******
Chapter 2 :
Baisemain20Please respect copyright.PENANAWqvDWDbmd5
******
20Please respect copyright.PENANA156yLVdaja
TEPAT setelah Kanna mengatakan itu, kontan saja kedua mata Riley membulat sempurna.
Menyadari reaksi Riley, Kanna lantas merutuki dirinya sendiri di dalam hati. Sial! Pasti Riley kaget sekali! Ah, apa aku terlalu berlebihan, ya? Aku terlalu terbawa suasana, sementara Riley belum tentu mau!
Akan tetapi, di luar dugaan Kanna, mendadak ekspresi Riley berubah. Kedua matanya menatap Kanna dengan tatapan lembut. Bukan hanya terlihat begitu lembut dan…penuh kasih, dia juga terlihat sangat lega. Dia tersenyum pada Kanna, senyuman yang mampu memberitahu Kanna bahwa ia sedang senang, lega, dan juga kagum kepada Kanna. Kagum, bangga, atau sesuatu sejenis itu. Seolah ia tak pernah menemukan manusia seperti Kanna sebelumnya.
Ekspresi lembutnya itu jelas membuat Kanna terperangah. Kanna terdiam, mulutnya sedikit terbuka. Kedua mata Kanna melebar; ia benar-benar terpesona dan tak menyangka. Di luar dari apa pun jawaban Riley nantinya, Kanna kini kembali mengakui bahwa Riley ini memang benar-benar tampan. Apakah Riley bahkan sadar bahwa dia memiliki paras yang begitu indah?
Bukan Kanna yang seperti malaikat. Riley-lah yang seperti malaikat! Sosoknya bersinar sekali bagai baru saja turun dari surga.
Walau tadi Kanna sempat menyesali tawaran yang keluar dari mulutnya, kini ia kembali ingat mengapa tadinya ia menawarkan hal itu kepada Riley.
Entah apa pun itu yang terjadi pada kehidupan Riley—hingga ia telantar di taman itu—yang jelas bagi Kanna, Riley ini terlihat seperti sehelai kertas putih yang masih polos. Di mata Kanna, Riley terlihat seperti seseorang yang benar-benar innocent, tidak pernah mengetahui dunia luar, tidak bisa membedakan mana orang yang jahat dan mana orang yang baik, serta tidak pernah berinteraksi dengan orang banyak. Inilah yang membuat Kanna merasa seperti dia harus…merawat Riley.Harus mengurusnya. Melindunginya.
Orang seperti Riley terlalu berbahaya untuk dibiarkan berkeliaran seorang diri. Di luar sana banyak orang jahat...bukan?
Riley mirip seperti sebuah kanvas putih. Benar-benar masih lugu.
Mereka berdua saling bertatapan dengan intens. Ada sesuatu yang seolah menarik Kanna untuk terus menatap wajah Riley. Kedua mata berwarna mint milik pemuda itu, wajah tampannya, senyum lembutnya, keindahan dan kepolosannya…
Namun, beberapa saat kemudian, Riley akhirnya mulai bersuara. Matanya masih menatap Kanna dengan penuh kasih.
Dengan suara yang lembut…pemuda itu pun berkata, “Kau benar-benar seperti malaikat, Kanna.”
Suaranya terdengar begitu khas. Serak. Bariton. Di luar penampilannya yang terlihat begitu polos, dia ternyata memiliki suara yang sangat…bagus. Suaranya adalah jenis-jenis suara yang sangat ingin kau dengarkan ketika sedang sleep call atau pillow talk. Suara yang akan membuat hatimu meleleh secara instan. Membuatmu semakin sayang dan semakin terlena. Begitu dalam, lembut, dan menenangkan. Memanjakan telinga.
Kanna masih diam. Dia masih terpesona.
“Aku berencana untuk menjagamu dari kejauhan sebagai rasa terima kasih,” lanjut Riley kemudian. Pemuda itu lalu tersenyum seraya memiringkan kepalanya. “tetapi karena kau menawarkanku untuk tinggal bersamamu…aku sangat bersyukur.”
Belum sempat Kanna bereaksi apa pun, Riley mulai beringsut semakin mendekat kepada Kanna dan meraih tangan kanan gadis itu. Riley menggenggam tangan kanan Kanna, mengangkatnya, lalu mengarahkan jemari tangan gadis itu ke arah bibirnya. Ia mencium jemari tangan Kanna.
Kanna lantas semakin melebarkan mata.
Setelah bibir Riley melepaskan ciumannya dari tangan Kanna, pemuda itu pun kembali tersenyum lembut. Ia mengangkat kepalanya dan kembali memandangi wajah Kanna. Tatapan matanya masih sama. Ia seakan tengah melihat seorang dewi, malaikat—atau apa pun itu—yang begitu ia kagumi, begitu ia banggakan, dan begitu berarti di dalam hidupnya.
“Aku akan melayanimu,” ujar Riley kemudian. “Biarkan aku melayanimu, Kanna.”
Akan tetapi, tepat setelah mendengar kata-kata Riley tersebut, tiba-tiba Kanna tersadar. Spontan saja tubuh gadis itu menegang; mulutnya menganga lebar. Ia langsung menegakkan posisi tubuhnya dan menarik tangan kanannya dari genggaman Riley, lalu langsung menggerakkan kedua tangannya ke kanan dan ke kiri dalam tempo cepat sebagai pertanda penolakan. Kanna bahkan membuat gestur menyilangkan kedua tangannya membentuk ‘X’ tepat di depan tubuhnya. Gadis itu jadi panik bukan main.
“Tidak tidak tidak!! Astaga, Riley, tidak!” teriak Kanna panik, sukses membuat Riley jadi terlihat agak bingung. Pria itu tampak memiringkan kepalanya dan menaikkan kedua alisnya hingga matanya membulat lucu seperti kelinci.
Kanna menggigit bibirnya gelisah, mengerutkan dahinya, lalu melanjutkan, “Bukan begitu, Riley. Aku tidak menyuruhmu tinggal di sini untuk melayaniku! Ma—maksudku, kau boleh tinggal di sini, hidup seperti biasa. La—lagi pula, aku…”
Mendadak wajah Kanna merona. Gadis itu membuang muka dan tak mampu melanjutkan perkataannya. Dia hanya kembali menggigit bibirnya, tetapi kali ini bukan karena gelisah, melainkan karena malu.
“Aku…?” tanya Riley dengan mata bulatnya, pemuda itu menatap Kanna dengan tatapan ingin tahu.
“Aku…” Kanna perlahan menoleh ke arah Riley lagi, tetapi gadis itu masih tertunduk. Masih enggan menunjukkan wajahnya sepenuhnya kepada Riley.
Akhirnya, setelah dua detik lamanya, Kanna pun melanjutkan.
20Please respect copyright.PENANACclUgBXmZp
“Aku…kesepian.”
20Please respect copyright.PENANA0vy0dI0OK3
Tak ayal, kedua mata Riley kontan membeliak. Kini gantian Riley yang terperangah.
Kanna…kesepian?
Tepat setelah mengatakan itu, Kanna perlahan mulai mengangkat wajahnya. Gadis itu menatap Riley dengan kedua mata yang tampak sangat polos. Bibirnya tertarik ke bawah, agak merajukkarena terlalu malu.Matanya jernihnya itu terlihat agak berkaca-kaca dan tampak…memelas. Seperti anjing kecil.
Tanpa Kanna sadari, jemari tangan sebelah kanan milik Riley tampak sedikit bergetar tatkala melihat ekspresi Kanna itu. Jemari tangannya bergerak kecil. Seakan ingin melakukan sesuatu, tetapi ia tahan dengan sekuat tenaga. Karena memutuskan untuk menahannya, pemuda itu pun lantas mengepalkan tangannya.
Riley mulai tersenyum manis lagi pada Kanna.
“Aku senang mendengarnya, Kanna,” jawab Riley. “tetapi aku tak ingin menjadi bebanmu. Anggaplah ini sebagai caraku berterima kasih.”
Riley lalu kembali meraih jemari tangan kanan Kanna dan menciumnya. “Please use me, Kanna.”
Kanna terkesiap. Ia kaget sekaligus bingung setengah mati!
Ya Tuhan, apa ini? Kanna harus bagaimana? Harus menjawab apa? Terus terang saja, Kanna memang tak pernah berniat untuk ‘memanfaatkan’ atau ‘menggunakan’ Riley. Dia tak pernah berpikir untuk menjadikan manusia lain, terutama manusia yang membuatnya tertarik, untuk menjadi pelayannya!
Riley menatap Kanna dengan penuh pengertian. Dia lalu mencoba untuk meyakinkan Kanna dan berkata, “Kalau kau tidak ingin aku jadi pelayanmu…maka kau bisa menggunakanku untuk hal yang lain. Mintalah aku untuk melakukan sesuatu, apa pun itu, Kanna. Ini permintaanku kepadamu sebagai penyelamatku.”
Kanna memandangi Riley sebentar, lalu gadis itu lantas tertunduk. Ia kembali menggigit bibirnya karena bingung. Isi kepalanya kalut selama beberapa saat. Alisnya menyatu dan dahinya berkerut; ia tengah berpikir keras.
Eh, tetapi…tunggu sebentar.
Riley tadi bilang… ‘melakukan sesuatu, apa pun itu’, bukan?
Berarti…
“Baiklah,” ujar Kanna tiba-tiba, gadis itu langsung mengangkat kepalanya kembali dan menatap Riley lurus-lurus. Kedua matanya mendadak terlihat begitu berapi-api. Berkilat penuh semangat. Dipenuhi dengan tekad. Dia kini sudah yakin harus mengatakan apa.
“Kalau begitu…kau bisa membantuku beres-beres rumah,” ujar Kanna. “Selain itu, pekerjaanmu simpel: pertama, kau hanya harus makan dan minum dengan teratur. Kedua, hiduplah dengan baik agar tubuhmu sehat. Lakukan itu untukku.”
Riley sontak membulatkan kedua matanya. Pemuda itu terdiam sepenuhnya.
Namun, sesaat kemudian, pemuda itu lantas tersenyum. Dia kembali tersenyum lembut pada Kanna. Dia menatap Kanna dengan penuh ketertarikan. Penuh kekaguman. Penuh dengan afeksi.
“Kanna, you’re so cute…” puji Riley dengan lembut. “Belum pernah ada orang yang menyuruhku untuk makan, minum, serta hidup dengan baik…”
Wajah Kanna serta-merta memerah. Dia langsung ingin memalingkan wajahnya dari Riley, tetapi Riley langsung memegang pipinya. Otomatis mereka jadi kembali berhadapan.
…dan kali ini, wajah mereka jadi sangat berdekatan karena Riley ternyata telah mendekatkan wajahnya ke arah Kanna. Wajah tampannya itu terlihat bersinar. Bercahaya. Indah. Bagaikan sesuatu yang terlihat begitu jauh untuk dapat digapai oleh kedua tangan Kanna; bagaikan sesuatu yang bukan berasal dari dunia ini. Wajah pemuda itu juga terkena serpihan sinar matahari yang menerobos masuk melalui celah jendela kamar.
Wajah mulus milik Riley itu tak memiliki kecacatan sama sekali. Wajahnya juga sudah memiliki rona sejak diselamatkan oleh Kanna semalam.
Oh, Tuhan. Kanna lagi-lagi sadar bahwa: ada seorang laki-laki yang tadi malam tidur bersamanya. Laki-laki itu sekarang sedang mengobrol dengannya di atas ranjang, tengah berpakaian rumahan, hanya memakai kaus putih polos dan celana training abu-abu. Laki-laki itu berwajah tampan, memiliki rambut yang di-bleaching putih—mungkin—seperti seorang idola atau karakter komik. Helaian rambutnya itu tampak jatuh; tidak ikal dan tidak tegak-tegak. Rambut itu tampak begitu halus dan lembut, polos khas baru bangun tidur.
Situasi mereka yang seperti roommate ini membuat Kanna jadi semakin gugup. Dia salah tingkah. Pipinya semakin merona.
Namun, Riley masih tersenyum. Seraya mengusap pipi Kanna dengan lembut menggunakan jempolnya, ia pun berkata, “Kalau begitu, aku akan membuatkanmu sarapan, ya.”
20Please respect copyright.PENANA5QOQtYPWLB
******
20Please respect copyright.PENANAJcuj1oMroh
Kanna menghidupkan shower dengan cepat, lalu ketika air dari shower itu mengguyur tubuhnya, ia langsung menempelkan kedua tangannya ke dinding kamar mandi dengan kencang (hampir seperti memukul dinding itu). Setelah itu, ia lantas merundukkan kepalanya, lalu memelotot dan berteriak secara internal. Mulutnya terbuka lebar. Ekspresinya panik bukan main.
AAAARGGHHH!!!! BAGAIMANA INIII??!! APA YANG BARU SAJA TERJADIII??!!
HUAAAA!! AKU SEKARANG TINGGAL BERSAMA LAKI-LAKI!! SERIUS, NIH?!!! WTF AM I DOING?! WHY DID I LET A GUY LIVE WITH ME THAT EASY?! MENGAPA AKU PERCAYA BEGITU SAJA DENGAN LAKI-LAKI YANG BARU KUTEMUI?!
Kanna hampir saja mengantukkan kepalanya pada dinding kamar mandi kalau saja dia tidak ingat bahwa dinding itu terbuat dari granit. Dia bisa-bisa masuk IGD terlebih dahulu sebelum bisa mencecap bagaimana rasanya tinggal bersama laki-laki tampan.
Jadi, sebelum Kanna pergi ke kamar mandi, dia dan Riley sudah membuat sebuah kesepakatan sederhana. Riley akan memasak sarapan, sementara dia akan mandi dan bersiap-siap karena mau berangkat ke kantor. Namun, kalau begini…rasanya seperti pengantin baru saja. Sial, pikiran Kanna jadi ke mana-mana! Dinginnya air yang mengucur dari shower itu ternyatatak mampu untuk meredakan panas di pipinya. Dia merona bukan main.
Kanna mandi dengan terburu-buru. Dia tak lagi peduli apakah tubuhnya benar-benar bersih atau tidak, yang jelas dia hanya memastikan bahwa tidak ada lagi busa yang menempel di tubuhnya. Asal busanya hilang dan dia sudah gosok gigi, maka dia sudah oke untuk ke luar. Saat ini jantungnya terlalu berdebar-debar dan ia tak mau berlama-lama di kamar mandi atau ia akan terlambat ke kantor karena terlalu lama salah tingkah.
Tatkala sudah memastikan tubuhnya mengenakan bathrobe dengan sempurna, Kanna pun keluar dari kamar mandi. Begitu ia membuka pintu kamar mandi, aroma masakan yang enak dari dapur langsung tercium di hidungnya. Ini…aroma omelette. Kanna menghirup aromanya seraya memejamkan mata. Wah, sepertinya enak sekali.
Mendadak perut Kanna jadi sangat lapar. Berhubung lokasi kamar mandi sebenarnya tidak jauh dari dapur (hanya berjalan beberapa langkah), maka Kanna pun langsung pergi ke dapur.
Di dapur, Kanna melihat Riley yang sedang menuangkan saus ke atas dua piring berisi omelette. Omelette-nya terlihat sempurna.
Ketika mendengarkan langkah kaki Kanna, Riley pun menoleh. Begitu sepasang mata berwarna mint miliknya melihat sosok Kanna yang berjalan menuju ke arahnya, Riley pun tersenyum semringah. Wajahnya tampak berseri-seri. Sinar mentari yang masuk melalui jendela dapur mendadak lari semua ke wajahnya. Dia terlihat begitu bersinar…
Kanna langsung memalingkan wajahnya sebentar dan memejamkan matanya kuat-kuat. Pipinya merona lagi. Dalam hatinya ia langsung berkata, ‘Sial, tampan sekali! Malaikat macam apa yang sedang ada di rumahku ini??!’
“Ah, Kanna,” panggil Riley dengan gembira. Kanna pun sontak menoleh ke arah Riley lagi dan menemukan bahwa pemuda itu tengah tersenyum semakin lebar ke arah Kanna hingga memperlihatkan barisan giginya. Lord, why is he so cute?!
“I—iya, Riley,” jawab Kanna. Gadis itu berusaha untuk menormalkan ekspresinya kembali, lalu berdeham. Dia tidak boleh kelihatan salah tingkah terus, takutnya nanti Riley jadi tidak nyaman. “Kau…sudah selesai, ya?”
“Uh-hm!” jawab Riley. “Aku berusaha untuk membuat sesuatu yang simpel agar tidak membutuhkan waktu yang lama. Kau mau berangkat kerja soalnya. Apakah kau suka omelette?”
Kanna melebarkan mata. “Ah—iya, iya. Aku suka.” Apalagi kalau kau yang memasaknya.
Kanna akhirnya berdiri di dekat meja makan. Dia dan Riley kini berdiri berseberangan, tubuh mereka dipisahkan oleh meja makan yang berwarna krem. Riley meletakkan botol saus yang tengah ia pegang ke atas meja, lalu melihat Kanna dengan tatapan lembut dan berkata, “Kau boleh bersiap-siap terlebih dahulu. Aku akan menunggumu.”
Kontan Kanna terperanjat. Oh, iya! Dia belum berpakaian! Astaga!
Seraya merona, Kanna pun menarik bagian leher bathrobe-nya agar menutupi seluruh bagian leher hingga dadanya, padahal sejak tadi tidak ada sedikit pun bagian dadanya yang terlihat. Gadis itu pun langsung panik dan cepat-cepat berjalan meninggalkan dapur seraya berkata, “A—aku pakai baju dulu. Tunggu, ya. Tunggu! Aku hanya sebentar!!”
Kanna langsung terlihat seolah melesat ke kamarnya dengan tanpa rem. Dia langsung terburu-buru menutup pintu kamarnya ketika sudah berhasil masuk ke dalam kamar.
Riley memperhatikan gerakan mengebut Kanna hingga sosok gadis itu tak terlihat lagi di pandangan matanya. Tepat ketika Riley mendengar suara pintu—pintu kamar Kanna—yang tertutup, Riley pun menghela napas dan tersenyum lembut.
Ada-ada saja.
Kanna ini…imut sekali.
Akan tetapi, dua detik kemudian, senyuman Riley perlahan menghilang. Memudar. Tatapan matanya yang tadinya selalu menatap Kanna dengan lembut, kini berubah menjadi tatapan dingin yang penuh dengan intimidasi. Dia seakan memenjarakan segala sesuatu yang ada di dalam jarak pandangnya. Untuk saat ini, matanya fokus menatap pintu kamar Kanna.
Seharusnya Kanna tidak usah pergi ke mana-mana.
20Please respect copyright.PENANAgjgQJUxoor
******
20Please respect copyright.PENANArZYFADgfM6
Kanna keluar dari kamarnya dan langsung menemui Riley kembali. Dia lantas pergi ke meja makan—yang sebenarnya terletak beberapa langkah di depan dapur—karena ia tahu bahwa Riley pasti menunggunya di sana. Dia kini sudah memakai setelan blazer hitam serta rok pendek hitamnya. Ia memakai stocking berwarna hitam, lalu kemeja berwarna putih. Rambutnya dikuncir satu saja karena dia tidak punya banyak waktu. Tadi dia sudah bilang pada Riley bahwa dia tidak akan lama. Dia bahkan belum memakai makeup. Nanti saja.
Begitu Kanna sampai di meja makan, Riley langsung menyambutnya dengan senyuman. Pemuda itu sudah duduk di salah salah satu kursi yang ada di meja makan itu dan Kanna membalas senyumannya.
“Maaf. Lama, ya?” tanya Kanna seraya menarik kursi yang ada di seberang Riley.
Riley menggeleng. Ia tersenyum semakin manis. “Tidak kok. Ayo makan.”
“Iya,” jawab Kanna. Ia pun lalu mengambil sendok yang sudah disiapkan oleh Riley dan mengangguk. “Selamat makan.”
“Selamat makan,” ucap Riley. Mereka berdua pun mulai menyendok suapan pertama.
Begitu suapan pertama itu sampai di dalam mulut Kanna, Kanna kontan memelotot. Matanya langsung berbinar-binar. Wajahnya jadi berseri-seri.
Astaga, ini enak sekali!
Omelette-nya lumer di dalam mulut. Di dalamnya juga…ada nasi goreng. Lho, ini omurice!
“Hmmmmmmm!!” teriak Kanna secara refleks. Ia memegangi sebelah pipinya sendiri seolah sedang kesengsem. “Riley, ini enak sekaliiii!!”
Melihat reaksi Kanna, Riley awalnya agak melebarkan mata. Namun, ketika pemuda itu menyaksikan Kanna yang mulai memejamkan mata seakan benar-benar tengah menikmati masakannya, ia pun tersenyum lega. Dia terlihat semringah, lalu mengembuskan napasnya seolah ada satu beban yang akhirnya ia lepaskan dari sana.
“Terima kasih, Kanna,” jawab Riley. “Tadi aku benar-benar takut kau tidak akan menyukainya. Namun, syukurlah kalau kau suka… Aku senang. Haha…”
Kanna kontan membuka matanya kembali. “Apa yang kau bicarakan?! Ini enak sekali, kau tahu! Kau sangat pintar memasak, Riley! Di mana kau belajar memasak??!” Kanna memajukan tubuhnya, matanya membulat penasaran. Dia terlihat benar-benar excited sekarang.
Melihat itu, Riley jadi memiringkan kepalanya dan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Pemuda itu pun terkekeh pelan, meluruskan kepalanya kembali, lalu melihat Kanna seraya tersenyum.
“Aku…lumayan sering memasak untuk diriku sendiri. Aku juga sering melihat resep-resep…” jawab Riley, dia terlihat agak ragu tatkala menceritakan hal itu kepada Kanna. Namun, Kanna yang sedang penasaran bukan main kini justru melongo. Satu hal yang ada di pikiran Kanna saat ini adalah:
Oh dear God in heaven, this guy is so precious. Please please please please just—
Wajah Kanna betul-betul blank saat bertanya, “Riley, apakah seseorang pernah mencoba untuk menculikmu?”
Kontan mata Riley membulat.
Mereka sama-sama diam selama dua detik, lalu…
“Hahahaha!” Riley tertawa. Ia benar-benar tertawa lepas. Tawanya sukses membuat Kanna meraih kesadarannya kembali, tetapi kesadarannya itu lagi-lagi direnggut karena ia mulai terpesona melihat Riley yang sedang tertawa.
Ya Tuhan. Ini luar biasa. Nikmat mana lagi yang kau dustakan, wahai Kanna.
Entah mengapa Kanna mendadak seolah melihat ada sayap imajiner yang melebar di punggung Riley. Seakan ada bunga-bunga juga yang jadi latar belakang sosoknya. Ada bunga-bunga, ada kupu-kupu, dan…ada dua cupid yang sedang meniup terompet.
Aaaahhhh! Tampan sekaliii! Bungkus!
“Kanna ini ada-ada saja,” ujar Riley seraya masih mencoba untuk menghentikan tawanya. Ketika tawanya benar-benar berhenti, ia pun tersenyum lebar kepada Kanna. “Kau begitu menggemaskan.”
Kanna merona. Ia langsung sadar bahwa pertanyaannya tadi terdengar tolol setengah mati. Namun, mau bagaimana lagi? Itulah hal pertama yang terlintas di kepalanya beberapa saat yang lalu. Riley ini terlalu polos dan terlalu…unreal. Terlalu sayang untuk dibiarkan.
Bisa-bisanya Riley telantar di taman itu semalam. Untung saja Kanna menemukannya lebih dulu.
Ya…siapa cepat dia dapat, dong.
“Habisnya…” Kanna tak melanjutkan kalimatnya karena malu, dia tak ingin menyuarakan isi pikirannya yang tak-boleh-diketahui itu kepada Riley.
Riley tersenyum geli. Namun, sesaat kemudian, Riley memiringkan kepalanya dan bertanya, “Kanna suka makan apa? Lain kali aku akan mencoba untuk memasak makanan favoritmu.”
Kanna melebarkan matanya. “Eh? Aku…? Umm…”
“Hmm?” deham Riley lembut, menunggu jawaban Kanna. Kanna hampir meleleh karena mendengar suaranya, tetapi gadis itu tetap berusaha untuk fokus. Dia tampak meletakkan jemarinya di dagu dan melihat ke arah lain; dia sedang berpikir.
Sesaat kemudian, dia pun menatap ke arah Riley kembali. “Aku suka… Hamburger steak!”
“Oooh…begitu, ya,” jawab Riley. Pemuda itu mengangguk perlahan. “Kalau…dessert-nya?”
Kanna tersenyum lebar. Kali ini ia menjawab dengan cepat dan yakin, “Apa pun, yang penting ada coklatnya.”
Riley terkekeh. “Baiklah. Aku akan mempelajari banyak resep untukmu.”
“Sebenarnya, kau tak perlu…” Kanna mulai berbicara dengan sendu karena dia tak ingin melihat Riley kesulitan, tetapi Riley langsung meletakkan jari telunjuknya di depan bibir Kanna dan menggeleng. “Sssh… Kanna, kita sudah bicara soal ini. Tolong biarkan aku melakukannya, ya?”
Akhirnya, Kanna yang tadinya membelalakkan mata—karena jari telunjuk Riley menempel pada bibirnya—kini mulai menghela napas pasrah. Begitu jari telunjuk Riley menjauh dari bibirnya, Kanna pun berbicara, meskipun terdengar sedikit merajuk, “Baiklah…”
Riley tersenyum. “Kau pulang jam berapa, Kanna?”
Mereka mulai menyuap potongan omelette ke dalam mulut mereka masing-masing, lalu Kanna menjawab, “Hmm…biasanya sore. Jam lima sore. Hari ini juga begitu.”
Diam sejenak. Mereka sama-sama makan selama beberapa detik; tidak ada jawaban sama sekali dari Riley.
Hingga akhirnya, setelah diam selama enam detik lamanya, tiba-tiba suara Riley terdengar.
20Please respect copyright.PENANA5iKiKV7oZN
“Kau akan kembali, ‘kan?”
20Please respect copyright.PENANAjDePB5nnbt
“Eh?” Kanna kontan menoleh ke arah Riley dan melebarkan kedua matanya. Ia melihat Riley tengah menatapnya, tetapi dengan tatapan mata yang…agak berbeda. Pemuda itu kali ini terlihat serius. Tidak ada senyuman di wajah tampannya. Ia bagai menjebak Kanna menggunakan tatapan matanya dan entah mengapa itu berhasil membuat tubuh Kanna jadi mematung. Kanna seakan jadi tidak kuasa untuk bergerak dengan bebas. Tekanannya membuat Kanna terbelenggu. Gadis itu mencoba untuk mencerna pertanyaan dari Riley sejenak.
Namun, pada akhirnya, Kanna mencoba untuk menguasai dirinya. Dia sendiri heran mengapa tubuhnya tadi jadi refleks mematung, padahal…apa juga yang bakal terjadi? Tidak ada apa-apa di sini. Hanya ada Riley yang polos. Pasti tubuh Kanna-lah yang sedang eror.
Mencoba untuk menghilangkan suasana yang tegang dan canggung itu, Kanna pun tersenyum. “Y—ya, tentu saja. Memangnya kenapa, Riley?”
Riley diam.
Setelah bungkam selama tiga detik lamanya, pemuda itu lalu tersenyum.
Ia pun kembali bersuara.
20Please respect copyright.PENANAi7VbRnhSb5
“Aku akan menunggumu.”
20Please respect copyright.PENANAM5Ag4YhHps
Kedua mata Kanna membeliak. Kanna sadar bahwa kalimat Riley kali ini terdengar berbeda, meskipun pemuda itu masih mengucapkannya dengan suara dan nada yang sama. Pemuda itu tersenyum manis, kedua kelopak matanya nyaris tertutup seakan ikut tersenyum. Ia masih berbicara dengan suara lembutnya dan dengan nada ramahnya. Semuanya sama seperti sebelumnya, tetapi mengapa…yang kali ini terdengar dan terasa agak berbeda?
Meskipun demikian, Kanna menepis segala perasaan itu. Dengan wajah yang semringah, Kanna pun tersenyum manis, membalas senyuman Riley. “Baiklah. Tunggu aku, ya.”
20Please respect copyright.PENANAigujcsiPZv
******
20Please respect copyright.PENANAZMS1bfjGWK
Your data has been saved successfully!
20Please respect copyright.PENANAMc4qGhUQeF
Dialog box itu muncul tatkala Kanna baru saja selesai menyimpan data yang sejak tadi ia input ke website. Kanna langsung menghela napas lega.
Huah. Akhirnyaaaa! Akhirnya selesai juga.
Kanna meregangkan otot-otot tubuhnya dengan mengangkat kedua tangannya ke atas. Ia memejamkan mata, lalu memiringkan kepalanya ke kiri dan ke kanan. Lehernya terasa pegal-pegal semua.
Capek sekali, ya ampun. Akhirnya bisa pulang, deh!
Kanna tersenyum. Dia jadi ingat dengan Riley yang ada di rumah, tengah menunggunya. Ah, jantungnya jadi berdegup tak keruan. Dia jadi excited. Semangatnya naik drastis; lelah yang ia rasakan mendadak hilang begitu saja tatkala mengingat bahwa ada sosok Riley di rumah yang sedang menunggunya.
Ah, rasanya seperti pasangan suami is—
…ups. Mulai lagi, deh, imajinasi Kanna.
Kanna menggeleng, ia hampir saja tertawa. Gadis itu pun mulai mematikan komputernya dan membereskan meja kerjanya dengan semangat. Ia memasukkan barang-barang kecil bawaannya ke dalam tas seraya tersenyum. Ini sudah jam pulang, beberapa teman Kanna sudah pulang sejak beberapa menit yang lalu.
Tepat setelah selesai beres-beres, Kanna pun meraih tasnya dan menggantungkan tali tas selempang itu di pundaknya. Ia mulai berdiri dari kursinya dan baru saja mau belok ke kanan untuk keluar dari kubikelnya tatkala tiba-tiba ada seseorang yang memanggilnya.
“Kannaaa!!”
Kanna spontan menghentikan langkahnya. Matanya melebar, tubuhnya terdiam sejenak. Namun, akhirnya Kanna mulai mengangkat kepalanya untuk melihat ke asal suara. Itu seperti…suara Bu Erika, Sekretaris Bos.
Belum sempat Kanna menjawab panggilan tersebut, tiba-tiba Kanna melihat ada seseorang yang lewat di depan kubikelnya. Hanya terlihat rambutnya, tetapi Kanna tahu bahwa orang itu sedang menuju ke arah kubikelnya. Kedua mata Kanna pun lantas mengikuti pergerakan rambut orang tersebut.
Orang itu pun akhirnya belok dan berjalan di samping kubikel Kanna. Tiga detik kemudian, orang itu pun akhirnya sampai di kubikel Kanna dan benar-benar berhadapan dengan Kanna. Dia berdiri di dekat sisi yang terbuka pada kubikel Kanna, lalu dia mulai mengetuk dinding kubikel Kanna yang terbuat dari papan phenolic.
“Ya, Bu?” jawab Kanna karena dia kini sudah yakin bahwa orang yang memanggilnya tadi adalah Bu Erika. “Ada apa, Bu?”
Bu Erika pun tersenyum canggung, ia tampak merasa tidak enak. “Ah…kau sudah mau pulang, ya.”
“Ah—iya, Bu, haha…” Kanna menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, lalu tertawa hambar. “Memangnya ada apa, Bu?
Bu Erika menghela napasnya lembut. “Begini, Kanna. Bos kita ada presentasi dadakan besok. Maaf aku sudah menganggu jam pulangmu, tetapi…presentasi itu harus selesai malam ini, Kanna. Bos mengatakan bahwa dia akan rapat bersama kita—staf-staf yang terlibat—sebentar lagi. Sayang sekali kau belum boleh pulang, Kanna… Hari ini kau lembur dulu, ya?”
Kanna spontan saja melebarkan kedua matanya.
Lembur?
Ah, siaaaal…
Kemarin Kanna sudah lembur. Hari ini lembur lagi?
Siaaaaaaaalllll, padahal sudah semangat sekali mau pulang…
Kanna tertunduk. Gadis itu merutuk kesal dalam hati. Ia menggigit bibirnya, menahan diri untuk tidak mengeluarkan erangan kecewa di depan Bu Erika.
Aiiishhh. Pengin pulang…huaaaaa!
Mendadak kedua mata Kanna melebar penuh. Oh iya, Riley! Bagaimana dengan Riley?! Kanna sudah bilang pada pemuda itu bahwa Kanna hari ini pulang jam lima sore. Kalau lembur begini, Kanna pasti akan pulang telat! Aduh! Bagaimana ini?!
20Please respect copyright.PENANAzg1soNsNo5
******
20Please respect copyright.PENANAUUKacsGc65
Kanna berjalan menuju ke rumahnya dengan langkah gontai. Seluruh tubuhnya terasa begitu lelah, tulangnya seakan remuk semua. Begitu keluar dari kubikelnya tadi (setelah selesai lembur), Kanna sudah berjalan membungkuk dengan mata yang lelah. Dia benar-benar dibuat lembur hingga malam hari!! Hari ini dia kerja bagai kuda sampai-sampai seluruh energinya habis. Dia bahkan sudah tak semangat lagi berjalan kaki. Rasanya ia ingin langsung membanting tubuhnya ke kasur dan tertidur sampai besok siang. Sejak tadi ia sudah membayangkan betapa nikmatnya menjatuhkan tubuh letihnya itu ke atas ranjangnya yang empuk.
Aaaah, kapan sampainya ini? Mengapa rumah mendadak terasa jauh sekali?
Kanna melewati area kompleks rumahnya itu sendirian di dalam gelapnya malam, hanya diterangi oleh lampu-lampu jalan. Area kompleks itu terbilang aman. Jadi, Kanna tidak pernah menemui bahaya apa pun, meskipun dia selalu pulang sendirian.
Begitu sampai di depan pagar rumahnya yang terbuat dari kayu, Kanna pun membuka pintu pagar itu dan menutupnya kembali. Ia melewati halaman rumahnya yang luas. Halaman itu hanya berupa tanah kosong biasa, tetapi di pangkalnya (tepat di depan teras rumah) ada beberapa pot bunga yang Kanna buat berjajar. Rumah itu adalah rumah minimalis biasa yang terbuat dari kayu dan memiliki satu lantai, tetapi halamannya luas.
Begitu naik ke teras rumahnya, Kanna pun langsung melangkah ke pintu depan rumahnya dan mulai memegang kenop pintu. Ia menekan kenop pintu itu ke bawah, lalu mendorong pintunya. Pintu itu tidak dikunci. Ia memang meninggalkan kunci rumah karena kini di rumahnya ada Riley.
Akan tetapi, begitu Kanna membuka pintu itu separuh, alangkah terkejutnya ia ketika tiba-tiba saja pintu itu ditarik dengan kencang ke arah dalam. Ada tangan seseorang yang semakin membuka pintu itu agar pintu itu terbuka sepenuhnya. Kanna terperanjat, gadis itu sontak membulatkan mata. Ia langsung melihat ke arah kanan bawah; ia ingin melihat orang yang tengah menarik pintunya, lalu menemukan Riley di sana yang tengah duduk berlutut sembari mendongak ke arahnya dengan mata yang berkaca-kaca. Kedua mata pemuda itu tampak melebar penuh, lalu ia berteriak, “Kanna!”
Riley tampak seperti sedang duduk di balik pintu! Apa yang ia lakukan di sana?! Apa dia sudah duduk di sana sejak tadi?!
“Riley?!” ujar Kanna kaget, mata gadis itu masih membulat. Ia lantas melepaskan kenop pintu yang tengah ia pegang, lalu langsung melangkah mendekati Riley. Kanna baru saja mau merundukkan tubuhnya agar sejajar dengan posisi Riley tatkala tiba-tiba Riley berdiridan langsung memeluk tubuhnya,
Kini Kanna sudah memelotot sempurna. Riley merengkuhnya dengan erat, begitu erat, seakan-akan Kanna akan pergi atau kabur begitu saja apabila pelukan itu terlepas.
Apa…yang sebenarnya sedang terjadi?
Kanna mengangkat kedua alisnya. Dahinya berkerut. Meski terbata, Kanna berusaha untuk berbicara, “Ri—ley? Apa yang—”
Belum sempat Kanna menyelesaikan pertanyaannya, tiba-tiba saja tubuh Riley merosot ke bawah. Pelukannya ikut merosot ke bawah seakan-akan pemuda itu telah kehabisan energi. Riley terus merosot ke bawah hingga akhirnya pemuda itu kini jadi duduk bersimpuh di depan kaki Kanna. Kedua tangannya memegang betis Kanna dengan erat sampai-sampai Kanna merasa betisnya seperti sedang dicengkeram. Kepala Riley tertunduk; kening pemuda itu bersandar pada paha Kanna.
Ada sebuah isakan yang terdengar keluar dari bibir pemuda itu.
“Ah…syukurlah. Syukurlah…” ujar Riley seraya terisak. Dahi pemuda itu berkerut, tampak begitu tersiksa akan pikirannya sendiri. Pikirannya begitu kacau. Ia terlihat sangat frustrasi; air matanya jatuh ke lantai. Suaranya bergetar, ia terdengar seperti sedang gusar, takut, dan lega secara bersamaan. Dengan tangan yang bergetar—yang semakin mencengkeram betis Kanna—itu, pemuda itu pun kembali berbicara, “Kupikir—kupikir kau meninggalkanku. Kupikir ada yang tak kau sukai dari sikapku hari ini sehingga kau tak mau kembali…”
Kanna spontan tergemap. Kedua matanya lantas kembali membulat; gadis itu menganga. Ia langsung berjongkok dan memegang bahu Riley dengan kedua tangannya. “Riley?? Apakah kau baik-baik saja?! Astaga, maaf—maafkan aku!”
Riley tampak masih mengeluarkan air mata. Kanna langsung mengusap air mata pemuda itu dengan panik dan gusar; dahi Kanna berkerut dan ia terlihat merasa sangat bersalah pada Riley. “Maaf, Riley. Aku hari ini lembur dadakan… Tadi ada tugas tambahan dari kantor. Maaf, sungguh maafkan aku, Riley.”
Kanna benar-benar merasa bersalah. Ia tadi juga bingung bagaimana caranya memberitahukan soal lemburnya itu kepada Riley karena Riley tidak memiliki ponsel. Riley itu telantar, ingat?
Tepat satu detik setelah Kanna menjelaskan situasinya, dengan perlahan Riley mulai mengangkat kepalanya. Pemuda itu lantas melihat ke arah Kanna dan air mukanya perlahan berubah. Kedua matanya mulaiterlihat membulat dan berkilauan. Semburat di wajahnya mulai kembali. Ia lantas bertanya kepada Kanna, “Really? You mean it?”
Kanna menghela napas lega tatkala Riley berhenti menangis. Meskipun lega, tetap saja ia masih kepikiran dengan apa yang Riley alami hari ini karenanya. Baru kali ini ia membuat seorang pemuda menangis.
Riley ternyata…setakut itu Kanna meninggalkannya. Pemuda itu ternyata berpikir ke mana-mana hanya karena Kanna telat pulang. Mengapa Riley setakut itu? Bukankah…mereka baru bertemu selama satu hari?
Ada setitik perasaan aneh yang mampir di benak Kanna, tetapi otak Kanna mulai mencari-cari alasan yang tepat. Riley jadi seperti ini pasti ada hubungannya dengan apa yang telah pemuda itu alami selama hidupnya. Melihat Riley yang kemarin telantar sendirian, pasti kehidupannya bukanlah jenis kehidupan yang baik dan layak. Dia pasti tersiksa.
Kanna jadi semakin simpati. Gadis itu pun lantas mengangguk. “Yes. I’m so sorry. Mengapa kau menangis?”
Riley mulai menghapus sisa-sisa air matanya, lalu ia menatap ke arah Kanna lagi dengan matanya yang lembap itu. “I’ve been thinking of you the whole day. I’m—I’m so worried. I’ve been wondering what you’ve been up to, whom you’re talking with, what you were talking about… I’m going crazy.”
Kanna terkejut bukan main; ia tertegun. Apa—apa-apaan yang sedang Riley bicarakan? Apa yang sebenarnya sedang terjadi di sini? Mengapa pikiran Riley sampai sejauh itu?! Pemuda itu bahkan sampai memikirkan apa saja yang Kanna lakukan dan dengan siapa Kanna berinteraksi!
“Riley, just what—”
“I miss you,” ucap Riley tiba-tiba. Riley langsung menggenggam sebelah tangan Kanna yang tengah bertengger di bahunya itu. Kedua mata indah milik pemuda itu kini menatap ke arah Kanna dengan penuh permohonan. Matanya kembali berkaca-kaca. “Please don’t leave me, Kanna. Please…”
Kanna kontan membelalakkan mata. Dia mematung selama beberapa detik lamanya.
Ah, Kanna tiba-tiba jadi teringat sesuatu. Gadis itu ingat bahwa dulu sekali, ibunya pernah berpesan begini kepadanya:
“Kanna, jangan membawa masuk sembarang orang ke dalam rumahmu, ya. Kita tak tahu orang tersebut adalah orang yang seperti apa.” []
ns 15.158.61.6da2