Menyeberang ke pulau besar. Orang-orang berkumpul di sebuah ruangan pesta, diiringi musik-musik bersuara rendah. Sebuah pesta yang disiapkan untuk sebuah normatif yang dijaga tradisinya oleh Si Pemilik Rumah. Setahun sekali. Tujuannya agar tetap terhubung satu sama lain.
Mereka berkumpul dan bercengkrama. Kaki, tangan, mata, telinga, dan mulut tertuju pada teman bicaranya. Tiga-empat orang memang terlihat sendiri, memerhatikan sekeliling, tapi tentu saja itulah cara yang dipilih untuk menikmati pertemuannya dengan orang-orang dalam pesta malam ini.
Dikala seorang pria membuka pintu, langkah tenang berpadu suara derap angkuh yang tertata, hampir semua mata menyadari kedatangannya. Pria dalam pesona balutan jas ungu pas badan dan topi fedora hitam di kepala tersenyum penuh percaya diri. Menyiratkan kepuasan.
Seorang pria berjas marun dan wajah bersahabat yang berdiri di tengah tamu pesta, yang menjadi peran utama dalam pesta malam ini langsung menyambutnya.
“Ah, Ruwi, sayang sekali kau melewatkan acara pentingnya. Tak mungkin kau sengaja melewatkan malam kemarin, bukan? Dan ya, aku belum mendengarmu memberi ucapan selamat kepadaku.” Ujar pria berjas marun yang memiliki senyum lebar menawan.
“Oh, maafkan kealpaanku pada acara penobatanmu, Kak Alan! Aku terlalu asyik bercengkrama dengan adik-adik menarik di luar sana. Dan tentu saja,” pria berjas ungu, Ruwi, mengulurkan tangan kanannya dan disambut senang hati oleh pria bernama Alan itu, “Aku ikut senang.” Ia berhenti sejenak. Mata keduanya saling menatap. “Selamat atas penobatanmu sebagai penerus keluarga Roia.”
Alan tersenyum, memberikan segelas minuman yang baru saja diambilnya dari pelayan yang melintas di sampingnya kepada Ruwi. “Terima kasih.” Alan mengangkat gelasnya. “Bersulang!”
“Sungguh, pemandangan yang mengharukan.” Ujar seorang wanita berwajah oval yang berdiri di belakang Ruwi. Begitu elegan berbalut gaun pesta merah keunguan, mengembang di bawah lutut dengan mantel tanpa lengan di bahu yang menyatu dengan gaun. Rambutnya dikepang mundur. Di cuping telinganya menggantung sepasang anting-anting bundar dengan warna permatanya senada gaun. Perona merah terang di bibirnya pun memberikan kesan segar dan hidup pada kulitnya yang pucat.
Ruwi memutar badannya. “Oh, hai, Kak Felicia! Wow! Kau sangat cantik malam ini!”
Bibir Felicia melengkung sedikit. “Terima kasih, Ruwi. Aku memang selalu cantik.”
“Malam, Kak Oran!” Sapa Ruwi pada pria di belakang Felicia.
Oran membalasnya dengan tatapan tajam. Dalam balutan jas biru dongker, menambahkan kesan dirinya yang bermata hitam pekat dan berwajah serius itu semakin dingin. Satu di antara pria yang tak banyak bicara dalam keluarga ini.
“Feli, Kak Oran! Kata orang, dialah aib dalam darah klan Roia. Tapi, kurasa, kita pun merindukannya. Dan kau pun merindukan keluarga ini. Bukan begitu, Ruwi?” Alan tersenyum. Kata-katanya sama sekali tak sesumringah bibirnya.
“Ah, tentu!” Ruwi menjawabnya senada dengan senyum Alan.
“Jadi, mari kita nikmati pesta ini dengan penuh kekeluargaan dan kehangatan.” Sekali lagi Alan mengangkat gelasnya.
“Dengan begitu, kau akan mengingat kembali sejarah dan alasan malam ini selalu ada di setiap tahunnya.” Timpal seorang laki-laki tua dengan tongkat kayu di tangannya. Ia adalah kepala klan Roia sebelumnya, Kalabat Holabu Roia—Tuan Kala, orang paling berpengaruh dalam perjalanan klan Roia. Bersama dengannya, seorang laki-laki, tinggi, dan sangat mudah dikenali karena luka baret diagonal di mata kirinya, Darpa Roia—adik kandung Tuan Kala. “Selamat datang kembali, Ruwi!”
“Hai, Ayah!” Balas Ruwi seraya memeluknya.
“Nikmatilah pesta ini!” Kata Tuan Kala ramah.
Sementara Darpa yang berdiri di samping Tuan Kala hanya menyeringai saat melintas di depan Ruwi.
Ruwi membalasnya dengan ramah. Ya, ia selalu punya senjata senyum menawan seperti Alan. Sayangnya, ini tak ampuh meluluhkan hati adik kandung ayahnya untuk menerimanya dengan hangat—seperti dulu.
Tak lama perbincangan itu. Masing-masing keluarga inti Roia memiliki tamunya masing-masing. Terutama Alan yang selalu terlihat berbincang dan dikerumuni banyak tamu. Karena kini dialah pemimpin Klan Roia yang baru dan tokoh utama dalam pesta hingga dua malam ke depan.
Ruwi menepi ke meja bulat berisi beragam warna buah. Mengambil sekenanya. Memakannya tanpa ketertarikan.
“Kau kembali bukan untuk merengek pada ayahmu lagi kan, Ruwi!” Ujar Prof. Yose tiba-tiba berdiri di belakang Ruwi—saling membelakangi. Tangannya membawa sepiring makanan penuh,
“Lagi? Kau senang menurunkan harga diriku, Profesor.” Ruwi tertawa. “Ah, harga diri, kah? Seperti aku memikirkan hal-hal semacam itu saja.” Katanya lebih pada dirinya sendiri. “Sayangnya, aku bukan Ruwi sepuluh tahun lalu, Prof. Yose.”
“Dan sepertinya, kau menikmati pekerjaanmu.” Nada Prof. Yose serupa mengejek.
“Kau juga sepertinya begitu.”
Prof. Yose mengangkat bahu. “Mungkin karena aku melakukan mimikri lebih baik daripada bunglon.” Ia tertawa.
Ruwi berdecak. “Kurasa, diksimu salah mengartikan dirimu. Kau tak lebih dari manusia yang pandai berkamuflase Prof. Yose. Cukup berhasil hingga saat ini. Keberuntunganmu lebih dari yang kupunya. Tapi, aku tak yakin akan bertahan lama. Karena sesuatu berhargamu yang tak kau hitung sebelumnya sedang bergerak menemuimu.”
“Teganya kau menakuti pria yang besok akan meninggalkan dewasa akhir ini. Tapi, terima kasih atas peringatanmu, Tuan Sandiwara.” Prof. Yose tertawa lagi. “Pesta ini membuatku kenyang. Selamat menikmati pesta, Ruwi!” Prof. Yose meninggalkan pesta bersama makanan di piringnya.
Seperti Prof. Yose, Ruwi pun tak berlama-lama dalam pesta. Gairahnya tak di ruangan ini. Setelah berbincang-bincang sebentar dengan beberapa tamu, ia memilih untuk meninggalkan pintu ruang pesta. Felicia yang kebetulan melihat gelagatnya, berjalan cepat dan berdiri menghalangi tepat di ambang pintu.
“Kau tak berubah, Ruwi! Selalu pandai menarik perhatian dan keluar lebih dulu, bahkan sebelum keseruan pesta sebenarnya dimulai.”
“Ah, Kak Feli, aku selalu iri dengan mata jelimu.” Ruwi mendekatkan wajahnya ke telinga Felicia. “Aku harus segera menemui seseorang. Tenanglah, nanti aku akan mengobrol banyak denganmu.” Ia mengedipkan sebelah mata, dan benar-benar hilang di balik pintu ruang pesta.
@_@
“Hei! Kakak menjengkelkan!” Panggil suara gadis remaja awal sesaat setelah Ruwi meninggalkan pintu ruang pesta.
Ruwi membalikkan badannya. “Hai, Adik kembarku! Lokka dan Talla!” Jawabnya sembari membentangkan kedua tangan seakan-akan yang memanggilnya akan menghambur dalam pelukannya. Setidaknya, itulah yang diharapkannya dalam senyum yang terlihat tulus.
“Turunkan tanganmu! Kami tak akan memelukmu!” Jawab Lokka ketus.
“Hmm... kalian tak merindukanku?”
“Kau mengatakannya seolah kau pun merindukan kami.” Lokka menyilangkan tangannya di depan dada.
“Tentu aku merindukan kalian. Sungguh! Apa wajah dan tanganku yang merentang ini tak cukup meyakinkan?” Ruwi tertawa kecil. Menatap adik kembarnya bergantian. “Hmm... sudah berapa lama aku tak melihat kalian? Kau semakin gagah dengan jasmu, Talla. Dan, sepertinya kau bertambah tinggi dan anggun, Lokka.”
“Sudahlah, cukup! Jangan merayuku! Kau jadi semakin menjengkelkan, kau tahu?!”
Ruwi tertawa. “Dengan pakaian bagus dan rapi seperti ini, kalian tak ikut dalam pesta?”
“Kami tak ingin satu ruangan bersama orang yang telah menyakiti Ringge.” Jawab Talla cepat dalam wajah tak berdosa yang melekat sejak ia dilahirkan. “Kak Ruwi...”
“Talla!” Lokka memainkan telunjuk kirinya ke kiri dan kanan. “Panggil dia kakak menjengkelkan!”
“Kakak Menjengkelkan, kami ingin meminta bantuanmu!” Kata Talla kemudian, menuruti kemauan Lokka.
“Hmm... kalian yakin? Meminta bantuanku sama halnya kalian bersiap memberikanku sesuatu.”
“Susah bicara denganmu, Kakak Menjengkelkan! Biar kuperjelas, ini bukan karena kau pintar segalanya dan dapat diandalkan. Ini hanya karena kau yang paling tahu untuk membantu kami sampai pada Ringge.” Wajah Lokka semakin kesal. “Talla, kau saja yang bicara dengannya. Aku pergi!” Belum melangkah cukup jauh, Lokka menoleh lagi pada Ruwi. “Jangan perlihatkan sikapmu yang seperti ini pada ibu. Aku pergi!”
Wajah kesal Lokka malah menggemaskan bagi Ruwi.
“Aku dan Lokka ingin menjadi bagian dari rencana ayah dan keluar dari pulau ini.” Ujar Talla ketika perhatian Ruwi sepenuhnya padanya. “Tapi, tentu saja seperti yang Lokka katakan tadi, keinginan kami sebenarnya adalah bertemu Ringge. Aku ingin kau membantu kami membicarakan hal ini pada ayah. Kami sudah membicarakannya dengan ibu. Ibu ragu, tapi kali ini kami tak ingin lagi diam menunggu Ringge menjemput kami.”
Ruwi mengagumi sikap adiknya yang satu ini. Talla sebenarnya bukan anak yang banyak bicara. Ia lebih sering diam. Ditambah dengan wajahnya yang natural memainkan emosi datar, membuat diamnya semakin susah dipahami. Tapi, sekalinya dia memiliki keinginan, dia akan berkata jujur tanpa keraguan sedikitpun, dan tentu seperti yang baru saja dilakukan—tanpa basa-basi.
“Kau tahu, ini bukan hanya sekadar bertemu Ringge dan bersenang-senang seperti yang dulu pernah kalian lewati bersama di sini. Kau yakin?”
“Kau mungkin belum melihat perkembangan kami setahun ini. Tapi, kami cukup percaya diri bahwa kami sudah tumbuh dan bertambah kuat sejak berpisah dengan Ringge.”
Ruwi tertawa. Lihatlah, kalimat penuh semangat itu hanya disampaikan dengan nada datar. Mungkin akan terdengar tak bersungguh-sungguh bagi yang asing dengannya. “Baiklah. Aku akan membantu. Tapi, sementara aku berbicara dengan ayah, pikirkanlah imbalan yang pantas untukku!”
Talla mengangguk. “Aku senang kau kembali, Kak Ruwi! Lokka juga. Dia hanya marah padamu karena sering pergi tak berkabar dan lama tak kembali.”
Ruwi menepuk bahu Talla. “Ya, aku selalu tahu. Aku menemui ibu dulu.”
@_@
Seorang wanita paruh baya di atas sebuah kursi roda sedang menghadap keluar jendela kamar yang tak melihatkan apapun kecuali gelap. “Nale, istirahatlah. Ruwi yang akan menjagaku.” Katanya pada wanita muda di sampingnya. Yakin bahwa Ruwilah yang saat ini menjejak di depan pintu kamarnya.
Si wanita muda keluar dari kamar wanita paruh baya itu. Nyonya Laine panggilannya, istri Tuan Kala. Ruwi pun melangkahkan kaki masuk ke kamar. Langsung memeluk punggung wanita Nyonya Laine.
“Kau baik-baik saja?”
“Tidak ada yang membahagiakan selain memelukmu seperti saat ini, Ibu.”
Nyonya Laine tertawa rendah. Mengelus-elus tangan Ruwi yang melingkar di bahunya. Menikmati pelukan rindu yang lama tertahan. Memutar kursi rodanya ketika Ruwi melepaskan pelukannya. Lalu, dilihatnya Ruwi yang telah berganti dengan jas lab putih layaknya dokter.
“Selamat datang, dokter Ruwi! Apakah kau datang untuk memeriksaku?”
Ruwi mengangguk. Kemudian, meletakkan stetoskop di dada Nyonya Laine. Memeriksa bunyi-bunyi organ dalam tubuh ibunya. Kemudian, membuka tas yang dibawanya. Mengeluarkan peralatan yang diperlukannya, sebuah jarum suntik dan sebuah botol bening berisi cairan kuning pekat. Memasukkan cairan itu ke dalam jarum suntik dan menyuntikkannya di lengan Nyonya Laine dengan lembut.
“Kenapa kau begitu terlambat tiba di rumah?”
“Ada hal yang tak bisa kuhindari untuk memenuhi kesenanganku. Kuharap Ibu memaafkan keegoisanku.”
Nyonya Laine tersenyum sembari membelai rambut Ruwi. “Kau sudah menemui aba dan ama?”
“Aku belum merasa perlu menemui mereka.” Katanya sembari tangannya mengemas peralatannya.
“Pesta belum berakhir. Besok, mungkin mereka akan datang ke kastil ini.”
“Ya. Jika besok aba dan ama kemari, aku akan menemui mereka.” Ruwi tersenyum. “Kita sudah lama tidak kencan berdua, Bu. Bagaimana kalau kita berjalan-jalan?”
Nyonya Laine mengangguk.
Ruwi mendorong pelan kursi roda Nyonya Laine, mengajaknya berkeliling kastil utama sembari bercerita dan bernostalgia dengan kenangan masa silam. Meski telah lama ditinggalkan, entah kenapa hampir di setiap ruangan yang dilewati mampu membangunkan syaraf-syaraf kenangannya yang tertidur. Melihatkan bayangan-bayangan dirinya dan penghuni lainnya di kastil ini, yang disebutnya dulu—rumah. Tumbuh besar bersama adik kembar dan tiga kakak. Waktunya banyak dihabiskan bersama si kembar dan Feli.
Sejak kecil, Ruwi sudah dikenal pintar, ia selalu dijadikan guru oleh ibu untuk mengajari si kembar, bahkan untuk Kak Feli yang tua dua tahun darinya. Memori lalu itu sangat melekat jelas ketika melewati perpustakaan keluarga. Dulu, di ruangan itu pula Feli selalu mengajaknya beradu mulut, sementara si kembar berusaha melerai. Tapi seperti anak kecil lainnya, mereka akan cepat akur dan lebih dekat dari siapa pun di rumah ini.
Itu adalah periode waktu-waktu yang dapat diingatnya dilewati dengan damai sejak kecil hingga akhir masa kanak-kanaknya, sebelum hari orang ketiga itu datang dan tinggal di rumah ini, dan sedihnya dimulai beruntun.
Banyak hal yang telah dilewatinya di kastil ini. Kasih sayang, keegoisan, amarah, keputusasaan, ikatan persaudaraan, ketidakadilan yang mengubahnya menjadi keteguhan, dan bertahan hidup yang membuatnya tumbuh hingga menjadi Ruwi sekarang ini.
“Bagaimana petualanganmu?” Tanya ibu saat tiba di taman tengah kastil. Taman yang tidak begitu terlihat keindahannya di malam hari ini menghibur pemiliknya dengan wewangian memikat tanaman malam hari. Menarik romansa manusia-manusia yang sedang merindu untuk meluruhkan cerita-cerita intim.
“Tak lebih mendebarkan ketika berharap segera bertemu denganmu, Ibu.”
“Benarkah?” Nyonya Laine menoleh pada Ruwi yang duduk di kursi taman samping kanannya “Ibu selalu berpikir, dari mana kau mendapatkan kemampuan merayumu ini.” Ibu memegang jemari Ruwi. “Setidaknya kau tak perlu berpura-pura di depan Ibu.”
Ruwi tersenyum. “Akhir-akhir ini aku sulit membedakan menjadi ‘berpura-pura’, Bu?”
“Ibu tak memahami apa yang kau kerjakan di luar sana. Harus ibu katakan, sebagian hati Ibu bersedih. Kau benar-benar mewujudkan impianmu menjadi dokter seperti seseorang yang amat kau banggakan. Tapi, sampai kapan kau akan bersandiwara dengan perasaanmu sebenarnya? Kau tak akan tahu batasan yang dapat kau tahan dengan menipu diri sendiri.” Nyonya Laine menatap Ruwi dalam-dalam. “Ibu tak ingin kau terbiasa dengan cara hidupmu saat ini.” Dipegangnya erat tangan Ruwi. “Yang kalian berdua lakukan memang berbeda, tapi jangan berakhir seperti ayahmu! Ingat ini, orang-orang yang mencintaimu selalu menunggumu.” Ucap Nyonya Laine penuh harap.
Ruwi bergidik. “Perhatian seorang ibu memang sungguh mengerikan. Seolah selalu dapat menemukan tempat rahasia sang anak menyembunyikan barang berharganya.”
“Aku memang sedang sakit. Tapi, aku masih seorang Ibu.” Ibu tersenyum. Melanjutkan ujarannya pada hal lain yang tampak tak selaras. “Memang benar, kita tak hidup di tempat di mana matahari bersinar begitu terang dan menyilaukan mata. Tapi, bukan berarti kita harus tersesat dan tak mampu menemukan jalan yang tepat. Dan pasti, meski hanya sebentar kita akan menikmati matahari kembali.”
Mata Ruwi terfokus pada pahatan tembok di depannya yang disinari obor-obor taman. Pahatan sejarah Klan Roia. “Aku tak lupa akan ucapan itu. Lalu, apa ibu sudah memaafkan mereka?”
“Memaafkan, sungguh kata yang sangat besar maknanya.” Nyonya Laine diam sejenak. “Ibu tak akan pernah melupakan peristiwa itu. Di hari itu, Ibu dan orang-orang suku kita telah kehilangan banyak hal. Hari itu seperti kiamat kecil di siang hari. Benar-benar menyakitkan.” Mata Nyonya Laine berkaca-kaca. “Tapi, Ibu masih meyakini bahwa tak benar bila melampiaskan kemarahan kita pada mereka yang tak tahu pada cerita sebenarnya.”
“Tapi, menurutku, tak salah bila kita membuat mereka mengingat dan mengetahui kebenaran peristiwa itu.”
Nyonya Laine tersenyum. “Ibu yakin kau tahu arti membuat mereka mengingat dan mengetahui kebenaran, dan menghukum mereka atas peristiwa itu.”
“Apa Ibu akan marah dan memaksaku bila tak mampu memenuhi maksud ibu?” Ruwi menoleh pada Nyonya Laine.
“Peluk ibu!” Pinta ibu pada Ruwi. “Ibu sudah senang hanya ketika kau mengatakan akan membawa Ibu keluar dari pulau dan mendatangi tempat-tempat indah di luar sana, mengunjungi kota penuh kenangan yang pernah kau ceritakan.” Ibu membelai pungung Ruwi. “Jangan jatuh terlalu dalam pada kebencianmu. Kau bahkan lebih paham dari siapapun bahwa membalas dendam akan menimbulkan dendam lainnya.”
Tak lama kemudian, Ruwi mengantarkan Nyonya Laine kembali ke kamarnya. Tubuh Nyonya Laine tak bisa berlama-lama di luar ruangan karena fisiknya yang memburuk. Peristiwa sepuluh tahun lalu telah melumpuhkan kesehatannya. Telah merenggut langkah kakinya yang jenjang dan aktif memelihara kastil untuk selama-lamanya di atas kursi roda.
@_@
Ini malam terakhir pesta di kastil klan Roia. Malam penutup kebersamaan untuk tahun ini. Beberapa wajah, baru memunculkan diri malam ini. Dua di antaranya adalah yang dituju Ruwi bersama Nyonya Laine.
“Hai, Aba, Ama! Kalian menikmati pesta ini?” Sapa Ruwi pada sepasang suami istri paruh baya berwajah paling tenang di ruangan pesta ini.
Sang istri, Ama, tersenyum. Kentara bahagia. Sementara sang suami, Aba, tak goyah pada wajah tenangnya.
“Nyonya Laine, Ruwi, lama tak berjumpa.”
“Lihatlah, kalian masih sangat serasi. Bergandengan, tak meninggalkan satu sama lain.” Kata Nyonya Laine melihat tangan sang istri, Ruru, yang menggamit anggun di lengan sang suami.
“Ini bukan sesuatu yang harus dilebih-lebihkan, Nyonya Laine. Inilah yang tersisa dari hal berharga milik kami untuk dijaga.” Jawab Ama bergulir bersama makna yang hanya diketahui oleh mereka. Kemudian memeluk Nyonya Laine. “Aku bisa merasakan bahwa tubuh Anda sedang menyuarakan kebahagiaan.”
“Hmm… ya. Inilah yang bisa dilakukan oleh ibu ketika orang terkasihnya kumpul kembali. Seperti katamu, karena inilah yang tersisa dari hal berharga milik seorang Laine.”
Keduanya saling tersenyum simpul.
“Ah ya, apakah berlebihan jika kami menginginkan sambutan peluk dari pria muda tampan di belakang Anda, Nyonya Laine?”
“Tentu. Aku akan memberikan waktu lebih untuk kalian bercengkrama.” Nyonya Laine mendongak pada Ruwi. “Jangan menahan lebih lama lagi. Ibu akan…”
“Ibu akan berkeliling menikmati pesta bersama kami.” Sambar Lokka meneruskan kalimat Nyonya Laine. “Pastikan kau baik dengan Aba dan Ama, Kakak Menyebalkan.”
Ruwi hanya mampu tersenyum. Entahlah, merayunya sedang meredup. Ah, bukan. Mungkin karena ada bagian tak sempurna yang tak mampu ditutupinya. Tentang keluarga.
Ruwi memeluk Ama dan Aba bergantian. Cukup lama dalam pelukan Ama. “Kulihat, kalian masih sama seperti terakhir kali aku berkunjung.”
“Ya, kami harus memastikan bahwa kau akan tetap dan segera mengenali kami saat bertemu kembali.”
Ama selalu tak kehabisan kata untuk menjawab. Mungkin karena ia jugalah kemampuan ‘menjawab’ Ruwi itu datang.
“Karena kami sudah berubah lebih dulu darimu. Dan kini, kaulah yang melangkah terlampau jauh dari yang kau janjikan. Ada masa, ketika kau akan merasa berjalan satu kaki.” Timpal Aba kemudian.
Ruwi tertawa rendah. Ia tak menyangkal kata-kata Aba atau ingin meneruskan topik itu. Ia hanya ingin bernostalgia. Karena ini rumahnya. Tempatnya sesuka hati untuk bercerita tentang masa lalu dan melindunginya tetap utuh. Tentang dirinya yang berubah yang selalu disebutkan oleh orang-orang di dekatnya, ia-lah yang berhak menentukan baik dan buruknya. Karena saat ini, ia masih percaya diri dan paling tahu obsesinya.
Namun, perbincangan Ruwi bersama aba dan ama tak lama. Tuan Kala, secara langsung meminta Ruwi pergi bersamanya ke ruangan pribadinya. Lantas, meninggalkan ruangan pesta. Niatnya memang tak berlama-lama dalam pesta, namun, kini hubungan kental lainnya namun canggung telah menunggu.
@_@
“Kita sudah lama tak berbicara.” Kata Tuan Kala membuka perbincangan. Duduk di kursi berlengan balkon. Singgasana bersantai Tuan Kala.
Mata Tuan Kala dan Ruwi sama-sama menembus pada siluet pegunungan yang bersembunyi di balik kabut malam di depan sana. Pemandangan yang sempat membuat Ruwi enggan mengakui keindahannya karena suatu alasan.
“Inilah mengapa aku keluar dari pulau ini. Tidakkah menurut Ayah membosankan selalu memandangi sesuatu yang indah, tapi tak pernah benar-benar jelas? Yang biru dan hijau selalu menyegarkan dan meyehatkan mata, kepala, dan hatiku.” Sahut Ruwi dalam ritme emosi menanjak.
“Kau masih melakukan pekerjaanmu?”
“Kurasa, mata Ayah di luar sana telah memberitahu semuanya.”
Tuan Kala tertawa rendah. “Kau telah tumbuh melampaui harapanku. Kau memainkan peranmu dengan sangat baik, Ruwi.”
“Sebenarnya aku tak mengharapkan pujianmu. Tapi, terima kasih.”
“Jadi, sebagai informan, apa yang bisa kau katakan tentang orang-orang kita yang tertangkap oleh pasukan khusus SPeN?”
“Karena orang-orang kita kehilangan kewaspadaan—mungkin, atau SPeN yang semakin menajamkan indra mereka—lebih dari yang Ayah kira.”
“Menurutmu begitu?
“Ayah tak sedang mencurigaiku, bukan?”
Tuan Kala menggeleng. “Aku tak mencurigai seseorang tanpa dasar. Hanya dalam pandanganku, kau terlalu memanjakan orang-orang tertentu di SPeN.”
Ruwi tertawa. “Memanjakan, kah? Sejinak itukah aku?”
“Lantas, kenapa hingga detik ini kau tak bersedia kembali bersama kami?”
“Karena aku mengagumi ayahku di waktu lima belas tahun lalu. Ah, atau karena ingin meneruskan cita-cita tiga orang penting dalam hidupku. Tapi, kalau dipikir lebih jauh, aku tak sanggup memerankan manusia suci untuk cita-cita mulia ketiganya.” Ruwi berdiri dan menyandar di pinggiran pagar balkon. “Atau mungkin, karena sejak awal aku tahu tidak akan pernah menjadi penerus klan Roia, jadi akan lebih mudah bagiku untuk terus maju dengan memilih jalan berbeda darimu dan berkuasa atas diriku sendiri.”
“Atau kau masih membenciku karena janji itu?” Tanya Tuan Kala memberikan pilihan lain pada jawaban sebenarnya Ruwi.
“Kurasa, pengingkarlah yang lebih tahu jawabannya.”
Keduanya terdiam.
“Apa yang akan kau lakukan setelah dari sini?” Ujar Tuan Kala kemudian.
“Apakah saat ini aku terlihat diam saja, Ayah? Akar selalu tumbuh merambat tanpa kau lihat. Kuakui, aku bukanlah Mahakuasa. Karenanyalah aku membutuhkan tangan-tangan lain untuk mewujudkan keinginanku.”
Kehadiran Darpa memutus pembicaraan keduanya. Meski canggung, tanpa melupakan sopannya, Ruwi undur diri untuk kembali ke kamarnya.
“Suatu hari, dia akan menjadi ancaman.” Kata Darpa saat Ruwi telah jauh dari jangkauan indra pendengarnya.
“Ya. Ancaman bagi siapapun yang berseberangan dengannya. Tapi, cukup awasi saja. Firasatku mengatakan, kecintaannya yang dalam pada sukunya sendiri lebih besar dari dirinya sendiri dan dia tak akan mampu mengkhianatinya.”
@_@
Namun, niat Ruwi untuk kembali ke kamarnya di lantai dua kastil diurungkannya. Kepalanya butuh udara segar. Jadilah ia mendatangi sebuah tempat yang menurutnya udara segar akan membebaskan sesak tertahan yang meremas kuat hatinya. Di sana, ia bertemu dengan Oran.
“Biasanya kita selalu berseberangan pendapat. Tapi, tanpa kau katakan, hanya tempat inilah kita sepakat bahwa satu-satunya tempat paling nyaman menjadi dirimu sendiri.” Kata Ruwi ketika sampai pada lantai atas kastil utama saat melihat Oran yang telah lebih dulu berdiri di sana, di sudut pagar bata. Tempat di mana kamu dapat melihat hampir sekeliling pemandangan yang mengepung kastil kebanggan klan Roia ini.
Oran tersenyum simpul. Membuang sisa puntungan rokok ke lantai.
“Kau tahu, menurutku, selain karena kau anak tertua Roia saat ini, kau lebih pantas menyandang pemimpin klan Roia.”
Oran tertawa. “Kau tahu tentangku, Ruwi. Sejak dulu aku tak begitu pandai melayani keinginan keluarga besar Roia. Lagipula, meski secara hierarki aku bukan pemimpin keluarga Roia, secara silsilah aku masih penerus keberadaan garis keturunan keluarga ini.”
Ruwi mengangguk-angguk. “Tetap saja, aku masih mengharapkanmu menjadi pemimpin keluarga ini. Kurasa, Ayah pun masih sangat mengharapkanmu.”
“Ayah juga mengharapkanmu benar-benar kembali padanya.” Mata Oran menerawang jauh menjelajah angkasa malam beribu bintang. “Pilihan untuk mempertahankan keberadaan kita tak hanya dengan cara ayah. Sepertimu dengan caramu, aku juga dengan caraku. Tapi, satu hal yang ingin kukatakan, meski tak bersama, tak satu pun di antara kita yang akan saling mengkhianati. Bila itu terjadi, akan kupastikan ia tak lagi bisa melihat cahaya yang diimpikannya.”
“Akan aku ingat karena aku tak ingin kau mengatakan hal menyeramkan seperti itu lagi di depanku. Dan sepertinya kau sibuk. Bagaimana dengan anak-anakmu?”
Oran melihat arloji di tangannya. “Aku hanya orang tua pengganti. Mereka sangat mandiri dan tumbuh dengan cara mereka sendiri. Bila bertemu Ringge, sampaikan padanya Para Gagak benar-benar merindukannya dan ingin bertemu.”
Oran meninggalkan Ruwi tanpa permisi. Ya, sepertinya hal semacam itu tak berlaku di keluarga ini. Dan baru beberapa saat mengendurkan senyum di bibirnya, ponsel pintar Ruwi memanggil.
“Ah, mereka telah memulai perjalanannya. Ya, aku pasti akan segera kembali ke Kota More. Dan seseorang di Kota Gurin, setelah sekian lama, kau harus memberinya kejutan.”
Cerita yang menarik akan segera meluncur. Dari apa yang dapat diskenariokannya, ini akan menjadi bumbu pelengkap penambah cita rasa untuk pertumbuhan tunas-tunas kebenaran di hati yang masih muda. Akan sangat menghibur dan sebaiknya sabar menunggu sampai akhirnya gilirannya muncul satu panggung bersama mereka. Begitulah benak Ruwi bersuara. Senyumnya begitu lebar.
Malam ini akan ada pertemuan penting di tempat yang hanya diperbolehkan oleh mereka yang memiliki status khusus berada di dalamnya. Ini menjadi malam penting keberlangsungan klan Roia di tangan pemimpin yang baru dan klan lainnya yang berlindung di bawahnya.
Sebelum benar-benar pergi, Ruwi pun harus menunaikan janjinya untuk adik kembarnya. Sesekali, mencoba masuk dalam diskusi penting di penghujung malam klan Roia, rasanya tak buruk. Setidaknya, dengan status khusus yang dimiliki dan masih berlaku, ia harus menjadi saksi kakak keduanya memulai sejarahnya menjadi pemimpin klan Roia.
Kau pun mungkin masih bertanya-tanya atau mungkin telah menemukan jawaban tentang mereka? Tapi ya, benarkah jawabanmu seperti yang lainnya? Kau boleh mengingatnya, mereka akan bergerak keluar dari sarangnya dengan benar setelah malam ini.
Bersiaplah. Aliran yang berbeda awalnya itu akan menemukan muara sama di suatu tempat. Saling mempengaruhi.
@_@ 641Please respect copyright.PENANA34nMId0YIB