Senin. Selasa. Rabu. Kamis. Haiwi masih bersekolah seperti biasanya. Masih bertemu dengan teman-temannya. Masih berjalan dengan santainya. Bersikap seperti saat ia datang dan kenal dengan yang lainnya. Tak ada yang berubah darinya. Baik-baik saja.
Tapi, jelas ada sisi berbeda yang ditunjukkan teman-teman yang dekat dengannya. Sungguh, keputusan apa yang paling rasional untuk mata dan telinga yang terlanjur melihat Haiwi di hari penerimaan enam hari lalu? Seolah-olah ada kabut menyergap dan menghalangi mata untuk memilih jalan yang dituju.
Sebuah fakta, tiba-tiba muncul begitu saja tanpa peringatan. Sosok Haiwi yang tak mereka tahu, melampaui imajinasi yang pernah mereka bangun. Haiwi yang dilihat mereka di aula SPeN dengan seragam abu-abu, tak lebih dari sosok asing yang tak mereka kenal.
Tak satu pun yang menduganya akan menjadi begini. Kejutan luar biasa itu perlahan menggerogoti kepercayaan diri, mengalirkan keraguan di hati mereka. Kekakuan pun mulai mengikuti dengan caranya masing-masing. Kine dan Gavin, dua teman yang beberapa bulan terakhir lebih sering bersama Haiwi ketimbang yang lainnya memperlihatkannya dengan cukup jelas. Emosinya tak tentu arah. Campur aduk.
Gavin yang sangat menantikan kepulangannya—bahkan sempat tebersit sesaat pada perjalanan misi, berharap akan dilewati sisa penatnnya bersama wajah datar Haiwi, menceritakan hari-hari yang hilang tanpa Haiwi, dan ditemani es buah kesukaan Haiwi.
Sayangnya, harapan itu tak berbanding lurus dengan kenyataan yang disaksikannya kemudian. Bayangan langkah Haiwi yang tenang bersama pasukan bayangan dan kebenaran di balik pasukan berseragam abu-abu tua itu begitu melekat di kepalanya—juga yang lainnya.
Setelah hari itu, Gavin tak lagi mampu mengajak Haiwi berbicara seperti biasa, apalagi menggodanya. Kemudian, ia mulai mendapati dirinya melakukan hal di luar kebiasaannya. Pun tak lagi dimengerti proses kimia di dalam otaknya. Ya, mulutnya tak bisa berlaku biasanya pada Haiwi, namun anggota tubuh lainnya melakukan hal sebaliknya. Dimulai senin lalu, kakinya seolah mengomando otaknya, merintahnya pergi ke sekolah satu jam lebih awal, lalu berhenti di depan pintu kelas dengan hatinya yang harap-harap cemas dan hingga hari ini. Entahlah, meski tak memanggil nama Haiwi, tak tersenyum pada Haiwi, rongga di dalam dada ber-euforia dengan sendirinya. Hatinya semakin tergetar tatkala melihat gantungan bebek kuning pemberiannya saat jalan-jalan buta pertamanya, menggantung di resleting tas Haiwi seraya berayun-ayun seceria wajah senyum si bebek. Di satu sisi mewaspadai, tapi di sisi lainnya ingin bergerak mendekati Haiwi. Semakin gundah karena Haiwi tak melihat ke arahnya lagi hingga hari ini. Ini mengacaukan segalanya, karena ternyata ia merindukan julukan panggilan satu-satunya yang diberikan Haiwi padanya. Ia ingin mendengarnya lagi, “Hai, Tuan Tampan!”—suara Haiwi yang memanggilnya dengan datar.
Dan pemilik raga lainnya yang hampir senada kegundahannya, Kine, pagi ini dan pagi-pagi yang lalu, ia hanya membiarkan bola matanya mengikuti arah langkah Haiwi saat keduanya berpapasan di lorong utama sekolah. Begitu pun Sienna yang berjalan di samping Kine dengan tatapan tajamnya yang semakin dingin. Meski mata mereka saling adu, tak ada sapa, atau sekadar melayangkan senyum. Kine pun tak lagi terlihat mengunjungi Haiwi untuk sekadar mengoceh tak penting, apalagi untuk menghabiskan waktu istirahat bersama.
Lalu bagaimana dengan yang lainnya?
Femi, Hara, dan Danne mulai terlihat menjauh. Belum sekali pun memperlihatan ‘rangkulan hangat’ mereka sebagaimana biasanya saat muncul bayangan Haiwi. Tak pula menyapa dengan sindiran-sindiran kecut. Saat mereka berpapasan, hanya mengacuhkan, berlagak tak saling mengenal. Perilaku buruk mereka kepada Haiwi seolah tak pernah ada sebelumnya. Dan berbeda saat berjumpa dengan Gavin dan Kine, Haiwi memberikan respon pada sikap Femi, Hara, dan Danne dengan sebuah senyuman. Namun, baik Femi, Hara, dan Danne sama sekali tak membalasnya. Padahal, biasanya Femi akan cepat tersulut pada apa pun yang berasal dari mulut Haiwi, dan langsung menyerangnya. Kali ini, harga diri mereka seakan-akan jatuh bersama senyum Haiwi. Mungkin saja, rasa takut mulai bersarang dalam diri mereka.
Tapi, di antara semuanya, Balin, meski tak lebih terpukul dari Gavin, pemuda yang hampir selalu berdiri tegak penuh percaya diri, berpendirian teguh, dan terlihat serius, beberapa hari ini tampak menekukkan kepala. Haiwi yang dilihatnya hari itu telah cukup mengganggunya. Kepercayaan dirinya seperti digerus dengan paksa di atas meja keadilan yang dibangunnya selama ini. Sama seperti yang lain, ia belum berbicara pada Haiwi sejak hari itu.
Pada akhirnya hanya pertanyaan demi pertanyaan yang menggelayut dalam benak masing-masing. Bermuara pada kesimpulan sementara yang dangkal.
Sekali lagi, di sekolah, Haiwi kembali mereguk kesendiriannya tanpa teman-teman dekat barunya. Tak terlihat berusaha menjawab kegundahan teman-temannya yang kini memberi jarak dengannya. Sikapnya serupa orang yang merasa tak memiliki tanggung jawab menjelaskan semuanya kepada mereka yang membutuhkan jawaban. Sikap yang juga ditunjukkan teman-temannya, pun cukup mendukungnya untuk tak bergelut dengan emosi masing-masing yang beberapa bulan terakhir melelahkan perasaannya. Meskipun begitu, ia tak menampik, ada sesuatu yang hilang dalam hatinya, seperti ruang hampa—dan baru dimengertinya pagi ini.
Tak hanya tentang Haiwi. Kejutan lainnya ikut melengkapi misteri. Senin lalu, dua wajah di balik topeng lainnya—anggota Pasukan Bayangan, berdiri dengan tenangnya di depan kelas XI-a, berseragam sekolah lengkap, dan memperkenalkan diri masing-masing.
Seorang pemuda bertubuh tegap, rambut kaku ke atas, dan sorotan mata tajam dengan iris mata abu-abu yang kontras dengan kulit hitamnya, ia adalah Lefifi. Sementara pemuda jangkung lainnya, berkulit putih, berwajah ramah, dan selalu tersenyum sejak menginjak pintu masuk, ia adalah Dudu.
Kisah asal-usul Lefifi dan Dudu yang disampaikan wali kelas, kemudian menjadi fiksi yang dibenarkan agar terlihat seperti murid biasa. Kecuali kampung halaman Dudu untuk menoleransi alasan rambut panjang kepangnya yang tak lazim dimiliki siswa di kota ini.
Pesona keduanya menjadi cerita sendiri dalam pandangan mata biasa. Beberapa siswi di kelas, bahkan terang-terangan memperlihatkan kekagumannya pada Dudu dan Lefifi. Sayangnya, pesona itu tak cukup mampu menyihir Gavin, Balin, Qiyo, untuk melupakan siapa Lefifi dan Dudu sebenarnya, yang masih segar diingatan mereka—begitupun Femi yang sedikit mengetahui identas keduanya.
Dan ya, ada yang gusar hatinya sejak senin lalu. Gavin merasa tak tenang lebih dari sebelumnya. Apalagi, pagi ini, Haiwi terlihat berjalan bersama keduanya menuju lapangan olahraga. Dan hal menarik pun terjadi hari ini. Cerita biasa yang belum disadari bahwa kelak menjadi bagian yang tak bisa dilupakan. Inilah awal temali takdir tak kasat mata menjalin satu sama lain. Gerakannya halus seperti bunga-bunga karang dalam laut yang meliuk-liuk gemulai.
“Haiwi, untuk sementara aku akan menoleransi kebingunganku tentangmu. Mari kita menangkan permainan ini!” Ucap Balin yang berusaha mengalihkan kegamangannya tentang Haiwi dan terdengar kembali suaranya yang bulat teguh. Ini tentang sportifitas. Begitu benaknya terus mengingatkan.
“Baiklah, Ketua!” Senyum tipis melintas di bibir Haiwi. Mengangkat tangan kanannya di pelipis—salam hormat, semangat. Tapi—selalu, tak senada dengan wajah datarnya.
Urat-arat kaku di wajah Balin sedikit mengendur saat melihat senyum tipis Haiwi.
Sungguh menarik. Meskipun sederhana, tak lebih dari selingan pelajaran olahraga, tapi ini adalah ujian kesabaran, keteguhan, dan kekompakan. Meninggalkan ego masing-masing untuk mencapai tujuan ke garis finish. ‘Bulatkan Tekadmu’, begitulah guru olahraga menamai permainan ini. Satu tangan dan kaki masing-masing diikat bersama teman pasangannya. Setia pasangan harus bergerak dalam dua kepala-tiga tangan dan kaki sejauh kurang lebih seratus meter. Deretan pasangan pertama akan membuka permainan. Haiwi-Balin, Qiyo-Dudu, Gavin-Lefifi, dan dua pasangan lainnya berdiri sejajar di sebuah garis lintasan lari.
“Pasangan di samping kita memulainya dengan semangat. Apa kau tak ingin melakukannya denganku?” Tanya Dudu—sedikit iseng, pada Qiyo yang jelas melihatkan raut tak suka di wajahnya.
“Sayang sekali, aku bukan Balin. Kau hanya perlu berjalan dan tidak mengacau sampai garis finish.”
“Hmmm... Putri Qiyo sepertinya tak belum menyukaiku. Meskipun begitu, akan kupastikan Putri Qiyo memiliki kesan mendalam dalam permainan ini. Dudu yang baik hati dan beruntung ini tak ingin mengecewakan banyak mata yang kelihatannya ingin berpasangan denganmu.” Kata Dudu seraya tersenyum. Melihat tak ada respon dari Qiyo, Dudu mengalihkan perhatiannya pada pasangan di sebelah kirinya. “Hei! Kita tak sedang di medan peperangan. Patungkah kalian? Lucu sekali.” Tawa dudu kemudian seolah sedang melihat pertunjukan komedi.
Gavin dan Lefifi sama-sama menatap tak ramah pada Dudu.
“Wow, bahkan tatapan kalian sama-sama mengerikan.” Komentar Dudu.
“Mereka hanya tak senang denganmu.” Timpal Qiyo.
“Hee~ee? Baiklah, setidaknya aku akan berusaha membuatmu suka padaku. Bersiaplah, Putri Qiyo!”
PRIIIIT.
Peluit ditiup.
Terdengar hitungan “satu-dua, satu-dua” dari pasangan Haiwi dan Balin yang berusaha menyeiramakan langkah. Cukup berhasil. Sementara itu, pasangan Dudu-Qiyo baru selangkah melewati garis start, Dudu langsung menahan langkahnya. Qiyo berusaha sekuat tenaga menarik kakinya dan berharap kaki Dudu mau bergerak. Alhasil, tertinggal oleh yang lainnya.
“Hei, apa yang kau lakukan?”
“Putri Qiyo, permainan baru saja dimulai.” Dudu mengangkat tangan kirinya yang terikat dengan tangan kanan Qiyo. “Lihatlah! Tangan kita terikat, begitu pun kaki kita. Ini seperti takdir.”
“Hentikan omong kosongmu. Dengar! Tak ada yang ingin kalah dengan cara seperti ini. Setidaknya tunjukkan sedikit usaha seperti yang tadi kau ucapkan.”
“Haha! Baiklah, baiklah. Aku sudah cukup menikmati wajah kesalmu yang menghibur. Kita belum terlambat. Perjalanan seratus meter ini lebih melelahkan dari yang kau pikirkan. Mari kita jemput garis finish. Cukup ikuti irama lagu yang akan kunyanyikan.”
Jauh di depan sana. Keajaiban terjadi untuk pasangan tak diduga, Gavin-Lefifi. Keduanya melesat seirama. Bagaikan bergerak dalam satu tubuh. Keduanya pun menjadi yang pertama memutuskan tali berpita di garis finish bersama sambut gembira oleh teman-teman yang menonton. Lalu, segera membuka ikatan tangan dan kaki keduanya dengan bantuan teman lainnya.
“Tak seperti Haiwi, kelihatan sekali banyak yang menyukaimu.” Kata Lefifi ketika ikatan keduanya lepas. “Kau berteman dengan Haiwi?”
Gavin diam.
Lefifi tersenyum kecut. “Menyedihkan. Inikah yang didapatkan Haiwi dari teman-temannya?”
“Kau mengatakannya seolah sudah lama mengenalku.”
“Aku memang tak mengenalmu. Tapi, aku mengenal arti seorang teman. Seharusnya, kau yang hidup di kota yang diagung-agungkan karena kedamaiannya ini lebih mengerti akan kata itu. Ah, atau sebenarnya kota damai ini pun dipenuhi kebohongan. Atau… karena sekarang kau merasa berbeda dengan Haiwi? Yang benar saja!”
“Kau pikir kau lebih baik dariku?” Balas Gavin.
“Aku tak berpikir demikian. Hanya mengingatkanmu yang terlanjur mengatakan ‘teman’ pada Haiwi dari mulut tak bertanggung jawabmu itu. Haiwi bukan lelucon!”
Lalu, tanpa permisi dan sama sekali tak berharap mendengar kelanjutan jawaban Gavin, Lefifi meninggalkan Gavin begitu saja dan mendekat pada Haiwi yang baru saja adu tos dengan Balin.
“Sepertinya sesuatu terjadi di sini.” Kata Dudu yang sengaja menghampiri Gavin. Tadi, ia sempat melihat Gavin dan Lefifi ‘mendiskusikan’ sesuatu yang baginya menarik bila mendengarnya langsung. “Fifi memang kurang pandai bertata karma dengan orang lain. Sejujurnya malah, dia itu serigala penyendiri yang patuh. Ini tak berarti aku sedang memintamu memakluminya. Tapi, ya, dia akan bersikap berbalikan dari dirinya yang biasa bila itu tentang Haiwi.” Dudu meletakkan satu tangannya yang tak terikat, membentuk seolah-olah teropong di mata, lalu mengarahkannya pada Gavin. “Dari peneropongan mataku, kau pun begitu. Hahaha… kalian berdua sama saja.”
“Terserah apa katamu. Cukup katakan saja pada temanmu itu, jangan mencampuri urusan orang lain.” Gavin pergi dengan wajah mengeras.
“Maaf, aku membuat pujaan hatimu pergi dengan wajah jeleknya.” Dudu tersenyum pada Qiyo.
Qiyo yang sedari tadi diam, samar-samar nampak salah tingkah, berusaha menutupi dengan mengangkat tangannya yang terikat bersama tangan Dudu. “Kau tak melupakan ini, bukan?” Katanya ketus.
“A~aah, padahal aku ingin ikatan kita ini bisa terus selamanya. Dan, meski kita terakhir, ini cukup menyenangkan.”
“Kau yang membuat kita menjadi yang terakhir.”
“Tapi, aku bisa melihat kau menikmati nyanyianku tadi.” Dudu tersenyum.
“Mana mungkin aku menikmati nyanyian sumbang sepanjang masa.”
Dudu tertawa keras. “Qiyo, terima kasih. Kau—sedikit mengobati rinduku pada adikku. Sampai bertemu di kelas.” Pamit Dudu ketika ikatan keduanya lepas sembari mengusap sebentar ubun-ubun kepala Qiyo. Lalu, menghampiri Haiwi dan Lefifi yang telah menunggunya.
“Sepertinya kau sudah menyalakan genderang perang pada lawanmu.” Kata Dudu pada Lefifi saat memasuki lorong pertama lantai satu menuju kelas mereka di lantai dua.
“Sepertinya kau mendapatkan surga mesummu di sini.” Kata Lefifi dengan nada tak bersahabat.
“Hmmm... ini bukan surga yang kucari. Tapi, ya, cukup menghiburku. Gadis-gadis bersemu merah melintas dan menyapamu di pagi hari. Sungguh pemandangan menarik yang tidak sopan bila kau abaikan.” Ujar Dudu sembari melambai pada beberapa gadis—lagi dan lagi, yang melintas dan terlihat malu-malu menyapa, tersenyum malu padanya. “Tapi, hei, aku bukan mesum. Daripada itu, lihatlah! pakaian seragam sekolah,” tunjuknya sembarangan pada siswa berseragam di lorong seberang kanan mereka, lalu menunjuk dirinya sendiri, “baju olahraga pun seragam. Belajar dari pagi hingga perut terdengar bernyanyi. Kita jadi benar-benar seperti siswa dan siswi dengan kehidupan sekolahnya.” Dudu tertawa rendah, lalu berjalan mundur di depan Haiwi. “Bahkan, aku ikut memanggilmu Haiwi. Dan akhirnya, kita bertiga bisa kembali bersama.” Dudu kembali lagi berjalan di tengah, mendekatkan wajahnya ke daun telinga Lefifi. “Kau suka ini, kan, Fifi!”
Lefifi melayangkan tinju ke wajah Dudu, namun berhasil dihindari Dudu yang mendorong tubuhnya ke belakang.
“Kau ingin tahu sebuah rahasia, Haiwi? selama kepergianmu, Fifi menjadi sangat-sangat-sangat membosankan, sering menggerutu, dan di hampir setiap waktu luangnya, dengan wajah kaku membosankan yang terlihat sendu, melihati ruanganmu. Padahal, biasanya dia hanya akan masa bodoh pada hal-hal melankolis karena hatinya yang terlanjur beku.”
Kali ini Lefifi mengacuhkannya.
“Ya, ya, ketika nama Haiwi terdengar oleh telingamu, kau segera awas. Jadi seperti, hmmm… binatang yang mengibas-ngibaskan ekornya ketika tertarik dengan mangsa incarannya.” Lanjut Dudu lagi.
“Kau, diamlah!” Lefifi mulai jengkel.
Dudu tertawa. “Haiwi, bagaimana kalau kau ajak kami berkencan. Sudah lama rasanya tidak menikmati waktuku dengan wujud seperti ini.”
Haiwi yang sedari tadi hanya mendengarkan, mendongakkan wajahnya ke langit-langit lorong kelas, meletakkan telunjuk ke bibirnya, tampak berpikir. “Baiklah, besok sore akan kusempurnakan perubahan wujudmu.” Katanya kemudian mengikuti alur bicara Dudu. Cukup terdengar aneh.
Ketiganya nampak akrab. Di dalam maupun di luar kelas. Di mata Gavin dan Kine malah, Haiwi seolah nampak menikmati waktunya tanpa keduanya. Hingga di penghujung hari sekolah di minggu ini pun belum ada sinyal sapa.
Disaat bersamaan, tangan tak terlihat mencoba mengulurkan bantuannya dan berbisik dan pada dua pasang mata itu. Menawarkan jawaban keingintahuan melalui pesan singkat tak bernomor.
Kadang, bila kau memiliki seseorang yang kau anggap sangat dekat, kau memiliki keinginan mengenalnya lebih dari siapa pun. Kebaikannya, keburukannya, kesukaannya, hingga yang dibencinya. Sebaliknya, ada pula yang memilih tetap bersama sebagaimana kau mengenalnya pertama kali. Menutup telinga pada ocehan-ocehan menyakitkan. Apa lagi yang mau kau ributkan bila ia telah membuatmu nyaman? Itu saja. Sudah cukup, bukan?
Mana yang akan dipilih?
Kine dan Gavin bergerak menentukan keputusan.
@_@625Please respect copyright.PENANARmd6TFsL8c
Haiwi menepati janjinya. Ia secara khusus menjadi pemandu jalan bagi kencannya—bila disebut demikian, bersama Dudu dan Lefifi. Tempat-tempat yang dikunjungi bukanlah tempat baru. Tidak juga disebut napak tilas, tapi ya, tempat yang mereka kunjungi adalah tempat-tempat yang pernah Haiwi kunjungi saat ia pergi jalan-jalan bersama Kine maupun Gavin. Lalu, ke taman kota, mengenalkan keduanya pada nenek. Seperti dirinya, menurut Dudu dan Lefifi, nenek adalah orang yang menarik. Puas bermain di taman kota bersama senyum lima anak-anak kecil yang dibawa nenek, mereka pun melanjutkan ke tujuan selanjutnya.
“Hampir seperti Gavin, kau mudah membuat orang lain menoleh padamu hanya dengan senyum. Kemampuan yang tak kumiliki.” Kata Haiwi pada Dudu saat mereka telah duduk di sebuah kursi kayu panjang berlengan di bawah sinar mentari jingga bersama es krim buah di tangan. Tempat yang menjadi penutup kencan ketiganya hari ini. Di depan sebuah Sungai Besar Kota Sin.
Dudu menggelengkan kepala sembari menjilat sisa es krim di tepian bibirnya. “Itu bukan kemampuan, Haiwi. Yang kau sebut tadi, lebih tepat bila disebut dengan pesona.”
“Pesona?”
“Ya. Pesona. Daya pikat.”
“Hmm... berarti aku tak memiliki daya pikat.”
“Sudahlah, Haiwi. Jangan dengarkan omongannya. Pesona Dudu itu sudah ternodai.” Timpal Lefifi.
“Ooo…” Haiwi mengangguk-angguk.
“Kejamnya kau membuat Haiwi yang polos itu menyetujui keirianmu, Fifi.” Kata Dudu sembari menebaskan tangannya ke leher bagian depan Lefifi yang saat itu sedang memakan es krim, dan langsung berlari dari tempat duduknya.
Lefifi tersedak. Es krim yang dimakannya keluar dari tenggorokan, menyembur dari mulutnya. “Hei, kau!” Pekiknya sambil menahan batuk. Dikejarnya Dudu yang berlari menghindar darinya dengan mengerahkan separuh kecepatan makasimalnya.
Aksi kejar-kejaran keduanya mendapat perhatian para pengunjung yang sore itu ikut menikmati pemandangan indah senja hari dari tepian sungai besar Kota Sin. Ada yang tertawa dan ada pula yang menggeleng-geleng.
Tak ingin kehilangan kesempatannya dengan jarak yang sudah semakin dekat, Lefifi langsung meraih rambut panjang kepang Dudu. “Kau pikir siapa yang sedang kau ajak adu kecepatan, ha?”
“Hei, hei, kau boleh membalasku. Tapi, jangan tarik rambutku.” Kata Dudu memohon—menyerah.
Rambut adalah kelemahan Dudu. Jika kau bermasalah dengannya, cukup tarik rambutnya saja. Keduanya pun berhenti mengusili satu sama lain setelah Lefifi membalas persis seperti Dudu memukulnya. Sungguh tingkah keduanya kekanakan sekali. Lalu, kembali ke tempat Haiwi yang tengah menikmati es krim buah keduanya.
Dudu duduk di samping Haiwi, sementara Lefifi bersandar di tepian pagar pembatas sungai.
“Haiwi. Kau mau mendengar kejujuranku?” Tanya Dudu.
Haiwi mengangguk.
“Sejak pertemuan kita. Kau dan aku, aku dan Fifi, mungkin juga kau dan Fifi. Aku bisa merasa sesuatu yang tak kasat mata yang tersimpan di dalam tubuh kita telah berubah. Kau dan Fifi sudah lebih mudah diajak bicara. Bahkan, menurutku, bahasamu sering terdengar unik dan lucu. Ya, kecuali Fifi, bahasanya sulit untuk diterima dengan lapang dada.”
“Dan kupikir bahasamu tak layak dimiliki seorang pangeran.” Timpal Lefifi.
Dudu mengabaikan Lefifi. “Ah, ngomong-ngomong, sungai dan paduan keramaian kota dan pohon-pohon di tepian ini indah sekali. Andai hanya ada kau dan aku saja, Haiwi. Ah, aku lupa. Pastilah Fifi tak akan membiarkan kita.” Dudu menarik tangan kiri Haiwi berdiri di samping Lefifi “Kau senang di sini, Haiwi?” Tanya Dudu.
Cukup lama Haiwi menjawabnya. “Aku jadi lupa diri di sini.”
“Itu artinya, kau menemukan tempatmu di sini.” Tambah Dudu.
Desau angin yang sejuk membungkam mulut ketiganya. Pikiran ketiganya ikut mengelana. Tak ada lagi yang bisa dikatakan tentang pertanyaan Dudu. Mereka cukup mengerti satu sama lain tanpa harus berpanjang lebar membentangkan kisah di senja yang semakin tua sinarnya.
“Haiwi!” Panggil suara dari belakang mereka. Haiwi mengenal suaranya. “Aku ingin berbicara denganmu.”
Dan benarlah, itu memang suara Sienna. Ia tak sendiri, ada Gavin, Kine, Qiyo. Masih, tak ada sapa dan senyum. Malah, Dudu yang menunjukkan keramahannya. Ia melambai pada semua teman barunya dengan senyum termanis. Tak lupa menegur Qiyo.
Haiwi mengiyakan keinginan Sienna dan berjalan menjauhi Lefifi dan Dudu. Sementara Gavin, Kine, dan Qiyo pergi menuju tempat yang telah direncanakan oleh mereka. Jauh dari jangkauan pendengaran Lefifi dan Dudu.
“Sejak bertemu pertama kali, aku memang melihat sesuatu yang berbeda dari dirimu. Tapi, bukan seperti saat kemarin kau tiba-tiba muncul mengejutkan kami semua. Harus kukatakan segera. Menjauhlah dari Kine. Kau pasti bisa memahami kenyataan yang seharusnya kau lakukan. Aku tak ingin Kine terlibat jauh denganmu. Hanya ini yang ingin kukatakan padamu. Terima kasih atas waktumu.”
Sienna melangkah membelakangi Haiwi.
“Kak Sienna!” Panggil Haiwi. “Kau menyayangi adikmu?”
“Tentu saja!” Jawab Sienna tanpa menoleh.
“Kalau begitu, kau hanya perlu menyayanginya dengan benar. Dari awal, aku memang tak berniat mendekati kehidupan kalian yang tiba-tiba saja menyebutku teman.”
Keduanya pun berjalan saling menjauhi tanpa berkata apa-apa lagi. Tanpa disadari, itulah mula kesalahan yang dilakukan oleh satu diantara kedua gadis itu yang membawa kesedihan dan kehilangan yang sangat dalam di kemudian hari.
@_@625Please respect copyright.PENANAVjEC8aR8G7
Inilah jawaban Kine. Setelah terakhir kali berjumpa Haiwi di tepian Sungai Besar sore itu, ia merasa harus segera melakukan sesuatu. Duduk di sebuah kedai kecil, menunggu kehadiran seseorang yang menjanjikan sebuah jawaban tentang Haiwi. Sudah berulang kali ia melihat arloji merah muda yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Jarum menit telah melewati angka dua. Itu artinya, sudah lewat dari sepuluh menit dari yang dijanjikan. Ia pun mulai mencari-cari sosok yang dapat dicurigainya sebagai si pengirim pesan. Tapi, usahanya sia-sia. Tak ada petunjuk yang diberikan untuknya mengenali sosok itu.
Kine merasa sangat bodoh dan perlahan wajahnya menjadi sendu. Ini kali kedua ia meragukan Haiwi. Menurut akalnya, ini tak berarti bentuk pengkhianatan. Ia ingin tahu dan normal saja untuk memenuhi hasrat itu.
“Selamat Sore, Nona! Pesanan untuk Anda sudah siap.” Sapa seorang pelayan laki-laki yang datang bersama nampan berisi makanan dan minuman, dan menatanya dengan rapi di atas meja.
Kine cukup terkejut, langsung menoleh pada pelayan laki-laki yang tersenyum sangat ramah kepadanya. “Aku tak memesan makanan-makanan ini.”
“Seseorang telah memesannya untuk Anda.”
“Seseorang?”
Pelayan laki-laki itu mengangguk.
Kine melihati pesanan yang dipesankan seseorang itu di depannya. Kecurigaannya menjadi kuat bahwa si pengirim pesan tahu tentangnya. Pertama, kedai yang menjadi tempat pertemuan adalah kedai langganannya bersama Sienna. Kedua, makanan-makanan yang sekarang ada dihadapannya, Semuanya adalah menu yang biasa dipesannya di sini. Sulit untuk mengatakan bahwa ini kebetulan semata.
“Seseorang yang memesankan makanan untuk Anda juga memberikan sebuah amplop untukmu.” Kata pelayan laki-laki itu menyerahkan amplop kecil berwarna biru. “Baiklah kalau begitu. Saya permisi dan selamat menikmati hidangannya! Semoga hari Anda menyenangkan!”
Kine langsung membuka amplop biru itu. Sebuah kertas biru muda bertulisan tangan tersimpan didalamnya. Mungkinkah, si pengirim adalah seorang laki-laki? Kine mencoba menebak-nebak si pengirim dari pilihan warna amplop dan kertas surat. Dan mungkin, seorang yang tua atau jauh lebih tua darinya karena sudah tak banyak anak-anak muda bergaya tulisan bersambung seperti ini. Mungkin terlalu sederhana mengambil kesimpulan hanya berdasarkan hal itu saja. Kine segera membacanya.625Please respect copyright.PENANAdwqfk94tZp
Hai, Kine! Kau menungguku?
Sayangnya, aku tak bisa berlama-lama denganmu saat ini.
Kau kecewa? Ya, tak mengapa. Kau berhak melakukannya.625Please respect copyright.PENANAdP2SHzUQ2v
Hmmm... tentang Haiwi. Aku yakin, kau duduk dengan keingintahuan dan harapan yang sangat tinggi. Ada empat hal yang ingin kuberikan untukmu.
Pertama. Kalau kau tak ingin membahayakan dirimu, pilihan untuk menjauhi Haiwi adalah pilihan yang benar.
Kedua. Tapi, bila kau ingin mengenalnya, maka kau harus temukan jawabanmu sendiri, dan bisa kupastikan kau akan menemui kesulitan, dan akan menempatkan dirimu pada bahaya yang tak kau bayangkan sebelumnya.
Ketiga. Menurutku, akan lebih aman bila menjauhinya.
Keempat. Kau tak menginginkan jawaban itu?
Baiklah, aku sedang bermurah hati saat ini. Kalau begitu, marilah buat dirimu berimajinasi.
Dimanakah kau dapat melihat bayangan dengan jelas? Di kegelapan atau di tempat bercahaya?
Ya, di tempat bercahaya kau dapat melihat bayangan dengan sangat jelas. Pertanyaan sebenarnya adalah (di tempat bercahaya) bagaimana kau bisa mengenali dan memastikan bayangan seseorang yang sangat dekat denganmu, bila seseorang itu tak di sampingmu dan berada di keramaian?
Temukanlah jawabannya.625Please respect copyright.PENANAxWW2rsPFiK
Ruwi,
(Pemesan makanan dan Pelayan ramah yang membawakan makanan untukmu)625Please respect copyright.PENANAQc3kwlosGG
Sampai bertemu kembali, Kine.625Please respect copyright.PENANAdkjNdGmQk9
Kine memalingkan wajah ke kiri-kanan, depan-belakang, berharap menemukan wajah pelayan tadi yang tak begitu diingatnya. Lalu, firasatnya menuntun kakinya spontan beranjak dari tempat duduk dan berlari meninggalkan makanan di mejanya menuju pintu kedai.
Sebuah mobil sport berwarna silver dengan atap terbuka baru saja keluar dari area parkir. Seseorang yang duduk di atas kursi kemudi melambaikan tangan tanpa menoleh—melihat Kine dari kaca mobil. Meninggalkan Kine yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu begitu saja. Kine melenguh dan terdiam.
Sementara itu, Ruwi, si pelayan dan si pengirim pesan dan surat, melihatkan wajah sumringah. Raut wajah dari sekian banyak raut yang dipahami Lintar jarang diperlihatkan dengan tulus yang sampai hari ini mampu mengelabui banyak orang. Tapi, kali ini—lagi, Ruwi melihatkan sedikit perbedaan.
“Aku cukup terkesan. Apa yang sebenarnya Anda coba lakukan dengan gadis itu? Akhir-akhir ini sepertinya kau jadi sering terlihat bermain-main.”
“Sama seperti orang normal lainnya, aku butuh hiburan.”
“Ini bukan hiburan yang dilakukan orang normal pada umumnya.”
Ruwi tertawa. “Hmm... akhir-akhir ini, kau sering bertanya.”
“Anda sengaja membantu gadis itu?”
“Keingintahuannya sedikit menggelitikku—ya, cukup menghiburku. Sungguh kasihan melihat kegundahannya. Aku ingin membantunya bangun dari fantasi kebenaran palsu pada orang yang dipercayainya sebagai teman dekat.” Ruwi menoleh sesaat pada Lintar. “Tenang saja, Lintar. Aku tak pernah lupa dengan tujuanku. Aku akan meramaikan perjudian kebenaran ini.”
“Aku tak pernah ragu untuk itu.”
“Baiklah, Tuan Perhatian. Mari kita mulai pertunjukan kita sebenarnya. Mari kita ajak manusia-manusia penting kota ini untuk mengingat dan santun menuturkan sejarah yang terlanjur menjadi mitos bangsa beradab ini, agar tak berlama-lama menyesatkan kepercayaan manusia berakal, bahwa yang mereka percayai itu telah mengebiri kehidupan manusia berakal lainnya—dan itu bertentangan dengan kemanusiaan yang manusia-manusia sini agungkan.”
Dan ya, sejarah yang telah terlanjur dipercayai itu, menurut Ruwi hanya cukup dibalas dengan cerita lainnya—sejarah lama yang tak pernah diungkapkan. Sejarah itu kata-kata dan cerita. Ini tak akan semudah seperti yang direncanakan. Tapi, bukankah pendahulu kota ini telah menunjukkannya, bahwa kata dan cerita yang dibangun dengan berbagai wujudnya berhasil mewujudkannya menjadi kepercayaan yang masif yang meletakkan kelompok tertentu golongan putih—pahlawan dan yang lainnya sebagai golongan yang baik-baik saja bila diasingkan bahkan dihilangkan keberadaannya? Tapi, bukan itu yang dibangun Ruwi. Menurutnya, sama sekali tak menarik. Ia tak berniat merubuhkan seluruh kepercayaan itu sekaligus. Hanya ingin membuat mereka perlahan-lahan meragukan kepercayaan yang terlanjur terbangun. Akhirnya, memutuskan mana kebenaran yang harus kau percayai.
@_@
Duduk di atas tanah miring berumput hijau pada sebuah pematang sungai kecil, Gavin baru saja selesai membaca surat yang Kine berikan. Surat yang didapat Kine kemarin sore dan sebetulnya tidak banyak menjelaskan tentang Haiwi. Bahkan, tak ada petunjuk jelas hingga barisan kalimat akhir surat.
“Tiba-tiba menjadi diam, tak tahu harus bicara apa. Ingin menyapa saja, ragu. Seperti bukan teman. Tak saling mengenal. Jadi seperti yang lainnya, menjauhi kak Haiwi.” Ujar Kine kemudian yang duduk di samping Gavin, menyampaikan keluhan hatinya yang tak bisa ia sampaikan pada Sienna. Apalagi, saat ini Sienna sedang disibukkan oleh misi barunya dan jarang pulang ke rumah. “Ini melihatkan betapa dangkalnya pertemanan kita. Aku tak tahu mana yang benar atau bagaimana seharusnya bersikap. Apakah datang menghampiri, lalu menanyakan pada Kak Haiwi “Hei, Kak Haiwi! Mengapa kau berada di barisan pasukan bayangan?” atau “Kak Haiwi, seperti apa masa lalumu?” atau “Kak Haiwi, sebenarnya kau ini siapa?”—Aarrgghh! Aku benci seperti ini, Kak Gavin.” Kine mengacak-acak rambutnya. “Tapi, Kak Gavin, yang sebenarnya membuatku lebih sedih adalah aku sendiri yang mengatakan bahwa aku dan kak Haiwi berteman. Tapi, aku juga yang beberapa kali meragukannya.” Kine melemparkan batu kecil yang digenggamnya sejak tadi ke anak sungai yang mengalir di depannya. “Apa aku takut dengannya? Apa aku benar-benar ingin berteman dengannnya? Apakah aku temannya? Sungguh kak Gavin, aku ingin percaya dan memahami Kak Haiwi. Karena itulah aku memilih bertemu orang bernama Ruwi itu.”
Gavin terus mendengarkan. Sebetulnya, Gavin iri melihatnya. Menurutnya, jujur selalu menjadi bagian dari Kine. Mudah mengatakan apa yang dirasakannya. Tak seperti dirinya yang sulit dan jarang melakukannya. Andai sungai yang mengalir itu membawa serta jawaban pada kegundahannya.
“Bagaimana denganmu, Kak Gavin?”
Gavin mengembalikan surat di tangannya pada Kine. Nafas berat keluar dari hidungnya. “Aku... takut pada sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Tapi, ya, aku bisa merasakan, aku jadi seperti lebih waspada dengan Haiwi.” Gavin melihat anak sungai yang mengalir tenang di depannya. “Tapi, disaat bersamaan, aku hanya merasa tak suka menerima kenyataan bahwa Haiwi merahasiakannya dariku. Aku seolah bukan siapa-siapa untuknya ketika aku menganggapnya istimewa. Aku seperti dikhianati.”
“Tapi, sejauh mana emosi kita bercampur aduk, kurasa ada sesuatu yang tak bisa dilupakan. Aku, Kak Gavin, dan kak Balin, adalah teman kak Haiwi.” Simpul Kine kemudian. “Kuharap, kita akan menemukan jawabannya saat bertemu langsung dengannya sebentar lagi.”
“Ya... teman.” Giliran Gavin yang mengangguk-angguk.
Kine telah mengambil keputusan. Tak ada jawaban terbaik selain bertemu langsung dengan Haiwi. Dan tak berapa lama kemudian, orang yang hampir dua minggu ini dihindari muncul bersama Lota di sampingnya.
Kine langsung berdiri. Mendekat pada Haiwi seraya menjabat tangan dan berteriak. “Kak Haiwi! Aku minta maaf! Aku...” Ia tiba-tiba diam—cukup lama. Melihati tangannya yang baru pertama kalinya berjabatan tangan dengan Haiwi. Lalu, mengalihkan pandangannya pada Jemari Lota dan Haiwi yang bergandengan. Kine menggeleng-gelengkan kepalanya seolah mengusir pikirannya dari roh-roh jahat yang berusaha mempengaruhi. “Kak Haiwi, harus kukatakan, aku meragukanmu, aku marah padamu, aku—ah, maksudku, kau membuatku pusing, bingung. Semuanya bercampur aduk. Tapi… aku juga ingin percaya padamu. Kita teman, bukan?”
Haiwi tak menjawab. Hanya menatap Kine yang wajahnya begitu berseri.
“Eh, tunggu! Kenapa dia ada di sini?” Tanya Kine yang baru sadar ada Dudu di belakang Haiwi.
“Dudu tadi bermain ke rumah. Dia memaksa ikut bersama kami ke sini.”
“Hai!” Dudu melambaikan tangannya. “Aku tak menganggu drama kalian, kan?”
Kine mengacuhkannya. “Kak Gavin, kau tak ingin mengatakan sesuatu?” Tanyanya pada Gavin yang mematung.
Gavin masih diam.
Lalu, Kine menarik tangan Haiwi dan Lota sekaligus. Berjalan menjauhi Gavin. “Sambil menuju museum, pikirkan saja apa yang ingin Kak Gavin katakan pada Kak Haiwi.”
Dudu menghampiri Gavin. Menjentikkan jarinya ke kening Gavin, dan menyadarkannya bahwa para gadis sudah berjalan jauh di depannya.
“Semakin lama kau berdiam diri dan meragukannya, kau akan semakin kehilangannya.”
“Kau bukan Tuhan.”
“Ya. Memang. Tapi, dengan seseorang memilih berdiam diri, aku tahu, bahwa kesempatanku semakin besar untuk menjadikannya permaisuriku.”
“He? Permaisuri? Aku tak melihat ada putra mahkota di sini.”
Hari itu, mereka menghabiskan waktu sore bersama di sebuah museum binatang. Kine pernah menjanjikan pergi bersama Lota ke sana. Ini waktu yang sangat tepat untuk mewujudkan niatan itu. Dan mulai terlihat, Gavin mendekat pada Haiwi, perlahan, masih sedikit canggung, dan kian menghangat.
Di antara semuanya, Kinelah yang paling senang melihatnya. Melihat Gavin dan Haiwi berbaikan adalah bagian dari rencananya. Ia memilih untuk memberikan waktu lebih pada keduanya. Bukan berarti ia kehilangan waktu bersenang-senangnya. Ia menghabiskan waktunya memutari museum bersama Lota, adik kecil yang selalu diimpikan dapat dimilikinya, bersama keisengan-keisengan Dudu, di sisa waktu yang ada dan harus meninggalkan keseruan museum.
“Kau mungkin tak menganggap serius ucapanku tadi. Tapi, Gavin, pemuda kaku di sana,” tunjuk Dudu pada pemuda berhelm di depan mereka, duduk di atas sebuah motor sport merah, “dia rela melakukan apa pun demi Haiwi.” katanya pada Gavin yang berjalan di sampingnya. Lalu mempercepat langkah, mengejar para gadis. “Terima kasih telah menerimaku bermain bersamamu, Kine. Sampai jumpa lagi, Lota! Tersenyumlah Haiwi!” Lalu, mengakhirinya dengan berkedip sebelah mata.
Hilanglah bayangan Dudu bersama Lefifi yang memacu motor dengan melaju kencang. Meninggalkan Haiwi, Kine, Gavin dan Lota di depan museum. Tapi, berapa lama Kine dan Gavin bertahan dalam hubungan pertemanannya dengan Haiwi, tak ada yang memikirkan hingga kesana. Untuk saat ini, suasana ini cukup untuk memulai memahami satu sama lain kembali.
@_@ 625Please respect copyright.PENANArzKRkni8in