Hari ini adalah hari keberangkatanku ke luar kota. Hari ini begitu kunantikan sejak lama. Tapi entah kenapa tersirat rasa sedih yang tak bisa tergambar di dalam hati. Entahlah, aku merasa berat meninggalkan kedua orangtuaku. Bagiku hari ini adalah hari awal dari hidup baruku. Hidup dimana aku harus belajar berdiri di kaki sendiri, mandiri, dan tentunya jauh dari orang tua. Melihat wajah mereka, aku tahu kesedihan mereka jauh melebihi kesedihanku. Juga adik-adikku, meskipun kami sering sekali berkelahi tapi aku begitu berat meninggalkan mereka.
Kutarik nafas panjang, kuyakinkan diriku sendiri bahwa semua ini demi masa depanku yang juga merupakan bahagia orang tuaku. Untuk pertama kalinya, aku belajar melawan rasa sakit yang sesungguhnya. Hatiku berderai air mata, tapi tak akan pernah kutampakkan di mataku. Aku harus pergi dengan bahagia agar mereka bahagia.
***
Semua keluargaku mengantarku ke bandara, terkecuali kakek dan nenekku. Oh ya aku lupa menceritakan. Aku punya kakek dan nenek, orang tua dari ibuku. Aku begitu menyayangi mereka. Terutama nenekku yang sakit-sakitan dan hanya bisa terbaring. Nenekku jarang sekali berbicara, makanpun aku suapin atau kadang-kadang mama. Bahkan urusan terkecilpun sudah tida bisa dilakukan nenekku. Aku dan mama bergantian mengurusi nenek. Aku begitu berat meninggalkan mereka. Aku harap aku akan bertemu mereka lagi, segera.
***
Sesampainya di bandara, ayahku membantu melakukan check in. Aku berangkat bersama satu orang sahabatku yang juga akan melanjutkan studi di kampus yang sama denganku. Namanya Nisa. Ya, Nisa adalah salah satu teman gangku ketika masih SMA. Aku dan Nisa tidak berangkat berdua saja tetapi juga ditemani oleh ibunya Nisa.
Tiba saatnya kami bertiga harus masuk ke ruang tunggu. Jantungku berdegup kencang berkali-kali lipat. Dadaku begitu sesak menahan air mata yang memberontak hendak membanjiri pipiku. Akupun pamit dengan keluargaku. Kucium tangan ayahku, ia tak menatapku. Aku tahu dia berusaha memalingkan wajahnya untuk menyembunyikan tangis yang tak ingin ia tunjukkan di depan anaknya. Ia ingin aku menjadi pribadi yang kuat. Akupun mencium tangan ibuku selanjutnya. Berbeda dengan ayah yang begitu hebat menyembunyikan air mata, ibuku tidak begitu. Air matanya meleleh tanpa bisa ia bendung, Yang ia lakukan adalah selalu menyeka pipinya dengan sapu tangan agar air mata yang jatuh tak membuat sedih hati anaknya. Hebatnya, aku adalah anak yang kuat. Sama dengan ayahku, aku juga hebat menyembunyikan rasa sakit. Aku memeluk ibuku, kami berpelukan dan dia mencium kedua pipiku.
Adik-adikku, mereka menyalami aku per satu. "Jangan balik kesini lagi ya kak", kata seorang adikku sambil tertawa. Aku tahu itu cara dia menyembunyikan rasa sedihnya. Aku menatap mereka satu per satu dan berdoa di dalam hati semoga Tuhan menjadikan kami semua menjadi anak yang sukses dan berbakti pada orang tua.
***
Kutarik nafas panjang sekali lagi. Baiklah, aku harus pergi. Langkah demi langkah kakiku menjadikan aku semakin jauh dari mereka. Kucoba untuk tak menoleh ke belakang sebisaku. Aku tak ingin melihat wajah sedih mereka. Tapi tak bisa, tetap saja aku tak kuat menahan keinginanku untuk menatap mereka lagi. Jarak kami semakin jauh, aku melihat mereka masih berdiri di situ melepas kepergianku hingga aku tak terlihat lagi.
Aku, Nisa dan ibunya kini berada di ruang tunggu. Tak lama kemudian terdengar pemberitahuan bahwa pesawat yang akan kami tumpangi telah tiba. Aku meyakinkan diriku untuk lebih kuat. Meskipun dalam setiap langkahku selalu terbayang wajah ayah, ibu dan adik-adikku yang aku tinggalkan di kota ini. "Sudah Kuk, bersedih tak ada gunanya", aku menasihati diriku sendiri.
Pesawat yang kami tumpangi telah lepas landas. Semakin lama kotaku terlihat semakin kecil dan perlahan-lahan yang aku lihat di sekeliling hanya awan putih. Cuaca siang itu cerah, setidaknya mengobati sedikit sedihku.
Perjalanan membutuhkan kurang lebih 2 jam untuk sampai di kota tujuan kami. Aku berusaha untuk memejamkan mata sejenak, hendak menenangkan diri. Tapi tak bisa. Semakin ku pejamkan mata, bayangan ayah, ibu, adik-adikku, juga kakek dan nenekku semakin melekat dalam ingatan. Aku ambil majalah di depan kursi, aku amati satu persatu halamannya hingga detail gambarnya. Berharap imajinasiku bisa sedikit melayang ke tempat lain agar aku tidak terlalu tenggelam dalam kesedihanku.
***
30 menit sebelum pesawat mendarat, pramugari memberikan pengumuman kepada para penumpangnya. Aku pandangi dari atas, terlihat di bawah terlihat kota yang akan menjadi tempat hidupku untuk beberapa tahun ke depan. Terlihat begitu banyak bangunan tinggi, sawah, pabrik, dan jalur kendaraan dimana-mana. Aku bertekad dalam hatiku, aku harus berhasil dan kembali dengan membawa kebanggaan bagi orang tuaku.
Pesawat kami telah mendarat, semua penumpang menuruni anak tangga pesawat, begitupun aku. Entah percaya atau tidak, aku punya keyakinan jika aku mengucapkan sebuah impian ketika langkah kaki pertamaku telah menginjakkan tanah di kota itu, maka impianku akan terwujud. Kalian tahu apa yang aku impikan? Aku bermimpi akan kembali secepat mungkin, sesukses mungkin, sebahagia mungkin, untuk orang tuaku, keluargaku dan kotaku. Aku tidak ingin menjadi sukses di kota orang. Aku punya cita-cita besar untuk membesarkan kota kelahiranku sendiri.
"Selamat datang kota baru, selamat memasuki hidup baru, Kuk". :)
ns 15.158.61.20da2