Selepas kejadian itu, perasaanku menjadi tertekan. Saat melihat Rian, aku merasa bersalah, meski Rian sendiri tidak mengetahui tentang apa yang terjadi antara aku dan ayahnya. Ia seringkali merasa bingung saat diriku berusaha untuk menjaga jarak darinya. Namun karena sikap kekanak-kanakan dan kejahiliannya, ia tak peduli akan hal itu sampai akhirnya diriku muak disaat ia mencoba menggodaku dan berusaha untuk meminta maaf atas ketidak hadirannya saat itu.
"Aku muak dengan sikapmu Rian! kamu sangat kekanak-kanakkan! Kamu tidak menepati janjimu! Aku berada dirumahmu dan kamu malah keluar untuk bersenang-senang dengan temanmu, atau bahkan pacarmu, mungkin!" Bentakku kepadanya.
"Aku tak punya pacar, Nisa!"
"Aku tak peduli!" Sinisku.
Ia terdiam mematung, namun tak menjelang berapa lama sikap jahilnya kembali muncul. Ia tiba-tiba memelukku, membujukku dan mengerayap tanpa mempedulikan ejekan dan tawa para siswa di kelas.
Dengan menunjukkan sikap manisnya dan rasa bersalahnya, aku pun akhirnya luluh dihadapan Rian, aku tidak tega memperlakukannya sedemikian kasar, mengingat diriku juga sebenarnya melakukan kesalahan saat berada dirumah Rian.
Ditengah jam istirahat, aku dan Rian sempat berbincang mengenai masalah keluarga yang ia hadapi. Dirinya memang sempat melarikan diri dari rumah selama tiga hari disaat Ibunya memberitahu Rian kalau ia hendak kawin lagi dengan Om John. Ibu Rian, Mery memang sempat berpacaran dengan Om john sebelum akhirnya menikah. Rian pun menceritakan bahwa om john ternyata sudah menikah sebelumnya, sampai memiliki anak. Namun anak tersebut ditelantarkan oleh Om John disebabkan oleh kondisi ekonomi dan kematian istrinya. Diketahui pula Om John menikah muda saat itu, sehingga pemikiran dan kesiapan mentalnya belum sepenuhnya matang.
"Apakah itu yang membuatmu benci dengan ayah tirimu?" Tanyaku kepada Rian yang tengah menyeruput mie pangsit dikantin sekolah.
"Iya.." jawabnya singkat. "Makanya kamu jangan sekali-kali dekat dengan bajingan itu!" ujarnya yang masih sibuk dengan mie pangsitnya.
Aku merasa aneh dengan pernyataan itu, mengingat hal manis yang telah terjadi kepada diriku dan Om John disore itu. "Apakah semua itu hanya karena situasi dan nafsu birahi semata?" tanyaku dalam hati "Atau memang aku telah jatuh hati kepada pria paruh baya itu?" Beberapa pertanyaan menyelimuti pikiranku, sehingga membuatku bingung akan perasaan ini.
***
POV Rian
Setelah hujan reda, diriku pun bergegas untuk pulang kerumah. Rasa cemas yang memburu perasaanku membuat hatiku tertekan. Kukendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi, sembari menerobos sisa tetesan hujan yang sudah mulai reda.
Sesampainya dirumah, kubuka pintu pagar dengan tergesa-gesa, kudapati Nisa yang sudah hendak pergi meninggalkan rumah. Ia terlihat berjalan menelusuri pekarangan, menuju pintu pagar yang berada di seberangku. Ia menatapku sesaat, lantas memalingkan pandangannya kesisi lain.
"Sudah mau pergi? Aku baru sampai" Ucapku seakan menahannya untuk pulang.
"Kau terlambat!" balasnya, seakan tak peduli dengan kehadiranku.
Aku tahu dia marah, mungkin teramat kesal, sehingga dia tak peduli lagi akan kehadiranku dirumah itu.
Setelah membersihkan seluruh tubuhku yang penuh dengan peluh dan derasnya air hujan, aku berbaring di kasur sisi kamarku. Kuperhatikan lampu yang mulai remang-remang, cahayanya menghipnotisku, membuatku bertanya-tanya tentang apa yang terjadi antara Ayah tiriku dan Nisa selama aku tidak ada dirumah. Apakah terjadi sesuatu? Sehingga membuat Nisa teramat kesal saat melihatku. Aku tak ingin memikirkannya dan kuyakini itu tidaklah mungkin.
Disekolahpun Nisa berprilaku sama. Ia seakan menghindariku, acuh terhadap kejahilanku hingga akhirnya ia pun luluh disaat diriku mulai menampilkan sikap manja, menggoda dan mengerayap di tubuhnya. Aku tahu dia masih kesal terhapa perilakuku kemarin, namun dengan rasa sayangnya kepada persahabatan kita, Nisa pun kembali akrab bersamaku lagi.
Di jam istirahat, sesekali dia mengintrogasi tentang kesibukanku kemarin, apa yang menyebabkanku mengingkari janji. Kujelaskan semua, ia hanya mengangguk tanda memahami. Sampai dititik ia akhirnya menanyakan sosok yang paling aku benci. Beberapa pertanyaan mulai menjulur kepada John; tentang bagaimana sikap ayah tiriku itu kepadaku, bagaimana dia bisa menikahi ibuku dan lain sebagainya. Aku sedikit kesal kepada Nisa, mengapa Nisa begitu tertarik kepada si lelaki paruh baya itu, "apa yang terjadi? Apa Nisa menyukainya? Tidak mungkin! Nisa tidak mungkin melakukan itu!" Batinku meronta.
"Bu! Apa Ibu ada disini saat Nisa datang kerumah?" Tanyaku, disaat ibu sedang sibuk dengan laptopnya di ruang keluarga.
"Iya.."Jawabnya cuek, seakan tak peduli dengan apa yag aku tanyakan. Sesekali ia membenarkan kacamatanya, berusaha memastikan dokumen-dokumen yang ia kerjakan tak ada yang salah.
Aku sedikit kesal terhadap respon ibuku, tapi disisi lain aku juga tak ingin mengusiknya. Dirikupun berlalu meninggalkan ruang keluarga menuju dapur di lantai bawa. Kutengok kesisi kiri jendela pekarangan rumah, kudapati John tengah asik menelpon dengan seseorang, ia terlihat tertawa, sembari mempermainkan batang rokoknya yang sesekali ia hisap.
Aku tak peduli dengan hal itu, aku tahu bajingan seperti dia hanyalah beban bagi keluargaku. Aku bahkan heran, mengapa bisa ibuku menikahi pria bengis seperti dia. Dirikupun berlalu, setelah mengambil sebotol soda dan membawanya ke kamar.
***
POV Nisa
Malam ini terasa sangat dingin, meski tubuhku dibalut dengan Cardigan tebal, kulit ini masih tertembus akan sapuan angin malam. Kutahan semua kegigilan ini, sebab diriku tak ingin mengganggu tidur ibuku yang tengah beristirahat setelah seharian bekerja sebagai buruh cuci di toko laundry.
Aku tetap menggenggam erat ponselku, mengobrol dengan asik bersama pria dibalik suara itu. Aku terkadang tertawa dan tersenyum disaat dirinya mulai melontarkan lelucon. Itu kurasa garing, tapi entah mengapa kegaringan itu menghipnotisku untuk tetap mendengarnya. Sesekali dirinya menyelipkan candaan dewasa, yang membuat diriku sedikit terpancing dibuatnya.
"Om John belum ngantuk?" ujarku kepadanya di balik ponsel.
"Belum.." Jawabnya singkat "Om baru bisa tidur setelah mendengar suara wanita cantik" tambahnya, genit.
"Lantas kenapa kamu menelponku?" pancingku.
"Karena kamu adalah wanita cantik itu" gombalnya yang seakan membuat diriku merasa berhasil akan pancingan itu. Kami berdua tertawa sesaat. Hingga akhirnya obrolan kita mulai membahas perihal kejadian kemarin sore.
"Maaf ya, dek. Kemarin om terpancing suasana"
Mendengar hal itu, aku terdiam sesaat kemudian membalasnya,"Tidak apa-apa om, Nisa mengerti. Aku juga salah"
"Aku yang salah!" bantahnya
"Kita berdua yang salah" sambungku. Kami pun kembali diam seketika, hanya suara angin yang tertiup lembut yang seakan penuh arti. Suara dibalik ponselpun kembali memecah keheningan.
"Tapi, apakah kamu menikmatinya?"
"I..Iyaa.." jawabku ragu. Diriku tersenyum dan kupastikan Om Johnpun senang akan responku.
"Apakah kamu ingin mengulanginya, lagi?" Pertanyaan berikutnya membuat darahku seketika terdesis. Aku diam sesaat dan akhirnya kujawab dengan lembut..
"Iya.."
Bersambung..
3172Please respect copyright.PENANANyuYE9IWe6
3172Please respect copyright.PENANAulmyQPrngZ
3172Please respect copyright.PENANAsX9AFxgn2L
3172Please respect copyright.PENANAdinyrlXedH
3172Please respect copyright.PENANA7LmaPL9NHM
3172Please respect copyright.PENANA9b7IyJRnSV