnya sedikit agak menjauh dari Sean.
"Kamu harus rileks sayang, jangan kaku kayak gitu. Coba sekarang basahi dulu bibirmu." Kata Liana dengan nada lembut.
Sean melakukan apa yang diminta Mamanya. Liana kembali mendekatkan bibirnya ke bibirnya lagi. Kali ini Sean merilekskan bibirnya kemudian menekannya ke dalam mulut Liana yang lembut. Tiba-tiba, Sean merasakan payudara Liana yang empuk sekarang menempel di dadanya, bibirnya yang lembut, dan aroma parfumnya yang manis perlahan namun pasti jadi candu. Kepala remaja itu mulai berputar.
Liana mengerang saat lidahnya meluncur ke dalam mulut anaknya yang hangat. Itu adalah sebuah tindakan refleks dan otomatis. Liana merasakan lidahnya menyentuh lidah Sean dan sebuah getaran langsung menjalari tubuhnya. Untuk sesaat, dia terhanyut dalam rasa manis dari mulut putranya. Tiba-tiba, dia menarik lidahnya keluar dari mulut Sean. Liana benar-benar kehilangan kendali untuk sesaat. Dia menarik kepalanya ke belakang dan menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri.
"Sekarang sudah lebih enak, bukan?" Liana membuat nada suaranya terdengar sepolos mungkin, dengan getaran yang tak terkendali dalam suaranya.
"Lagi Ma…." Sean dengan berani menarik tubuh Mamanya ke arahnya lagi.
Liana dapat merasakan penis keras putranya menekan perutnya. Wanita cantik itu menggigil kegirangan saat membayangkan bahwa dia masih bisa membuat seorang pria muda bergairah. Tunggu, pikirannya berteriak, ini anakku sendiri. Liana tahu bahwa dia harus menghentikan ini sebelum menjadi tidak terkendali.
"Cukup sayang!" Liana hampir berteriak. Pagutan bibir keduanya terlepas, Sean nampak belum puas.
"Cukup satu ciuman pada kencan pertama. Jangan serakah." Ujar Liana sambil mendorong putranya menjauh.
"Ah nyebelin…" kata Sean, dengan senyum polosnya, mencoba menutupi kegembiraan dan kekecewaannya dalam satu waktu.
"Ma, bisakah kita berkencan lagi kapan-kapan?" Tanya Sean.
"Hmmm, oke nggak masalah asal kamu tetep jadi anak yang manis ya." Jawab Liana sambil mengecup bibir putranya sekali lagi sebelum masuk ke dalam rumah.
Malam itu, Sean berbaring di tempat tidur dengan penisnya yang keras di tangannya, memikirkan Mamanya. Semua fantasinya selama ini adalah tentang gadis-gadis di sekolah. Namun sekarang Mamanya mendominasi pikirannya. Sean masih bisa merasakan payudara lembut Mamanya saat jemarinya bergerak liar kala mereka berdua ada di bioskop. Jika saja dia bisa menggerakkan tangannya sepersekian inci lebih rendah , dia akan berhasil menyentuh putingnya.
Bahkan sekarang, dia masih bisa merasakan bibir Liana di bibirnya dan merasakan lidah sang Mama di mulutnya. Hanya butuh beberapa menit baginya untuk menyemprotkan sperma ke seluruh perutnya. Sean begitu puas malam ini.
Pada saat yang sama, Liana berbaring di tempat tidur dengan satu tangan meremas payudara yang sama dengan yang disentuh Sean tadi. Tangannya yang lain memaksa memasukkan tiga jari ke dalam lubang kemaluannya. Liana mencapai klimaks berulang kali hingga jari-jarinya dan seprai basah kuyup oleh cairan kewanitaan. Lalu, tiba-tiba dia menangis. Tuhan, apa yang telah saya lakukan? pikirnya. Liana Arya menangis sampai tertidur malam ini.
5520Please respect copyright.PENANAmCruYw37p8
BERSAMBUNG
Cerita "MAMA DAN CINTA PERTAMA" sudah tersedia dalam format PDF FULL VERSION dan bisa kalian dapatkan DISINI
ns 15.158.61.20da2