
******
Chapter 8 :
Nathan Is Gone45Please respect copyright.PENANA2a54t3VEP0
******
45Please respect copyright.PENANAwN36Sotz6Z
Author:
INI pasti adalah lelucon.
Pesan macam apa yang baru saja ia dapatkan? Nathan…disandera?
Violette mematung, ada sebuah sel di dalam dirinya yang seolah berkembang menjadi sesuatu yang ganas dan memakan bagian tubuh yang lain. Darahnya seakan mendidih. Menarik napas pun jadi terasa sulit.
Nathan...diculik! Dari pesan yang terkirim ke ponselnya tersebut, Violette bisa menyimpulkan bahwa Nathan sedang tersekap di suatu tempat. Keparat!
Tanpa memedulikan apa pun lagi, di tengah pikirannya yang kacau itu Violette berdiri dan berlari ke luar dari ruangan kerjanya. Kedua bola mata berwarna keemasan milik Justin otomatis langsung memperhatikan gerak-gerik Violette dengan saksama, mulai dari ketika gadis itu terlihat pucat—panik—hingga ketika gadis itu mendadak berdiri dan berlari keluar dari ruangan. Pria itu memperhatikan segala gerak-gerik Violette, sorot matanya mengikuti Violette dalam diamnya.
Violette menutup pintu ruangan itu dengan lumayan keras ketika ia telah sampai di luar. Ia tak peduli dengan apa pun lagi selain pamannya. Ponselnya masih ia genggam dan dengan cekatan gadis itu mencoba untuk menelepon nomor tak dikenal yang baru saja mengiriminya pesan sialan itu.
Hanya butuh dua deringan hingga telepon itu diangkat.
"Halo!" bentak Violette di detik pertama ketika telepon itu tersambung. Tidak ada jawaban apa-apa; hanya suara gemerusuk yang terdengar di telinga Violette.
“Di mana Nathan?!” Violette menggeram. "Di mana Pamanku?!"
"Oh... Kaukah itu, Ms. Violette Morgan?"
Bajingan. Ini suara laki-laki... Siapa orang ini?!
"Katakan padaku apa maumu dan kembalikan Pamanku, kepara—"
"Keparat, huh? Hahaha. Umpatan yang cukup bagus."
Shit.
Suaranya terdengar seperti suara seorang pria yang mungkin berusia tiga puluh tahunan.
"Siapa. Kau?!" tanya Violette dengan penekanan yang tajam.
"Kau pasti tahu siapa aku, Red Lion's Girl."
Kedua mata Violette membeliak, jantungnya seakan berhenti berdegup. Untuk beberapa detik lamanya ia hanya terdiam; ia mencoba untuk mencerna sekaligus mencari tahu sebabnya sendiri. Pria ini jelas tahu soal Red Lion.
Ha. Violette jadi tahu mengapa pria itu menyekap Nathan. Agaknya, dia ingin tahu soal Red Lion. Dia juga sudah tahu bahwa Violette adalah salah satu anggota Red Lion. Sial!! Ini ancaman yang berbahaya. Red Lion sudah cukup lama terkubur dalam peradaban, tetapi bukan berarti dunia sepenuhnya melupakan organisasi itu. Benar, ternyata ada orang yang tahu bahwa masih ada anggota Red Lion yang bisa hidup sampai sekarang. Berita bahwa Red Lion musnah seluruhnya itu hanyalah tipuan belaka di masa lalu. Namun, takkan ada yang mengerti penyebab dan akibat dari apa yang telah dilakukan oleh Justin dan Violette saat itu. Soalnya hanya mereka berdualah yang mengetahui dan merencanakan itu semua.
Perubahan kehidupan Violette dan Justin dari dulu sampai sekarang itu seperti revolusi hidup.
Masih mencoba untuk menahan segala amarahnya, Violette pun mendengkus. "Apa maumu." tanya gadis itu dengan nada tajam. Pertanyaannya jadi tidak terdengar seperti sebuah pertanyaan.
Pria di seberang sana tertawa meski tawa itu terdengar sangat hambar.
"Yang kumau itu cukup simpel, Nona," ujarnya. "Kau bisa santai saja, seharusnya, karena pamanmu tak harus tinggal denganmu yang merupakan mantan penjahat."
Kini amarah Violette naik hingga ke ubun-ubun, Violette akhirnya berteriak, "I’M ASKING YOU, MOTHERFUCKER, WHAT DO YOU WANT?!!”
Pria itu tertawa lagi, sementara Violette hanya mengeraskan rahangnya.
"Kuberi kau sebuah tantangan, deh, kalau begitu," jawab pria itu. Violette menaikkan alisnya.
"Dia masih di kawasan New York. Let’s do this for fun! Setelah kau menemukannya, aku akan memberitahumu apa yang kumau." Pria itu terkekeh. Violette tak tahu bahwa sebenarnya pria itu tengah tersenyum dengan sinis. "Ini saatnya kau menunjukkan taringmu, Red Lion. Dengan begitu, aku bisa lebih percaya bahwa ternyata Red Lion memang masih ada. Dengan begitu pula, aku bisa lebih cepat mendapatkan bukti untuk kuserahkan ke kepolisian."
Mendengar itu, ekspresi wajah Violette mendadak berubah. Ia tidak terlihat tegang lagi. Perlahan-lahan ekspresinya berubah menjadi dingin.
"Do this for fun?" ucap Violette sembari tersenyum sinis. Bajingan sialan. Tentu saja ia masih memiliki skill selaku mantan anggota Red Lion. Rasanya ia tak perlu takut dengan ancaman itu, tetapi satu hal yang pasti: Nathan adalah salah satu kelemahannya. Soalnya Nathanlah satu-satunya keluarganya yang tersisa...dan itu membuat ketenangan Violette kandas.
Setelah itu, Violette langsung mematikan sambungan telepon itu dan menaruh ponselnya di dalam saku blazernya. Tanpa berbalik untuk masuk ke ruangan lagi, gadis itu langsung melesat pergi; ia berlari dan masuk ke lift, lalu turun ke lobi. Gadis itu kemudian ke luar melalui pintu putar perusahaan dan langsung mencari taksi untuk pulang ke rumahnya. Ia akan mengambil motornya di rumah karena pencarian ini akan memakan waktu yang lama. Tadi ia berangkat kerja dengan Justin, jadi motornya ada di rumah. Hal yang ia pikirkan hanyalah satu, yaitu Nathan.
Ia tak peduli jika ia dipecat oleh Justin karena ia ke luar disaat jam kerja. Di sepanjang jalan—di dalam taksi—peluh sebesar biji jagung mengiringi kegugupan dan kegelisahannya. Setelah itu, ketika taksi itu berhenti di depan rumahnya, Violette langsung membayar sopir taksi itu dan langsung pergi ke tempat di mana motornya terparkir: di halaman rumahnya.
Taksi tadi sudah pergi. Violette langsung memakai helm, lalu mengendarai motornya untuk pergi mencari Nathan. Meskipun sebenarnya tujuannya tak pasti, Violette tetap harus mencarinya. Sialan! Air mata Violette tanpa sadar terjatuh tatkala ia memikirkan beberapa kemungkinan yang terburuk.
Bagaimana jika terjadi sesuatu pada pamannya?
"God... Oh, God..." bisik Violette di sela-sela isakannya ketika ia mengendarai motor. Rambut brunette-nya tergerai dan tertiup angin di dalam perjalanan itu, sementara air matanya juga berjatuhan dan terembus oleh angin hingga tercampak ke arah yang berlawanan dengannya. Tidak, pamannya sedang apa sekarang? Baik-baik saja, 'kan?
Tuhan, tidak terjadi apa-apa, bukan?
"Nathan..." ucap Violette lagi dengan lirih, lalu gadis itu mulai menaikkan kecepatan motornya. Ia mengegas motornya dengan kuat, melampiaskan rasa geramnya. Violette ingin sekali mencari Nathan sendirian, tetapi itu tak mungkin mengingat betapa luasnya New York dan ia juga belum memiliki petunjuk yang pasti. Jadi, Violette berpikir untuk pergi ke kantor polisi untuk barangkali meminta tolong kepada mereka walau sebenarnya Violette tahu bahwa ini belum 24 jam sejak Nathan menghilang.
Di dalam perjalanan menuju ke kantor polisi, Violette mengambil ponselnya yang ada di dalam blazernya. Ia lalu menelepon nomor yang tak dikenal itu lagi, sementara sebelah tangannya tetap mengemudi motornya. Tiga kali deringan dan telepon itu belum juga diangkat. Violette sudah mengumpat tak jelas, ia jadi dendam setengah mati. Keparat! Mengapa tiba-tiba—setelah tiga tahun berlalu—malah ada kejadian seperti ini?!
Namun, ternyata telepon itu tidak diangkat. Berengsek.
Violette terus menelepon, lagi dan lagi, hingga lima kali. Namun, tetap tidak diangkat. Sembari mengumpat, Violette semakin menaikkan kecepatan motornya, lalu sebelah tangannya kembali berusaha untuk menelepon nomor tak dikenal itu.
Kali ini, telepon itu diangkat.
Bajingan sinting.
"DI MANA KAU SEMBUNYIKAN DIA?!" teriak Violette, tetapi teriakannya itu terdengar kurang karena suara angin yang berembus berlawanan arah dengannya ketika mengendarai motor.
"Hey, calm down. Dia ditempat yang seharusnya kalian sebagai Red Lion ketahui, Nona. Lagi pula, aku belum membunuh—"
"Berengsek kau," umpat Violette tajam. Violette mengerem motornya, berhenti di pinggir jalanan kecil yang sepi. Sengaja agar bisa mendengar suara lelaki sialan itu dengan lebih jelas. "Dengar aku, sialan. Tidak ada lagi Red Lion yang kau maksud."
Pria itu tergelak. "Tidak ada? Aku bahkan mengenali wajahmu dengan jelas, Nona."
Violette mengernyitkan dahi, ia berpikir keras.
Kenal? Tahu wajahnya?
Siapa pria ini? Bahkan pihak yang mengetahui Red Lion saat itu hanyalah para anggota Martin, itu pun semua dari mereka sudah dihabisi oleh Justin ketika mereka berkerumun di markas Red Lion untuk menyerang Red Lion. Jadi, siapa pria ini? Apakah ada orang yang masih hidup dari insiden itu?
Namun, jika pria ini adalah orang yang masih hidup dari insiden itu, Violette jadi sedikit lebih tenang. Itu berarti tak banyak orang yang tahu tentang adanya anggota Red Lion yang masih hidup hingga sekarang. Kalau pria ini bukan orang yang selamat dari insiden itu, maka semuanya akan menjadi lebih kacau. Itu akan menjadi masalah yang besarsebab hal itu menunjukkan bahwa sudah banyak orang yang mengetahui soal Red Lion.
"Siapa kau?" tanya Violette dengan serius. Pria itu kontan tertawa.
Samar-samar, Violette mendengar suara gesekan besi ayunan dan suara bising mesin pabrik. Entah mengapa, sedari tadi sebenarnya setiap menelepon pria itu, pasti suara pria itu bergema. Oleh karena itulah, Violette agak sulit mendengarkan suara pria itu, bahkan sekarang Violette berhenti di pinggir jalan hanya untuk meneleponnya dan mendengar suaranya dengan jelas.
"Anggap saja aku ini penggemarmu, Ms. Violette." Pria itu menjawab dengan sarkastis, sukses membuat Violette menggeletukkan giginya.
"Kau akan membayar semuanya." Pria itu berkata lagi dengan sinis, lalu sambungan telepon itu terputus.
Violette mengernyitkan dahinya lagi.
Entah mengapa, semua itu membuat Violette jadi enggan untuk meminta bantuan dari polisi. Dengan semua kata-kata yang pria itu ucapkan tadi, dengan semua bunyi-bunyi yang didengar oleh Violette tadi, Violette tiba-tiba tersadar bahwa wilayah pencariannya sudah bisa dipersempit. Ini sudah tak terasa begitu mustahil untuk dilakukan sendirian.
45Please respect copyright.PENANApU9Gjwx6sJ
******
45Please respect copyright.PENANAYvDujo4Bjp
"Hahaha! Tidak terlalu sulit, ternyata." Tawa keras seorang lelaki yang bertubuh tinggi itu menggema di sebuah ruangan gelap, berdebu, kotor, serta berbau logam. Ruangan itu terlihat seperti ruangan yang ada di dalam sebuah rumah kayu, tetapi kayu yang menyusun rumah itu juga sudah terlihat kusam. Pria itu berdiri di dekat jendela yang menghadap ke area luar rumah, di ujung ruangan. Ia memandangi sebuah ayunan yang terletak di halaman rumah itu, tempat ia duduk sebelumnya.
"Ini cukup menyenangkan," sambungnya.
Ia sedang bertelepon dengan seorang perempuan dan perempuan itu kini mulai tertawa dengan gembira. "Well, seharusnya kau memujiku. Aku tahu dia akan seperti itu."
"Kau sangat pintar," balas lelaki itu, memuji perempuan yang sedang bertelepon dengannya.
"Thanks," ujar wanita di seberang sana disertai dengan kikikan yang terdengar seperti suara tikus. "Ah... Bagaimana dengannya? Jangan katakan padaku bahwa kau telah membunuhnya?"
Lelaki itu tertawa, lalu mulai bergerak dari jendela dan berjalan tanpa tujuan pasti.
"Dasar wanita gila," jawab lelaki itu seraya masih tertawa, membuat wanita yang di seberang sana jadi ikut tertawa. Lelaki itu pun melanjutkan, "Aku tidak akan membunuh pria ini sebelum dia datang. Lagi pula, membunuh pria ini bukanlah tujuanku."
"Asal kau ingat negosiasinya." Wanita itu memperingatkan.
Lelaki itu mengangguk, lalu mendadak teringat sesuatu. "Ah...apakah benar Red Lion di dunia ini tinggal satu orang saja yang belum mati? Hanya Violette itu, 'kan? Kau belum memberitahuku dengan jelas."
Alih-alih menjawab, wanita di seberang sana justru mendadak terdiam. Ia seolah tengah menyembunyikan sesuatu.
"Ya, hanya gadis itu," jawab wanita itu.
"Jangan pernah membohongiku," peringat lelaki itu.
"Aku takkan membohongimu," balas wanita itu. "Asal siksalah dia perlahan-lahan menggunakan hubungannya dengan pria yang kukatakan kepadamu. Jika terjadi sesuatu padamu pun, aku akan tetap menyandera pamannya sebagai alat untuk memutuskan hubungannya."
Lelaki yang berasal dari Perancis dengan tubuh yang tegap dan besar itu lantas tergelak. "Terlalu sombong dan terlalu terobsesi. Seperti itulah dirimu," komentar lelaki itu. "Jaga ucapanmu, Baby."
"Yeah...semuanya harus berjalan seperti yang kumau. Oh, ya, aku harus bekerja sekarang. Kuserahkan semuanya kepadamu," ujar wanita itu kemudian. Lelaki tersebut hanya berjalan terus dan ternyata ia mulai masuk ke sebuah ruangan.
Nathan ada di sana.
Nathan berdiri dengan lemah, tangannya diikat dengan borgol yang dipasangkan ke besi yang menggantung di atas kepalanya. Besi itu tergantung secara horizontal dengan rantai di kedua ujungnya. Rantai itu terikat dari plafon rumah. Kedua kaki Nathan diikat dengan tali kapal, lalu mulut pria itu disumpal dengan sapu tangan tebal berwarna biru keunguan yang telah dicampurkan dengan obat bius.
"Yeah…semuanya akan berjalan sesuai dengan apa yang kita inginkan," jawab lelaki itu, lalu sambungan telepon itu terputus.
Di dalam ruangan yang hening itu, lelaki itu tersenyum miring.
45Please respect copyright.PENANAIfZvbNnq6a
******
45Please respect copyright.PENANAhxJSNO57Nf
Justin masih terlihat duduk tegap di kursi CEO-nya; pria itu memandangi laptopnya sembari menyatukan kesepuluh jemarinya di depan wajahnya. Berpikir tentang proyek baru dan segala hal dengan sedikit kerutan di dahinya.
Justin lalu kembali mengetikkan sesuatu di laptopnya.
Namun, satu detik kemudian, alih-alih mengetik, Justin justru berhenti. Dengan gerakannya yang terkesan terbatas itu, Justin melihat ke arah di mana kursi Violette berada. Tas gadis itu masih ada di sana, tetapi sudah lebih dari dua jam yang lalu, gadis itu belum kunjung kembali. Justin menyatukan alisnya.
Tiba-tiba pria bertubuh tegap itu berdiri dari kursinya dan menghampiri meja Violette. Ada sebuah buku di atas meja—pekerjaan yang tadi Violette tinggalkan—dan Justin membuka lembaran-lembaran buku itu. Dengan wajah tanpa ekspresinya itu Justin melihat dengan jelas bahwa Violette menyelesaikan pekerjaannya dengan baik. Justin pun menutup buku itu kembali.
Setelah itu, Justin berbalik, kemudian pergi ke dekat jendela yang ada di belakang ruangannya. Jendela berupa kaca yang membentang dari atas sampai bawah seolah menjadi pengganti dinding di sisi belakang ruangan itu. Justin berdiri, kedua tangan pria itu berada di dalam saku celananya. Ia menghadap ke kaca itu, memandangi padatnya bangunan kota New York dengan mata yang sedikit memicing tajam. Bola mata berwarna lelehan emasnya itu terlihat begitu indah tatkala tersentuh sinar matahari.
Lama menikmati suasana itu, tiba-tiba ponselnya berdering dan Justin mengambil ponsel itu dari dalam saku celananya.
Ada sebuah pesan yang masuk. Tertera nama 'Violette' di sana.
45Please respect copyright.PENANAMoa7X31RDE
From: Violette
Justin, maaf, aku hari ini tidak bisa bekerja. Kau boleh memecatku ataupun hanya memotong gajiku, maafkan aku.
Apakah kau tahu di mana tempat di kota ini yang ada pabrik beserta ayunannya, serta terdengar sepi dan bergema, Sir? Pasti banyak, ya? Tapi…apa kau tahu salah satunya?
45Please respect copyright.PENANAPLlfiK8g3a
Justin mengernyitkan dahinya samar.
Belum sempat menjawab pesan Violette, pintu ruangannya terdengar diketuk. Kontan Justin menghadap ke arah pintu, lalu berkata dengan suara tegasnya, "Masuk."
Muncul sosok Elika dengan berkas-berkas yang ia bawa di dalam dekapannya.
Wanita itu sedikit merunduk sopan. Setelah itu, dengan senyumannya yang menggoda, wanita itu memanggil, "Sir."
Wanita itu lalu menutup pintu ruangan tersebut dan mendekat ke arah meja Justin. "Ini berkas-berkas yang Anda inginkan kemarin."
Justin mengangguk. "Apakah sudah selesai?" tanya Justin dengan nada dinginnya, lalu pria bertubuh maskulin itu mulai mendekat ke mejanya untuk melihat-lihat berkas itu. Elika tersenyum semringah.
Betapa tampan pria yang ada di hadapannya saat ini...
Elika lalu menjawab, "Ya, Sir. Apakah ada yang harus kukerjakan lagi? Aku akan mengerjakannya dengan senang hati."
Justin menoleh ke arah Elika, lalu sedikit mengangkat sebelah alisnya.
Setelah itu, berkas itu ditaruh lagi oleh Justin ke atas meja.
"Yeah, mungkin aku akan sedikit memerlukan bantuan. Executive assistant-ku tidak bekerja hari ini, jadi apakah kau mau menyelesaikan pekerjaannya hari ini untuk kepentingan proyek baru perusahaan? Kita harus mengejar waktu," jawab Justin datar.
Elika sedikit merundukkan kepalanya, terkekeh dengan manis. Setelah itu, dia menatap Justin lagi dan tersenyum senang.
"Anything for you, Sir."
Justin kembali mengernyitkan dahi, lalu pria itu hanya mengangguk tak acuh sembari mengangkat bahu. "Thank you. Kau bisa mengambilnya? Bukunya ada di meja yang di sebelah sana," ujar Justin, pria itu menunjuk meja Violette. Elika mengekori arah yang ditunjukkan oleh Justin dengan mata berbulu lentiknya. Justin lalu melanjutkan, "Kerjakan sebisamu dulu, untuk hari ini saja. Kau bisa kembali ke ruanganmu setelah mengambil buku itu."
Elika mengangguk, lalu dengan langkahnya yang teratur bak model itu ia mengambil buku yang ada di atas meja Violette. Setelah itu, ia tersenyum pada Justin, merunduk hormat, dan berjalan ke luar.
Senyuman terus terukir di wajah Elika ketika ia baru saja keluar dari ruangan yang harumnya terasa memabukkan itu. Dengan pria yang karismatik dan maskulin itu, pria yang kejam dan juga dingin itu...
Membayangkan segala otot tegas yang mencuat di balik kemeja rapinya...
Elika sudah berkali-kali tidur dengannya. Bagi Elika, dia adalah CEO yang paling sempurna sepanjang masa.
Oh, God.
Sekarang, kenyataan bahwa Violette—executive assistant itu—sangat dekat dengan pria itu, berhasil membuat Elika gila.
45Please respect copyright.PENANABh3VNzvGlc
******
45Please respect copyright.PENANAWNLN6f1vTn
Berkali-kali Violette mencoba menelepon Seth, tetapi Seth tak kunjung mengangkat teleponnya. Violette sudah mengirimkan pesan kepada Justin, tetapi pria itu juga tak membalasnya. Namun, sebenarnya…Violette tak ingin memperbesar masalah ini dengan memberitahukannya kepada Justin. Maka dari itu, Violette mencoba untuk mengirim pesan kepada Seth.
Violette berada di jalan, tetapi tidak lagi menuju ke kantor polisi. Tujuannya belum terlampau jelas dan ia harus bertanya terlebih dahulu. Seth biasanya sering berkeliaran dengan teman-temannya, mungkin dia tahu tempat yang seperti itu...
45Please respect copyright.PENANAkRwJ77wnWC
To: Seth
Seth, apa kau tahu di mana tempat di New York yang dekat dengan pabrik dan juga ada ayunannya? Mungkin banyak tempat yang seperti itu, tetapi bila kau tahu, bisakah kau beritahu aku semua tempat yang seperti itu? Kumohon balaslah.
45Please respect copyright.PENANADzkPtDVefQ
Setelah mengirimkan pesan itu kepada Seth, Violette mengirimkannya juga kepada Megan; ia menanyakan hal yang sama. Sial, jika alat Red Lion dulu masih ada, mudah sekali untuk melacak keberadaan pria sinting yang menyekap pamannya itu.
Tepat ketika Violette akan memasukkan kembali ponselnya ke dalam saku, gadis itu agak terkejut dengan adanya deringan panggilan masuk. Violette mengernyitkan dahi dan meskipun terkejut, dia kini tak memedulikan hal itu lagi.
Itu Justin.
Dengan cepat Violette mengangkat telepon itu, lalu menghentikan motornya lagi.
"Justin," panggil Violette saat dia mengangkat telepon itu.
"Mengapa kau tak membalas pesanku?!!" teriak Violette, bahkan sebelum Justin menjawabnya. "Apakah kau tahu tempat yang kutanyakan tadi? Kumohon, kau bisa memecatku, aku hanya ingin tahu soal itu saja."
"Di mana kau?" tanya Justin dan Violette menyatukan alisnya.
"A—aku di...umm…entahlah," jawab Violette dengan ragu.
"Aku tidak perlu memecat seseorang tanpa alasan."
Violette membelalakkan matanya.
“Tapi, kan, aku meninggalkan kantor saat jam kerja,” jawab Violette heran.
Namun, sedetik kemudian, gadis itu menggeleng. Ini bukan saatnya untuk membicarakan hal itu.
"Baiklah, bisakah kau membantuku, Sir?" tanya Violette.
"Tidak."
"Ya Tuhan," keluh Violette. "Baiklah, maaf karena aku sudah mengganggumu dengan pertanyaanku, Si—"
"Tidak untuk seorang gadis yang bahkan tak tahu dia sedang berada di mana." Justin menyambungkan perkataannya dengan penuh intimidasi. Violette spontan meneguk ludahnya.
Aduh.
"Aku... Baiklah, mungkin sekarang aku sedang berada di—"
"Pulang, Vio. Sebelum aku memerintahkan seseorang untuk membawamu kembali ke hadapanku," potong Justin dengan dingin.
"Tidak, Justin. Aku tak akan pulang. Aku harus menemukan sesuatu dan kumohon mengertilah. Tolong beritahu aku, Justin. Aku yakin kau tahu di mana tempat itu. Aku tahu kau sangat cerdas dan mungkin dulu kau pernah mengunjunginya ketika menjalankan misi Red Lion sendirian, tanpa aku. Tolong aku, Justin," mohon Violette.
"Memangnya apa yang ingin kau temukan?"
Aduh.
Haruskah Violette memberitahunya? Tidak, tidak boleh. Justin adalah mantan anggota Red Lion dan kenyataan itu akan terbongkar kepada publik jika dia membawa serta Justin ke dalam masalah ini. Soalnya Violette tahu kalau Justin itu tipe pria yang tidak bisa menahan dirinya untuk menyelesaikan sesuatu sampai sesuatu itu benar-benar selesai.
"Aku—itu—aduuhh! Katakan saja lokasinya ada di mana, Justin!" teriak Violette, dia mengalihkan pembicaraan karena merasa mulai gugup.
"Pulanglah sekarang, Violette."
Mendadak mata Violette berkaca-kaca. Tuhan, sebenarnya Violette sangat ingin meminta bantuan dari Justin. Pamannya menghilang. Violette tak bisa berpikir apa pun lagi selain memikirkan bagaimana caranya agar bisa menemukan Nathan secepatnya...
“Beritahu aku, Justin! Tolong beritahu aku kali ini saja. Apakah kau tahu di mana tempat yang dekat dengan ayunan dan juga terdengar bergema? Aku juga mendengar ada suara pabrik. Tolong aku, Justin,” ujar Violette dengan frustrasi.
Tidak ada suara yang terdengar dari seberang sana. Violette yakin, kemungkinan besar Justin sudah membaca segala situasinya. Dia pria yang cerdas dan tak mungkin ia tak bisa membaca gelagat Violette.
“Pulang, Violette. Sekarang.” Justin memerintah dengan intimidasi.
Violette mematikan sambungan telepon itu. Tidak, ia tak akan pulang sebelum ia berhasil menemukan Nathan. Meski sekarang air matanya sudah kembali berjatuhan, memikirkan betapa lelaki sialan itu merebut Nathan disaat yang sempurna. Berengsek! Persetan dengan siapa pun itu yang menyekap pamannya. Mengapa meski wilayah pencarian sudah dipersempit, tetap saja sulit untuk mencarinya? Violette memang kurang tahu dengan tempat yang memiliki ciri-ciri seperti itu. Dia tak pernah menjalankan misi ke tempat seperti itu di New York saat ia merupakan anggota Red Lion. Violette jadi merasa bahwa ia bodoh sekali.
Satu hal lagi: ia kini merasa begitu lalai dalam menjaga pamannya.
Sial.
Polisi? Hah. Keadaan sekarang sudah berbanding terbalik. Jika Violette menelepon polisi, saat ditemukan nanti pria itu pasti akan membuka rahasia tentang Red Lion sebelum polisi berhasil memborgolnya.
Semuanya jadi serba salah. Violette harus berhati-hati.
Violette menghapus air matanya, meneguk ludahnya yang saat itu terasa seolah sangat pahit. Ponselnya berdering lagi, pertanda ada sebuah pesan yang masuk.
45Please respect copyright.PENANAUccaoHkWWj
From: Mr. Sok Mengatur
Apa kau bodoh? Petunjukmu belum lengkap. Jangan membuatku khawatir, Violette. Katakan padaku di mana kau berada. Sekarang juga.
45Please respect copyright.PENANAJM09p2jepY
Detik itu juga, Violette kembali menangis.
Bahkan ia tak ingat bahwa Justin itu sekarang adalah kekasihnya.
Violette bahkan baru merasakan perasaan aneh untuk Justin itu kemarin, lalu hari ini...musibah ini terjadi.
Tidak, tidak. Violette tiba-tiba membulatkan matanya tatkala mengingat itu semua. Kini Violette jadi bisa menduga satu hal.
Violette dengan cekatan menghidupkan motornya lagi dan ia sempat melakukan sesuatu pada nama Justin di kontaknya sebelum ia pergi bersama motornya.
Violette mengubah nama Justin di sana menjadi 'My Lovely CEO'.
45Please respect copyright.PENANAilfYrbGzU1
******
45Please respect copyright.PENANAgF4ZlkNAAK
Justin mengendarai Bugatti merahnya dengan kecepatan tinggi, membelah jalanan kota New York di malam hari. Sosoknya masih terlihat rapi di dalam balutan jasnya, hanya saja kini ia sedikit melonggarkan dasinya. Pekerjaan kantor memang belum selesai, tetapi ia tahu bahwa sesuatu telah terjadi pada Violette.
Justin mengambil sebatang rokok dan menghidupkan rokok itu, lalu menyisipkannya disela bibirnya. Asap rokok itu mengepul dan ke luar melalui jendela mobil yang terbuka separuh, lalu Justin menambah kecepatan mengemudinya.
Suara deringan ponsel membuat pria itu mulai mengambil ponselnya yang tergeletak di atas dashboard.
"Apa," tanyanya to the point pada si pemanggil yang merupakan pamannya sendiri.
"Aku tak akan pulang," sambung Justin lagi, lalu pria itu langsung mematikan sambungan telepon itu. Justin membenci pamannya, terutama ketika sekarang dia tahu bahwa pamannya sangat tidak suka dengan Violette dan menganggap bahwa Violettelah yang mengubah Justin menjadi seperti ini.
Justin menaikkan kecepatan mobilnya hingga kini ia berkendara dengan kecepatan penuh.
Lima belas menit kemudian, mobil Justin berhenti pada sebuah jalan kecil yang kanan kirinya berupa hutan. Pria itu turun dengan langkah tegapnya, membuang rokoknya lalu mematikan api rokok itu. Justin melangkah lebar dan mengangkat tubuh gadis yang ada di depannya; gadis itu terbaring di pinggir jalan. Agaknya, gadis itu pingsan di sana dan meninggalkan motornya yang terletak tak jauh dari posisi gadis itu sendiri.
Gadis itu adalah Violette.
Justin tahu kalau Violette pasti ada di sini. Dengan segera Justin mengangkat tubuh lemah Violette ke dalam gendongannya. Kulit Violette yang telah agak lama terkena angin malam terasa sangat dingin tatkala menyentuh kulit tangan Justin. Justin membawa Violette masuk ke dalam mobilnya, membaringkan Violette di kursi belakang dan memosisikan gadis itu dengan baik agar dia bisa berbaring dengan nyaman. Justin membuka jasnya dan menyelimuti Violette dengan jas itu, lalu pria itu menutup pintu mobil bagian belakang. Kini Justin melangkah ke pintu depan mobil, masuk ke dalamnya, lalu duduk dan bersiap untuk menghidupkan mesin mobilnya. Setelah itu, Justin menjalankan mobilnya kembali dan membawa Violette pulang secepat mungkin. Justin mengambil ponselnya dan mulai menelepon seseorang.
"Tolong ambilkan motornya," ujar Justin kepada seseorang di seberang sana. Orang itu merupakan bawahannya sekaligus orang kepercayaannya. "sekarang juga. Bawa beberapa polisi. Aku akan menunggu di sana."
Justin kemudian memutuskan sambungan telepon itu. Pria itu lantas menyetir mobilnya dengan sangat cepat hingga mereka sampai di rumah Violette.
Sesampainya mereka di sana, Justin menggendong tubuh Violette lagi untuk menaiki tangga rumah panggung itu. Berjalan dengan perlahan—berusaha agar Violette tidak terjatuh adari gendongannya—Justin akhirnya sampai di depan pintu rumah Violette. Justin mengeluarkan sebuah kunci dari dalam saku jasnya, itu adalah kunci rumah Violette yang Justin ambil dari dalam tas Violette: tas yang ditinggalkan oleh gadis itu di ruangan kerja tadi pagi.
Ketika pintu rumah itu terbuka, seisi rumah itu tampak gelap. Tidak ada satu pun lampu yang hidup. Tidak ada siapa pun di sana. Justin hanya terus membawa tubuh Violette masuk ke sana sambil terus mencoba untuk mencari di mana letak kamar Violette. Setelah menemukannya, Justin lalu menghidupkan sakelar lampu. Setelah itu, dengan cepat ia membaringkan tubuh Violette di atas ranjang. Justin memosisikan tubuh Violette dengan baik, membuka sepatu dan kaus kaki gadis itu, lalu menyelimutinya. Justin sekarang hanya memakai kemeja tanpa jas karena jas yang menjadi selimut Violette di mobil itu tertinggal di sana ketika dia mengangkat tubuh Violette. Kini pun Justin melepaskan dasinya dengan dua kali tarikan.
Justin meletakkan dasinya di atas meja rias yang ada di kamar Violette. Setelah itu, pria itu keluar dari kamar Violette dan menutup pintu kamar itu.
Saat Justin kembali lagi ke kamar Violette, pria itu sudah membawa obat-obatan. Sepertinya, itu adalah obat-obatan yang ada di dekat area dapur rumah Violette. Justin mengoleskan sebuah obat yang ada di tangannya ke kepala Violette. Justin juga sudah membawa air hangat beserta handuk kecil untuk mengelap bagian tubuh Violette yang kotor. Jelas saja tubuh Violette kotor sebab tadi gadis itu ditemukan pingsan di pinggir jalan.
Apa yang membuat Violette pingsan dalam keadaan seperti itu dan di tempat seperti itu?
Tidak lama kemudian, bawahan Justin beserta para polisi itu datang. Justin menghampiri mereka di luar; mereka datang tepat ketika Justin sudah selesai mengurusi Violette.
Dari semua yang Justin lihat, Justin sudah tahu jelas apa yang sedang terjadi. Lagi pula, sudah kentara sekali, bukan? Di rumah ini tak ada Nathan.
45Please respect copyright.PENANAxh9XuI8ITP
******
45Please respect copyright.PENANA3Dh3egMFqA
Bulu mata yang lentik itu bergetar, diikuti dengan gerakan samar dari kedua kelopak mata yang perlahan-lahan terbuka. Namun, tatkala belum terbuka sepenuhnya, kedua kelopak mata itu tampak tertutup dengan cepat hingga beberapa kali karena merasa silau. Akhirnya, dengan mata yang sedikit menyipit, semua nyawanya telah terkumpul dan Violette pun terbangun. Hal pertama yang dilihatnya adalah sosok Megan. Megan telah duduk di samping kasurnya.
Sedikit heran, Violette berusaha untuk berbicara dengan suara serak khas pagi harinya.
"Megan."
Megan tersenyum. "Apakah tubuhmu sudah membaik?" tanya Megan sembari mendekatkan dirinya kepada Violette dan mengusap punggung tangan Violette.
"Hmm," deham Violette. Gadis itu menghela napas dan berusaha untuk duduk. "Kapan aku...pulang?" tanya Violette dengan suara seraknya.
Megan menjawab, "Justin yang mengantarmu."
Kedua mata Violette kontan terbelalak.
"HAH?!!"
"Kau tak enak badan, Violette. Istirahat, oke? Tadi malam Justin sudah menghubungi polisi untuk membantu mencari pamanmu. Dia sudah tahu. Aku turut bersedih, Vio," ujar Megan, menggelengkan kepalanya dengan prihatin. "Untung saja Justin mengobatimu tadi malam dan mengurusimu sehingga aku tidak harus semakin khawatir padamu. Yah...meski agaknya kau dan CEO-mu itu jadi semakin mesra," goda Megan dengan seringai konyolnya. Setelah itu, Megan langsung tertawa terbahak-bahak.
Sialaaaan!! Pipi Violette mendadak memerah dan ia langsung menendangi perut Megan.
"Kau pacaran dengan CEO kita, eh? Wah... Ternyata semua kebencianmu untuknya seperti apa yang kau katakan padaku waktu itu hanyalah topeng untuk menutupi kenyataan bahwa kau sebenarnya lebih genit padanya, hmm? Iya, 'kan? Waaah, kau ini mengerikan sekali, Vio! Diam-diam ternyata kau langsung tancap gas! Aku minta resepmu, ya?" Megan menaikturunkan alisnya untuk menggoda Violette.
Dengan sangat tanpa berbelas kasih, Violette langsung menendang tubuh Megan lagi hingga Megan terjungkal ke belakang.
"JANGAN BERBICARA YANG TIDAK-TIDAK, MEGAN!!!! AKU PUSING!!!!" []
45Please respect copyright.PENANAi3qpERJWUK