4 Tahun Kemudian...
Setelah kelulusanku di Sekolah menengah, aku dan Rian memutuskan untuk melanjutkan pendidikan di Universitas Indonesia di kota depok. Meski terkadang harus bolak-balik ke kota Bogor untuk mengurus berbagai hal, namun dengan inisiatif dan semangat, kami berdua bisa melalui semua itu.
Waktu berjalan begitu cepat, hingga tak terasa Empat tahun sudah kita lalui bersama. Hubunganku bersama Rian masih terus berlanjut, kamipun sempat tinggal bersama dalam satu kos dikota depok semenjak menempuh pendidikan. Tak terhitung sudah berapa kali Rian meniduriku. Bahkan kami pernah bercinta di ruang kelas disaat jam kuliah kosong. Namun dengan semua yang Rian berikan kepadaku bahkan dalam bentuk biologis, aku tetap masih belum bisa terpuaskan.
Terkadang Rian menanyai bagaimana kemampuannya di atas ranjang, aku hanya mengangguk tersenyum berupaya untuk membuatnya senang. Aku menikmati hubungan ini, namun didalam lubuk hati aku masih kekurangan. Entah apa itu, yang pastinya aku masih menginginkan lebih dari sekedar seks semata.
Selepas kelulusan kami di universitas Indonesia. Kami memutuskan untuk kembali ke kampung halaman, Bogor.
Rian kini berprofesi sebagai kepala manager menggantikan posisi yang sebelumnya di tempati oleh almarhum ibunya.
Akupun kini telah menjadi ibu rumah tangga. Rian memutuskan untuk menikahiku, menjadikan diriku sebagai istri sahnya.
Kesibukanku dirumah hanya mengurus berkas-berkas di meja kerja suamiku. Perihal kebersihan dan keamanan rumah sudah diserahkan kepada asisten rumah tangga dan satpam pribadi, bahkan kini Rian tak perlu menyetir sendiri untuk menuju ke kantor, sang supirlah yang bertugas untuk hal itu.
Dengan kemampuan ekonomi yang cukup mapan, kami berdua tak perlu mengkhawatirkan perihal masa depan. Kami juga rutin menyempatkan diri untuk berlibur kedalam bahkan keluar negeri sekalipun, untuk sekadar merefresh pikiran yang selama ini terbebani.
Namun dari kesempurnaan itu semua, ada hal yang masih membebani kami.
Ya! Anak. Sudah setahun lebih pernikahan kami, aku masih belum memberikan tanda kehamilan. Sudah beberapa kali kami mencoba berbagai hal, namun hasilnya masih nihil. Kamipun sempat merencanakan program bayi tabung, namun semua itu batal terlaksana perihal kondisi sperma yang ternyata adalah masalah utama dari semua ini.
Sperma Rian ternyata kurang sehat untuk menampung ovarium dalam rahimku. Dokter menjelaskan bahwa kesehatan dalam sperma sangat penting untuk mengembangkan janin dalam rahim, dan hal itu tidak memungkinkan untuk pembuangan dalam rahimku.
Sempat aku menyarankan untuk mendapatkan donasi sperma dari lelaki lain, namun hal itu seketika dibantah oleh Rian. Ia tak mau memiliki anak bukan dari darah dagingnya sendiri.
***
Jam menunjukan pukul 18:45, kami berdua menyantap makan malam dengan hening. Selepas pertengkaran kami perihal keturunan, aku dan Rian tak bertegur sapa. Hal itu sudah sering terjadi di rana rumah tangga kami. Rian seringkali menunjukkan sikap egoisnya ketika ia dihadapkan suatu hal yang harusnya dapat kami selesaikan berdua.
Ditengah santapan kami, Telepon rumah tiba-tiba berdering nyaring. Mbok Mina yang berada diruang dapur seketika berlari mengakat panggilan tersebut. Setelah menjawab panggilan itu, beberapa detik kemudian Mbok Mina menyerahkan telpon rumah itu kepada suami saya.
"Iya, saya Rian sendiri.." jawabnya, setelah membersihkan sisa makanan di sekitar bibirnya.
"Iyaa... apakah benar?!"
"Aku akan segera kesana!!" Rian tiba-tiba bangkit dari kursinya, meninggalkan ruang makan menuju kamar.
Aku tak tahu perihal apa yang terjadi, diriku hanya mengikutinya dari belakang dan menanyakan tentang apa yang ia dengarkan tadi dibalik panggilan itu.
"Ada apa, sayang? apa terjadi sesuatu?"
Rian tak menjawab, ia hanya menyuruhku untuk bergegas menggunakan pakaian yang layak,"Kenakan sweatermu, kita kerumah sakit sekarang!"
mendengar hal itu, aku lantas menarik sweaterku yang tergantung dilemari pakaian. Tanpa make up dan hiasan diwajah, aku lantas berlari dibelakang suamiku.
Rian kini mengendarai mobil Pajeronya, menuju rumah sakit yang kuketahui dimana om John dirawat.
Sesampainya dirumah sakit tersebut, kulihat kini om John tengah duduk dikursi roda. disekelilingnya terdapat perawat dan dokter yang tengah memeriksa kondisinya.
Ruangan tersebut remang-remang, aku yang berada dibalik punggung Rian hanya bisa berharap yang terbaik untuk om John.
Rian yang menyaksikan keadan om John, seketika memeluknya erat. Satu-satunya yang tersisa dalam keluarganya hanyalah om John, meski pria tersebut bukanlah darah dagingnya, namun kini Rian dapat menerima semua hal itu. "Yang terpenting adalah keluarga" ujar Rian dalam dekapan ayah tirinya.
Mata om John kemudian tertuju padaku, ia menatapku lekat sembari memperhatikan. "Apakah ini Nisa?" tanyanya sembari tersenyum.
"Iya.." Rian menjawab dan mempersilahkan diriku untuk menyalami om John.
"Dia sekarang menantumu, Pa" Rian menambahkan. Hal tersebut membuat om John seketika tersentak kaget. Ia tak menyadari dan masih bingung akan keadaan saat ini.
"Berapa lama aku terbaring koma?" tanyanya terheran.
"Papa koma selama 5 tahun lebih" jawab Rian.
"Astaga!! aku melewati banyak hal!"
"Iya, Papa melewatkan kiamat kovid dan kebodohan para bocah Tiktok. Hahahahha" Kami semua tertawa diruangan itu, Rian memecah ketegangan dengan candaan khasnya.
Aku tersenyum melihat om John dan om John pun membalas senyumanku.
Sesampainya dirumah, om John yang masih beradaptasi dengan lingkungan berusaha untuk perlahan berjalan dengan baik.
Sudah sekitar sebulan lebih diriku membimbing dirinya untuk belajar berjalan lagi dengan normal, dalam proses tersebut beberapa kali om John terlihat kembali menggodaku, menggombalku dengan celotehan lucunya. Kami berdua kembali akrab, hubungan mertua dan menantu masih kami jaga, hingga hal tersebut goyah dan runtuh ketika suasana mulai ikut serta didalamnya.
Hujan deras mulai mengguyur disaat itu. Mbah Mina yang tengah kepasar tak sempat memberitahuku jika ada jemuran di teras belakang. Aku yang berinisiatif untuk mengambil semua pakaian itu tiba-tiba terjatuh. Dalam keadan basah diterpa angin hujan, tiba-tiba om john mengangkatku dan memopongku masuk ke dalam rumah. Aku duduk di sofa ruang tamu, lantas dirinya kembali mengambil semua jemuran yang sudah hampir basah.
Om John kembali kehadapanku, dirinya juga terlihat sedikit basah, namun tak sebasah diriku. Kami duduk berdua, tertawa bersama dengan kekonyolan yang kami hadapi.
"Kamu tidak apa-apa?" tanyanya sungkan.
"Aku basah om. eh! maksudku Pa" jawabku terbata-bata, malu.
"Kamu panggil om pun juga gak apa-apa"
"Aku sekarang adalah menantumu, John!"
"Tapi aku masih terjebak di masa lalu, dek Anisa" Ia kemudian menatapku lembut. Tak ingin terlarut didalamnya, kemudian kupalingkan wajahku ke sisi lain.
"Kamu ingat, sofa ini adalah saksi bisu kita waktu itu"
aku tak menjawab.
"Apa kamu mengingatnya?" pertanyaan tersebut seakan memancing memori masa laluku, aku hanya tertunduk malu dan mengangguk perlahan.
Badanku yang mulai menggigil seketika terasa hangat ketika tubuhnya perlahan mendekat. Om John mulai mendekapku pelan. Memelukku dengan lembut.
"Aku tahu ini salah, tapi aku tak ingin membohongi perasaanku. Aku masih mencintaimu, Anisa"
Aku masih terdiam, kuberusaha untuk tetap menahan perasaan ini. Sampai ketika, bibir om John mulai menyelusuri bibirku.
"Om John! aku tidak bisa..." Rontaku dalam dekapannya. Namun ia tak mempedulikan penolakanku, bibirnya masih terus melumatku, lidahnya mulai masuk kemulutku, menari-nari dalam rongga mulutku.
Aku mulai terpancing suasana, kumulai membalas dengan melingkarkan lenganku ke lehernya. Ciuman kami begitu panas, hingga tak sadar pakaian serta bra ku mulai terlepas. Aku dan dirinya mulai terburu nafsu. Kini diriku ditelentangkan disofa itu dengan setengah telanjang. Di hisapnya putingku sampai memerah, digigitnya sehingga membuatku mengelinjang menahan rasa geli.
Mertuaku ini sedari dulu sangat lihai mempermainkan puting payudaraku. ia bahkan tak merasa jijik sekalipun ketika jilatannya mulai beralih ke sisi ketiakku. Aku sudah lama merindukan sensasi permainan ini, permainan dimana hanya om John yang bisa melakukannya.
Diriku kini mulai dibopong meninggalkan ruang tamu itu, meninggalkan selembar pakaian dalamku menuju ke kamar. Sesampainya dikamar, diriku kemudian dilemparnya menuju kasur itu. Aku tertawa genit atas perilaku kasar mertuaku ini.
"Om john, kemari. Aku sudah lama menantikan ini" pintaku dengan telujuk nakalku. Diriku seakan menantangnya dalam pergulatan ini.
Melihat tingkah nakalku, Mertuaku kemudian mendekatiku. Ditariknya rok panjangku menyisahkan celana dalam putih brmotif bunga. Wajahnya di tenggelamkan disekitar selangkanganku. Ia menjilat tumpukan celana dalam itu. Aku basah, menahan rangsangan darinya.
Puas dengan jilatan demi jilatan, dirinya kemudian menarik celana dalam itu dengan kasar, sehingga tak hanya lepas, kancutku pun dibuat robek olehnya.
"Kasari aku om! kasari aku..!!" Aku meronta dibuatnya.
Setelah keadaan kami yang tengah telanjang tanpa sehelai benang, kamipun memuaskan diri dengan bergaya 69. Kontol om John kini berada dimulutku, sedangkan tubuhku menindihnya dan mengarahkan memekku ke dalam mulutnya. Kami saling ber oral. Beberapa kali air liur ku menetes ketika benda tumbul yang panjang itu menusuk masuk ke tenggorokanku.
Aku masih belum puas, sampai dimana ia mementokkan kontolnya dalam rahimku. Kubimbing kontol besar nan panjang itu memasuki memekku yang sudah mulai berair. "Shhh... Ahh.. Masukin, om John!"
Kontol mertuaku mulai terpompa dengan cepat. Aku sangat menikmati permainan ini. Beberapa kali diriku kehilangan kontrol dengan mendesah sedemikian keras. Aku seakan tak peduli dengan suara desahanku sendiri.
Sampai ketika, pandanganku yang kabur menangkap sosok pria dibalik pintu kamar.
"Astagaa!!! Riaaan!!"
3202Please respect copyright.PENANAQPj36biQfr
Bersambung...
3202Please respect copyright.PENANAULzSLGDcwA
3202Please respect copyright.PENANAlmAEcPadW7