Perasaan gelisah mebuatku kehilangan fokus dalam pelajaran. Beberapa kali diriku terlihat menoleh ke sisi belakang ruang kelas, memperhatikan jam dinding yang membuatku tergesa ingin segera mengakhiri kelas ini.
"Jam 2:30! 15 Menit lagi, aku pulang" Ujarku dalam hati. Beberapa teman memperhatikan tingkah anehku, mungkin mereka bingung mengapa aku terlihat terburu-buru. Apakah ada yang salah dariku? Atau karena alasan pertemuanku bersama om John, sehingga diriku terlihat gila.
"Bodoh sekali kamu, Nisa!" pekikku dalam hati. "Kenapa kamu begitu murahan!" hati kecilkupun memaki.
Setelah suara dering lonceng berbunyi, akupun segera mengepak perlengkapan sekolahku; Buku, pulpen dan penggaris kumasukkan semuanya kedalam ransel, lantas berlari keluar kelas menuju parkiran. Sesekali kulihat layar ponselku, berharap om John menelpon atau setidaknya memberikan pesan masuk akan rencana janjian kita kemarin. Aku sedikit kecewa akan pengabaian pesanku yang sedari tadi kukirim, om John tak membalasnya.
Beberapa keraguan mulai menyerangku, "Apakah ia membatalkannya? ataukah pesan kemarin hanyalah candaan belaka? Masa bodoh! Aku tetap akan ke wisma itu"
Setelah diriku mengamati lokasi dan bersiap untuk kesana, tiba-tiba Rian muncul di hadapanku. Dengan senyuman jailnya, ia lantas menghadang motorku dan kembali merengek untuk pulang bersama.
"Nisaa... Pulang bareng yuk!" rengeknya sembari memelukku.
"Aku tak bisa Rian, aku ada janji dengan teman!" jawabku, berbohong.
"Kalau gitu, aku ikut" pintanya.
"Tidak bisa!"
"Kenapa?!"
Aku hanya diam, dan berusaha menyingkirkan lengannya dari tubuhku.
"Kenapa kamu tak ingin aku ikut? Kamu pengen kencan dengan seseorang ya?!" Sikap kekanank-kanakannya muncul lagi, dan aku sangat kesal akan hal itu.
"Aku tak punya waktu untuk ini, Rian!"
"Kenapa?" Rian kembali memastikan.
"Minggir!! Riaaan!!" Aku kehilangan kontrol, dan tiba-tiba membentak Rian. Mendapatkan perlakuan itu, Rian tiba-tiba minggir seraya menunjukkan ekspresi kecewa.
Kulajukan motorku secepat mungkin. Kutengok kaca spion, terlihat Rian mematung sembari menatapku berlalu.
Ditengah perjalanan, perasaanku sangat bimbang. Aku teramat menyesal memperlakukan sahabatku sedemikian rupa, hanya karena ingin berkencan dengan pria lain, yakni ayah Rian sendiri.
Sesampainnya di wilayah itu, aku memastikan bahwa om John benar-benar berada di wisma. Aku sempat ragu untuk memasuki gedung bertingkat itu. Beberapa kali kutelpon Om John untuk memastikan, hingga pesan suara masuk; "Masuklah, aku menunggumu. Kamar nomor 18 lantai dua" Aku bergetar mendengarnya.
Kudorong pintu kaca gedung itu, aku masuk dengan langkah tergopoh-gopoh, mataku menoleh kiri dan kanan, memastikan tak ada seseorangpun yang mengenalku. Beberapa kali penghuni wisma menatapku curiga, mungkin perihal seragam sekolah yang aku kenakan, tapi setelahnya mereka mengabaikan, mungkin hal itu sudah lumrah terjadi ditempat ini, dimana siswa sekolah seringkali mengadakan pertemuan di sela-sela kencan mereka.
Kini diriku berada dilantai dua. Aku berusaha mencari nomor dari pintu ke pintu. 15, 16, 17 hingga pintu nomor 18 terpampang jelas di hadapanku. Aku terdiam didepan pintu itu, tanganku bergetar, batinku bergejolak, "apakah aku harus melakukan ini? atau baiknya aku pergi?" Aku ragu, tapi hatiku tetap ingin melakukannya.
Tanpa kusadari, tanganku tiba-tiba terangkat dan mengetuk pintu itu. Diriku tersontak setelah pintu itu terbuka dan menampilkan sosok pria paruh baya yang berdiri setengah telanjang. Om John hanya mengenakan handuk putih tanpa atasan. Perutnya yang bergaris kotak terpampang jelas di hadapanku. Ia tersenyum genit melihatku, wajahku memerah menahan malu.
"Kenapa diam saja?" tanyanya, setelah melihatku mematung malu.
Pikiranku buyar, hatiku bergetar. Perasaanku tiba-tiba menikuk tajam, "Apa yang kau lakukan disini, wanita murahan!" hati kecilku memaki diriku sendiri.
"Om! Sebaiknya aku pulang saja," ujarku dengan menunduk malu meninggalkannya. Tak selang beberapa langkah, om John tiba-tiba menarik lenganku dengan kencang, membuat tubuhku ikut masuk ke dalam kamar tersebut. Ia lalu menutup pintu dengan keras.
Tubuhku kini berada di atas kasur, ia memegang kedua lenganku, menindihku lantas melumat leherku. Aku meronta dibuatnya, aku tak ingin perlakuan seperti ini. Namun apalah daya, kekuatannya jauh lebih besar dari upayahku untuk melepaskan diri.
Alangkah bodohnya aku, aku sendiri yang memancing pergulatan ini, dan aku sendiri yang merasa menderita.
Setelah tiga menit lumatan dan ciuman yang dilontarkan kepadaku, akupun akhirnya tumbang dan pasrah. Dengan penglihatan yang samar, Om John kini terlihat telanjang tanpa sehelaipun. Tubuhku diangkatnya dengan mudah, membaringkan diriku di tengah ranjang dan melucuti semua pakaianku. Sesekali diriku menolak perlakuannya, namun apalah daya nafsu mulai membara dalam tubuhku.
"Om.. Jangan kasar, aku gak suka.." pintaku memohon.
"Maaf dek, maafkan aku.." Ia lantas tersadar dan menghentikan kekasaran itu. Ia tetap menindihku, sembari mengelus rambutku dengan lembut.
Aku menatapnya penuh harap, berharap pengalamn pertamaku ini menjadi suatu hal yang indah. Ia menangkap harapan itu dari matanya, lantas kembali menyetubuhiku dengan lembut.
Ia memulainya dengan bibir. Diciumnya bibirku dengan penuh gairah, lumatan demi lumatan. Air liur kami bersatu, aku mengimbanginya dengan ikut serta dalam permainan lidahnya.
Beralih kesisi bahuku. Kedua tanganku kemudian diangkatnya sehingga menampilkan kedua ketiakku tanpa bulu. Ia menciumnya, menghirup bau keringat yang membuatku merasa malu. Jilatan demi jilatan diberikan, ia tak segan untuk melumat lipatan itu. Aku tahu ini aneh, tapi rasanya aku menyukainya.
Ciumannya kini beralih ke bagian perutku. Lidahnya menari-nari di lubang pusarku. Aku merasa geli dibuatnya, tapi aku menyukai kenakalan ini.
Ditengah jilatan demi jilatan, aku tersentak ketika jemari om John mulai meraba selangkanganku.
"Om..!" pekikku. Ia tak mempedulikannya, ia tetap menjilat perut dan pinggangku sembari mempermainkan bibir memekku yang mulai memerah.
Setelah puas dengan permainan lidahnya, ia lantas bangkit, memperlihatkan kontolnya yang sudah menegang panjang. Aku menutup mataku dengan tangan, namun rasa penasaran mengabaikan rasa maluku. Ia tertawa kecil. Diraihnya tanganku dan membimbingku untuk mengocok rudal tumpul itu.
Aku kini terduduk di pinggiran kasur, berdua kami telanjang sembari memuaskan diri. Kukocok kontol itu dengan pelan, dengan malu aku menengadah ke atas, kulihat om John mendongak sembari mendesah menikmati kocokanku.
Melihat kenikmatan yang kuberikan, aku tersenyum genit lantas tak sadar mulutku mulai menjilati benda tumpul itu. kukulum kontol itu dengan mulutku, berusaha memasukannya sedalam mungkin, tapi apalah daya hanya setengah batang itu yang bisa masuk dan memenuhi rongga mulutku.
Tangan om John mulai beralih ke sisi kepalaku. Tangannya mulai mendorong kepalaku untuk memasukkan kontolnya lebih dalam ke tenggorokanku. Aku kewalahan atas permainannya, berkali-kali diriku berusaha melepaskan diri apabila benda tumpul itu menyentuh dinding tenggorokanku.
Air liur berceceran di sekitar mulutku, aku mendongak ke atas, seakan memohon untuk melakukannya lebih lembut.
Tak puas dengan sepongan mulutku, kini om John beralih untuk menikmati bagian selangkanganku. Dengan gesitnya ia mengangkat kedua pahaku lantas membenamkan wajahnya kesekitar selangkanganku.
Ia mulai menjilat area sensitif itu. Dipermainkannya klitorisku, dijilat dan diemutnya layaknya biji kacang.
Aku dibuat kejang. Tak sadar tanganku mulai menjambak rambutnya. "Lagi Om.. Hmmm Ahhh shhh... Nisa suka, Om!" leguhku kepada om John.
Permainannya mulai terasa cepat. Tak hanya sekedar menjilat, lidahnya kini mulai masuk kedalam lubang memekku, menari-nari didalamnya. Jemarinya pun mulai lihai mengocok memekku, bergantian dengan mulutnya.
Aku tak mampu mengimbangi permainan om John. Tak selang beberapa menit, akupun menyemburkan cairan cintaku. Aku terperangah, tubuhku terangkat sembari meremas seperai putih dikasur itu.
"Ooooommm!!! aku sampaiii.. Ahhhh!!! Shhh!! Hmmm ah!"
Beberapa kali kusemburkan cairan itu yang mengenai wajah dan dada om John. wajahku merah padam menahan malu, kututup mukaku dengan tangan, berharap om John tak memperhatikan tingkah konyolku.
Ia hanya tersenyum melihat kepolosanku. Ia lantas mendekapku, menindihku dengan tubuh besarnya. Disingkirkannya tanganku, seakan dirinya ingin melihat wajah maluku.
"Suka?" tanyanya pelan. Aku tak menjawabnya, diriku hanya mengangguk tanda mengiyakan.
"Apakah kamu ingin melanjutkannya?"
Aku kembali mengangguk, sembari tersenyum malu.
Bersambung...
ns 15.158.61.23da2