Butuh waktu 2 jam perjalanan dari bandara ke kota yang akan kami tuju. Sepanjang perjalanan aku begitu sibuk melihat pemandangan di kanan kiriku sembari mempelajari hal baru yang aku lihat. Puluhan gedung pencakar langit, rentetan pabrik, sawah di sepanjang jalur kereta, perumahan penduduk yang padat hingga akhirnya kamipun berhadapan dengan kemacetan. "Huft", kemacetan ini begitu mengganggu lamunanku. Kulihat di sisi kiri mobil kami ada sebuah truk gandeng tingkat 2 yang mengangkut sepeda motor. Sebenarnya aku sedikit takut dan berimajinasi bagaimana jika motor-motor itu jatuh menimpa mobil kami. "Sudahlah kuk, jangan berpikir macam-macam", aku berusaha menenangkan diri.
Kualihkan pandanganku ke sisi kanan terlihat jejeran mobil dan sepeda motor yang juga mengalami hal yang sama dengan kami. Ya, semua punya pikiran yang sama mungkin yaitu bagaimana caranya biar bisa segera menerobos kemacetan ini. Sedikit demi sedikit mobil mulai melaju. Kini kami berhadapan dengan lampu merah yang menandakan bahwa semua kendaraan yang melewati jalur itu harus berhenti sejenak untuk membiarkan para pejalan kaki mendapatkan haknya.
Di lampu merah aku melihat banyak sekali orang-orang dengan cara mereka yang berbeda untuk mencari penghidupan. Ada penjual kacang-kacangan goreng, penjual minum, penjual koran, pengamen, hingga sosok lucu boneka yang melambaikan tangan ke arah para pengendara di jalan. Ya, kalian tahu tentunya di dalam tubuh boneka yang lucu itu itu ada sesosok manusia yang berusaha menahan panas dan bercucuran keringat demi mendapatkan recehan dari orang lain. Aku mulai belajar tentang kerasnya hidup.
Beberapa detik berlalu, lampu merah berganti menjadi hijau. Mobil kami mulai melaju untuk melanjutkan perjalanan. Syukurlah, jalan mulai lengang. Mobil kami bisa melaju dengan lebih cepat.
***
Kami sudah memasuki perbatasan kota baru, yang artinya kami sudah memasuki kawasan kota yang kami tuju. "Selamat datang di Kota Dingin", aku tersenyum. Ya, kota ini disebut kota dingin karena cuacanya yang selalu dingin. Bahkan ketika matahari menyengat di siang hari, suhu tetap terasa dingin.
Matahari sudah terbenam beberapa menit lalu, akupun menyadari siang telah berganti malam. Sayup-sayup adzan dari masjid ke masjid mulai berkumandang. Kota semakin padat, juga semakin indah. Lampion berjejer di sepanjang jalan ditambah kerlap kerlip lampu caffe, mall, hingga hotel semakin menambah keindahan kota ini. Aku berusaha mempelajari seluk beluk jalan yang dilewati. Tentunya karena aku suka travelling, automatically yang pertama aku pelajari adalah seluk beluk jalannya. Bahkan sejak pertama aku memasuki kota ini, aku sudah bermimpi akan mengelilingi seluruh seluk beluk kota ini tanpa terkecuali. Iya, sekali lagi aku bermimpi. Aku memang suka bermimpi. Bagiku mimpi adalah alasanku untuk hidup. Tak hanya hidup, tapi hidup dalam kehidupanku.
Bagiku orang yang hidup saja tidak cukup. Hidup hanya soal jantung yang masih berdetak dan nafas yang masih berhembus. Manusia butuh lebih dari itu. Kita butuh hidup dalam kehidupan. Kita butuh tertawa, bahagia, bersemangat dan segala rasa indah untuk hidup dalam kehidupan. Bermimpi adalah salah satu cara untuk itu.
***
Kami akan segera memasuki kompleks dimana kami akan tinggal. Oh ya, kami nantinya akan tinggal di kontrakan bersama kakakku dan juga beberapa temannya yang sudah tinggal disitu. Beberapa menit kemudian mobil kami telah melaju melewati daerah kampus dimana aku dan Nisa akan melanjutkan studi. Dari jalan raya kami bisa melihat sekeliling kawasan kampus yang dipenuhi gedung-gedung putih dan kerlap kerlip lampu disekitarnya. Aku semakin bersemangat dan tidak sabar untuk segera menginjakkan kaki di kampus itu.
Mobil berhenti tepat di depan kontrakan. Terlihat kakakku dan juga teman-temannya berhamburan keluar untuk membantu membawa masuk barang bawaan kami yang begitu banyak. Entah apa saja yang kami bawa, kami seperti orang yang akan keluar negeri selama beberapa bulan. Hehehe..
Kami semua masuk ke dalam rumah. Kakakku dan juga teman-temannya, kami semua bersalaman. Mereka begitu ramah. Aku, Nisa dan ibunya memperkenalkan diri kepada mereka semua. Ruanganpun semakin hangat dengan ocehan kami, setidaknya bisa sedikit mengobati rasa dingin hebat yang saat ini aku rasakan. Ya, inilah kota dingin. Berbeda jauh dengan kotaku sebelumnya yang bernuansa panas, aku perlu menyesuaikan diri di kota ini.
Kami dibuatkan teh panas oleh Kak Maya yang merupakan salah satu dari teman kakakku. Ada juga yang lainnya, Kak Lulu dan Kak Delta. Mereka semua berasal dari kota yang berbeda-beda. Kami semua menyeruput teh hangat dan tak lupa pula ditemani jajanan khas kotaku yang kami bawa. Perbincangan hangat masih terus terjadi.
Perjalanan jauh membuatku merasa lelah. Kamipun mengakhiri pembicaraan hangat tadi dan segera berbenah untuk istirahat. Aku dan Nisa mencoba ke kamar mandi untuk menyikat gigi dan mencuci muka sebelum tidur. Tetesan air pertama mulai jatuh di kulitku. Oh my god, aku begitu tidak tahan dengan dinginnya air di kota itu. Kusegerakan ritual sikat gigi dan cuci muka itu secepatnya. Butuh waktu kurang dari 5 menit, dan "simsalabim!!!," done. Aku segera lari ke kamar dan menyelimuti tubuhku serapat-rapatnya hingga kupastikan tak ada sedikitpun angin yang menyentuh kulitku. Sepertinya aku terlalu hiperbolis untuk kalimat barusan.
***
Aku berusaha memejamkan mata, berharap segera tertidur pulas. Tak kusangka malam pertama tidur di kota yang berbeda dengan orang tua terasa begitu sulit. Ketika kupejamkan mata, lagi dan lagi bayangan orang tua, adik-adikku, kakek dan nenekku kembali menari-nari dalam pelupuk mata. Aku ingin menangis.
Tak tahu rasa sedihkah atau dinginkah yang harus aku pikirkan. Keduanya begitu menggangguku untuk bisa tertidur. Kurapatkan lagi selimutku, kutarik nafas panjang lalu kuhembuskan lagi. Aku mulai tenang. Perlahan lahan aku mulai memasuki fase menuju tidur yang pulas. Ditemani rasa dingin, fisik dan hatiku mulai berdamai.
Inilah malam pertamaku di Kota Dingin.
ns 15.158.61.48da2