Cahaya lampu terlihat remang-remang, dihiasi Laron yang terbang menari disekitarnya. Musim hujan memang menjadi rutinitas hewan bersayap satu ini, selain mengganggu, mereka juga terlihat menyebalkan. Tak sedikit dari mereka terkadang hinggap di atas menu makan malamku, membuatku tak sadar membunuhnya dengan cara meremasnya dengan jari telunjukku.
"Sayang! Itu kotor, bersihkan kembali tanganmu!" pinta Ibu, setelah melihatku membunuh seekor laron yang sedari tadi membuatku kesal.
Kami kembali menikmati menu makan malam yang seadanya, hanya ada beberapa tempe goreng, sayur bayam, ikan kering yang digoreng dadakan dan selada yang terpampang di atas meja. Tak ada yang spesial, mengingat kondisi ekonomi kami yang tergolong rendah.
Ibu sendiri memang sudah menjanda sedari dulu, ayah angkatku telah meninggal disaat diriku masih berumur 5 tahun. Hanya aku lah satu-satunya harapan dan teman berbagi keluh kesah, meski bukanlah darah dagingnya sendiri, namun status diriku sebagai anak adopsi tidaklah menjadi masalah, bahkan hal itu sudah lama terlupakan.
Ibu kini telah mencapai usia senjanya, 48 tahun dirinya kini. Namun meski sudah berkepala empat, dirinya masih saja tekun untuk mencari nafkah, membesarkan diriku seorang diri, bahkan berniat menyekolahkanku hingga lulus dari perguruan tinggi.
Terkadang diriku merasa bersalah, mengingat statusku sebagai anak adopsi, aku tak bisa membantu banyak. Akupun sempat mengutarakan niatku untuk berhenti sekolah dan memilih untuk bekerja membantu ibu, namun hal itu dilabrak oleh Ibu dan membuatnya sedikit marah. Ia tak ingin melihatku gagal seperti dirinya, tak ingin melihatku cepat menikah dan hanya menjadi ibu rumah tangga rendahan. Tujuan dirinya untuk bekerja keras dan menghasilkan uang hanyalah agar aku bisa sukses dan berhasil, sebelum dirinya tutup usia.
Aku sangat menyayangi ibuku, meski bukanlah ibu kandung, namun rasa cintaku padanya lebih besar dari sekadar status belaka.
***
Kamis sore, diriku kembali menjejalkan kaki dirumah Rian. Ada beberapa tugas yang harus kami kerjakan. Sebenarnya tugas ini kami niatkan untuk dikerjakan secara kelompok, namun beberapa teman kami mempercayakannya saja kepada kami berdua dan setelahnya mereka hanya menyalinnya di sekolah saja.
Sikap yang busuk menurutku, itulah mengapa Indonesia enggan menjadi negara maju, generasi mereka hanyalah kumpulan bermental malas dan koruptor, pikirku.
Setelah memasuki rumah, Rian menggandeng tanganku untuk segera kelantai atas. Kupalingkan wajahku di sudut ruangan, terlihat sofa coklat, dimana diriku telah merasakan pengalaman yang membuat jantungku berdebar. Sofa itu telah menjadi saksi bisu kenakalanku, pengalaman pertamaku dan rasa manisnya kasih sayang. Aku tersenyum genit mengingat kembali momen itu.
Ruang kamar Rian sudah sedikit berubah, terakhir aku masuk dikamar ini setelah kelulusan SMP kelas tiga. Aku masih ingat dimana Rian hendak menciumku di tembok dekat meja belajarnya, ia menyudutkanku di tembok itu, menjulurkan mulutnya yang membuat diriku merasa risih. Aku tertawa mengingatnya, ciuman pertamaku yang batal akibat kekonyolan temanku sendiri.
Rian masih sibuk mencari sesuatu di bawah kolom tempat tidurnya. Aku hanya berdiri mematung dan mengamati sekitar. Rian tampak sibuk sendiri, sehingga diriku merasa bosan dan berinisiatif untuk kelantai bawah, mengambil secangkir air untuk menghilangkan rasa haus yang sedari tadi kupendam.
Mataku mengamati setiap inci rumah itu, tak ada seseorang yang kucari sejauh ini, "dimana dia? apakah dia keluar?" batinku bertanya, sampai akhirnya kutemukan dirinya. Om john yang tengah asik berkebun dipekarangan belakang.
kudekati jendela kaca itu, kuamati dirinya yang hanya menggunakan kaos singlet putih, menampilkan tubuhnya yang kekar, berotot dan dipenuhi dengan peluh keringat. Ia tengah sibuk menggarap tanah yang kiranya hendak ditanami sebuah sayuran. Aku terpanah melihatnya, khas lelaki matang yang membuatku bergairah.
Tak sadar kugigit bibir bawahku, tanganku bermain disekitar selangkangan, hingga diriku tersadar dan menghentikan semua kegilaan itu. Aku lantas berlalu menuju dapur dan mengambil sebotol minuman yang berada di dalam lemari pendingin.
Namun disaat diriku hendak kembali kekamar, tiba-tiba diriku dikagetkan oleh sosok pria yang menatapku cermat.
"Om John! kamu membuatku kaget" bentak ku kepadanya.
"Hahaha.. maaf"
Kami tertawa bersama, sambil meneguk minuman masing-masing.
"Ada apa kemari?" tanya Om John, penasaran.
"Aku ada tugas kelompok," jawabku singkat, kusandarkan pantatku di meja dapur sembari memegang botol mineral dengan santainya.
"Ohh.. aku kira Nisa mencariku? Haha"
Aku hanya tersenyum dengan gombalannya. Kupalingkan wajahku dan balik bertanya, "Apakah Om tidak marah atas kejadian kemarin?"
"Tidak..." jawabnya singkat.
"Maaf, aku mengecewakanmu, om"
"Kamu tidak mengecewakanku, Anisa! Om yang bertindak terlalu jauh" ucapnya, berusaha menenangkanku.
Mata kami lantas bertemu, ia mulai mendekatiku, tubuhnya perlahan mendekapku, tangannya beralih ke sudut pantatku, memopongku hingga diriku kini duduk tepat dimeja makan berhadapan dengannya. Nafas kami berderuh dan tak kuasa menahan getaran nafsu, hingga akhirnya bibir kamipun mulai beradu.
Lidahnya menari-nari dimulutku, seakan mencari dimana lidahku berada. Kubalas lumatannya, kugigit bibir bawahnya yang membuat air liur kami berdua menetes dan membasahi seragamku. Bibirku basah, setelah jilatan demi jilatan. Aku menikmatinya, hingga suara langkah kaki menghentikan kami.
Rian berdiri menatap kami yang telah berubah posisi. Ia menatap kami berdua dengan tatapan curiga, keningnya berkerut disaat matanya tertuju pada sosok ayah tiri yang paling ia benci.
"Ngapain kamu sama dia?!" bentak Rian, sembari menarik tanganku menuju belakang punggungnya.
"Aku cuman ambil air mineral, kok Rian"
Ia tetap menatap tajam Om John, seakan dirinya hendak menerkam dan menghabisi ayah tirinya itu.
"Jangan macam-macam kamu sama pacarku! jika kamu menyentuhnya, aku tak segan melaporkanmu ke polisi!"
Mendengar ancaman itu, hatiku sedikit tergetar, "Begitu sayangnya kah Rian kepadaku? sehingga ia tak rela seseorangpun menyakitiku?" terlebih lagi ia mengaku kepada ayahnya bahwa kita adalah sepasang kekasih, yang pada faktanya kita hanyalah sebatas teman belaka.
Kuintip om john dibalik punggung Rian. Ia tak bereaksi sedikitpun, ekspresinya datar dan biasa saja, ia terlihat santai menghadapi remaja posesif ini. Sungguh sangat dewasa, membuatku semakin kagum kepadanya.
***
Kurebahkan tubuhku dikasur usang itu, tatapanku kosong menengadah platfom rumah yang sudah ambruk tak terawat. Pikiranku kemana-mana, membuatku semakin lelah setelah seharian mengerjakan tugas bersama Rian.
Ingin rasanya waktu ini terhenti sejenak, agar kubisa mengistirahatkan tubuh dan pikiranku selama mungkin. Aku lelah akan drama dan beban kemiskinan ini. Jika bisa kuhidup kembali setelah kematian, aku akan akhiri hidup ini dan memilih untuk terlahir dari keluarga kaya dan berada.
Skenario lamunanku membawaku terlalu jauh, hingga semua itu teralihkan ketika suara pesan masuk dari ponsel mengagetkanku. Kuperiksa pesan itu, terpampang nama Om John dilayar ponsel.
"Aku tak bisa melupakanmu.."
Kata-kata itu seakan memancingku untuk segera membalasnya.
"Aku juga, om" balasku.
"Apa kamu ingin bertemu kembali?"
"Dimana?" tanyaku penasaran.
"Datanglah besok ke wisma Mekar Sari, aku akan mengirimkan alamatnya dan nomor kamarnya." Melihat pesan itu, seketika membuat wajahku memerah padam. Rasa malu, takut dan penasaran bercampur dalam perasaanku. "Apa maksud dari pesan tersebut? apakah om benar-benar ingin melakukannya?" tanyaku dalam hati.
Aku lantas melempar ponselku ke sisi kasur. Aku tak membalas pesan tersebut. Kupeluk bonekaku dengan erat, berharap tidurku akan melupakan pesan yang tadi aku baca.
Namun dengan beban perasaan yang sangat menekanku, kubangkit dari pembaringanku, lantas kuraih kembali ponsel tersebut dan membalasnya, "jam berapa?"
"Sepulang sekolah.."
Aku diam dan kembali menghempaskan ponsel tersebut. Dalam dekapan pelukanku, aku tersenyum bersama dengan perasaan cinta. Dalam hatiku bertanya;
"Akankah besok aku benar-benar melakukannya?"
Bersambung...
2161Please respect copyright.PENANALMauLZETLC
ns 18.68.41.175da2