******
Bab 5 :
Dihukum
******
11Please respect copyright.PENANAvQDi4GDvyX
"TARI, kumpulkan buku-buku PR-nya dan letakkan di meja Ibu," ujar Bu Evi, Guru Kimia yang biasa masuk di kelas XI IPA 1, saat menginjakkan kakinya masuk ke dalam kelas XI IPA 1 pagi ini. Tari, yang duduk di meja paling pinggir—dekat pintu masuk kelas—itu nyaris saja menjadi latah mulut karena terkejut. Tari langsung berdiri dan menjawab 'Ya, Bu!' bertepatan dengan guru Kimia itu duduk di kursinya yang terletak di depan kelas.
Tari langsung keluar dari area bangkunya dan mulai berkeliling. Cewek itu memulai dari barisannya sendiri, langsung ke meja yang ada di belakang mejanya. Semua murid mulai ricuh, ada yang sibuk mengeluarkan buku PR mereka, ada juga yang bahkan masih celingak-celinguk dan panik karena tidak mengerjakan PR-nya dengan lengkap. Bahkan anak- anak nakal yang duduk di belakang masih berani untuk melanjutkan kegiatan menyalin dari buku anak-anak lain yang sudah mengerjakan. Murid-murid yang belum selesai mengerjakan itu sudah pasti wajahnya tegang semua, mereka merasa seperti dikejar anjing karena tak ada yang berani menentang guru Kimia terkejam seantero sekolah mereka itu. Sebenarnya, apa salahnya mengerjakan di rumah jika memang takut dengan Bu Evi Siswandoyo itu? Alasan mereka cuma satu: nggak ngerti dengan apa yang diajarkan oleh guru Kimia itu. Bawaannya tegang mulu, sih. Jadi, pelajaran tak bisa masuk ke otak.
Di sisi lain, Nadya sedang mengobrak-abrik isi tasnya. Ia tak kunjung menemukan buku PR Kimia-nya. Demi Tuhan, Nadya berani bersumpah kalau buku PR dengan sampul berwarna peach itu tadi malam sudah Nadya masukkan ke dalam tas. Bahkan tadi pagi Nadya sempat memeriksa kembali isi tasnya sebelum berangkat ke sekolah dijemput Aldo.
Duh, ya Tuhan... Bukuku ke manaa?!
"Gimana, Nad?! Ketemu nggak?!" bisik Gita panik. Gita mulai membantu Nadya mengobrak-abrik isi tasnya. Akan tetapi, nihil. Buku PR itu sama sekali tidak ada di dalam tas Nadya. Mereka berdua mulai mencari-cari di kolong meja dan di bawah meja, sembari sesekali melirik takut-takut kepada Bu Evi. Wajah Bu Evi hari ini benar-benar terlihat nggak mood! Sepertinya sesuatu yang buruk telah terjadi.
Nadya merunduk untuk melihat ke bawah kursinya sekaligus ke bawah meja orang yang duduk di belakangnya, cewek itu berkali meringis—bahkan hampir saja menangis—karena panik. Sementara itu, Gita memelotot saat melihat Tari yang sudah mulai beranjak ke meja mereka.
"Duhhh, Nad, ada nggak?!" bisik Gita lagi, kali ini lebih mendesak. Gita terdengar sangat panik. Nadya sudah mulai mengeluarkan setitik air mata, matanya merah dan wajahnya panas karena terlalu takut dan panik. Ia tak pernah meninggalkan pekerjaan rumah yang diberikan dari sekolah. Meskipun ia tidak terlalu pintar, ia selalu mengerjakan PR-nya.
Nadya bangkit dan duduk kembali di kursinya, lalu berkata dengan wajah pucat, "Gak ada, Git... Aduh, gimana, nih?! Git—gue tadi udah masukin bukunya, gue inget banget."
"Lo tadi—" Perkataan Gita terputus saat tiba-tiba ia melihat Tari sudah berdiri di samping Nadya. Gita menganga. Sementara itu, jantung Nadya berdegup sangat kencang. Nadya benar-benar merasa wajah dan matanya memanas karena menahan air mata. Wajah cewek itu pucat bukan main saat melihat ke arah Tari yang sudah mengulurkan tangan untuk meminta buku PR miliknya dan milik Gita.
"Ayo kumpulin," ujar Tari dengan ramah. Gita menyerahkan bukunya kepada Tari sembari melihat-lihat Nadya dan merasakan ketakutan Nadya yang terpampang jelas lewat air muka cewek itu.
"Punya lo mana, Nad?" tanya Tari dengan nada biasa. Namun, suara itu berhasil terdengar ke seluruh sudut kelas. Meskipun suasana kelas saat itu agak ricuh, suara Tari itu berhasil membuat semua orang terdiam dan beralih menatap ke arah Nadya. Nadya menoleh ke sana kemari dengan panik.
Nadya melihat ke arah permukaan mejanya dengan kedipan mata yang tak stabil—kemudian cewek itu meremas jemarinya yang mulai terasa dingin. "Gu—gue... Punya gue..."
Gita mendengkus dan memilih untuk mendahului Nadya untuk menjawab Tari. "Punya dia ada—"
"Punya gue hilang, Tar. Buku gue tadi pagi ada, terus hilang," potong Nadya. Sontak saja mata Gita terbelalak. Perkataan Nadya itu membuat semua orang menatap Nadya dengan tatapan, 'Duh, ada masalah, nih. Bu Evi pasti ngamuk.'
Nadya hanya bisa berkomat-kamit dalam hati. Semoga Bu Evi tak menghukumnya dengan kejam. Semoga Bu Evi tak sampai membentaknya di dalam kelas.
Nadya sangat malu. Ini adalah salah satu hari yang nahas bagi Nadya karena ia duduk satu barisan dengan Tari. Beruntunglah bagi mereka yang agak jauh dari barisan Tari karena Tari akan pergi ke sana agak lambat dan hal itu akan memberikan waktu bagi mereka yang menyalin PR dengan mengebut. Selain itu, dengan adanya insiden Nadya ini, itu pasti memberikan waktu banyak bagi mereka yang sedang menyalin.
Nadya hari ini bernasib buruk. Lagi pula, ke mana, sih, buku PR-nya? Mengapa bisa hilang begitu saja?
Tari melebarkan matanya. Saat Nadya kembali menatap Tari dengan wajah pucatnya, bibir Tari langsung berkata tanpa mengeluarkan suara; cewek itu berkata, 'Lo serius?!'
Nadya menatap Tari dengan mata berkaca-kacanya dan mengangguk. Saat ia baru saja ingin menjawab Tari, tiba-tiba suara lantang Bu Evi terdengar. Suara itu membuat semua orang terkejut.
"Yang tidak mengumpulkan PR, KE LUAR sekarang."
Nadya terperanjat. Setelah itu, setetes air mata benar-benar jatuh di pipinya, hingga mengharuskannya bersusah payah menghapus air mata itu dengan berpura-pura menggaruk bagian bawah matanya agar tak terlihat terlalu kentara bahwa ia menangis. Ia menunduk saat berdiri dari kursinya sehingga rambutnya yang terurai tampak menutupi sebagian wajahnya di sisi kanan dan kiri. Akan tetapi, Gita benar-benar tahu bahwa Nadya menangis.
Nadya mulai beranjak keluar dari area mejanya dan Tari bergeser ke samping. Tari melihat Nadya dengan prihatin. Nadya lalu berjalan pelan ke depan kelas dengan semua mata tertuju ke arahnya, lalu cewek itu mendengar Bu Evi berkata, "Kamu berdiri di luar dan tidak boleh duduk di kelas sampai jam pelajaran saya selesai."
Nadya mengangguk pelan. Cewek itu kemudian berjalan ke arah pintu kelas. Selagi berjalan menuju ke pintu kelas, Nadya sedikit menghela napas. Ketakutannya sedikit hilang.
Rupanya hukumannya tidak seberat yang ia pikirkan. Ia sungguh berterima kasih kepada Tuhan. Apa ini terjadi karena Bu Evi kasihan padanya yang tampak sangat terpukul? Akan tetapi, wajah Bu Evi tadi tampak begitu garang. Lantas... Apa hukumannya tak terlalu berat karena ia selalu mengerjakan PR?
Sekali lagi, sang guru yang kejam tetaplah memiliki hati. Akan tetapi, meskipun hukuman ini tak seberapa, rasa malu yang dirasakan Nadya..sudah terlanjur membekas. Malunya luar biasa. Ini wajar karena ia adalah tipe anak yang tak pernah tertinggal dalam mengerjakan PR sejak ia SD. Selain itu, Aldo tadi pasti melihat semuanya. Bagaimana ia harus bertatap muka dengan Aldo setelah semua hal yang memalukan ini terjadi? Hari ini adalah hari yang buruk. Untuk pertama kalinya selama Nadya bersekolah, Nadya tak mengumpulkan PR-nya. Ditambah lagi, semua itu harus terjadi di depan teman-temannya dan juga di depan Aldo.
Nadya tertunduk. Tiba-tiba ia merasa sangat lesu saat menyadari hal itu.
11Please respect copyright.PENANAmbVSKJD9J2
******
11Please respect copyright.PENANApDJDpGom6L
Aldo memperhatikan Nadya yang baru saja menghilang di balik pintu kelas yang baru saja tertutup kembali. Cowok itu memang bersandar di kursinya, tetapi remasan tangan cowok itu pada pena yang tengah dipegangnya kian mengeras sejak ia tanpa sengaja melihat Nadya panik dan mencari-cari sesuatu dari dalam tas cewek itu.
Aldo menenggak ludahnya pelan dan menatap pintu yang tertutup itu dengan mata yang memicing.
"Yan," panggil Aldo saat Rian mengeluarkan buku cetak Kimia miliknya ke atas meja. Rian hanya menatap Aldo sejenak dan berdeham, "Hm?"
"Gue titip buku gue di tas lo," ujar Aldo dan tiba-tiba cowok itu memasukkan buku PR-nya ke dalam tas Rian yang masih terbuka oleh karena Rian baru saja mengambil buku cetak Kimia-nya. Mata Rian terbelalak.
"Hah? Ngapain lo titipin, Do? Mau dikumpul, tuh!" ujar Rian. Hidung Rian berkerut karena keheranan melihat Aldo yang tampak hanya mendengkus samar saat Rian mengatakan hal itu. Aldo kemudian kembali duduk bersandar. Rian menatap Aldo dengan tatapan ingin tahu.
Tiba-tiba, saat Tari sampai di meja mereka dan sebelum Rian menyerahkan buku PR-nya, Aldo mengangkat sebelah tangannya. Semua orang langsung menatap ke arah Aldo, pasang mata mereka menatap Aldo dengan mata yang membulat ingin tahu. Bu Evi kemudian menatap Aldo dan memiringkan kepala. "Ada apa, Nak?"
Kasih sayang buat Aldo memang agak 'beda'. Namun, bukan itu masalahnya. Masalah itu datang saat Aldo berkata sesuatu dengan nada biasanya yang terdengar santai, tetapi tetap menunjukkan wibawa. Namun, wibawa itu kini tampak tak sepadan dengan kata-kata yang keluar dari bibirnya. Aldo berhasil membuat semua murid terkejut saat ia berbicara—tentang sesuatu yang tak biasa dikatakannya—dengan rileks.
Aldo berkata, "Saya nggak bikin PR, Bu."
Kontan saja hal itu membuat Bu Evi melebarkan mata. Aldo? Si Juara Umum itu tidak mengerjakan PR? Meskipun Aldo lupa, ia bisa mengerjakannya di sekolah. Paling tidak, lima menit sudah cukup untuk mengerjakan sepuluh soal yang rumit bagi cowok itu dan Bu Evi mengetahui hal itu. Namun, tidak membuat PR?
Bu Evi memicingkan mata. "Kok kamu nggak buat? Nggak pernah-pernahnya kamu—"
"Buku saya ketinggalan, Bu," ujar Aldo sembari menatap Bu Evi dengan serius. "Kalo saya nggak bawa bukunya, kan, sama aja nggak bikin, Bu."
Bu Evi diam sejenak. Butuh waktu baginya untuk mencerna bahwa Aldo benar-benar tidak membawa PR yang telah ia berikan. Meskipun ia tak percaya, akhirnya dengan helaan napas dan kernyitan di dahinya yang menyiratkan rasa heran bukan main itu ia menatap Aldo dan berkata dengan tegas, "Ya udah, kamu ke luar dan jangan masuk ke kelas sampai saya selesai."
Aldo tersenyum tipis—sangat tipis hingga mungkin tak ada yang sadar—kemudian cowok itu mengangguk. "Baik, Bu."
Dengan begitu, Aldo bangkit dari kursinya dan meninggalkan meja itu dengan langkah tegapnya. Rian menatap Aldo dengan wajah blank, cowok berkulit hitam manis itu keheranan setengah mati. Adam, yang saat itu sedang pindah duduk jadi di depan Rian, kini berbalik menghadap ke belakang dan meninju lengan Rian. "Woi, dia kenapa?"
Rian tak menatap ke arah Adam. Wajah cowok itu masih terlihat blank dan ia menatap punggung Aldo yang kini sudah menghilang di balik pintu.
"Nggak tau gue. Tuh anak salah makan, gue rasa. Bukunya dia taruh di tas gue dan dia milih bilang kalo dia nggak bikin PR," ujar Rian sembari menggeleng-geleng.
Tiba-tiba, Adam memelotot. Seperti tersengat sesuatu, Adam mematung dan hanya matanya yang membelalak penuh. Akan tetapi, tiba-tiba Adam langsung menarik lengan Rian dengan kencang dan wajah cowok itu tampak sangat excited. Rian mengaduh kesakitan dan merutuki Adam habis-habisan.
Adam berbisik di dekat wajah Rian, "Lah, Bung! Lo tau, 'kan, Nadya tadi dihukum!"
Rian tiba-tiba melebarkan mata. Hening selama dua sampai tiga detik. Cowok itu bagai baru saja mendapat pencerahan. "Oh iya, ya! Kok gue bego, sih? Astaga!!"
Rian dan Adam tertawa pelan dan ber-high five, mereka berhasil memecahkan kebodohan mereka yang lambat connect dengan gelagat Aldo yang sama sekali berbeda daripada biasanya ini. Gila, kayaknya nanti mereka bisa nggodain Aldo, nih. Adam terkikik, meskipun itu pelan agar tak sampai ke telinga Bu Evi. Setelah itu, Adam melihat Rian memberikan buku PR-nya kepada Tari—mereka bahkan tak sadar bahwa Tari masih ada di sana—dan Tari melihat Rian sembari tersenyum jail. Rian ikut menaik-turunkan alis cowok itu kepada Tari—dan dari sana Adam tahu bahwa Tari juga sudah terpikir hal yang sama. Setelah itu, seisi kelas tiba-tiba ribut.
"Acieee! Demi ceweknya tuh, 'kan?!" ujar salah satu cowok yang duduk di belakang, menatap Rian sembari bertanya. Rian mengangguk pada cowok itu dan terkikik geli. Sementara itu, para cewek di kelas mulai heboh.
"Iiih so sweet-nyaaa!!! Kapan gue punya cowok kayak gituu!" teriak salah satu cewek dan semuanya tertawa. Jelas saja, Bu Evi langsung membentak mereka saat mereka semua tertawa.
"YANG RIBUT SILAKAN KE LUAR SEKARANG!"
11Please respect copyright.PENANAJ3GbQd83r4
******
11Please respect copyright.PENANAf0bf9JCHD8
Baru beberapa saat Nadya berdiri di depan kelas—dan guru-guru yang lewat mulai melihat nya seraya menyernyitkan dahi—tiba-tiba Nadya dikejutkan dengan suara pintu kelas yang terbuka. Nadya langsung menoleh ke samping kirinya dan terperanjat saat melihat bahwa itu adalah Aldo. Aldo sedang menatap ke arahnya, tangan kanan Aldo masih berada di belakang pinggang cowok itu untuk menutup pintu kelas.
Nadya menganga.
Aldo? Buat apa Aldo ke luar? Kan lagi belajar! Apa Aldo permisi ke toilet?
Pandangan mata Aldo tampak begitu dalam dan kedua bola mata cowok itu terlihat begitu jernih. Saat Aldo telah menutup pintu, cowok itu pun berjalan menghampiri Nadya. Hanya butuh dua langkah agar bisa berada di depan Nadya yang kini sudah sepenuhnya menghadap ke arah Aldo. Mata Nadya masih membulat.
Aldo berdiri di depan Nadya dan masih menatap Nadya dengan lekat. Nadya meneguk ludahnya, bertepatan dengan Aldo yang memasukkan kedua tangan cowok itu ke dalam saku celana seragamnya. Mereka saling bertatapan, lalu tiba-tiba suara berisik dari dalam kelas dan suara bentakan dari Bu Evi membuat Aldo menoleh sebentar ke samping. Setelah itu, Aldo kembali menolehkan kepalanya untuk menatap Nadya.
Setelah itu, cowok itu tersenyum.
"Nad," sapanya.
Nadya terkejut. Saat itulah, tubuh Nadya mulai menegap dan cewek itu mulai mengernyitkan dahinya bukan main. "Aldo? Kamu mau ke toilet, ya?"
Aldo semakin tersenyum manis. "Nggak. Aku juga dihukum."
Mata Nadya terbelalak. "Lah? Kok kamu dihukum?"
Saat Aldo bergerak untuk berdiri membelakangi dinding kelas seperti yang Nadya lakukan tadi, Nadya juga otomatis ikut berdiri lagi dengan posisinya sebelumnya. Itu membuat mereka jadi berdiri bersebelahan.
Aldo kemudian menghela napas dan berkata, "Aku nggak bawa buku PR-ku, Nad."
Mata Nadya terbelalak. Kontan cewek itu menatap Aldo dengan tatapan tak percaya. "Ha? Nggak mungkin kamu nggak bawa! Kamu kan biasanya—"
"Biasanya itu bukan berarti akan terus kayak gitu, Nad," ujar Aldo, saat pria itu menolehkan kepalanya untuk menatap Nadya. "Kamu juga...nggak biasanya, 'kan?"
Nadya terperangah. Wajah Aldo sangat memesona, terutama saat Aldo menoleh ke arahnya seperti itu. Akan tetapi, cewek itu tetap menggeleng dan kembali menatap Aldo dengan heran. Matanya kembali membulat. "Tapi kamu itu—aku nggak percaya, Aldo."
"Ya udah, biar aku tanya," ujar Aldo kemudian. Cowok itu kini menatap Nadya dengan mata yang sedikit memicing. Pancaran iris mata cowok itu terlihat begitu indah. "Apa buku kamu hilang waktu di sekolah?"
Nadya tertunduk. Cewek itu meneguk ludah dan menghela napas, kemudian mengangguk. "Tadi malam udah kumasukin ke dalam tas, Aldo, terus di rumah tadi pagi sebelum kamu datang juga aku periksa lagi. Aku yakin banget itu ada di tas, tapi nggak tau kenapa tadi pas mau ngumpulin malah nggak ada."
Aldo menatap Nadya dengan intens. Cowok itu kemudian menghadap ke depan dan bernapas samar.
"Aku nggak bakal tenang belajar di kelas kalo kamu berdiri di luar, Nad," ujar Aldo pelan. Nadya langsung menatap Aldo dan lagi-lagi cewek itu terperangah. Setelah itu, Aldo melanjutkan, "dan aku juga nggak tau apa aku bisa belajar dengan tenang kalau kamu nggak ada di kelas. Satu kelas dengan kamu ngebuat aku mulai berpikir kalo kelas tanpa kehadiran kamu itu rasanya aneh."
Nadya merona. Mata Nadya berkedip perlahan dan dari pandangan mata Nadya, tersirat dengan baik bahwa cewek itu benar-benar tak menyangka. Ia tak menduga bahwa Aldo merasakan hal yang seperti itu dan itu benar-benar di luar perkiraannya. Ia tak percaya, benar-benar tak percaya dengan apa yang baru saja Aldo katakan.
Tak tahukah Aldo bahwa kalimat itu membuat perasaan Nadya menghangat dan jantung Nadya berdebar?
Setelah keheningan yang terjadi selama beberapa detik lamanya, Nadya akhirnya memutuskan untuk membuka suara. Ada sesuatu yang mendadak ingin ia tanyakan, meskipun ia tak tahu apakah suara itu terdengar aneh dan serak karena jantungnya sedang berdebar tak keruan. "Aldo—kamu...kenapa kamu nggak ngobrol sama aku dengan panggilan 'lo-gue' waktu pertama kali kamu ngehampirin aku di pohon yang ada di belakang sekolah itu?" tanya Nadya dengan hati-hati. "Aku memang jarang ngobrol sama kamu, 'kan? Selama ini juga cuma pernah ngomong singkat sama kamu kalo dapat tugas kelompok yang sekelompok sama kamu. Itu pun, kita nggak bener-bener 'ngobrol'. Cuma ngomongin tugas. Ngomongnya pun pake manggil nama."
Aldo menatap ke arah Nadya perlahan. Cowok itu melihat Nadya melanjutkan, "Kalo aku pikir-pikir, kayaknya waktu di belakang sekolah itu adalah pertama kalinya kita bener-bener ngobrol, 'kan?" Nadya tersenyum pada Aldo. "Aku heran aja kok kamu nggak pakai lo-gue."
Aldo berkedip sebentar. Dua detik kemudian, cowok itu tersenyum begitu manis. Ia menatap Nadya dengan wajahnya yang tampak begitu bercahaya di mata Nadya...dan tanpa sadar, Nadya merona lagi. Aldo sangatlah tampan.
"Aku dari dulu ngerasa kalo aku nggak bisa ngomong 'lo-gue' ke kamu, Nad," ujar Aldo pelan. Cowok itu kemudian memiringkan kepalanya. "karena kamu itu ngebuat aku berpikir kalo kamu terlalu berharga untuk di'lo-gue'in."
Saat angin berembus menerpa wajah Nadya, saat itulah Nadya kembali merona karena ucapan Aldo. Mata Nadya membulat. Jantung Nadya tak berhenti berdegup kencang, seolah-olah degupan itu sampai mampu membuat tubuh Nadya bergetar hebat. Waktu seolah berhenti, betis Nadya terasa bagaikan selembut plastisin. Satu hal lagi, lidah Nadya juga jadi terasa kelu. Ia bahkan tak tahu apakah ia benar-benar bernapas atau mungkin lupa bernapas untuk beberapa saat lamanya.
Aldo kemudian melanjutkan, "Oleh karena itulah, aku mutusin buat nemenin kamu di sini dan dihukum bareng kamu. Aku nitipin bukuku di dalem tas Rian dan aku bilang sama Bu Evi kalo aku nggak bawa buku PR-ku. Nggak apa-apa, 'kan, Nad?" tanya Aldo, cowok itu menatap Nadya seraya tersenyum manis. Bahkan mata Aldo nyaris tertutup dan melengkung, seolah ikut tersenyum.
Kontan mata Nadya terbelalak. Tubuhnya menegang hebat. Cewek itu langsung menganga dan panik. "Hah? Aldo—kamu—kamu ngerusak reputasi kamu, lho! Kamu, kan, bawa PR-nya! Kamu buat apa ke luar kelas? Ayo masuk, nanti kubilangin sama Bu Guru! Nanti kamu—"
Aldo menepuk puncak kepala Nadya dan hal itu kontan membuat Nadya terdiam. Nadya langsung menatap tepat ke kedua bola mata Aldo dengan mata cewek itu yang membulat.
"Aku bukan orang yang mentingin reputasi, Nadya," ujar Aldo.
Nadya tertunduk. Ia ingin menjawab, tetapi tiba-tiba lidahnya kelu lagi. Ia merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba merona karena Aldo ternyata melakukan semua itu untuknya. Akan tetapi, sekali lagi akal sehatnya mulai mengambil alih. Aldo tidak boleh melakukan hal seperti ini.
Ternyata Nadya benar-benar jatuh cinta pada Aldo. Nadya...sudah jatuh ke dalam pelukan Aldo. Meskipun Aldo tak pernah mengatakan cinta padanya, meskipun ia sampai sekarang masih membutuhkan jawaban yang benar-benar jelas dari Aldo, ia tetap saja jatuh cinta terlebih dulu kepada Aldo.
"Lagi pula..." ujar Aldo pelan, cowok itu kembali menghadap ke depan dan bersandar di dinding kelas. "aku masih pengin tau ke mana hilangnya buku kamu." []
ns 15.158.61.45da2