Kala sore itu, dibangku taman, dibawah pohon nan rindang, aku dan Om john akhirnya bertemu kembali. Kami berdua merencanakan pertemuan disaat akhir pembicaraan di telpon kemarin.
Obrolan kami masih seputar perkenalan, mengulik lebih dalam tentang latar belakang kami berdua. Banyak cerita yang beliau ungkapkan, mulai dari masa lalunya yang telah menikah dan memiliki anak yang memang sudah kuketahui dari Rian sendiri. Ia juga mengungkapkan bahwa sampai saat ini anaknya masih belum pernah ia lihat, dikarenakan si mantan istrinya enggan untuk mempertemukan kembali sampai akhirnya wanita tersebut meninggal tanpa memberikan tanda-tanda dimana buah hatinya sekarang berada.
Aku memperhatikan curahan hati om John, matanya tak bisa berbohong akan kesedihan yang ia alami, akupun terhanyut didalamnya, kugenggam tangannya dan berusaha untuk menguatkan beliau, "Suatu saat om John pasti bisa bertemu lagi dengan dia" (Anaknya)
Dia tersenyum seraya membalas, "Terima kasih"
Mata kami bertemu, seakan ada getaran cinta diantara kami berdua. Aku tak pernah merasakan hal ini sebelumnya, bahkan dengan Rian sekalipun.
tak terasa obrolan kami memakan waktu sedemikian lama, waktu menunjukan 5:32 sore. Langitpun mulai bergemuruh, pertanda hujan lebat akan segera turun.
Kami berdua mulai berlari meninggalkan taman sembari saling menggenggam tangan menuju parkiran mobil. Setelah sesampainya di dalam, kusapu kening dan kubersihkan rambutku dari tetesan air hujan, om john pun ikut serta membantuku dengan mengepas-ngepaskan seragam sekolah yang aku kenakan. Kami tertawa bersama, menikmati momen yang indah itu.
Diperjalanan pulang tak ada yang kami bicarakan. Suasana hening, hanya rentetan hujan yang semakin deras mengenai kaca mobil. Kaca depan mobilpun seakan tak terlihat disebabkan oleh embun yang semakin banyak. Sesekali om john berusaha menggosok kaca tersebut dengan tangannya, berharap embun itu tidak menghalangi pandangannya, sampai ketika laju mobil tiba-tiba tertikuk tajam disebabkan pengendara lain yang menerobos laju dijalur kami. Mobil terhenti mendadak, membuat jantungku berdetak kencang "Hampir saja kami mati" batinku.
Wajah om Johnpun sedikit memerah, ia terlihat kesal terhadap pengendara itu. Aku berusaha menenangkan dengan memberikan saran untuk menepi sesaat hingga hujan kembali redah, ia menyetujui saranku dan mobilpun di tepikan di sela lorong semak yang tak berpenghuni.
Keheningan kembali terjadi. Aku tak tahu harus berbuat apa untuk mencairkan suasana. rasa dingin yang menjalar keseluruh tubuh membuat pikiranku kosong. Tanganku mulai gemetar, menahan kegigilan yang sedari tadi menggerogoti tubuhku. Melihat hal itu, om Johnpun berinisiatif untuk sedikit memberikan hangatan. Diraihnya kedua tanganku, menggosokkannya bersama dengan tangan besarnya, berharap menghasilkan kehangatan diantara tangan kita.
Aku memperhatikan kasih sayang yang diberikan lelaki paruh baya itu. Sesekali ia meniup ujung jemariku, menempelkan telapak tanganku di wajahnya sembari berharap rasa dinginku berubah menjadi kehangatan. Aku merasakan getaran kasih yang diberikannya, sehingga diriku terpesona dan tak sadar membenamkan wajahku, sehingga bibirku kini tersentuh oleh bibirnya. Aku terpejam dan seketika tersadar dan menarik diri darinya.
Wajahku memerah padam, "Maaf om, aku tak bermaksud.." Tak sempat aku mengutarakan kekesalanku, tubuhku tiba-tiba tertarik oleh tangan besar om John. Diriku kini berada di atasnya. Sembari duduk dipangkuannya, saling berhadapan. Om john mulai menciumi bibirku dengan lembut.
Aku terhanyut didalamnya, lumatan demi lumatan, lidah kami bertarung bersama dengan air liur yang mulai menyapu bersih bibir kami berdua. Aku mendesah pelan, disaat bibirnya kini mulai menjalar disekitar leher sensitifku. Ia sangat lihat dalam permainan itu, membuatku sedikit menggelinjang menahan birahi yang sedari tadi aku pendam.
Kugenggam erat jok mobil di belakang kepalanya, disaat ia mulai melepas satu persatu kancing kemeja sekolahku. Tangannya mulai menelusuri payudaraku dibalik BH putih motif bunga. Meremasnya lembut, seakan menarik keluar payudaraku dari sarangnya.
Dan ketika semua seragam bagian atasku lepas, dirinya pun kini leluasa menggerogoti tubuhku, jilatan demi jilatan mulai dilancarkan, digigitnya lembut pentil susuku, dihisapnya seakan hendak mengeluarkan air susu dari payudaraku.
Seperdetik kemudian tubuhnya berada diatasku, aku tak sadar akan perilakunya itu, bobot tubuhku seakan tak berpengaruh ketika dirinya membalikkan posisi kami.
Kami kini berada di jok belakang, leluasa dirinya menjarah tubuh sintalku. Lenganku diangkat, seketika ketiak putihku terpampang jelas di depan wajahnya. Aku menggeriah pelan, menahannya untuk tidak melakukan hal yang membuatku sedikit malu, namun om John tak menggubrisnya, ia tetap membenamkan wajahnya di ketiakku, menciumnya lembut, menjilatinya, hingga membuat wajahku memerah merona.
"Om.. Stop! Nisa malu.. Hmmm sshh.. ahh" Sangkalku kepadanya. Ia tak mempedulikan erenganku, ia tetap saja asik menikmati tubuhku, payudaraku hingga bermain di lubang pusarku dengan lidahnya.
Aku berusaha meronta, namun tak dipungkiri akupun juga menikmati permainan ini. Sesekali diriku menjambak rambut tebalnya, ketika tangannya mulai berani masuk kedalam area kewanitaanku. Diturunkannya celana dalamku, jemarinya mulai menari-nari diarea sensitif itu.
Ketika wajahnya mulai terbenam di tengah selangkanganku, aku terdiam, bibirku membisu, rasanya aku ingin mengakhiri ini, pikiranku mulai tersadar bahwa pergulatan kita sudah terlalu jauh. Kudorong kepala om John, lantas berteriak, "Om John sudah!"
Ia terdiam kaget, menyaksikanku meneteskan air mata. Ia lantas memelukku erat, seraya mengucapkan kata maaf, "Maafkan Om, dek Nisa. Aku khilaf. Aku salah"
Kami berdua akhirnya berpelukan, dan kembali mengenakan pakaian masing-masing.
Sore telah berganti malam, hujanpun mulai reda. Mobil melaju pelan, mengantarkan kami kembali pulang bersama dengan kenangan rahasia yang hanya kami berdua yang tahu.
Bersambung..
7249Please respect copyright.PENANAvJUQ5l65Bg