YANTI POV
1274Please respect copyright.PENANAbLIwwKjPyt
Aku segera pergi ke belakang setelah habis-habisan dimaki oleh Bu Diajeng karena ketauan mesum dengan Mas Rafi, anak bungsunya. Air mataku tumpah ruah, dipermalukan dengan sebutan lonte, pelacur, wanita murahan, dan tentu saja makian isi kebun binatang dari majikanku tersebut. Aku tidak mau membela diri, tapi nyatanya apa yang terjadi tadi adalah karena perilaku mesum Mas Rafi. Aku tidak bisa menolaknya sama sekali.
Kalau saja Aku tak memikirkan nasib keluargaku di kampung yang masih membutuhkan biaya, mungkin sejak dulu Aku pergi dari rumah ini. Ya, sejak kematian Pak Baroto harusnya Aku sudah pergi dari sini. Rasa malu, takut, sekaligus bersalah membuncah namun Aku tak kuasa menolak tawaran Bu Diajeng yang memintaku untuk tetap mengabdi sebagai asisten rumah tangga. Fakta bahwa Aku harus menghidupi keluarga di kampung jadi pelecut untuk tetap bertahan. Pada akhirnya tuntutan ekonomi lebih penting dibanding mempertahankan harga diri.
Ah, biarlah seperti ini dulu. Aku harus bertahan untuk sementara waktu hingga tabunganku cukup dan Aku punya keberanian untuk mencari nafkah di tempat lain, atau mungkin membuka usaha sendiri di kampung nanti. Aku harus kuat, tidak boleh cengeng seperti ini lagi. Tekadku dalam hati sambil menyeka air mata.
"Kamu kenapa nduk?" Suara berat Pak Kandar menyadarkanku dari lamunan.
Pria berusia hampir 60 tahun tersebut adalah sopir keluarga Baroto, orang yang membawaku bekerja di sini. Pak Kandar adalah kakak ipar mendiang Ibuku, dia begitu baik sejak dulu, terlebih pada keluargaku. Pak Kandar sudah Aku anggap sebagai ayahku sendiri karena kebaikannya tersebut.
"Nggak apa-apa Pakdhe..." Jawabku sambil kembali menyeka air mataku. Pak Kandar berjalan mendekatiku, sesaat mengamati mataku yang sembab lalu tersenyum tulus.
"Dimarahin Bu Diajeng lagi?" Tanya Pak Kandar sambil meraih daguku dengan tangannya yang kekar.
"Nggak apa-apa Pakdhe, udah biasa, ini juga karena kesalahan Saya." Jawabku.
"Ya sudah jangan sedih lagi, dikuat-kuatin aja dulu ya nduk. Inget anakmu di kampung, dia masih butuh banyak biaya." Ujar Pak Kandar, entah kenapa ada yang berbeda dari tatapan matanya kali ini.
"I-Iya Pakdhe..." Ujarku gugup dan menunduk malu. Pak Kandar kembali tersenyum, tersungging tipis diantara bibir tebalnya.
Sesaat ada keheningan diantara kami berdua sebelum akhirnya Aku bergegas pergi. Dari ekor mataku, Aku masih bisa merasakan jika Pak Kandar menatapku menjauh. Ada apa dengannya? Kenapa jadi berbeda sekali hari ini?
Setelah membereskan sisa makan malam keluarga Baroto, Aku langsung menuju kamarku. Badanku begitu lelah hari ini, di pikiranku hanyalah ingin segera merebahkan badan dan tidur. Hujan cukup deras, gemercik air dari langit seolah berlomba dengan genuruh suara petir yang menyambar berkali-kali. Betapa terkejutnya Aku saat membuka pintu kamar dan mendapati Pak Kandar sudah ada di dalam.
"Loh kok Pakdhe ada di sini?" Tanyaku keheranan.
Pak Kandar hanya tersenyum dan segera bangkit dari atas ranjang. Kakak ipar Ibuku itu hanya mengenakan sarung tipis dan kaos singlet tanpa lengan. Perlahan dia berjalan mendekatiku yang masih berdiri mematung di depan pintu kamar.
"Malam ini Pakdhe tidur di sini ya nduk, kamar Pakdhe bocor. Tadi siang Aku lupa benerin genting." Ucapnya.
"Bocor? Ta-tapi Pakdhe..."
"Nggak apa-apa kan nduk? Cuma malam ini aja kok, besok pagi Aku akan langsung benerin genting kamarku." Potong Pak Kandar sebelum Aku bisa memprotesnya lebih jauh. Aku sama sekali tak punya cara untuk menolak permintaannya kali ini. Tapi haruskah Aku tidur dengan dia dalam satu ruangan?
"Biar nanti Pakdhe tidur di bawah aja. Kamu tidur di kasur." Ucap Pak Kandar, Aku melirik ke bawah dipan tempat tidurku. Rupanya Pak Kandar sudah menggelar sebuah tikar.
"Ba-Baik Pakdhe..."
"Ya sudah, Kamu mandi dulu biar seger. Pakdhe mau ngrokok sebentar di depan." Pak Kandar melangkah pergi dari kamarku dan kembali menunjukkan senyum aneh seperti tadi pagi kepadaku.
Tak mau kalut dan terkungkung pikiran-pikiran buruk tentang tingkah aneh Pak Kandar, Aku segera pergi ke kamar mandi dan bergegas membasuh tubuhku dengan air hangat. Semoga saja Aku bisa langsung terlelap malam ini tanpa perlu mengkhawatirkan banyak hal lagi.
1274Please respect copyright.PENANA0PD87jy297
***
Entah sudah berapa lama Aku terlelap tidur, tapi tiba-tiba Aku merasakan hal yang aneh pada vaginaku. Lembab dan hangat, Aku paksakan untuk membuka mata, mengais kesadaranku yang sedari tadi sudah terbang ke alam mimpi.
Pandangan mataku masih kabur awalnya namun lambat laun Aku bisa melihat jelas di bawah tubuhku yang sudah telanjang bulat ada Pak Kandar. Kakak ipar Ibuku itu sedang menjilati vaginaku dengan begitu rakus. Reflek Aku langsung menendang tubuhnya agar menjauh.
"Heeeehh!!! Pakdhee!!!"
BUUGHHHH!!
Saking kerasnya tendanganku hingga membuat tubuh Pak Kandar limbung dan akhirnya jatuh dari atas dipan. Aku langsung menutupi tubuhku yang telanjang bulat dengan selimut dan beringsut menuju ujung dipan. Dadaku terasa sesak, pikiranku kacau menyadari kenyataan bahwa Pak Kandar telah berbuat mesum pada tubuhku.
Pria tua itu langsung bangkit berdiri sambil mengusap-usap bagian belakang kepalanya, wajahnya meringis kesakitan, namun yang membuatku lebih kaget adalah tubuhnya juga sudah telanjang bulat tanpa sehelai benangpun yang menutupinya. Penisnya kekar, panjang berurat, mengacung sempurna bak pejantan yang siap menggagahi setiap betina.
"Pakdhe mau apa?!" Teriakku panik.
"Ssssttt! Jangan teriak nduk.." Ujar Pak Kandar sambil kembali menuju atas dipan. Matanya jalang menatap tubuhku. Aku panik bukan main.
"Nanti kalo Kamu teriak dan ada yang dengar, kita berdua bisa langsung dipecat. Kamu mau jadi pengangguran lagi? Siapa nanti yang akan membiayai anakmu di kampung? Lagipula, Kamu kan udah biasa muasin kontol."
Aku begidik ngeri menyaksikan perangai Pak Kandar yang berubah total. Tak ada lagi sifat kebapakan yang melindungiku layaknya seorang Ayah. Kini berubah menjadi tatapan binal nan jalang bak seekor serigala yang siap untuk memangsa buruannya.
"Ja-Jangan Pakdhe...Aku mohon jangan..."
"Sudah nduk nikmati aja, masa Pak Baroto sama Mas Rafi doang yang Kamu puasin? Pakdhe kan juga pengen..."
Pak Kandar langsung menyergap tubuhku, memaksa untuk menciumi bibirku. Aku berusaha untuk kembali menjauhkan tubuhnya tapi usahaku tak sebanding dengan kekuatan pria tua yang masih memiliki badan kekar ini. Kepalaku mencoba bergerak liar untuk menghindari cumbuan bibirnya, sementara kedua tanganku sudah dikunci oleh tangan Pak Kandar. Alhasil yang bisa bergerak bebas hanyalah kakiku, itupun lambat laun bisa diredam juga olehnya.
"Eeemmcchh..!! Eeemcchhh..!!"
Aku berusaha sekuat tenaga untuk mengatupkan bibir tapi lidah Pak Kandar pantang menyerah dan terus berusaha untuk mencumbuiku.
"Jangan berontak nduk...Nikmati saja..." Desis Pak Kandar penuh intimidasi.
Pada akhirnya usahaku untuk menolak birahi Pak Kandar tak berarti apa-apa. Pria tua itu berhasil menguasai tubuhku sepenuhnya, tenaganya bukan tandinganku. Aku memejamkan mata ketika merasakan lidahnya menyapu lidahku, menyesapinya dengan begitu kasar. Dengusan nafas serta aroma semerbak tembakau bakar langsung menyengat tanpa bisa Aku cegah.
"Emmcchhh!! Eeemcchh..."
Nafasku terengah-engah mengimbangi cumbuan Pak Kandar pada bibirku yang mulai basah akibat liurnya. Di bagian bawah berkali-kali Aku rasakan batang penisnya berusaha untuk menekan permukaan vaginaku, mencoba untuk segera menerobos namun Aku masih berusaha untuk mencegahnya dengan terus bergerak liar. Ujung penisnya hanya bisa menggesek permukaan vaginaku saja.
"Udah Pakdhe! Udah..."
Aku memohon agar Pak Kandar menghentikan aksi bejatnya. Namun dia bergeming bahkan bertambah brutal.
"Pakdhe bilang jangan berontak nduk, nikmatin aja, jangan dilawan."
Pak Kandar terus merangsek, tubuhku bahkan sampai terdorong dan terhimpit di ujung ranjang. Entah apa yang baru saja dia makan hingga membuat tenaganya begitu kuat. Puas mengerjai bibirku, pria tua itu turun ke bawah. Leherku kini yang jadi pelampiasan jilatan lidahnya yang mengular menyusuri tiap jengkal permukaan kulitku. Aku hanya bisa terpejam dan merintih karena kedua tanganku masih berada dalam cengkOm Hendran tangannya.
"Ouucchh!! Pakdhe udah...Udaaahh.." Rengekku meminta ampun.
Pak Kandar kembali turun, ada sedikit kelegaan karena pada akhirnya tanganku yang mulai terasa perih dilepaskannya. Namun rasa lega itu hanya sesaat karena tangan kekar Pak Kandar justru mulai menjamah payudaraku yang berukuran besar.
Tak hanya meremas, bibirnya juga ikut mengerjai payudaraku. Menghisap putingku keras-keras secara bergantian sambil terus meremasi payudara menggunakan dua tangannya. Dari dengus nafasnya Aku bisa menerka jika birahi Pak Kandar sudah diubun-ubun.
"Aaachhh! Sakiit Pakdhe...." Protesku ketika puting kiriku tak hanya disedot namun juga digigit.
"Hehehehee..Susumu enak banget nduk!! Pantes aja Pak Baroto seneng banget ngentotin Kamu."
Entah kenapa kalimat pelecehan itu membuat tubuhku seperti tergodam kenyataan. Bayangan masa laluku bersama Pak Baroto kembali melintas di kepala. Potongan adegan-adegan erotis yang dulu sering Aku lakukan bersama tuanku tersebut seolah kembali menari-nari dalam pikiran, menggodaku untuk kembali mengulanginya. Birahiku seperti disadarkan kembali.
"Iya, Aku lontenya Pak Baroto..." Desisku tiba-tiba. Pak Kandar menghentikan aksinya, bibirnya yang basah kuyup akibat air liurnya sendiri tersenyum penuh arti.
"Sekarang Kamu mau kan jadi lonteku nduk...?"
Tanpa menjawab, Aku langsung mendorong tubuh Pak Kandar hingga jatuh terlentang di atas dipan. Penisnya yang kekar dengan otot-otot halus menyembul langsung Aku raih dengan tangan kananku. Aku mengocoknya sebentar sebelum membenamkannya dalam mulutku.
"Ouucchhh! Iya nduk enak banget!! Ouucchh!!!"
Pria tua itu terus mengerang menahan nikmat akibat penisnya Aku hisap dengan sangat brutal. Aku menyedotnya kuat-kuat seperti ingin meluapkan kemarahanku pada sosok pria yang Aku kira akan melindungku seperti layaknya seorang ayah namun justru menyimpan nafsu setan pada tubuhku. Aku turun ke bawah, dua pahanya Aku angkat hingga membuat permukaan anusnya terlihat di hadapanku. Tanpa pikir panjang Aku langsung menjilati saluran pembuangan itu.
"Oocchh!! Gila!! Ena banget nduk!! Aaaargghtt!"
Saking keenakan, sampai-sampai Pak Kandar menjambak rambutku. Agak sakit namun Aku bergeming dan terus menjilati lubang anusnya tanpa rasa jijik sedikitpun. Cukup lama lidahku menari-nari di lubang anusnya hingga beberapa saat kemudian Aku mengarahkan mulutku pada dua bola testisnya.
Satu tanganku meraih batang penis dan mulai mengocoknya dengan cepat, sementara mulutku menghisap kuat-kuat testis milik Pak Kandar. Lenguhan lirih dari mulutnya kini berganti menjadi teriakan, Aku tak peduli jika apa yang Aku lakukan saat ini telah menyakitinya.
"Aaarghht!!! Nduk!! Pelan!! Aaarghhtt!!"
1274Please respect copyright.PENANAqzF0yBjpxI
BERSAMBUNG
ns 15.158.61.11da2