Mereka menyaksikannya. Meresapinya hingga benar-benar dapat dipercayai dan menjadi bukti tak terbantahkan. Dan ya, SPeN terus menggulirkan cerita yang tak berkesudahan. Meski begitu, SPeN pelan-pelan melangkah maju menemukan kebenaran musuh-musuh tak terlihat yang menyusupi Sin, yang sempat mengeliminasi pertahanan SPeN dengan sangat halus. SPeN paham betul, yang sedang mereka hadapi tak dapat dipandang sebelah mata. Beberapa bahkan menyadari, ini bukanlah cerita yang baru dimulai. Ini episode yang sempat tertunda dan kini muncul kembali dengan kemasan cerita yang lebih jelas.
Kehadiran dua pria yang berhasil ditangkap oleh anggota Pasukan 13 Kesatria, telah ditempatkan di kurungan isolasi khusus berkeamanan tinggi, serta dengan lapang dada menyebut dirinya manusia malam, memperkuat cerita dan munculnya manusia malam sebagai bukti tak terbantahkan itu.
Dan sejak keduanya tertangkap, hari ini Tim Penyidik dari Pasukan 13 Kesatria benar-benar baru melakukan penyidikan secara intens dan lebih lama dari saat pertama mereka berjumpa. Bertatap mata, membaca gerak dan emosi, bertemu nafas, dan berbagi udara dalam ruangan kedap suara bermonitor.
Mengejutkan. Keduanya cukup kooperatif. Berbicara secara terbuka atas pertanyaan yang dilontarkan oleh Tim Penyidik mengenai fakta manusia malam ketika proses penyidikan dimulai. Bahasa tubuh keduanya mendeskripsikan betapa keduanya merasa tenang—sama sekali tak terganggu. Sama sekali tak ditemukan raut khawatir maupun takut. Seorang yang berambut pendek tegak meletakkan tangannya yang diborgol di lengan kursi dan bersandar dengan nyaman. Sementara yang seorang lagi, beramput panjang lurus seleher dengan potongan yang sangat rapi, mendekat ke arah meja, meletakkan tangan di atas meja sembari menopang dagu dengan tangan kiri dan jari telunjuknya terangkat ke atas.
Ketika penyidik mengutarakan pertanyaan mengenai ciri manusia malam yang bisa dijadikan petunjuk—dan ya jika memang berbeda, si pria berambut panjang tanpa sungkan menunjuk ke arahnya sendiri sembari mengangakan mulut. Bahwa bukti-bukti ciri itu dapat dilihat tim penyidik saat ini juga secara fisik.
Dan ah, kau dapat memperhatikannya dengan jelas—sangat jelas. Kau pun mungkin spontan membandingkannya dengan dirimu sendiri untuk menilai keberbedaannya denganmu yang menyebut diri sebagai manusia. Dua anggota tim penyidik yang juga ikut di saat hari tertangkapnya manusia malam, memang telah menyadari visual yang cukup mengganggu pikiran. Bukan karena visual keduanya buruk, namun “lain”-nya visual yang dimiliki keduanya, meski bukan yang paling mencolok, cukup membuat sekitarmu menyadari bahwa keduanya seperti tak mungkin datang dari Kota Sin.
Berambut hitam pekat senada dengan warna iris matanya yang besar di atas rata-rata yang bisa dijumpai penduduk dan pengunjung Kota Sin. Meski tak melewati bibir, Gigi taring menjulur lebih panjang dari barisan gigi lainnya. Berkulit pucat. Lalu, dibalik sarung tangan hitam—sengaja dipasangkan dengan alasan keamanan, diputuskan dan dilakukan sejak hari pertama keduanya tertangkap, kuku-kuku jemari meruncing keras sepanjang satu sentimeter.
Tim penyidik yang berada satu ruangan dengan dua pria manusia malam yang mengenalkan dirinya dengan nama Kev dan Mev—Kev si pria berambut pendek dan Mev si pria berambut panjang seleher, serta anggota lainnya, termasuk Komandan Galen yang berada di balik ruang monitor berkaca yang juga ikut menyaksikan jalannya penyidikan terpaku cukup lama untuk meresapi sekaligus memvisualisasikan Kev dan Mev pada fisik mereka sendiri. Apakah perbedaan yang keduanya tunjukkan dapat memandu mereka—SPeN, untuk menyelesaikan teka-teki kejahatan yang sedang diselesaikan?
Pun sama sekali tak menyangkal keterlibatan keduanya pada misteri hilangnya warga di pulau terluar Sin karena memang bukti-bukti telah didapatkan dan dikumpulkan oleh Tim Penyidik. Sayangnya, sikap sebaliknya ditunjukkan ketika pertanyaan mengarah pada pemimpin yang memegang kendali perintah mutlak pada aksi keduanya. Mev berkata bahwa sesi kooperatif keduanya telah usai. Namun, sungguh, emosi keduanya sama sekali tak berubah, meski penyidik mengubah sedikit metodenya—cukup kasar, masih tertata tenang tanpa merasa dirisak. Akhirnya, malah menguji kesabaran penyidik.
Sebelum akhirnya keduanya menutup mulut, Kev mengatakan kalimat terakhirnya, bahwa yang kelompok mereka lakukan hanyalah penyelamatan yang diperlukan sebelum kebenaran benar-benar terkubur oleh kebaikan yang pura-pura, dan keduanya siap berkorban nyawa untuk menutupi yang diperlukan agar rencana sang pemimpin—dan meski itu artinya harus berakhir mati di sini. Mev pun menimpalnya dengan menantang Dipaskus untuk tak jadi pengecut bila ingin menemukan pemimpin keduanya, yang pastinya akan berhadiah jawaban paling dinanti.
Penyidikan pun terpaksa diberhentikan sementara. Tim kembali merapatkan dan mengatur strategi ulang dengan beberapa skenario agar dapat mengarahkan penyidikan lebih optimal.
Sementara itu, kegaduhan mulai merayapi Kota Sin tak lama berselang penghentian penyidikan. Lagi, setelah peristiwa Ringge malam itu. Kali ini disebabkan oleh buku berukuran kecil—seperti buku saku, tak lebih dari empat puluh halaman, berjudul “Ada Manusia Malam di Antara Kita dan Rahasia Kelam SPeN”, menyebar di hampir semua golongan masyarakat. Belum lagi, situs web gelap, kolom-kolom diskusi daring, dan media cetak murahan melahap kegaduhan itu menjadi topik yang hangat untuk diulas, tak lama setelah Komandan Galen yang meninggalkan ruangan ketika mendapatkan kabar tersebut dari Letnan Rastha.
Sayangnya, hukum kecemasan kadang berlaku ketika di saat yang sama kau tak boleh lengah akan kewaspadaanmu. Tak nyaman. Khawatir. Gelisah. Takut. Terjepit diantara situasi yang sulit. Ah, rasanya tak berlebihan bila menyuarakan gelombang kecemasan ini telah menjalar pada orang-orang di balik kursi megah pada “malam itu” yang mengetahui kebenarannya—ketika Ringge datang dengan segala kehebohannya.
Seperti seseorang di balik pintu kayu paling besar di gedung SPeN, sedang menyandarkan tubuhnya di punggung kursi kebesarannya, menatap lurus pada dinding kaca tembus pandang yang melihatkan bangunan-bangunan megah dan ikonik Kota Sin. Ah, ia tak sendiri. Di balik jemala nirkabel miliknya, seseorang nun jauh di sana, yang juga berada di balik kursi dalam ruangan temaram sedang membisikkan sesuatu di telinganya.
“Sudah saatnya kau mengeluarkan taringmu, Komandan Besar. Tentu saja ini bentuk pengabdian pada negaramu. Kau harus mampu melindungi kejayaan negaramu dari tikus-tikus pengerat tak tahu diri. Bahwa selokan adalah tempat terbaik mereka untuk tetap hidup. Temukan dan ingatkan mereka akan jati diri sebenarnya bersama teman-teman yang telah kami siapkan untukmu.”
@_@
“Padahal aku telah terbiasa dengan ini. Tapi, aku selalu kagum dengan bakat aktingmu, Kak Ruwi.” Ujar Lintang ketika Ruwi menyelesaikan bagian rekaman video terakhir.
Ruwi tersenyum.
“Hanya saja, aku tak mengerti alasan kau mengambil peran beresiko dalam rencanamu kali ini.”
“Sudah saatnya aku lebih menonjol agar semakin dekat dengan mangsa yang kunanti. Dan kau—”
“Ya. Dan aku harus tetap dengan peranku. Lakukan seperti yang kumau.” Tukas Lintang yang paham betul maksud Ruwi. “Aku sedikit mengerti Kak Ruwi. Meski, kau selalu seenaknya bergerak tanpa memberitahuku dengan jelas. Bahkan, tentang mangsa yang kau maksud sesungguhnya.”
“Tapi, kau hampir selalu berhasil mengartikannya. Dan biarlah mangsa itu menerima kejutan.” Ruwi tertawa rendah sembari mengedipkan mata kirinya. “Dan bagaimana, kau sudah menemukan jawaban atas pertanyaanmu sendiri tentang alasanku memilih gedung ini untuk hadiahku pada Kota Sin selanjutnya?”
“Sejujurnya hanya sedikit yang bisa kugali. Akhir-akhir ini, Anda begitu merahasiakan tindakanmu. Sangat berhati-hati, bahkan denganku.”
Ruwi tertawa. “Aku tak sengaja merahasiakannya darimu. Hanya tak membuatnya mudah untukmu. Bukankah, PR yang sulit akan menajamlan kemampuanmu, Lintar?
Lintar mengangguk-angguk, seperti pasrah mengiyakan. “Ah ya, Kak Alan sudah menunggumu di luar. Ia tiba di sini setengah jam lalu.”
Ruwi menyambar kunci mobil dan ponsel di atas meja di sampingnya tanpa mengganti pakaian yang dikenakan untuk rekaman dan tanpa membersihkan riasan di wajahnya. Lalu, sesaat terpaku pada ponselnya.
“Setelah urusanmu selesai di sini. Pergilah ke tempat yang baru saja kukirim. Ah, dilaci mobil telah kusiapkan dengan sempurna jawaban atas pertanyaanmu. Lihatlah, aku guru yang baik. Kau tak harus mempercayainya. Tapi, biarkan kukatan satu hal, tentu saja hotel paling tua di kota yang namanya telah dihapuskan—yang kita datangi tiga hari lalu, menyimpan sejuta cerita yang tak ingin diketahui dunia. Hotel eksotik yang semakin lama kehilangan pesonanya—menyisakan bau tuanya, tapi masih bisa kau endus samar-samar sisa-sisa udara yang dihirup oleh manusia yang saat ini enggan melihat wajah manusia malam, padahal ia adalah bagiannya.”” Ruwi berjalan ke luar ruangan menuju lobi.
Bertemulah Ruwi dengan Alan.
“Hai, Kak Alan. Kirimkan supirmu untuk beristirahat. Hari ini, aku akan menjadi supirmu. Perjalanan cukup panjang ini sepertinya akan cocok untuk kita berdua saling memahami satu sama lain setelah lama berpisah.”
“Seperti aku tak tahu kebiasaanmu saja yang tak menyukai kehadiran orang tak berguna bagi rencanamu.” Sahut Alan sembari mengisyaratkan supirnya untuk pergi. Lalu, berdiri dari kursi tunggu.
“Jangan terlalu buruk menilaiku, Kak Alan. Aku hanya ingin menghabiskan waktu denganmu.” Jawab Ruwi yang kemudian memimpin jalan menuju mobil miliknya yang terparkir tepat di depan gedung.
Alunan musik para musisi indie folk terus beralih satu demi satu mengiramakan nada-nada lagu yang seolah melengkapi perjalanan syahdu Ruwi dan Alan, yang membelah jalanan hitam berhutan tinggi-tinggi menghijau tua.
“Lalu, apa yang kali ini kau rencanakan dengan Para Gagak dan aku?”
“Hei, Kak Alan, berhentilah seolah aku mendiktemu. Kaulah sekarang pemimpin Para Gagak.”
Senyuman menyeringai mengukir di bibir Alan. “Setelah mengkhianati mereka, kau pikir mereka akan menurut padamu? Ah, tidak, kau pasti telah menyiapkan umpan yang tanpa sadar membuat mereka mengikuti rencanamu. Seperti Para Gagak yang juga tak menyadari kaulah dalang yang menyatukan mereka setelah kejatuhannya tiga tahun lalu. Meski, dengan alasan apa kau membantu Para Gagak karena kemudian kau membuangnya padaku. Atau memang kau sengaja menyiapkan mereka agar bisa menggunakannya untuk rencana-rencanamu seperti hari ini.”
Ruwi tersenyum tawar. “Entah kau akan percaya padaku. Tapi, ya karena aku tahu kau tak akan menolaknya dan akan merawat Para Gagak lebih baik dariku. Dan tentu saja karena aku percaya kau tak akan menjadi seperti ayah dan kak Oran.”
Menjeda. Sekali lagi, alunan musik memainkan perannya membangun pengertian diantara Ruwi dan Alan. Entahlah, keduanya sedang disimpulkan dalam benak masing-masing.
“Aku tak memaksa kakak dan Para Gagak terlibat terlalu dalam. Tapi, ya, sesuatu yang besar akan terjadi dan besar kemungkinan akan melibatkan Ringge.”
“Kenapa kau menggunakan bahasa yang rumit untuk mengatakan keinginanmu. Sangat jelas jika kau ingin Para Gagak ikut bergerak pada rencanamu kali ini. Lihatlah, kau sudah menyediakan umpan paling ditunggu dan dicari Para Gagak.”
Ruwi tertawa. “Aku tak memintamu ataupun Para Gagak mengikuti rencanaku, Kak Alan. Kalian bebas menentukan dengan cara yang biasa kalian lakukan. Lagipula, Para Gagak tak pernah menaruh perhatiannya padaku.”
“Tak bisakah kau berterus terang?”
“Aku ingin kita berbagi keuntungan. Sudah saatnya mengenalkan Para Gagak dari sudut pandang berbeda dari yang manusia pikirkan tentang mereka.”
“Kau mirip dengan ayah dan Oran. Terlalu terobsesi dengan ‘manusia-manusia itu’ di Kota Sin.”
“Meski aku tak sependapat, tapi ya, dengan begini aku tak harus menjelaskan arah pembicaraan kita karena kuyakin kau jauh lebih paham rencana ayah dan kak Oran. Dan ya, aku selalu berfirasat, sesuatu yang buruk akan terjadi di kota Sin. Saat itulah Para Gagak akan menjadi kameo tak terduga yang perlahan akan menggantikan ceritanya yang dulu menjadi sang penyelamat.” Ruwi tertawa. “Ah, ini akan menjadi cerita menarik.”
“Imajinasimu sejak dulu selalu menjengkelkan. Lalu, Ringge?”
“Daripada imajinasi, aku lebih suka bila menyebutnya sebagai intuisi. Ringge? Hmm... akan kujelaskan nanti saat kita telah berjumpa Para Gagak. Mereka pasti akan datang di tempat yang yang dijanjikan, kan?”
“Yang perlu kau khawatirkan adalah apa yang mereka siapkan untuk menyambut kedatanganmu.”
“Ya, ya. Aku akan bersiap. Dan ya, omong-omong tentang menyambut, apakah kau tak khawatir tak menyambut kedatangan abangmu yang telah lama hilang dari sisimu? Malah memilih bersepakat denganku. Ayah pasti sangat mengharapkanmu.”
“Kau sendiri, bukankah seharusnya kau menunjukkan kepedulianmu pada saudara yang tak pernah sekalipun kau lihat? Ibu pasti senang melihatmu bersamanya menyaksikan momen bahagia itu.”
Ruwi diam. Tak lama berselang, Inisial T.G muncul di layar ponsel Ruwi. Dijawabnya panggilan telpon itu melalu jemala nirkabel yang terpasang di telinganya.
“Oh, hai, Tuan Galen. Aku sedang dalam perjalanan penting. Kuyakin, Anda pun tak punya banyak waktu untuk dibuang begitu saja di tengah kesibukan Kota Sin. Apa yang ingin kau bicarakan denganku?”
“Apa yang kau cari dengan melakukan ini?”
“Ah, maksudmu buku kecil yang sedang menjadi parsel meriah penduduk Kota Sin?”
“Tepat seperti yang kau katakan. Inikah cara yang kau pilih untuk kebenaran yang kau genggam erat di telapak tanganmu?”
“Hanya karena aku tahu, bukan berarti aku yang melakukannya, bukan?”
“Kau terus saja menutupinya. Bahkan, aku tahu saat ini pun—pemuda yang penuh akan rencana sepertimu, sedang merencanakan skenario selanjutnya—entah di mana, untuk menyerang kami dengan diam-diam.”
Ruwi tergelak. “Bukankah kau sendiri menyadari, Tuan Galen. Kebenanaran yang seharusnya kau kabarkan sejak dulu, telah ditelan keramaian Kota Sin. Ingar-bingar yang memenuhi kota menyiutkan suara kebenaran itu menjadi cerita yang lama-lama hanya akan menjadi dongeng. Sebelum jauh lupa dan hilang begitu saja, seseorang harus memainkan perannya. Seseorang itu bisa aku, kau—Tuan Galen, dan yang lainnya barangkali. Ini menyentuh kehidupan makhluk hidup yang sama seperti Anda.”
“Kali ini kau terlalu berlebihan. Tak akan kubiarkan kau melakukan lebih dari ini di Kota Sin.”
“Anda begitu yakin ketika tak ada bukti keterlibatanku. Ha~a, apakah Anda menanamkan matamu didekatku? Padahal, sejak lama aku selalu menghargai tugas muliamu, Tuan Galen. Apakah ini juga pertanda akhir kerja sama kita?”
“Kita tak pernah menyepakati apapun untuk dapat menyebutkan hubungan kita sebagai kerja sama.”
Ruwi tertawa terbahak-bahak. “Ah ya, ya, aku lupa. Aku hanyalah pemuda yang menjumpaimu hampir di setiap peristiwa penting tanpa Anda khawatirkan latar belakangnya. Lalu, akhirnya menjadi sukarelawan yang bersedia mendatangi Anda setiap kali datang panggilan dari Anda. Dan entah bagaimana, Anda pun memberikan sesuatu sebagai balasannya. Disebut apakah hubungan kita ini, Tuan Galen?”
Tak ada jawaban. Telpon berakhir begitu saja.
“Kau sepertinya senang sekali bermain-main dengan Bapak Tua itu.”
Ruwi tersenyum hampa. Namun, nampak lebih serius. “Dia terlalu tua untuk diajak bermain-main. Ini harus segera berakhir. Sebelum dia benar-benar renta.” Ruwi menekan pedal gas mobil dalam hingga mobil melaju dengan kencangnya.
Sementara Alan, sebelum matanya mengarah lurus ke depan, ia sempat memperhatikan Ruwi beberapa saat. Sungguh, ia harus mengakui, adik laki-laki yang lebih muda sepuluh tahun darinya telah tumbuh dewasa dengan dipenuhi percaya diri dan memuja kebebasannya.
@_@
Tuan Kala datang pada
Di ruang lainnya, mereka menyebutnya Gala-Gala, rumah berbentuk gua di dalam tanah, Oran yang tampak sangat tenang dan anggota Klan Roia sedang terlibat obrolan serius. Oran sangat mendominasi obrolan tersebut. Ketenangannya sebagai pemimpin menanamkan keyakinan pada anggota klannya. Ini terlihat dari anggukan-anggukan mantap setiap Oran menyampaikan hipotesanya. Seolah hipotesa itu tak diragukan lagi kesahihan. Ini tak mungkin terjadi bila mereka tidak mempercayai Oran yang telah lama tergabung dalam organisasi Klan Roia, sejak Tuan Kala yang memimpin. Ia sudah sangat berperan dalam menyusun strategi dan ikut dalam operasinya.
Rencana-rencana yang diskenariokan sendiri olehnya hari ini pun seolah membius anggota klan. Jiwa perfeksionisnya telah berhasil mengambil alih ego anggota klan untuk manut—manggut-manggut saja.
“Kota Sin, ah... sudah lama rasanya aku tak menyebutnya dengan bahagia seperti ini. Tentu saja tak akan seperti ini rasanya bila tanpa kalian. Sekali lagi, kita akan menginjak tanah Kota Sin bersama sambutan ramah dari kita. Sudah saatnya manusia-manusia itu bangun dari negeri wonderland-nya.”
Dan berakhirlah obrolan serius itu beriring senyum mengembang penuh bangga dan optimisme. Satu per satu anggota klan meninggalkan Gala-Gala dan mulai bergerak menunaikan tugasnya masing-masing. Karena mereka paham betul, gerigi dari masing-masing yang berputar seirama akan menghasilkan kinerja luar biasa. Lalu, dalam waktu yang telah ditentukan, mereka akan bersama-sama mengarah pada titik muara yang juga sama, Kota Sin.
“Kau sudah datang, Ayah!” Sambut Oran di pintu masuk Gala-Gala utama.
“Ya. Dan aku datang bersama ibumu yang menunggu di luar.”
“Ya, ya, tak mungkin kau membawa ibu ke dalam ruang mengerikan ini. Dan ayah, aku telah menepati janjiku padamu ketika bersedia menyerahkan tampuk kuasamu padaku. Aku berhasil merebut kembali seseorang yang telah lama hilang dari silsilah Klan Roia. Aa~ah... ini akan menjadi nostalgia yang sesak—dan kaku.”
“Sedikitpun aku tak pernah meragukanmu akan gagal.”
Oran tergelak. “Dan sebentar lagi aku akan membawa cerita bahagia lainnya untukmu. Cerita yang gagal kau dan paman tuliskan untuk keberadaan Klan Roia.”
“Jaga ucapanmu, Oran. Tuan...” Tukas Darpa, paman yang juga menjadi orang kepercayaan Tuan Kala tak terima abangnya dikatakan demikian. Namun, terhenti oleh gerakan tangan menghadang Tuan Kala di depan dadanya.
“Kau jangan marah begitu jika memang begitu faktanya.” Kata Oran sembari tersenyum. “Mari kembali pada ibu dan gunakan waktu kita untuk menuju tempat seharusnya. Kuyakin, tak ada yang lebih membahagiakan selain melihat segera putra sulung yang hampir tiga puluh tahun tak bisa direngkuhnya.” Lanjutnya lagi sembari keluar dari pintu Gala-Gala yang sempit. Dan ketika kakinya mendarat tepat di luar Gala-Gala ia berhenti. “Aku lupa menyampaikan sesuatu. Tentu saja, ayah jangan lupa berterima kasih pada prajurit kelcilku ciptaanku pengganti Para Gagak,” tunjuknya pada barisan tujuh prajurit di depan Tuan Kala dan Darpa, mengenakan jubah yang sama dengan para penyerang lab utara, bersiaga menjaga mobil yang ditumpangi ibu, “dan aku menamainya Sena, yang kau tolak kelahirannya karena urusan manusiawi.” Lagi, ia tergelak. “Merekalah alasan putra sulungmu kembali. Bahkan, mereka yang akan ikut mengantarkan Klan Roia menuliskan cerita bahagianya kembali.”
@_@513Please respect copyright.PENANAiWss0hPQt7