******
Bab 3 :
Masuk UKS
******
13Please respect copyright.PENANA9UZ16bzrHK
NADYA membuka atasan seragamnya begitu pintu ruang ganti perempuan ditutup oleh Fara. Jam kedua telah dimulai dan untuk mengisi pelajaran Penjaskes hari ini adalah bermain voli. Semua perempuan kelas XI IPA 1 berganti di ruang ganti yang sama. Lagi pula, di lantai dua hanya ada satu ruang ganti untuk perempuan.
Fara, yang baru saja menutup pintu, kini berjalan mendekat ke gerombolan teman sekelasnya yang sedang berganti baju itu sembari berkata, "Eh, seriusan, nih, kita main voli lagi? Gue nggak bisa main voli, nih, haha!"
Setelah itu, Fara pun mulai membuka seragamnya.
"Udah, gak apa-apa. Pokoknya kita main aja," ujar Rani, Si Pendek yang memiliki rambut sebahu, teman sebangku Syakila.
Setelah mendengar ucapan Rani, seluruh perempuan yang ada di ruang ganti itu pun tertawa. Nadya hanya ikut tersenyum, begitu pula Gita. Maklum, dari dua belas orang perempuan yang ada di kelas XI IPA 1, orang-orang yang agak banyak diam itu cuma Gita, Nadya, Nur, Vina, dan Alyssa. Namun, sebenarnya Gita itu lumayan cerewet dan ketus kalau sudah ngomong sama Nadya.
Nadya diam-diam memperhatikan dalaman bawah para perempuan sekelasnya dan rata-rata mereka semua memakai celana jenis kachera. Tidak bisa dipungkiri, Nadya hari ini juga memakai celana jenis itu yang berwarna abu-abu.
Tari, yang sudah selesai mengganti seragamnya dengan seragam olahraga, kini berjalan ke ujung ruangan di mana ada jendela di sana yang tertutupi oleh gorden berwarna magenta. Nadya dan Gita kebetulan ada di dekat jendela itu juga, tetapi bodohnya Tari malah membuka sedikit pinggiran gorden itu. "Kalo gue mah hobi main voli. Tiap Selasa gue nungguin main voli. Kebetulan gue lagi semangat juga, nih," ujarnya santai, kemudian dia melihat ke arah Syakila dan berkata, "Lo harus jadi lawan gue, Sya, lo pinter juga kan main voli. Harus, pokoknya."
Bukannya fokus dengan kata-kata Tari, semua perempuan yang sedang berganti baju itu malah terenyak dan histeris karena Tari membuka gorden magenta itu. Fara berteriak, "Wooiii, wooi!! Gue lagi pake baju, neh!!!! JANGAN BUKA GORDENNYA!!"
"WOI TAR!!" teriak Selly. Syakila tertawa. Parasnya terlihat semakin cantik ketika tertawa.
"EH COPOT! TUTUP WOI!!" teriak Zahra. "ITU DI BAWAH, KAN, LAPANGAN VOLI LAKI-LAKI!!"
Gita menggeleng-geleng. Nadya membelalakkan matanya. Nyatanya, Nadya tadi kontan memakai celana dengan cepat-cepat lantaran Tari membuka pinggiran gorden jendela itu. Tari kini tertawa terbahak-bahak, sebelah tangannya masih memegang pinggiran gorden. "Makanya kalian tuh cepetan! Pake baju aja lama amat!!"
"Yee si bego," ujar Fara. "Lagian, mau ngapain cepet-cepet? Pak Bian aja belum ke lapangan kok!! Ini juga bukan pertemuan pertama untuk materi bola voli, 'kan? Jadi, kayaknya agak santai. Gak ngambil nilai juga."
Kini, mereka semua sudah mulai selesai memakai seragam olahraga, saat kemudian Tari kembali membuka gorden itu sedikit lagi. "Eh, gila! Itu smash-nya Aldo keren banget!"
Kontan para perempuan di ruang ganti itu heboh mendekati jendela dan membuka gorden itu semakin lebar untuk berebut melihat ke bawah. Nadya hanya berdiri diam di tempat— di belakang mereka—dan sebenarnya Nadya masih bisa melihat ke bawah, meskipun sedikit.
Terlihatlah Aldo di sana, kini baru saja berhasil mem-block smash dari lawan kemudian ber-high five dengan Rian. Aldo mulai ke belakang dan melakukan servis atas dan gerakannya itu berhasil memukau para perempuan yang sekarang ada di ruang ganti bersama Nadya. Aldo tampak begitu bersinar di lapangan.
"Beuh...emang gak perlu diragukan lagi, deh," ujar Tari.
"Eh, kurang ajar—iya, ya, kerennyaaaa...! Ugh, gue suka banget kalo Aldo pake dekker lutut warna hitamnya!" Fara mulai kesengsem sendiri, cewek itu mulai memegangi pipinya yang chubby. Gita mulai menyikut Nadya. Nadya kontan menatap ke arah Gita dan menganga, mengatakan 'Duh, Git, jangan mulai!' dari tatapan matanya.
"Aldo mah emang gitu. Selalu hebat dalam olahraga," ujar Selly. Kata-katanya disambut anggukan beserta kalimat membenarkan dari mereka yang mendengarkan. Setelah itu, Selly melanjutkan, "Eh, itu liat! Junior kelas satu sama kakak kelas tiga yang cewek-cewek kok pada nontonin permainan voli anak cowok kelas kita? Ciaah, pasti pada mau liatin Aldo—eh eh eh, beneran! Mereka keliatan histeris banget, tuh!!"
Mereka tertawa, kecuali Vina, Nadya, Nur, dan Syakila. Syakila hanya tersenyum simpul. Tiba-tiba, Tari menatap Nadya dan berkata sembari menggerakkan matanya jail, "Ciee, Nadya... Aldo, tuh, di bawah."
Semua orang beralih menatap Nadya sembari tersenyum jail dan Nadya mulai membelalakkan matanya. Vina menatap Nadya dengan senyuman manis. Jantung Nadya berdebar dan pipinya merona. "Eh? Kok aku?!"
Nadya menatap ke teman-temannya itu dan semua temannya hanya senyum-senyum dan terkekeh hanya untuk menjaili Nadya dan membuat cewek itu salah tingkah, kecuali Syakila. Syakila hanya tersenyum manis pada Nadya. Gita sibuk menyikut Nadya sedari tadi sembari tertawa. Nadya mulai kelimpungan sendiri, cewek itu mulai menggaruk kepalanya dan berteriak, "Udah, ah! Nanti kedengeran sampai ke luar..." dengan wajah yang memerah.
Fara tertawa. "Aldo keliatan banget bahagianya, mukanya yang fresh itu keliatan beda hari ini. Dia banyak ketawa juga, tuh," ujar Fara. "Acieee Nadyaaaa!!" ledek cewek itu lagi.
Nadya hanya bisa menggaruk tengkuknya. Akan tetapi, diam-diam Nadya tertunduk dan tersenyum malu. Saat Gita merangkulnya, ia terkikik geli meski wajahnya memerah. Habisnya, walaupun semua itu hanya ledekan, tetap saja ledekan itu adalah hal iseng untuk membuat tertawa. Mereka semua mulai keluar dari ruang ganti dan menuju ke lapangan voli khusus perempuan.
13Please respect copyright.PENANAGyDQuy2kpS
******
13Please respect copyright.PENANADKCKKpdJqV
Nadya menatap bola voli di tangannya dengan gugup. Berkali ia menarik dan mengeluarkan napasnya lewat mulut, lantaran ini gilirannya untuk melakukan servis. Gita berkali melihat ke arah Nadya dengan penuh penantian. Sesungguhnya, Gita berharap bahwa Nadya bisa memasukkan bola ke daerah lawan, meskipun hanya kebetulan. Nadya sama sekali tidak bisa bermain voli. Dari kecil, Nadya cuma bisa main badminton, cewek itu juga tak pernah belajar cabang olahraga yang lain. Hal itu membuatnya sama sekali tidak bisa main voli. Akan tetapi, ia tetap harus ikut bermain untuk mencukupkan anggota.
Nadya perlahan mengayunkan tangan kanannya untuk memukul bola. Ayunan tubuhnya yang mengayun dari atas ke bawah itu ternyata juga seiringan dengan napasnya. Akhirnya, ia memukul bola itu dan yap! Bola itu masuk ke daerah lawan dan Gita lantas menatap Nadya dengan wajah gembira. Senyum Gita merekah lebar.
"Sip, Nad!!" teriak Gita. Setidaknya, Gita memang lebih baik daripada Nadya dalam permainan bola voli. Gita bertepuk tangan sejenak sebelum berlari ke depan untuk mem-passing bola yang datang menuju ke arahnya. Nadya tersenyum semringah. Sepertinya, bermain voli akan lebih mengasyikkan jika kita—paling tidak—bisa menyervis sekali saja.
Begitu Gita berhasil mem-passing bola ke daerah lawan kembali, bola itu ternyata mengarah ke Syakila yang merupakan anggota lawan. Syakila kemudian melompat dan bermaksud untuk mengakhiri kegiatan balas-membalas passing itu dengan satu smash. Syakila adalah andalan sekolah untuk voli perempuan—selain Tari—di kelas itu. Jadi, tentu saja Syakila pandai melakukannya.
Begitu Syakila melakukan smash, semua orang di tim Nadya memperhatikan ke mana bola itu menuju. Gita terbelalak saat melihat bola itu mengarah tepat ke kepala Nadya yang kini sedang menghadap ke samping untuk membenarkan tali sepatunya. Tari yang satu tim dengan mereka kontan berlari dengan cepat ke arah Nadya, bermaksud untuk mengambil bola itu sembari berteriak, "Nad, AWAS!"
"NADYA!!" teriak Gita sembari berlari ke arah Nadya.
Nadya menatap ke arah Gita dengan cepat dan matanya menatap Gita dengan linglung. Nadya mengedipkan matanya keheranan—dan semua orang mulai semakin melebarkan mata—hingga akhirnya terdengar suara gedebuk keras.
Nadya terjatuh dan terduduk di tanah. Gita dan teman-teman yang lain langsung berlari menghampiri Nadya.
"Nad! Lo gak apa-apa?!" teriak Gita panik begitu ia berjongkok di depan Nadya. Nadya kini sedang tertunduk dan memegangi kepalanya yang terasa sakit bukan main. Tidak ada yang menertawakan Nadya karena Nadya terkena bola di bagian belakang kepalanya. Smash itu sangatlah kuat dan tajam, bahkan bunyi benturannya terdengar begitu keras. Mata Nadya terpejam dan sesekali cewek itu meringis. Pandangannya mengabur. Tari langsung memegangi bahu Nadya. "Nad!"
"Git, bawa dia ke UKS," ujar Tari, lalu Gita mengangguk dengan cepat. Gita langsung merangkul Nadya dan bermaksud untuk mengajak Nadya berdiri, tetapi Nadya menggeleng.
"Nggak, Git, nggak usah," ujar Nadya pelan.
"Apaan, sih, Nad? Ayo, ah! Gak usah ngebantah! Kepala lo pusing, 'kan?!" ujar Gita. Nadya menggeleng, meski nyatanya ia tak bisa melihat Gita dengan jelas. "Udah, nggak apa-apa, Git. Gue gak mau absen."
"Halah, udah, ah!" teriak Gita. Tari kemudian berkata, "Udah, Nad, ke UKS aja. Biar gue izinin ke Pak Bian."
Nadya diam sebentar, kemudian cewek itu perlahan mengangguk. Gita langsung mengajaknya berdiri dan mulai merangkulnya untuk pergi ke UKS. Semua orang menatap kepergian mereka dengan tatapan yang masih separuh terkejut. Syakila menatap mereka dengan nanar, mulut Syakila sedikit terbuka.
Sepeninggal Gita dan Nadya, Pak Bian mulai datang ke lapangan voli perempuan untuk mengabsen dan mengawasi permainan voli perempuan.
13Please respect copyright.PENANAL7DT7S1lcz
******
13Please respect copyright.PENANAwusEOQfjGZ
Gita merunduk singkat kepada dokter di UKS itu yang baru saja memberikan beberapa instruksi kepadanya. Dokter itu kemudian ingin beranjak keluar dari ruangan istirahat Nadya yang sebenarnya hanya dibatasi oleh kain putih, kain itu berfungsi untuk membatasi tiap kasur UKS. Jarak setiap kasur adalah sekitar dua langkah.
"Makasih, Bu," ujar Gita saat dokter itu baru saja ke luar. Dokter itu hanya menyahut 'Ya', kemudian Gita berbalik untuk melihat Nadya yang kini tengah terbaring di kasur UKS. Nadya memegangi kepalanya seraya terpejam.
"Duh, Nad," ujar Gita. "lo juga ngapain tadi pake lambat segala? Kalo lo langsung peka, lo pasti langsung lari dari situ karena elo bakalan kena smash!"
"Kan gue gak sadar, Git..." ujar Nadya.
Gita menghela napas jengah. "Lo itu kalo yang beginian pasti lambat banget sadarnya," ujar Gita. "Kalo lo bisa cepet, lo gak bakal kena! Nah, sekarang elo yang kesakitan, 'kan."
Nadya berdecak. "Git, kok lo marah-marah, sih... Kepala gue sakit, nih..."
"Ya salah sendiri," ujar Gita. Nadya menghela napas. Wangi lavendel ruangan UKS lumayan membuatnya nyaman untuk berada di UKS lebih lama. Terlintas di benaknya kepingan-kepingan momen saat dia terkena bola tadi dan hal itu membuatnya merutuki dirinya sendiri. Sebenarnya, dia mengikat tali sepatu lantaran takut jatuh saat bermain bola voli. Menghindari satu cedera, dia malah terkena cedera yang lainnya. Kentara sekali bahwa Nadya tidak bisa bermain voli. Instingnya berada di nol koma sekian.
"Ya udah, Git, lo balik aja ke lapangan. Biar lo ikut hadir. Gue gak apa-apa sendirian," ujar Nadya.
Gita mengernyit. "Lo beneran gak apa-apa, Nad? Gue gak apa-apa kok nemenin lo di sini."
"Gak usah, Git, gue gak apa-apa kok sendirian," ujar Nadya. "kan gue cuma tidur aja."
Gita akhirnya menghela napas. "Ya udah, gue tinggal dulu. Nanti pas selesai olahraga gue ke sini lagi, oke? Lo istirahat ya! Jangan sok-sokan mau duduk atau berdiri, kepala lo masih sakit, tuh."
Nadya terkikik. "Iya, Git, nggak kok."
Gita mengangguk, lalu Gita menepuk pelan pundak Nadya dan mulai berbalik, bermaksud untuk ke luar. Akan tetapi, Gita sempat menoleh ke belakang lagi dan tersenyum sebelum akhirnya ia benar-benar membuka kain putih pembatas itu dan keluar dari tempat Nadya berbaring.
Nadya mulai menghela napas dan memejamkan matanya.
Gila, rasa sakitnya semakin menjadi-jadi. Pusing sekali, seolah Nadya sudah terlalu lelah dan juga belum makan seharian. Ini menyedihkan, padahal Nadya sangat senang ketika bermain voli tadi. Memang Nadya sepertinya naïf, tetapi ia benar-benar menikmati saat-saat bermain voli tadi dan bahkan ia sempat berpikir untuk mulai belajar bermain voli lebih giat. Baru kali ini ia bisa memasukkan bola ke daerah lawan. Itu membuatnya sedikit bersemangat. Akan tetapi, yang terjadi malah tak terduga.
Nadya memijit dan menekan-nekan bagian belakang kepalanya dan juga bagian dahinya. Sakitnya kini mulai menjalar ke depan. Sudah lima menit berlalu dan Nadya hanya bisa mengoleskan minyak kayu putih di dahinya sembari terpejam.
"Ugh..." Nadya meringis saat sakit kepalanya sesekali terasa nyelekit dan dunianya seolah terasa berputar. Nadya agak heran, mengapa rasanya sakit sekali? Apakah seperti itu rasanya terkena bola di kepala?
Apa bisa pingsan juga?
Kalau iya, Nadya benar-benar bersyukur karena ia tidak pingsan, padahal benturannya tadi sangat keras. Bola itu serasa seperti ditembak oleh meriam saja, kalau menurut Nadya.
Tiba-tiba, kain putih pembatas yang ada di samping kanan kasur Nadya tersibak dengan cepat. Nadya langsung menoleh ke arah kanan dan tampaklah di sana sosok cowok yang kini menatap Nadya dengan pandangan khawatir. Napas cowok itu tampaknya sedikit terengah dan mata Nadya pun terbelalak.
13Please respect copyright.PENANA34pbDryC9h
Itu Aldo.
13Please respect copyright.PENANAinMFyTaebu
Jantung Nadya serasa berhenti berdegup untuk sejenak. Nadya tanpa sadar menahan napasnya sendiri dan ia sedikit lupa dengan sakit kepalanya, meskipun sakitnya masih sangat terasa. Mengapa Aldo ke sini?
Aldo melangkah masuk ke ruangan Nadya dan langsung merunduk menatap Nadya tatkala ia sampai di kasur tempat Nadya berbaring. Cowok itu langsung memegang kepala Nadya dan matanya sedikit melebar, kemudian cowok itu dengan cepat berkata, "Nad, kamu kena bola?"
Aldo tampak seperti baru saja berlari dari lapangan voli laki-laki sampai ke UKS. Nadya meneguk ludahnya dan menatap wajah tampan Aldo yang sedang berkeringat; cowok itu menatap tepat ke iris mata Nadya dengan pandangan khawatir. Wajah Aldo lumayan dekat dengan wajah Nadya. Jempol cowok itu kini memijit sedikit puncak kepala Nadya dan beralih memegang pelipis Nadya.
Mata Nadya masih tampak melebar, cewek itu masih kaget. "A—Aldo? Kamu ngapain ke sini? Kamu tau dari...mana?"
"Aku tau dari Gita," jawab Aldo. "Dia tadi lari ke lapangan cowok dan dia ngasih tau aku kalau kamu kena bola dan masuk UKS."
Kedua mata Nadya terbelalak. Cewek itu meneguk ludahnya. Kepalanya agak merunduk ke samping dan melipat bibirnya karena merasa malu.
13Please respect copyright.PENANAu2o4hkZlT3
Aduh... Gita, nih... Kok ngasih tau Aldo, sih...
13Please respect copyright.PENANAhrI6Etq61L
Nadya menatap Aldo lagi dan tiba-tiba jantungnya berdebar. Sikap Aldo yang berbeda 180 derajat daripada biasanya ini membuatnya sedikit merasakan keanehan pada caranya menatap Aldo. Dari awal, mereka hanya teman sekelas yang tidak bisa dikatakan sebagai 'teman', lalu tiba-tiba mereka mempunyai hubungan seperti ini...
Nadya berkedip dan menatap ke lain arah, apa saja agar tidak melihat Aldo. Wajah Aldo yang terlalu dekat itu membuat Nadya mendadak tidak fokus. Mengapa Nadya merasakan keanehan seperti ini saat ia dan Aldo punya hubungan spesial? Terutama...momen intens seperti ini mendadak membuat Nadya merasa seolah ia telah menyukai Aldo untuk yang sesungguhnya.
13Please respect copyright.PENANAb2uSQuFXEj
Ternyata, cinta itu hanyalah sebuah kata, sampai seseorang datang dan membuatnya menjadi bermakna.
13Please respect copyright.PENANA4LuxeVfEjZ
Tiba-tiba, Aldo memegang pergelangan tangan Nadya dan hal itu membuat Nadya lagi-lagi kaget. Nadya langsung menatap kembali ke arah Aldo.
"Kamu mau kuantar pulang? Ini pasti sakit banget, 'kan? Tatapan kamu gak fokus gitu. Gita bilang benturannya juga keras banget," ujar Aldo. Alis Aldo bertaut.
Mata Nadya terbelalak. "Gak usah, Aldo, aku gak mau pulang. Aku mau di sekolah aja, soalnya ada ulangan Bahasa Indonesia habis ini."
Aldo menatap Nadya dengan tatapan nanar, lalu cowok itu menghela napas. "Nanti aku bilang ke Bu Meidy biar kamu bisa ulangan susulan, Nad. Sekarang ayo kita minta izin biar kamu bisa pulang. Mau, ya?"
Nadya meneguk ludahnya. Kalau Aldo mah bisa saja minta susulan dengan gampangnya ke Bu Meidy—yang garang itu—soalnya Aldo adalah murid kesayangan semua guru. Malah, Bu Meidy sering memperlakukan Aldo dengan cara yang berbeda ketika di kelas, soalnya Aldo itu ganteng, penurut, dan pintar. Apalagi, Aldo itu selalu juara satu, bahkan dia berhasil meraih juara umum terus menerus. Nah, masalahnya sekarang adalah: Nadya itu kalau sudah belajar, pasti bakal cepat lupa. Jadi, kalau ditunda lagi, berarti dia harus belajar terus menerus sampai hari dilaksanakannya ulangan susulan itu. Kalau Aldo mah...nggak perlu belajar aja pasti bakal dapat seratus, tuh.
"Gak usah, deh... Nanti aku gak bisa ngerjainnya lagi, Aldo... Aku cepet lupa, soalnya," ujar Nadya dengan pesimis. Alih-alih meyakinkan Aldo, tiba-tiba sakit kepala Nadya terasa nyelekit dan kontan membuat Nadya meringis. Aldo langsung melebarkan matanya dan memijit kepala Nadya.
"Udah, nanti aku bisa ajarin kamu, oke? Kita pulang sekarang. Itu kepala kamu makin parah, Nad," ujar Aldo. "Kamu tunggu di sini. Aku minta izin ke wali kelas, ke Pak Bian, ke Bu Meidy...terus ke guru piket. Biar kamu bisa pulang dan aku bisa nganterin kamu. Tunggu, ya?"
Setelah itu, lantas Aldo pergi keluar dari ruangan Nadya dan Nadya hanya bisa menatap kepergian Aldo dengan tatapan nanar. Mulut Nadya sedikit terbuka lantaran ia terkejut mendapati Aldo yang terlihat begitu panik. Itu terlihat seperti...Aldo benar-benar peduli padanya.
Nadya benar-benar tidak mengerti dengan hubungan mereka, tetapi ia benar-benar berterima kasih kepada Aldo. Sekarang, perut Nadya serasa digelitik saat mencium harum parfum Aldo yang tertinggal di ruangan tempatnya berbaring.
13Please respect copyright.PENANASU2Dya2kil
******
13Please respect copyright.PENANADSAo3kHhyU
Aldo memakaikan jeans jacket-nya di tubuh Nadya. Cowok itu merangkul Nadya dan membawa Nadya ke parkiran di mana motor besarnya diparkirkan. Semua orang melihat ke arah Aldo dan Nadya saat mereka berdua keluar dari area gedung sekolah dan melewati lapangan basket serta lapangan voli yang ada di tengah-tengah gedung sekolah. Gedung sekolah itu membentuk segi empat dan mengelilingi lapangan-lapangan itu. Nadya tertunduk dan tanpa sadar wajahnya memanas. Ia sangat malu kalau jadi tontonan seperti itu. Semua orang tampak begitu penasaran dan begitu excited melihat mereka berjalan berdua. Akan tetapi, banyak juga yang terlihat saling menyikut satu sama lain, lalu melihat Nadya dengan mata yang memicing.
Atau lebih tepatnya, pandangan menilai.
Melihat Aldo yang bernotabene hampir dikatakan sebagai 'Pacar Bersama' itu kini tak bisa dikatakan sebagai 'Pacar Bersama' lagi. Belum lagi sikap Aldo yang sangat perhatian kepada pacar barunya itu membuat fans-nya hanya bisa gigit jari dan mencari tahu siapa nama pacar barunya itu, bagaimana penampilannya, ekstrakurikuler apa yang diikuti oleh pacar barunya itu, dari mana Aldo dan pacar barunya itu bisa berkenalan, dan lain-lain. Satu-satunya informasi yang baru semua orang ketahui adalah Aldo dan pacar barunya itu ternyata satu kelas. Semuanya penasaran, tetapi tidak ada yang berani mengganggu Nadya secara terang-terangan.
Kalau kata Gita, mereka itu kepo di belakang, padahal Aldo sekarang hanya tengah merangkul Nadya. Jika dipikir-pikir, Aldo melakukan itu hanya karena Nadya sedang sakit kepala, tetapi Nadya tetap saja sangat malu.
Tas ransel Nadya dibawa oleh Aldo di sebelah punggung cowok itu. Saat mereka sudah sampai di dekat motor Aldo, Aldo memberikan helm pada Nadya—helm yang tadi pagi dipakai oleh Nadya—lalu cowok itu mulai menaiki motornya dan menghidupkan motornya.
Aldo mulai memakai helm. Cowok itu lalu berusaha mengeluarkan motornya dari jajaran parkiran dan memutar, lalu motornya berhenti di depan Nadya. Nadya yang sudah memakai helm itu kini menatap ke arah Aldo. Aldo membuka kaca helmnya dan tersenyum.
"Ayo naik. Kamu nyandar aja, soalnya kepala kamu sakit, 'kan?" ujar Aldo. Nadya melipat bibirnya dan mengangguk pelan. Cewek itu kemudian beranjak untuk naik ke atas motor Aldo dengan hati-hati.
"Bisa?" tanya Aldo begitu Nadya baru saja duduk di boncengannya. Nadya mengangguk.
"Iya, Aldo," jawab Nadya.
"Pegangan yang kuat, ya." Aldo mengingatkan Nadya. Nadya tanpa sadar berhenti bernapas karena ia sadar bahwa ia lupa akan hal itu. Setelah itu, Nadya mengangguk, meski ia tak tahu Aldo bisa melihat anggukannya atau tidak. Ia kemudian memegang seragam Aldo di bagian pinggang cowok itu.
Nadya baru sadar bahwa ternyata bahu Aldo itu lebar. Bahkan Aldo ini memiliki tubuh yang sangat bagus. Apa Aldo selalu berolahraga dan sempat nge-gym di sela kegiatan sekolahnya?
Bahkan saat Aldo membawanya keluar dari area sekolah pun, mereka tetap jadi tontonan murid-murid yang ada di lapangan, yang jelas berada lumayan jauh dari mereka.
Di tengah jalan, Nadya merundukkan kepala dan melipat bibirnya. Ia mendadak ingin tahu mengapa Aldo menjadikannya sebagai pacar.
Sebenarnya, hal ini terus mengganjal di pikiran Nadya sejak pertama kali Aldo berkata bahwa Nadya harus menjadi pacarnya, sebagai persyaratan diberikannya tiket konser Muse kepada Nadya.
Nadya tanpa sadar meremas baju Aldo. Cewek itu kemudian memberanikan diri untuk bertanya, tepat saat mereka melewati perempatan jalan. "Aldo?"
"Iya, Nad," jawab Aldo sembari menoleh singkat ke arah Nadya yang ada di belakangnya. Suara cowok itu terdengar pelan lantaran banyak kendaraan lain dan juga pengaruh angin yang agak kencang kala itu.
Nadya lalu kembali berbicara, "Boleh aku tau...kenapa kamu mau aku jadi pacar kamu?"
Nadya tak mendengar jawaban Aldo selama empat detik lamanya. Besar kemungkinan Aldo tidak mau menjawab pertanyaan itu dan Nadya mulai merutuki dirinya sendiri. Ah, mana mungkin Aldo meminta Nadya untuk menjadi pacarnya karena perasaan suka atau cinta! Ini semua pasti hanyalah sebatas sama-sama perlu. Aldo pasti punya kepentingan juga. Masalahnya begini: tiket itu penting banget buat Nadya. Berarti persyaratannya ini juga penting buat Aldo.
Akan tetapi, Nadya tetap saja harus tahu alasannya.
Aldo tampak diam. Enam detik sudah berlalu.
Namun, Nadya kontan melebarkan matanya saat Aldo tiba-tiba bersuara dengan tempo lambat. Cowok itu berkata, "Nad, ini sama kayak pelangi. Sebenarnya, warna pelangi bukanlah tujuh, melainkan seluruh warna yang ada di dunia. Akan tetapi, mata kita tidak sanggup membedakannya. Nah, sebenarnya alasan aku itu banyak, Nad, tetapi pada akhirnya aku cuma bisa bilang ke kamu kalau alasanku itu hanya satu...karena aku nggak bisa membedakannya. Soalnya...semua alasannya itu adalah kamu." []
13Please respect copyright.PENANA2UpBmrUtlU