
******
Chapter 1 :
Oh, God! That Shit CEO!
******
127Please respect copyright.PENANAsgojq4TE7L
Violette:
YA TUHAN, mengapa rambutku ini sulit sekali untuk dirapikan? Maksudku, aku sudah memakai seragam kerjaku dan meski tidak memakai seragam khusus dari perusahaan, aku memiliki beberapa baju kerja dengan jas dan rok selutut. Hari ini aku memakai setelanku yang berwarna cokelat kehitaman dan menurutku ini kelihatan lumayan manis. Aku tak peduli bila itu hanyalah pendapatku sendiri, tetapi aku senang memakainya.
Seragam sudah rapi, akan janggal bila rambutku tidak rapi.
Ini adalah hari ketigaku bekerja di Alexander Enterprises Holdings, Inc. Kuharap akan berjalan dengan lancar seperti di hari pertama dan di hari kedua aku bekerja di sana. Bekerja di bagian marketing ternyata tidak membosankan. Aku senang karena aku mulai membiasakan hidup mandiri meski aku masih tinggal bersama Jonathan, Pamanku. Alexander Enterprises Holdings, Inc. sebenarnya mengingatkanku pada seseorang. Well, temanku.
Aku pernah bergabung dengan suatu organisasi yang bernama Red Lion. Sejak kecil aku sudah diajak bergabung ke organisasi itu oleh ketuanya yang bernama Brian. Red Lion adalah organisasi perkumpulan pencuri kelas dunia yang bermarkas di Perancis.Bagiku Red Lion adalah organisasi yang sangat hebat. Ini disebabkan karena dunia awalnya tidak mengetahui identitas kami meski mereka sendiri telah mengalami kerugian yang sangat besar.
127Please respect copyright.PENANA8f4TT5VV0O
Sebelum akhirnya sesuatu terjadi.
127Please respect copyright.PENANAzuK5Lqbkoz
Aku berada di sana sebagai rekan dari Justin Alexander, temanku yang tadi teringat di otakku ketika aku melihat nama perusahaan tempatku bekerja. Justin Alexander adalah orang kepercayaan Ketua Red Lion (Brian) dan aku ditugaskan untuk menjadi asistennya. Justin adalah orang yang misterius dan dingin, dia juga tidak suka dibantah. Namun, suatu hari dia bertemu dengan seorang wanita yang bernama Hillda Esdaquille atau Hillda Hoult. Hillda adalah istri dari seorang CEO muda asal Perancis—Martinous Hoult—yang kaya raya; CEO tersebut memiliki perusahaan multinasional yang cabangnya tersebar di banyak negara di dunia. Kami sempat melakukan aktivitas kami, mencuri di perusahaannya, meskipun itu hanya uang selundupan dari bawahan suami Hillda. Pertemuan itu membuat Hillda dan Justin jadi memiliki sebuah hubungan khusus yang sangat intim.
Namun, hubungan itu berakhir dengan tragis. Aku sebenarnya khawatir dengan Justin tatkala aku mengetahui soal hubungan terlarangnya dengan Hillda, tetapi berhubung Justin adalah temanku sekaligus orang yang kuhormati—I have a lot of respect for him—aku akhirnya hanya bisa mendoakan yang terbaik untuknya. Lagi pula, seiring dengan berjalannya waktu, aku akhirnya menyadari bahwa Hillda adalah orang yang baik. Dia benar-benar menyukai Justin.
Saat suami Hillda, Martinous—atau yang sering dipanggil Martin—mengetahui soal hubungan terlarang istrinya itu, peperangan pun pecah. Ini sudah bukan lagi soal Justin seorang, melainkan soal seisi Red Lion, karena Martin memiliki kekuasaan yang sangat besar. Ia tak ingin melepaskan istrinya.
Peperangan antara Justin dengan Martin berujung dengan jalan Red Lion dihabisi oleh Justin sendiri sebab Brian sama sekali tak mendukung Justin pada saat itu. Demi menghilangkan jejak Red Lion—agar kami tidak diketahui oleh banyak manusia di belahan dunia—maka Justin akhirnya memilih untuk menghancurkan segalanya. Dia juga menghancurkan markas Red Lion. Setelah berpisah dengan Hillda, dia ingin menghapus segalanya. Segala yang ada di masa lalunya, termasuk Red Lion yang tidak berada di pihaknya lagi. Tidak sejalan dengannya lagi.
Aku ingat saat Justin membicarakan tentang rencana penghapusan itu padaku. Dia menceritakan semuanya, lalu mengajakku untuk membantunya saat melaksanakan rencana itu. Dari kecil aku mengetahui banyak hal tentang Justin meskipun dia terbilang tak banyak bicara. Hubungan kami sebenarnya lebih seperti mutual respect, tetapi kami selalu saling membantu satu sama lain. Seperti bos dan asisten yang saling membantu dalam pekerjaan mereka…tetapi ujung-ujungnya malah jadi tahu cerita tentang satu sama lain.
Mungkin itulah sebabnya Justin sepercaya itu padaku dan memutuskan untuk mengajakku bekerja sama dengannya. Berhubung aku menyaksikan segalanya dan sering berada di sampingnya, aku jelas berada di pihaknya dan aku pun menyetujui keputusan yang telah ia buat itu. Dia memutuskan untuk menghapus segalanya dan mengajakku pergi ke negara lain. Kami sepakat untuk memulai lembaran yang baru tanpa bayang-bayang Red Lion. Kami berdua memutuskan untuk pergi ke New York.
Aku masih tak percaya sepenuhnya, tetapi itulah yang sebenarnya terjadi. Lagi pula, akulah yang menemani Justin di sepanjang misi itu. Aku tahu jalan pikiran Justin. Dia adalah orang tercerdas yang pernah kutemui.
Semenjak tiga tahun belakangan, aku tak pernah lagi bertemu dengan Justin. Terakhir kali aku dan Justin sempat bertemu dengan Hillda di Paris, lalu aku dan Justin kembali lagi ke New York. Satu bulan pertama, kami berdua masih sering bertemu. Akan tetapi, setelah itu sepertinya Justin menghilang. Entahlah, aku merasa agak berbeda ketika dia tak ada di sampingku karena aku terbiasa menjadi rekan kerjanya. Aku harap dia lebih sukses dariku, mengingat dia adalah orang yang sangat cerdas. Aku akan selalu mengingatnya. Dia benar-benar hebat.
Ah, akhirnya selesai. Rambutku sudah tertata rapi dan tidak mencuat ke sana kemari lagi. Rambutku sekarang hanya diurai begitu saja. Aku tersenyum, berdiri, lalu mengambil hand bag-ku dan pergi ke ruang tamu; aku berharap untuk cepat menemukan rak sepatu dan mengambil sepatu high heels-ku. Argh, sebenarnya high heels ini menyebalkan, tetapi aku harus memakainya karena sepatuku yang lain agak kurang cocok untuk dibawa ke perusahaan besar seperti Alexander Enterprises Holdings.
Aku berjalan ke luar dan melihat Pamanku, Jonathan, duduk di depan televisi.
127Please respect copyright.PENANAwjbeyOAysI
"Kau sudah mau berangkat?"
127Please respect copyright.PENANA5CTnV2SQa1
Aku berhenti, memandangnya sekilas, dan kembali berjalan. Aku merunduk ketika aku sampai di depan rak sepatu yang ada di balik pintu.
"Uh-hm." Aku memakai sepatuku. "Aku pergi dulu, Nathan. Di mana motorku?"
Dia menoleh. Well, mobil Nathan sudah dijual karena kami mengalami sedikit krisis ekonomi selama beberapa bulan terakhir. Aku mencoba untuk berusaha keras dalam karirku agar keadaan ekonomi kami membaik. Diterima di perusahaan besar seperti Alexander Enterprises Holdings tentu adalah sebuah hal yang luar biasa bagiku; gajinya pasti lebih besar daripada perusahaan biasanya.
Namun, meski tidak ada mobil Nathan lagi, motor sudah membuatku nyaman. Ini motor Vespa dan aku menyukainya.
"Ada di luar. Ini kuncinya." Whoops. Dia melemparkan kunci itu dengan spontan di depanku. Aku menangkapnya, kemudian tersenyum. "Okay. Aku pergi!"
"Be careful," pesannya. Aku keluar dari rumah panggung yang tidak begitu besar itu, lalu mengambil motorku. Setelah memakai helm pink bergambar beruang milikku, aku akhirnya menaiki motorku dan pergi.
127Please respect copyright.PENANAOlLIAjdsGE
******
127Please respect copyright.PENANAQn4tyUuSMB
"Violette!" teriak Megan, suaranya memenuhi gendang telingaku ketika akhirnya dia sampai di depanku, langsung tertunduk dan terengah-engah. Dia bahkan terlihat seperti habis berlari beberapa kilometer. Dia kelihatan sesak napas. Aku hanya mengedipkan mataku berkali-kali dalam tempo cepat. "Hei, ada apa? Tarik napasmu," ujarku dan aku lantas menepuk-nepuk punggungnya. Akhirnya, dia berdiri dan berkacak pinggang di depanku.
"Huaaah! Aduh, astaga—tolong—huaah!!! Hoh! Aku capek sekali, ya ampun!!" Dia terengah-engah. "Ternyata diet dengan olahraga naik turun dari lantai dua sampai lantai tiga belas itu menyakitkan! Oh, sial. Aku tak ingin merasakan hal semacam itu lagi," katanya dan aku sontak tertawa.
"Kita punya lift di sini dan kau memilih jalan terburuk," ujarku. "Lagi pula, ada apa denganmu?"
Dia menatapku seraya tersenyum penuh semangat; dia seperti sedang mendapatkan pencerahan.
"Tahu apa? Sepertinya kau dipanggil oleh CEO kita," ujarnya, matanya nyaris keluar dari soketnya. "Demi Tuhan, Vio. Walaupun aku sudah lama bekerja di sini, tetapi aku belum pernah sekali pun melihat CEO perusahaan ini. Dia sepertinya sangat sibuk dan sangat misterius. Sebegitu sibuknyakah seorang CEO?" ujarnya lalu dia tertawa kencang. Aku menggeleng, tak menghiraukan candaannya.
"Se—sebentar. Memangnya ada apa, ya? Sebegitu seramkah CEO itu? Jangan membuatku bergidik ngeri, Meg,” kataku dan Megan tertawa.
"Entahlah. Sepertinya dia sedang mengadakan survei tentang seluruh karyawan di sini sampai bagian OB sekalipun. Aku kurang paham juga. Hmm…atau kau dipanggil karena kau adalah karyawan baru? Ah, rasanya tidak mungkin. Biasanya yang menangani kita adalah bos marketing kita langsung, bukan CEO atau jabatan teratas seperti dia! Tak mungkin dia mau menemui karyawan seperti kita secara langsung, 'kan? Wah, apa kau telah melakukan sebuah kesalahan yang fatal, ya?"
Mataku terbelalak. Tidak! Aku baru tiga hari bekerja di sini dan aku yakin otakku masih berfungsi untuk mengingat bahwa aku tidak pernah melakukan kesalahan apa pun selama tiga hari belakangan. Lantas ada apa?
"Ah—umm…sudahlah. Beritahu aku di mana ruang CEO kita," ujarku, memecah kebingungan di antara kami. Megan pun mengangguk.
"Lantai tiga belas, keluar dari lift lurus saja ke depan dan ruangannya ada di pintu ketiga di sebelah kanan lorong, yang pintunya paling besar. Lagi pula, kau akan menemukannya karena ada plang 'CEO bla-bla-bla' di depan pintunya."
CEO bla-bla-bla? Hell. Dia tak mengingat kalimat lanjutannya. "Baiklah. Aku pergi dulu," ujarku, lalu dia mengacungkan jempolnya padaku sembari cengar- cengir bak orang tolol.
Aku menggeleng dan langsung beranjak menuju ke lift.
Lantai tiga belas. Well, lumayan jauh.
Setelah terdengar bunyi 'ding', pintu kubikel lift itu pun terbuka dan aku menghela napas. Aku keluar dari lift dengan berhati-hati—agar tidak tersandung—lalu dengan cepat kucari pintu nomor tiga dari samping kanan lorong. Aku berjalan dengan kepala yang mendongak ke atas, mencari-cari plang CEO yang Megan katakan itu di depan pintunya. Ketika menemukannya, aku pun menghela napas. Pintu ini lebih besar daripada pintu-pintu yang lainnya. Aku mencoba untuk meredakan gemuruh di dadaku; akumencoba untuk rileks.
127Please respect copyright.PENANAbhrcIK4oac
Kau tidak punya salah apa pun, Violette. Tidak perlu takut.
127Please respect copyright.PENANA5EKyPNexBR
Lagi pula, ke mana assistant CEO-nya? Aku tak melihat keberadaan assistant-nya di sini. Ah, sudahlah.
Aku menggeleng dan menarik napas dalam, lalu mengeluarkannya lewat mulut. Aku pun mengetuk pintunya dengan pelan, tiga kali.
"Sir," panggilku.
127Please respect copyright.PENANANu27ThLvKT
"Masuk."
127Please respect copyright.PENANANyZVbfwdIT
Aku mengedikkan bahu, mencoba untuk menampilkan senyuman terbaikku dan membuka pintu itu dengan sepelan mungkin. Ketika aku masuk ke dalam ruangan, aroma buah bercampur dengan aftershave mulai memasuki indra penciumanku. Ruangan ini ber-AC dan aromanya menyegarkan. Memang berbeda jika ini adalah ruangan orang yang penting. Gah, kapan aku bisa sukses seperti ini?
Aku menutup pintu ruangan CEO itu, lalu aku berbalik. Aku memicingkan mataku ketika aku melihat siluet tubuh seorang lelaki; dia membelakangiku dan hanya menghadap ke arah jendela. Well, sebenarnya bukan jendela, tetapi dinding di ujung sana adalah kaca. Seluruh bagiannya adalah kaca yang membentang. Dari tempatku berdiri pun, kota New York dan kepadatannya terlihat sangat jelas. Pria itu memasukkan tangannya di dalam saku celananya dan masih belum berbalik. Aku mengernyitkan dahi, kedua tanganku menyatu dan aku memainkan jemari-jemariku.
Kok...tiba-tiba suasananya...mengerikan?
"Err... Excuse me, Sir—"
Dia, sosok CEO itu, membalikkan tubuhnya dengan anggun dan pelan. Aku agak memicingkan mataku. Meski wajahnya tertutupi oleh sinar matahari dari kaca yang kini ada di belakangnya—yang membuat sosoknya seolah terlihat bersinar terang dan membuatku silau—aku sepertinya mengenalinya. Aku memfokuskan mataku lagi dan hasilnya mataku terbelalak.
127Please respect copyright.PENANAhoBj6kf7j6
"JU—JUSTIN?!!!"
127Please respect copyright.PENANALa8q2RTn8t
Dia memandangku dengan tatapan mengintimidasi. Dia hanya diam tanpa ekspresi; dia masih tak berubah. Namun…ini benar-benar mengejutkan. Ya Tuhan, apakah aku benar-benar bertemu lagi dengan Justin? Sudah lama kami tak bertemu dan tiba-tiba aku melihatnya berdiri di depanku. Bagaimana Justin bisa ada di sini? Jadi, dia CEO di sini, ya? Hah, tunggu sebentar. Justin…jadi…CEO?
"Ja—jadi, kau—"
127Please respect copyright.PENANAD5JbdJu2BG
"Apakah sopan memanggil atasanmu dengan namanya langsung?"
127Please respect copyright.PENANAyabrmToFVR
Gulp.
Argh! Bodohnya aku! Justin itu bukan tipe-tipe manusia ramah yang bisa berpelukan ketika bertemu lagi dengan teman lamanya! Dingin tetaplah dingin meski sifatnya dulu agak menghangat ketika menjalin hubungan dengan Hillda.
"Ah... Maafkan aku, aku hanya tidak menyangka kalau kau..."
"Alexander Enterprises Holdings, Inc. Apakah itu kurang jelas?" tanya Justin sembari memiringkan kepalanya.
Sialan. Mengapa dia selalu saja memotong ucapanku? Kok rasanya agak aneh, ya? Perasaanku Justin dulu tak searogan ini padaku; sifatnya kini jadi agak asing di mataku dan ini sedikit menakutiku.
Aku tertunduk dan menggigit bibir bawahku. Sialnya tatapan intimidasinya itu terus berlanjut.
"Y—ya, tapi..."
"Duduklah."
Aku mengerjap. Dia sepertinya beranjak dan mulai duduk di kursi super besarnya itu dan aku hanya meremas jemariku. Tanganku terasa dingin. Bukan karena AC, tetapi karena suasana saat ini sangat…mengerikan. Mengapa aku jadi canggung dan takut begini saat berhadapan dengan Justin?
127Please respect copyright.PENANApAB14dWnEd
Apa karena dia jadi superdingin seperti itu?
127Please respect copyright.PENANAk8PBJ3XBgx
Aku berjalan dengan pelan, menuju ke kursi yang ada di seberang Justin (terpisah oleh meja kerjanya). Aku mulai duduk dan bunyi kursi yang akan kududuki ini terdengar cukup mengganggu. Sial.
Aku merutuki diriku sendiri di dalam hati.
"Well, aku tak menyangka kalau kau ternyata bekerja di sini," ujarnya, dia terus menatapku seolah sedang menginterogasiku. Aku meneguk ludahku, lalu aku menatapnya dengan ekspresi canggung, agak takut-takut.
"Aku juga tak menyangka kalau kau adalah CEO di sini," jawabku.
Dia mengangguk. Setelan jasnya sangat rapi, by the way. Dia sangat tampan dan shit...dia hot.
"Aku terkejut, ngomong-ngomong," ujarnya, memiringkan kepalanya tatkala memperhatikanku. "Aku menyurvei seluruh karyawan dan kutemukan nama Violette Morgan di sana. Aku penasaran dan ternyata itu benar adalah kau."
Aku hanya bisa menelan ludahku. Mengapa aku jadi gugup begini, sih? Apa otakku berjalan dengan mengingat bahwa dia adalah 'president' alias CEO di perusahaanku? Bukan mengingatnya sebagai temanku?
"Y—ya, begitulah, haha." Sial! Apa yang kulakukan? Kok aku gagap terus, sih?!
Dia menghela napas. "Well, kau tak banyak berubah. Duduklah di sofa yang ada di sebelah sana dan aku akan membicarakan sesuatu padamu setelah aku mengerjakan sebagian dari pekerjaanku."
Sialan. Yeah, yeah, yeah. Aku tak banyak berubah dan sepertinya kau menghinaku, Mr. Alexander.
Aku hanya mengangguk dan bangkit dari dudukku, lalu berjalan ke arah sofa yang ada di sudut ruangan. Aku pun duduk di sana.
Kupikir...wow. Ini nyaman.
Ruangan ini nyaman sekali dan aku harap aku tidak tertidur di sini atau mungkin si Dingin dan Kejam itu akan menendangku ke luar. Oh, aku sudah memberinya julukan, rupanya.
Dia banyak berubah, sepertinya. Namun, dia jadi semakin dingin...
Aku memosisikan diriku dengan lebih baik lagi di sofa yang sedang kududuki ini agar merasa nyaman.
Aku memperhatikannya dari sini, ia berkutat dengan laptopnya dan itu sepertinya merupakan pemandangan yang menarik. Dia tampan, demi apa pun. Aku sudah mengakuinya sejak dulu, tetapi sepertinya sekarang dia terlihat semakin dewasa dan tentu saja semakin tampan. Berapa umurnya sekarang? Setahuku dia dua tahun lebih tua dariku. Berarti…dia 28 tahun?
127Please respect copyright.PENANA07fp5SV1T5
"Apakah menarik memperhatikan atasanmu diam-diam, Ms. Morgan?"
127Please respect copyright.PENANA5KKj22m3lI
SHIT!!! AKU KETAHUAN!
Aku merona dan langsung menundukkan wajahku. Aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat dan merutuk dalam hati. Sialan...
Lagi pula, Justin kok jadi seperti ini, sih?! Ah, entahlah. Tiga tahun sudah berlalu dan mungkin banyak hal yang terjadi. Sebenarnya, aku pun memiliki beberapa perubahan. Jadi, ya sudahlah.
Aku akhirnya hanya diam selama kurang lebih sepuluh menit. Udara di sini membuatku mengantuk, tetapi aku bersikeras untuk menahannya meskipun kelihatannya aku sudah terpejam beberapa kali.
Aku tersentak; mataku kontan terbuka ketika aku mendengar suara korek api yang dihidupkan. Aku langsung menoleh ke arah Justin dan aku membulatkan mataku. Dia menghidupkan satu batang rokok yang sudah tersangkut di mulutnya.
"Kau—tidak merokok," ujarku, mencoba menyiratkan suatu pertanyaan dari kata-kataku. Itu adalah pengetahuanku dulu tentangnya. Dia dulu tak merokok!
Dia kembali menatap laptopnya dan mulai mengembuskan napas berasapnya itu. Asap itu mengepul di sekitarnya.
"Sekarang aku membutuhkannya, Vio. Aku sering bergadang untuk bekerja dan kupikir rokok membuat tubuhku jadi sedikit lebih hangat."
Aku mengernyitkan dahi, lalu aku menggeleng dan tertunduk. "Oh."
Dia sepertinya memandangku dengan kernyitan di dahinya. Entahlah. Aku tak melihatnya, tetapi aku seperti punya…feeling? Atau sejenis itu.
“Sepertinya, lebih baik kita bahas sekarang saja." Aku menatapnya lagi dan kutemukan iris mata berwarna lelehan karamel itu telah mengunciku. Aku meneguk ludahku dengan susah payah dan aku akhirnya hanya bisa mengangguk.
"Hmm," dehamku. Dia mendengkus.
"Kau sepertinya kurang bagus di bagian marketing," tukasnya asal. Mataku kontan memelotot; aku merasa tak terima. I mean, hey! Aku yakin aku bekerja dengan serius. Aku juga selalu berusaha dengan keras agar aku tak membuat kesalahan apa pun!
"Memangnya apa yang kau tahu tentangku?! Aku merasa kalau aku bekerja dengan baik!" teriakku tak terima.
Dia mengernyitkan dahi, tatapannya agak sinis.
"Well, keluar dari ruanganku jika kau kemari hanya untuk membentakku. Urus surat pengunduran dirimu."
Aku merasa sesuatu seolah menohok jantungku hingga membuat tubuhku tiba-tiba jadi kaku. Napasku tertahan.
Aku hanya bisa membungkam mulutku, kemudian aku tertunduk lagi. Aku tak punya pilihan apa pun, kecuali diam. Aku tak mau kehilangan pekerjaanku. Sialan kau, Mr. Alexander! Mengapa dia jadi kejam sekali sekarang?
"Mengapa kau tidak keluar?" tanyanya lagi dan kurasa embusan napasku kali ini mulai berasap. Darahku mendidih.
"Aku masih butuh pekerjaanku." Aku berkata sembari menahan amarah; aku mendengkus. Kulirik dia hanya mengedikkan bahunya dengan tak acuh.
Gah, orang ini menyebalkan sekali!
"Baiklah. Maka dari itu, biasakan untuk sopan dan dengarkan aku terlebih dahulu. Ingat itu, Ms. Morgan?"
Aku mendengkus lagi.
"Ya," jawabku, setengah mati berusaha agar suaraku tidak terdengar ketus. Mendengar kami saling memanggil satu sama lain dengan nama keluarga seperti ini membuatku merasa kalau kami tidak pernah menjadi teman baik sebelumnya.
"Okay," katanya. Dia mengisap rokoknya kembali dan mengembuskan asap rokok itu. "Jadi, lebih baik kau bekerja di sini."
Aku menyatukan alis. "Aku memang sudah bekerja di sini, Sir," jawabku dengan jemu.
Dia kemudian menghela napas.
"Di sini yang kumaksud adalah di ruangan ini. Kau akan kuangkat menjadi executive assistant-ku. Mejamu kupersiapkan hari ini juga jika kau mau berpindah jabatan. Kupikir kau sudah lama menjadi rekanku dan kau pasti bisa melakukannya."
EXECUTIVE ASSISTANT? HELL. APA INI? CERITA TENTANG CEO DAN EXECUTIVE ASSISTANT-NYA SEPERTI DI KEBANYAKAN NOVEL?
Oh tidak. Jangan berpikir terlalu jauh, Violette. Kau hanya terlalu banyak membaca novel akhir-akhir ini.
Aku tahu aku pernah menjadi rekannya. Namun, tetap saja ini membuatku kaget. Dengan dia yang kejam seperti ini, aku bisa mampus hanya dalam satu hari. Mati kutu! Lagi pula, lihat saja apa yang sejak tadi dia lakukan. Aku menjawab dengan suara yang agak keras saja, dia sepertinya langsung ingin memecatku. Aku tahu kalau aku sepertinya kurang sopan tadi, tetapi hey, mengertilah! Dia yang memulainya duluan dengan menghinaku, 'kan?
Aku sudah enjoy di marketing. Lagi pula, apa tanggapan orang-orang di perusahaan ini nantinya ketika melihat aku yang dari divisi marketing—dan jabatan yang biasa saja—tiba-tiba naik menjadi executive assistant CEO? I mean, CEO, man! Dia agaknya juga merupakan pemilik perusahaan ini. Megan mungkin akan pingsan jika tiba-tiba aku menceritakan hal ini padanya.
Aku meneguk ludahku.
"T—tapi...aku sudah merasa cukup dengan—"
Dia mendengkus. "Bukan kau yang membutuhkan pekerjaan itu, Violette, tetapi aku yang membutuhkanmu untuk menjadi executive assistant-ku. Aku merasa bahwa aku sepertinya butuh bantuan dalam menjalankan tugasku," ujarnya, mulutnya mengembuskan asap lagi. "dan saat mengetahui bahwa kau ternyata bekerja di sini, kurasa lebih baik kau saja yang mengisi bagian itu. Executive assistant-ku." Kali ini puntung rokok itu telah ia tekan ke dalam asbak dan sudah mati.
"Just—I mean, Sir... Aku cukup kepikiran dengan apa yang nanti akan dikatakan oleh semua orang," kataku dengan tak nyaman.
"Mengapa kau memedulikan hal yang tidak signifikan seperti itu? Lebih baik kau undurkan dirimu jika kau menolak tawaranku," ujarnya dingin.
Pemaksaan!!
Apakah tidak ada ancaman lain selain 'undurkan dirimu' dan 'keluar dari ruanganku sekarang juga'? Apakah pria ini tahu bahwa aku sangat lemah dengan kata-kata itu? Aku butuh pekerjaanku!
Aku menghela napas, lalu mendengkus.
"Okay," kataku pada akhirnya. "tetapi…apakah aku...harus satu ruangan denganmu? Emm I mean... Aku...mungkin bisa mati."
Dia mengernyitkan dahi, matanya menyipit; ia memberikanku sebuah tatapan yang setajam dan setipis silet.
127Please respect copyright.PENANAZ2yXm3Lfg6
Aku bergidik.
127Please respect copyright.PENANACkEWUwad9s
"Memangnya kau pikir aku akan terus melihatmu? Aku punya banyak pekerjaan yang lebih penting dan aku juga memiliki banyak perempuan yang lebih menarik untuk dilihat," katanya dengan angkuh.
Aku tersentak. Hei! Aku tahu aku jelek, tetapi haruskah dia menghinaku seperti itu? Apa-apaan ini? Justin Alexander yang kukenal tidak sesombong ini! Justin Alexander yang kukenal adalah seseorang yang pendiam dan misterius, tetapi aslinya dia adalah orang yang sangat baik dan penuh dengan pengorbanan. Namun, siapa ini? Siapa pria ini? Dia seperti iblis. Lagi pula, sejak kapan Justin suka melirik banyak perempuan? Oh, berada di sini ternyata bukan hanya membuatku mati kutu, tetapi juga membuatku pusing.
"Kau tak perlu menghinaku, Mr. Alexander. Maaf," ujarku, suaraku mulai tegas. "Lagi pula, tetap jauhkan mejaku dengan mejamu meski kita satu ruangan," tegasku.
Dia semakin memandangku dengan tatapan tajam.
"Kau selalu protes padaku, Violette. Tidak berubah. Kau yakin kau akan tetap bekerja di sini dengan sifatmu yang seperti itu?" tanyanya lagi, memancing emosiku.
"Terserah Anda, Sir. Aku hanya ingin itu saja, please?"
"Well, itu jelas. Tak mungkin tempat duduk bawahan dekat dengan atasan, 'kan? Kau tak perlu takut,” jawabnya dengan arogan.
Sialaaaan!!! Aku menggeram sendiri setiap mendengar kata-katanya yang santai, tetapi menyakitkan itu. Baiklah, yang penting permohonanku dikabulkan. Kurasa mulai hari ini aku harus mengasah kesabaranku. Bertemu orang ini setiap hari akan membuatku jadi tiga kali lipat lebih lelah.
"Terima kasih," kataku sembari menahan rasa jengkelku.
Dia mengangguk tak peduli.
"Itu saja. Keluarlah. Nanti aku akan memanggilmu kembali jika mejamu sudah kupersiapkan."
Aku mengangguk dan undur diri dari hadapannya. Dia hanya berkutat kembali dengan telepon—atau apalah itu yang ada di atas mejanya—aku kesal, jadi aku tak peduli. Ketika aku sudah berada di luar pintunya, sudah menutup kembali pintunya, aku mengepalkan tanganku. Aku menggeram dan kurasa semua uratku kini menegang. Aku sangat kesal! Bagaimana mungkin aku bisa bekerja dengan cara seperti ini?
Bertemu dengan teman lama bukannya membuatku senang, aku justru jadi kesal setengah mati.
Aku kembali berjalan menuju lift dengan langkah yang lebar bak orang kesetanan dan menuju ke lantai bawah (tempat di mana divisi marketing berada). Ketika pintu kubikel lift terbuka, aku keluar dari lift dan langsung pergi ke divisi marketing, lalu berjalan ke mejaku. Megan langsung berlari menghampiriku dengan penuh semangat. Wajahnya berbinar-binar; dia senyum-senyum tak jelas. Ah, mungkin dia kira tadi aku bertemu dengan orang yang berkarisma, berwibawa, sukses, dan menginspirasi. Well, jika dia mendengar ceritaku, pasti dia tak akan percaya.
Dia mengambil kursinya dan menempatkannya di seberangku. Dia menatapku dengan semangat dan menaruh sebelah telapak tangannya di rahang kirinya, menungguku untuk menjelaskan semuanya. Aku mengusap wajahku frustrasi.
"Jadi, apa katanya, he? Apa? Apa? Kau disuruh apa?" tanyanya dengan antusias. Oh, hell, Meg. Aku pusing. Demi Neptunus, aku pusing sekali sekarang.
"Entahlah, Meg. Aku juga tidak mengerti."
"Hei...jangan seperti itu. Apa kau dihukum? Cerita padaku, Vio!! Aku sangat penasaran! Lagi pula, apakah CEO kita itu tua? Muda? Tampan? Berkarisma? Atau bagaimana?"
Aku memutar bola mataku.
"Oh, please, Meg. Kau membuatku pusing," kataku, lalu dia mengerucutkan bibirnya.
"Ayolah...aku ingin tahu, please..." pintanya padaku. Matanya berkedip-kedip, dia mencoba untuk merayuku. Akhirnya aku menghela napas. Tatapan karyawan-karyawan di sini juga sudah mulai tajam karena Megan terus berisik, jadi aku tak mau memperpanjang masalah.
"Okay." Aku menghela napas. Megan langsung mengangguk dengan antusias bak anak kecil di depanku.
"Soooo, bagaimana wajahnya? Tampan? Sedikit tampan?" Aku memutar bola mataku dan mendengkus.
“Dia ternyata adalah teman lamaku,” jawabku singkat.
Mata Megan terbelalak, dia menutup mulutnya dengan sebelah tangannya.
"Te—TEMAN LAMAMU?" Dia berteriak dengan kencang. Tatapan orang-orang di sini jadi bertambah tajam. Aku langsung menutup mulutnya dengan tanganku.
"Meg, santailah," rayuku.
Dia meneguk ludahnya dengan susah payah ketika aku melepaskan tanganku dari mulutnya.
"Ja—jadi, apa yang dia lakukan? Sejak kapan kalian berteman? Ceritakan, Vio! Demi Tuhan, aku penasaran sekali!"
Aku akhirnya menghela napas.
"Well, dia itu...tampan,” jawabku dan mata Megan mulai berbinar-binar. “Dia muda, hanya dua tahun lebih tua dariku. Maksudku, kupikir umurnya masih berkepala dua. Dia memang terlihat 'hotter than the sun', tetapi dia...dia sangat dingin. Aku berteman dengannya sejak kecil, tetapi sudah tiga tahun ini aku tidak bertemu dengannya. Aku akhirnya bertemu dengannya di ruangan CEO itu."
Megan terlihat kaget bukan main. Sepertinya, dia sangat takjub. Entahlah takjub pada ceritaku atau takjub pada sosok CEO itu yang diilustrasikannya sendiri di pikirannya.
"SE—SETAMPAN APA DIA? Ya Tuhan, aku tak menyangka kalau CEO kita berteman denganmu. Selain itu, aku sekarang mengerti mengapa dia memanggilmu ke ruangannya setelah menyurvei kita semua."
Aku mengangguk.
"Dia… Entahlah dia itu tampan seperti apa. Yang jelas, garis wajahnya membuatnya tampak kejam dan dingin. Aku tak tahu dia bisa bergaya cute atau tidak karena kupikir dia dominan kejam. Wajahnya maskulin."
Mata Megan semakin berbinar-binar seperti mengeluarkan bintang-bintang kecil.
"Ya ampun, aku bisa membayangkan ketampanannya dari sini... MY GOD!!" teriaknya. Aku memutar bola mataku.
"Well, bukan itu yang penting Meg," kataku. Dia tiba-tiba tersadar seolah-olah baru saja kutampar. Dia langsung antusias lagi.
"Apa? Apa? Ayo cerita!" desak Megan.
Baiklah, setidaknya aku tak akan cerita padanya bahwa aku adalah teman sekaligus rekan Justin di Red Lion. Aku dan Justin bisa ditangkap polisi sekarang juga.
"Dia menyuruhku untuk menjadi executive assistant-nya karena dia merasa lebih kenal denganku. Ya, mungkin begitu," kataku. Aku menggeleng, lalu mengedikkan bahu. "Aku pusing karena dia itu terlalu kejam. Ancamannya itu selalu—"
Aku berhenti karena kelihatannya semua orang mendadak terdiam. Tidak ada lagi yang bersuara di sini, hanya suaraku yang terdengar di ruangan. Aku merasa sangat heran, lantas aku berhenti dan melihat ke sekeliling. Megan juga sama. Hal yang kami dapatkan adalah: mata semua orang tertuju pada satu arah, mulut mereka terbuka lebar—menganga—dan tubuh mereka mematung. Apa yang sedang mereka lihat? Dewakah? Mengapa sampai seperti itu?
Aku dan Megan akhirnya mengikuti arah pandang mereka semua.
127Please respect copyright.PENANAyDgMFqx2OG
"I'm looking for a girl..."
127Please respect copyright.PENANAw7dyd28BVa
Mataku kontan terbelalak.
127Please respect copyright.PENANA58UeYselVj
JUSTIN!
127Please respect copyright.PENANAavKObdKQwq
Dia ke sini? Well, pantas saja semua orang jadi tercengang. Ada seorang pria tampan yang tiba-tiba masuk ke divisi marketing! Looking for a girl? Apa yang sedang Justin katakan?
Tiba-tiba mata Justin mendapatkanku. Aku sontak membuang wajahku. Sial, apa dia sedang mencariku?!
"Ahh... I got you. Violette, ikut aku." Dia berbicara dengan tegas, lalu saat sudah sampai di dekatku, dia menarik tangaku. Megan dan aku membelalakkan mata karena kaget, tetapi Megan tak bereaksi sama sekali untuk menolongku. Mungkin saking terpesonanya dengan Justin, dia jadi lupa. Aku terus meminta tolong padanya, tetapi dia tak menghiraukanku. Semua orang terlihat kaget melihat Justin menarikku, padahal aku yakin kalau tak semua orang tahu bahwa yang menarikku ini adalah CEO di sini. Namun, mereka pasti bisa mengambil satu kesimpulan: orang ini mirip dengan ciri-ciri CEO Alexander Enterprises Holdings yang selalu mereka dengar. Ya, soalnya aku juga mendengar informasi itu di hari pertama aku bekerja. Ciri-cirinya memang agak mengingatkanku pada Justin, tetapi aku sama sekali tak menduga bahwa itu memang benar-benar Justin.
Selain itu, orang ini hampir tidak pernah terlihat—sesuai dengan informasi yang sudah tersebar di antara para karyawan—jadi pasti orang ini adalah CEO yang sering dibicarakan. Ciri-ciri yang mereka tahu tentang CEO di perusahaan ini sebenarnya cukup spesifik, yaitu berambut spike dengan warna cokelat keemasan dan beriris mata lelehan karamel. Soal muda dan tampangnya, mereka tidak tahu. Namun, aku yakin sekarang mereka tahu!
Justin menarikku terus hingga kami sampai di dekat lift. Saat keluar dari ruangan tadi saja semua orang sudah tercengang. Melihat orang yang kelihatannya penting di perusahaan ini tiba-tiba menarik seorang karyawan bak menyeret anak kecil di sepanjang jalan. Sebenarnya, apa yang dia lakukan, sih? Apa dia tak malu menarik-narik karyawan biasa sepertiku? Atau mungkin dia sudah gila? Atau mungkin...dia itu menganggapku sebagai Violette yang dulu adalah rekannya, makanya dia bersikap biasa saja?
Ya, mungkin seperti itu. Well, aku bersyukur jika itu memang benar. Aku tak mau berhadapan dengan Justin yang kejam.
Setelah masuk ke lift, pintu kubikel lift itu langsung tertutup dan dia melepaskan pegangan tangannya dariku. Dia menekan satu tombol di sana dan merapikan jasnya, kemudian menaruh kembali tangannya di dalam saku celananya. Aku berdiri sembari tertunduk di sebelahnya dan memaki diriku sendiri. What the hell. This is the worst day ever.
Justin hanya diam dengan ekspresi datarnya.
"Mengapa kau menarikku seperti itu?!! Apa kau tak malu? Kau itu CEO di sini! Kau bisa memanggilku lewat bawahan lain atau lewat bosku! Mengapa kau sampai datang ke divisi marketing segala? Apa kau sudah gila?!! Apa yang akan orang-orang katakan?!"
"Cerewet seperti biasa," balasnya dingin. Aku menggeram dan mengepalkan tanganku.
"Jika aku cerewet, biarkan aku cerewet kali ini di sini," ujarku, aku kini mendengkus tak keruan. Dia bahkan tak menatapku sama sekali; dia masih tenang dengan gaya santainya. Sialan.
"Justin—I mean, Sir—ahhh!! Sudah cukup dengan semua itu. Begini, aku tak bisa menjadi executive assistant-mu jika kau bersikap seenaknya seperti ini! Ke mana Justin yang kukenal tidak serampangan dulu? Kau juga merokok sekarang dan kau tahu aku tidak tahan dengan asap rokokmu!"
"Jadi, kau pikir aku serampangan? Lihat dulu dirimu, Nona." Dia menjawab dengan santai. Aku menggeram, bersiap mengeluarkan bom protesku lagi. Dia lebih serampangan dariku dan dia menuduhku?
"Aku?! Kaulah yang—"
"Jangan membantahku lagi, Violette. You hear me?" ujarnya, masih dengan ekspresi santainya. Ia masih berdiri dengan tegap, tak bergerak, meskipun aku mengoceh padanya. Aku saja sudah nyaris berdiri berhadapan dengannya!
Setelah itu, ia melanjutkan, "dan lagi, kuharap kau konsisten antara kita yang dahulu dan yang sekarang. Sekarang kau adalah executive assistant-ku dan kau hanya mengerjakan apa yang kuperintah. Soal rokok, itu adalah kebutuhanku dan kau juga tak bisa melarangnya. Jelas?"
Aku mendengkus, memejamkan mataku kuat-kuat hingga menimbulkan kernyitan di dahiku. Akan tetapi, bunyi 'ding' dari lift ini menyadarkanku dan akhirnya aku membuka bola mataku.
…dan tahu apa?
Ternyata Justin sudah berjalan duluan. Dia meninggalkanku!
Aku mengumpat lagi.
Aaargh—sial!
Aku mulai berlari untuk menyesuaikan langkahku dengan langkahnya. Aku agak heran, padahal dia berjalan dengan santai, tetapi dia tetap sulit untuk kukejar. Namun, sebenarnya aku memakai rok selutut yang tentu saja sempit untuk dipakai berlari. Aku juga memakai high heels. Jadi, langkahku agak terbatas.
Saat aku baru saja bisa menyamakan langkahku dengan langkahnya, dia mulai membuka pintu ruangan CEO, lalu masuk ke dalam ruangan itu. Aku berdecak, kemudian aku ikut masuk.
Dia langsung pergi ke mejanya dan jari telunjuknya menunjukkanku sesuatu yang ada di samping kirinya, berjarak sekitar dua meter di samping kirinya. Sebuah meja. Itukah mejaku?
"Itu adalah mejamu. Mohon kerja samanya, Ms. Violette Morgan," ujar Justin kemudian.
Ah. Ternyata benar.
Ergh. Aku menelan ludahku gugup. Setelah itu, dia mulai duduk dan kembali berkutat dengan laptopnya. Lama aku berdiri di depan pintu, memandangi mejaku, dan akhirnya aku pun berjalan dengan pelan—kelewat pelan—menuju ke mejaku. Aku lalu duduk di sana dan menaruh tasku di atas meja. Aku kembali menoleh ke arah Justin dan mulai merasa bingung. Apa yang harus kukerjakan?
"Jangan memandangiku. Bisakah kau menjaga matamu, Ms. Morgan?" katanya dengan santai, matanya bahkan masih memandang laptopnya.
Shit!!!
"Aku TIDAK MEMANDANGIMU!!!" bentakku dengan kesal. Dia hanya sibuk melihat ke layar laptopnya dan tidak memedulikanku. "Aku sedang membuat seratus peraturan untukmu serta lembar kerja untukmu. Jadi, bersabarlah."
Seratus? Dia gila! Mengapa banyak sekali? Oh Tuhan, apa mungkin ini yang menyebabkan dia kehilangan executive assistant-nya?
"Jangan berpikir bahwa seluruh peraturan ini membuatku kehilangan executive assistant-ku, Nona," ujarnya, dia seolah bisa membaca pikiranku. Aku membelalakkan mata, lalu dia melanjutkan, "Justru mereka semua betah. Mereka pergi karena sesuatu yang lain. Aku harus menambahkan peraturannya jika kau yang menjadi executive assistant-ku karena kau suka membantah."
Argh, siaaaal!! Aku tak tahan lagi. Aku langsung berdiri dari kursiku dan mulai berbicara sesuatu padanya sebelum aku ke luar.
127Please respect copyright.PENANAubVSpmKwZR
"Dengar, Mr. Sok Mengatur. Kau. Bukan. Justin. Yang kukenal. Titik." []127Please respect copyright.PENANAzE0cBYU733
127Please respect copyright.PENANAZDupjr6vDH
127Please respect copyright.PENANAIKoFJY70AU
127Please respect copyright.PENANAkGegivuojC
127Please respect copyright.PENANA4D67NqLZGt
127Please respect copyright.PENANAEOwV8t5gPv
127Please respect copyright.PENANANFwlip5vZQ
127Please respect copyright.PENANAgyxAT1TdUH
127Please respect copyright.PENANApQwB4nXp8u
127Please respect copyright.PENANAqloh88fc7f
******
Note: Buku ini sudah pernah diterbitkan dan buku ini adalah sequel dari buku Prohibited. Namun, kalau nggak baca Prohibited juga nggak apa-apa.
127Please respect copyright.PENANAdBjcriUu1O
You can read this story in English!
Link:
- Wattpad: https://www.wattpad.com/story/389032001-my-cold-ceo-my-perfect-seducer-english-ver
- Blog: https://jihanseptiveliaa.blogspot.com/ (just write My Cold CEO, My Perfect Seducer - English Ver. in the search bar)
127Please respect copyright.PENANA1Qxfms20Ts
Note: judul lama buku ini adalah Life Revolution, tapi baru aku ganti jadi My Cold CEO, My Perfect Seducer. Untuk judul Bahasa Indonesianya adalah CEO Dingin Perayu Ulungku!
127Please respect copyright.PENANA1spDOOBnIY
Major Characters: https://jihanseptiveliaa.blogspot.com/2025/02/life-revolution-major-characters.html
127Please respect copyright.PENANAAK0JsypNUj