Sepertinya, aku tak lama meninggalkan Gita sendirian. Ketika aku kembali dari toilet, dari kejauhan, kulihat Gita sudah ditemani oleh Iksan. Aku menghentikan langkahku. Aku ingin memberi mereka waktu untuk berduaan. Aku selalu merasa Iksan menyukai Gita. Namun, entah mengapa, beberapa waktu belakangan, Iksan malah mendekati Sofia.
Aku memandangi mereka dari balik rak buku. Seolah-olah, ada kecanggungan di antara Iksan dan Gita. Iksan terlihat bersemangat untuk mengajak Gita mengobrol. Namun, Gita terkesan menghindari Iksan. Sejujurnya, aku pun merasa heran ketika melihat Iksan masih begitu bersemangat padahal hari sudah beranjak senja. Aku sendiri sudah merasa lelah karena seharian ini aku sibuk mengerjakan tugas bersama Gita. Ternyata, memandangi Iksan dan Gita cukup menjadi penghibur lelahku.
Aku masih tersenyum-senyum sendiri saat kudengar pengumuman bahwa perpustakaan ini akan ditutup setengah jam lagi. Para pengunjung perpustakaan diminta segera bersiap-siap untuk meninggalkan perpustakaan. Aku pun beranjak menghampiri Iksan dan Gita. Setelah aku sampai, Iksan berpamitan padaku dan pada Gita. Dia mengatakan bahwa dia harus bergegas pergi mengajar privat. Namun, aku rasa Iksan pergi karena kedatanganku.
Aku melihat kelegaan di wajah Gita setelah Iksan pergi. Kami segera membereskan barang-barang kami kemudian bergegas keluar dari perpustakaan. Cukup banyak mahasiswa yang keluar dari perpustakaan bersama kami. Kami mengambil tas kami di loker lalu menuju pintu keluar. Kami harus berdesak-desakan di area pintu keluar perpustakaan.
Ternyata, hujan gerimis sedang membasahi halaman perpustakaan. Gita mengajakku untuk berteduh di selasar perpustakaan. Kulihat sebagian besar mahasiswa memutuskan untuk pulang sambil menembus gerimis. Meskipun banyak mahasiswa yang keluar dari perpustakaan, suasana selasar ini cukup sepi. Aku merasa mungkin Gita tidak ingin langsung pulang.
“Tadi kok lama banget ke toilet doang?” Tanya Gita membuka obrolan.
“Sengaja. Kasian Iksan kayaknya pengen ngobrol sama kamu.” Aku terkikik.
Aku tak menyangka Gita akan tersenyum setelah aku menggodanya. Gita memandang kejauhan sehingga suasana mendadak hening. Aku memutuskan untuk melanjutkan obrolan ini.
“Aku rasa Iksan tuh suka sama kamu.”
“Tapi kan, dia lagi ngedeketin Sofia.”
“Itu sih gara-gara Rangga ngedeketin kamu. Iksan nggak enak lah sama sahabatnya. Masa dia ngedeketin cewek yang jadi gebetan sahabatnya.”
“Ah, masa? Kayanya nggak mungkin Iksan ngedeketin Sofia kalau dia nggak suka!”
“Pelarian?”
“Jahat, kamu! Udahlah nggak usah ngobrolin soal itu lagi.”
“Aku sih cuma menyuarakan pendapatku aja.”
“Mending ngobrolin tentang kamu aja. Gimana kelanjutan hubungan kamu sama Jun?”
Aku berpikir sejenak sebelum menjawab. Aku dan Jun sudah beberapa kali jalan bersama. Jun adalah cowok yang gentleman. Namun, sesungguhnya, aku belum bisa menentukan perasaanku kepadanya. Aku merasa aku mengaguminya tapi tidak memiliki perasaan cinta untuknya. Lagi pula, Jun juga beberapa kali jalan bareng cewek lain.
“Ah, nggak lanjut ke mana-mana kok,” jawabku singkat.
“Belum kali, bukannya nggak.” Gita tersenyum lagi.
“Aku aja nggak habis pikir kalau Jun bisa suka sama aku yang biasa begini. Kayaknya masih banyak mahasiswa yang lebih cantik di kampus ini. Apalagi, dia itu anak ketua yayasan.”
“Ya ampun, Yasmin. Kamu nggak sadar kamu tuh populer di kampus ini. Apalagi setelah Jun deketin kamu. Kamu tuh cantik, kamu tuh modis, kamu tuh... Aku yakin Jun itu suka sama kamu makanya dia rajin ngajakin kamu jalan!” Gita menggeleng-gelengkan kepalanya seusai mengucapkan kalimat sepanjang itu dan wajahnya benar-benar terlihat keheranan.
“Wah! Aku nggak nyangka kamu sekagum itu sama aku,” balasku seraya mengoloknya.
Gita membalasku dengan menjulurkan lidahnya.
“Btw, aku lapar nih,” ujar Gita.
“Sama,” jawabku sambil nyengir.
Tiba-tiba, sebuah mobil mewah berwarna putih yang sangat kukenal memasuki area parkir perpustakaan. Aku tinggal menunggu pemiliknya keluar. Jun bergegas menghampiri aku dan Gita. Aku baru menyadari bahwa gerimis telah reda. Ketika sampai di hadapan kami, tanpa basa basi lagi, Jun mengajakku pulang. Aku dan Gita berpandangan. Aku tidak mungkin meninggalkan Gita sendirian.
Namun, adegan yang sama seolah berlangsung kembali. Rangga datang, memarkirkan mobilnya, turun, bergegas menghampiri Gita, lalu mengajaknya pulang. Tiba-tiba, kami ditonton oleh mahasiswa-mahasiswa yang masih nongkrong di sekitar perpustakaan. Aku dan Gita menghela nafas bersamaan. Di sisi lain, sebenarnya, aku bersyukur ketika ada cowok-cowok yang bersedia menjemput kami berdua. Aku dan Gita mungkin adalah princess di kampus ini. **
163Please respect copyright.PENANAgVLtLMNHfK
“Menurut kamu, Iksan tuh orangnya kayak apa?”
Lani tertegun sejenak mendengar pertanyaanku.”
“Nah, kamu kan deket sama Jun, kok malah nanyain Iksan?”
“Soalnya akhir-akhir ini aku ngerasa Iksan tuh sukanya sama Gita. Tapi, dia malah deketin Sofia. Artinya, Iksan itu orangnya palsu, kan?”
Lani terdiam lagi. Tiba-tiba, rona merah muncul di pipinya. Kemudian, dia tertawa.
“Ah, masa? Kalau Iksan suka sama Gita, ngapain dia deketin Sofia?”
“Ya... karena ada Rangga,” jawabku.
Lani malah tertawa lagi.
“Kalau gitu artinya Iksan orangnya cemen bukan palsu. Lagian, menurutku Iksan suka sama Sofia, ah.”
“Udah pedekate lama tapi belum jadian aja,” balasku.
Lani menunjukku. Aku menyadari maksudnya kemudian aku berusaha tertawa.
“Kamu juga udah berapa lama deket sama Jun. Nggak jadian-jadian tuh!”
Aku meringis lalu membalas, “Kamu juga nggak jadian-jadian sama Edo?!”
“Oh... aku sih udah nggak sama Edo.”
“Kenapa?”
“Ah... dia nggak asyik. Ternyata, kita nggak cocok.”
“Jadi kalian udahan aja, gitu?”
“Ya, udah. Kita nggak kontakan lagi.”
Aku termenung.
“Lagian, kayaknya, Edo udah punya cewek baru untuk dideketin.” Lani menambahkan.
Aku masih terdiam.
“Kenapa? Kamu sendiri ada tanda-tanda nggak akan lanjut sama Jun?” Lani bertanya.
“Nggak tahu. Soalnya aku sih sama Jun jalan aja gitu.” Aku meringis.
“Kamu sama Jun serasi, loh.” Lani tersenyum.
Aku balas tersenyum lalu obrolan kami pun berakhir. **
163Please respect copyright.PENANA96BGslDDCo
“Yasmin...”
Secara spontan, aku celingak-celinguk mencari cewek yang memanggilku. Kemudian, aku melihat Sofia melambaikan tangannya. Dengan segera, aku menghampirinya.
“Loh, Sofia, sendirian aja?” Aku sedikit heran melihat Sofia duduk sendirian di kafe yang lumayan terkenal ini. Tentunya, mendatangi kafe ini haruslah bersama seseorang atau rombongan. Aku pun datang ke sini bersama Jun. Meskipun, seperti saat ini, Jun punya urusan mendadak di tengah acara jalan-jalan kami berdua.
“Aku sebenernya janjian sama Iksan. Tapi, orang tua dari murid les dia mendadak minta jam tambahan gara-gara besok ada ulangan. Jadi, dia bilang dia bakal telat.” Sofia menjawab.
“Oh... Sementara aku temenin, mau? Soalnya itu tuh...” Aku menunjuk ke arah sebuah meja yang menjadi tempat Jun dikelilingi beberapa cewek. Adik-adik tingkatnya yang mendadak datang menyambangi kami berdua karena ada urusan yang katanya teramat sangat penting menyangkut pers mahasiswa.
Sofia tertawa setelah melihatnya. Aku duduk di sebelahnya sembari memanggil pelayan untuk memesan minuman lagi. Sofia juga ikut memesan minuman. Sepertinya, Iksan akan sangat terlambat.
“Kamu suka cemburu nggak sih kalau kayak gitu?” Sofia bertanya seraya menunjuk ke arah yang kutunjukkan tadi.
“Hmm... nggak, sih.”
“Masa?”
“Aku nggak apa-apa sih selama kelihatannya dia nggak ada perasaan sama cewek-cewek yang mengelilinginya itu.” Sejujurnya, aku merasa pertanyaan “jebakan” dari Sofia ini perlu kujawab secara diplomatis.
“Oh...”
Kemudian, aku dan Sofia sama-sama terdiam. Sofia melihat ponselnya. Aku pun melakukan hal yang sama. Namun, tak ada notifikasi apa pun di ponselku. Orang yang biasanya mengirim pesan padaku sedang sibuk di meja seberang sana. Aku dan Sofia terlihat seperti dua orang kawan yang asyik dengan gadgetnya sambil menanti pesanan kami datang. Jadi, sebelum suasana semakin canggung, aku memutuskan untuk bertanya.
“Memang, kalau kamu pernah cemburu sama Iksan? Apa murid-murid bimbingannya Iksan cantik-cantik, ya?” Aku mencoba sedikit bercanda.
Sofia tersenyum. Sofia memang terlihat cantik saat tersenyum. Dia adalah perempuan paling populer di angkatanku. Setiap melihat Sofia, terkadang, aku masih mempertanyakan perasaan Jun padaku. Soalnya, antara aku dan Sofia bagaikan langit dan bumi. Namun, Sofia sendiri pun memang sepertinya menyukai Iksan, cowok yang biasa-biasa saja tetapi pintar.
“Aku rasa sekalipun ada muridnya yang cantik, Iksan nggak akan tergoda soalnya mereka kan masih anak-anak.” Sofia mengutarakan pendapatnya.
“Bener juga, sih.” Aku tertawa kecil.
“Cuma, kadang, aku pengen ada status yang jelas antara aku sama dia.” Wajah Sofia menjadi agak serius. Aku sendiri agak kaget setelah mendengar pernyataan itu. Sebenarnya, kondisi aku dan Sofia terasa mirip tetapi sepertinya perasaanku berbeda dengan Sofia. Aku justru senang ketika hubunganku dengan Jun berjalan santai seperti ini.
Sebelum aku bisa merespons, untungnya, pesanan minuman kami telah tiba. Kami meminum minuman kami masing-masing. Sofia melirik jam di tangannya. Sementara itu, aku memandang Jun yang kelihatannya masih sibuk dengan “dayang-dayangnya”.
“Kalau boleh aku pengen nanya dong. Emang bener kalau Rangga ditolak sama Gita?”
Aku memalingkan pandanganku ke arah Sofia. Wajahnya menyiratkan hasrat keingintahuan. Topik ini sebenarnya sangat aku hindari. Gosip tentang hubungan Gita dan Rangga sudah berembus selama beberapa hari belakangan. Namun, aku sendiri belum sembat menanyakannya kepada Gita.
Gita adalah seseorang yang membutuhkan waktu beberapa saat sebelum bisa membicarakan tentang masalah yang sedang dihadapinya. Karakter itu berbanding terbalik dengan karakter Lani. Lani adalah orang yang ekspresif. Dia akan langsung mencurahkan perasaannya ketika menghadapi masalah. Sementara, dengan Sofia, aku tidak begitu dekat walaupun kami sekelas.
“Aku sendiri nggak bisa ngasih jawaban soal itu. Aku juga belum sempet nanya sih sama Gita.” Aku kembali menyeruput minumanku.
Sofia terlihat agak kecewa. Dia meminum minumannya. Sepertinya, dia benar-benar penasaran soal Gita dan Rangga. Aku pun penasaran soal itu. Jika Gita benar-benar menolak pernyataan cinta dari Rangga, aku benar-benar ingin tahu alasannya.
“Sayang banget soalnya mereka serasi.” Sofia menyeruput minumannya, lalu menambahkan, “Kayak kamu sama Jun. Kalian juga serasi.” Lalu, Sofia minum lagi.
Aku tersenyum. Aku berharap minuman itu bisa bertahan sampai Iksan datang. **
163Please respect copyright.PENANAsn5rMCScA9
“Kamu ngapain sih mau repot-repot payungan berdua sama aku gini?” Aku benar-benar memprotes perilaku cowok yang sedang memayungiku ini. Saat ini, gerimis sedang turun. Tiba-tiba, dia mengajakku berjalan-jalan di tengah gerimis. Sementara itu, orang-orang, yang berpapasan dengan kami, memandangi kami dengan heran. Aku menjadi malu.
“Ya, nggak apa-apa dong. Kan payungannya juga sama kamu.” Jun meringis. Sementara, aku menjadi semakin heran.
“Kita makan bakso yang di belakang perpustakaan itu, yuk. Katanya enak loh.”
“Ya ampun. Tukang bakso di situ udah jualan dari lama loh. Kamu baru sekarang ngajak aku ke sana. Padahal, itu tempat terdekat buat...” Kalimatku terhenti. Aku kesulitan memilih padanan kata yang tepat untuk mengisinya.
“Berduaan?” tanyanya geli.
Aku tersipu. Jun mulai terkekeh.
“Kamu kan tahu tempatnya selalu ramai karena baksonya enak. Jadi, nggak mungkin dong kita makan di sana cuma berduaan,” balasku.
Jun tertawa. Aku tahu dia sebenarnya menertawakan rona merah di pipiku. Dia begitu senang karena berhasil menggodaku. Aku malah ikut tertawa bersamanya. Saat itu, aku merasa nyaman untuk tertawa bersamanya. Aku tak lagi menganggap tatapan heran dari orang-orang yang berpapasan dengan kami.
Sore itu, tak banyak orang yang menikmati bakso. Suasana cukup sepi. Tak lama setelah memesan, bakso yang kami mau sudah disajikan dan siap kami santap. Jun segera melahap bakso pesanannya. Aku rasa dia begitu lapar. Apa mungkin dia tidak makan siang tadi? Aku malah memperhatikannya makan. Dia menatapku lalu memberikan kode yang artinya menyuruhku makan. Aku tersenyum. Dia kembali menikmati baksonya.
Dia tak akan berbicara saat makan. Hal itu sudah menjadi salah satu prinsipnya. Dia juga selalu melarangku untuk berbicara saat makan. Jika kami pergi makan berdua, kami akan mengobrol setelah makan. Seringnya, obrolan kami terinterupsi dengan urusan-urusannya, yang katanya mendesak. Lama kelamaan, dia berusaha menghabiskan baksonya sesegera mungkin. Aku hampir menertawakan tingkahnya tetapi tawaku berhasil kutahan. Aku tak mau membuatnya merasa malu.
Setelah Jun selesai makan, aku menebak sepertinya dia ingin membicarakan sesuatu. Jadi, aku menyenderkan punggungku untuk memberitahu dia kalau aku tak akan memakan baksoku sekarang. Dia tak akan bicara jika aku sedang makan.
“Aku sayang kamu, Yas.” Ujarnya tiba-tiba.
Aku shock. Aku tak mampu menyembunyikan rasa terkejut yang aku rasakan. Aku hanya mampu terdiam. Lagi pula, aku merasa kalimatnya belum selesai.
“Tapi, aku ingin kamu tahu kalau pengajuan beasiswaku udah diterima.”
“Selamat...” ucapku secara spontan.
“Tapi, kamu juga tahu kan kalau artinya kita bakal terpisah?”
Aku memahami perkara beasiswa inilah yang sebenarnya jadi ganjalan dalam hubungan kami. Aku dan dia sama-sama takut menjalani hubungan jarak jauh. Di sisi lain, beasiswa ini adalah harapannya. Sejak dulu, Jun bercita-cita untuk kuliah di luar negeri. Namun, ayahnya tidak merestui. Ayahnya ingin anaknya itu berkuliah di kampus milik keluarga mereka. Padahal, Jun sama sekali merasa tak nyaman berkuliah di kampus ini. Setelah berjuang selama dua tahun, akhirnya, dia berhasil. Aku benar-benar bahagia untuknya.
“Jun, aku mau kamu tahu kalau aku sayang kamu. Jadi, aku bener-bener bahagia dengan keberhasilanmu. Dan, aku pasti akan support kamu meraih impianmu.” Aku memantapkan hatiku untuk membesarkan hatinya.
Jun tersenyum. Untuk pertama kalinya, dia menggenggam tanganku. Hatiku berdesir.
“Jadi, kapan kamu berangkat?”
“Masih sekitar tiga bulan lagi, kok.” Jun kembali tersenyum. Aku rasa dia senang karena pada akhirnya aku bilang kalau aku sayang padanya. Akan tetapi, aku memang benar-benar menyayanginya.
“Oke. Jadi, kita masih ada kesempatan untuk jalan-jalan selama tiga bulan ke depan.” Aku berujar dengan mantap.
“Berduaan?” Jun tersenyum geli.
Aku merasa rona merah kembali mewarnai pipiku. Aku menunduk lalu mulai menikmati bakso pesananku yang ternyata sudah dingin. Jun terkekeh. Sementara itu, aku berusaha fokus menikmati bakso enak ini. Aku berusaha tak menatap wajahnya. Walaupun aku tak melihatnya, aku tetap menyadari dia begitu memperhatikanku.
Seminggu yang lalu, Sofia dan Iksan jadian. Walaupun begitu, aku tetap merasa Iksan tidak sungguh-sungguh menyukai Sofia. Mungkin, kejadian itu dampak dari penolakan Gita terhadap Rangga. Meskipun begitu, kisah Sofia tetap saja berbanding terbalik dengan kisahku dan sahabat-sahabatku, Gita dan Lani. Seolah-olah, kami merana. ***
ns 15.158.61.39da2