Tim Singa Gunung sedang diskusi tertutup. Di ruangan informasi khusus yang aksesnya hanya dimiliki prajurit tertentu. Namun, ini bukan satu-satunya ruangan informasi khusus yang dimiliki khusus. Ada beberapa tingkatan lagi dan untuk masuk ke dalamnya, kau harus lebih dulu membuktikan dirimu pantas untuk memegang dan menyimpannya—mungkin lebih berharga dari nyawamu sendiri. Ini baru permulaan bagi Singa Gunung, baru pada tingkatan satu. Meski begitu, informasi yang coba dicari Singa Gunung telah memberikan jawaban yang cukup untuk menyuapi rasa lapar mereka tentang misteri yang menyelimuti hampir sepanjang misi. Sayangnya jawaban yang didapat belum sampai menyentuh kulit pasukan bayangan sejengkal pun.
Setidaknya, Singa Gunung—yang sempat terputus pada misi—sempat pula mengikis keyakinan kelulusan mereka akan ujian misi, telah mendapatkan informasi mengenai para pelaku pencuri sebenarnya. Ya, kebenaran misi akhirnya Singa Gunung ketahui beberapa saat lalu, dipertegas kebenarannya oleh Guru Bi. Bahwa peran Singa Gunung pada misi di Kota More adalah sebagai pengalih perhatian bagi prajurit Kesatria Bintang Tiga. Peran itu bukan olok-olokkan. Menurut Guru Bi, ketidaktahuan Singa Gunung akan peran sebenarnya merupakan kunci penting atas keberhasilan penyelesaian kasus pencurian itu.
Lalu, di ruangan informasi ini, Singa Gunung mencoba melegakan beberapa pertanyaan yang tak mau dijawab Guru Bi, dan hanya mengatakan “Kenapa tak kalian gunakan akses istimewa untuk memenuhi rasa haus penasaran kalian” .
Begitulah akhirnya sejak dua tiga jam lalu, Singa Gunung menggunakan seluruh aksesnya untuk menggali informasi yang ingin mereka ketahui untuk melengkapi teka-teki yang sebagiannya telah diselesaikan dengan cukup baik.
Banyak hal. Tentang para pelaku, para korban pencurian, Distrik Lakonami, Tanah Tak Bertuan, hingga setitik pencerahan tentang peristiwa di Kota Gurin. Juga yang muncul di tengah-tengah misi mereka di Kota More, membaur bersama ‘Hantu Pencuri’, yaitu Para Gagak. Balin pun membagi anggota Singa Gunung pada topik informasi berbeda, untuk nanti dibagikan seluruh anggota. Ya, dirasanya lebih efektif dan efisien.
Ini tidak sederhana. Para pelaku pencurian adalah orang-orang yang lama hidup di Distrik Lakonami yang kini tak berpenghuni. Distrik Lakonami, itulah kunci utama yang harus dipegang. Singa Gunung harus jauh kembali sebelum lima belas tahun. Saat Distrik Lakonami menjadi satu diantara distrik di Kota More yang menjadi sorotan karena menghasilkan berlian terbaik dan unik di Negara Sirlen.
Awalnya sempurna. Sesempurna kilauan berlian yang dihasilkan, dan memberikan penghidupan layak bagi penduduk di distrik itu. Namun, manusia yang memiliki nafsu tak terbatas dan kelonggaran kendali atas tanggung jawab, lalu tumbuh benih ketidakpuasan, memaafkan keserakahan dan menoleransi kekuasaan semena-mena, menggali berlian hingga melebihi batas yang diwajarkan. Akhirnya, bumi menjerit. Sekejap saja, distrik seperti tersedot bumi seperti mesin penyedot berkecepatan tinggi. Lanskap lubang raksasa kemudian menganga ngeri, seolah ingin menunjukkan ulah manusia sombong.
Banyak korban berjatuhan. Terutama para pekerja laki-laki penduduk lokal. Menjadikan banyak wanita menjanda dengan anak yang masih membutuhkan penghidupan dan sosok ayah. Parahnya, mereka ditinggalkan begitu saja—alih-alih oleh pemerintah Kota More dipindahkan ke distrik perbatasan sebagai bentuk kebaikan. Lebih busuk lagi, kasus itu tak pernah diungkap.
Kau mungkin sudah dapat menebak pemilik industri berlian itu. Ya, mereka adalah Tuan James Lee, Nyonya Katrina, dan Tuan Antiya. Ketiganya adalah pemilik toko berlian. Mirisnya lagi, ketiganya hidupa bahagia dalam kemewahan yang tak dapat dimimpikan oleh masa depan anak-anak Distrik Lakonami.
Jadilah, ketika keadilan dan kebenaran itu dikunci, melahirkan amarah dan dendam, anak-anak yang telah tumbuh dewasa menuntut atas haknya. Hari ketika peran mereka sebagai ‘Hantu Pencuri” yang menghalalkan pengambilan milik orang lain sembunyi-sembunyi itupun dimulai. Misinya, mengembalikan berlian distrik Lakonami ke pemilik sesungguhnya.
Lalu, bagaimana dengan Tanah Tak Bertuan? Tanah Tak Bertuan adalah sarang persembunyian para penyamun yang siap merampas dan menjarah. Sudah banyak korban hilang yang tak kembali di tanah itu. Satu lagi jawaban alasan sepinya jalanan di Tanah Tak Bertuan. Tapi kenapa Gavin dan Balin dapat melewati wilayah itu dengan mudah bersama Jeep yang dikendarai oleh Si Pengemudi dan Agen Nila? Ini adalah misteri selanjutnya yang tak dapat di jawab hari ini.
Begitu pun Tuan Mev, bos tambun yang menyekap Gavin, Balin, Qiyo, dan Irina, hanyalah satu diantara tangan kanan dari enam mafia terbesar di Kota Gurin yang identitasnya tak banyak disebutkan. Saat ini kasus Tuan Mev telah dibawa ke pengadilan internasional dengan dikawal SPeN yang telah berperan besar dalam penangkapannya. Kejahatannya sungguh tak termaafkan.
Pelabuhan yang sempat menjadi ladang penanaman bom Gavin dan Balin bersama Agen Nila ternyata miliknya dan hanyalah kedok bagi bisnis gelap lainnya. Perdagangan manusia yang diperjualbelikan dengan cara tak manusiawi, dipertontonkan pada sebuah pelelangan di depan para penggila tak bermoral yang masih saja menyebut dirinya ‘manusia’, menghabiskan uanganya hanya untuk sebuah kesenangan jiwa yang sakit. Ah, sungguh, tak satu pun dari Singa Gunung dapat memahami akal yang gila itu. Jerat tembok besi sama sekali bukanlah jera yang dapat menginsafkannya.
Tuan Dan, Bos mafia yang pernah dihadapi langsung oleh Gavin dan Balin, seperti penampilannya, tak ada informasi buruk tentangnya. Reputasinya bahkan lebih baik lagi di luar Dunia Bawah.
“Sungguh, informasi yang kita dapatkan hari ini sama sekali tak membantuku mengaitkan seluruh peristiwa yang kita alami.” Ujar Anan yang kepalanya lelah mencari-cari benang merah atas informasi yang diperoleh.
“Tidak heran. Ini jelas tidak mudah. Kesatria Bintang Tiga saja butuh waktu lama untuk menyelesaikannya.” Sahut Balin. “Qiyo, bagaimana dengan informasi yang kau cari?”
“Seperti yang pernah kusampaikan, Para Gagak sangat dikenal namanya di Dunia Bawah. Sumber-sumber informasi yang kudapatka menyatakan Para Gagak adalah agen bayaran yang cukup unik, hampir menerima pekerjaan apa pun yang ditawarkan. Namun, Para Gagak lebih dikenal sebagai agen yang diabayar untuk membunuh—ya, kau dapat menyebutnya pembunuh bayaran. Anehnya, dari semua informasi yang kudapatkan, tak sekalipun disebutkan keberadaan Para Gagak pada sebuah pekerjaan yang diterimanya hanya bertahan tak lebih dari tiga bulan seperti yang disinggung Agen Nila. Dan entahlah, aku tak tahu harus berkomentar apa tentang ini.” Qiyo menyerahkan kertas yang sempat dicetaknya. Sebuah berita di satu koran di Kota Ame lima tahun lalu. “Para Gagak berubah bak pahlawan baik hati di Kota Ame dengan menyelamatkan penduduk dari ledakan bom di Rumah Sakit Yoon.” Lanjutnya lagi ketika Balin dan yang lainnya selesai membaca. “Dan, aku juga menemukan ini.” Qiyo menyerahkan lagi kertas lainnya. Nampak di sana potret Para Gagak yang bertopeng bersama Ringge yang juga mengenakan topeng yang sama seperti saat kemunculannya kembali di Kota ini.
“Ringge?” Seru Gavin.
Qiyo mengangguk. “Banyak sekali keterkaitan yang jauh dari jangkauan kita saat ini.”
Singa Gunung pun tenggelam dalam diskusi. Satu per satu coba dipecahkan, meski ya, berakhir pada pertanyaan kembali. Hingga otak meneriakkan kepenatan dan perut yang menyuarakan kekosongan isi. Balin pun mengajak anggotanya untuk pergi ke kafetaria.
Gavin yang baru saja mendapatkan pesan di ponsel pintarnya, tiba-tiba tersenyum lebar dan tak ikut bersama Singa Gunung. Sesuatu yang nampaknya telah ditunggunya lama, telah menunjukkan wujudnya. Ia pergi dengan berseri-seri. Dan Qiyo, menyadarinya.
@_@
“Haiwi!” Panggil Gavin terengah-engah. Mengejar Haiwi ke lantai tiga, tempat les piano Lota.
Haiwi datar saja menanggapinya. Sama sekali tak terkejut. Seolah ia tahu Gavin memang mengejarnya.
Sungguh, berkebalikan dengan ekspresi Lota yang nampak ceria sekali. “Hai, Kak Gavin!”
“Hai, Lota!” Balas Gavin—tampak bahagia sekali.
Gavin dan Lota, keduanya membuat gerakan tos unik.
Haiwi sedikit heran. Ia tak menyadari hubungan keakraban keduanya dimulai hingga baru hari ini tampak sekali di depannya. Bahkan, Gavin dapat membuat gerakan tos yang sering dilakukannya kepada Lota.
Tak lama kemudian, Lota harus masuk ke kelasnya. Namun, sebelum hilang di balik pintu, Gavin segera menghampiri Lota dan membisikkan sesuatu di telinga Lota. Lota mengangguk-angguk senang, dan melengkapinya dengan mengacungkan jempol dan mengedipkan sebelah mata pada Gavin.
Gavin berdehem. “Aku sudah mendapatkan izin dari ayahmu dan Lota. Aku ingin mengajakmu pergi ke suatu tempat. Kau mau, kan?”
Ya, Ayahlah lah yang mengirim pesan di ponsel pintar Gavin saat di Gedung Dipaskus Pusat.
Haiwi mengangguk. Lalu, mengikuti langkah Gavin yang sedang bersenandung lirih. Berjalan di belakangnya, Haiwi baru sadar bahwa pundak Gavin lebih tinggi dari kepalanya.
“Sebenarnya, aku ingin mengajakmu berjalan-jalan dengan motor kesayanganku. Tapi, lenganku sedang tak mengizinkanku menggunakannya.” Kata Gavin saat keduanya telah masuk kereta bawah tanah.
“Kau baik-baik saja?”
“Jangan khawatir. Luka-luka kecil di tubuh tidak sebanding dengan peristiwa yang kami alami. Penderitaan dan kesulitan yang kami hadapi, entah bagaimana, kami dapat melewatinya dengan selamat. Ya, ini berkat seseorang juga.” Jawab Gavin. Kalimat terakhirnya terdengar sepenuh hati.
Gavin tak banyak bicara seperti biasanya. Kata-katanya seolah sengaja disimpan dan berusaha menggantinya dengan senandung. Langkahnya baru berhenti ketika tiba di gerbang cukup besar, yang berdiri kokoh di depan keduanya, disambut halaman depan nan hijau sebuah rumah sakit. Di gedungnya tertulis Rumah Sakit Vanko.
Haiwi melirik Gavin yang berdiri di sampingnya. Nama rumah sakit ini persis nama belakang Gavin. Tapi, tetap mengikuti kaki Gavin tanpa protes, tanpa bertanya.
Tak ada yang aneh di rumah sakit ini. Sama saja dengan rumah sakit pada umumnya. Warnanya pun tak jauh dari warna-warna yang menurut psikologi warna bisa membuat sarafmu santai dan menghalau emosi negatif. Dokter dan perawat berseragam berlalu lalang memenuhi tugasnya. Barisan-barisan berwajah sedih dan senang silih berganti di sepanjang kursi tunggu di lorong-lorong yang dilewati keduanya. Sampai akhirnya tiba di lift dan menuju lantai paling atas.
Hanya diperuntukkan bagi mereka yang sangat-sangat penting alias VVIP. Begitulah tulisan di dinding yang menyambut keduanya awal sekali, sebelum melihat kembali pintu-pintu berjajar. Maka, tak heran bila di sini keduanya merasakan kesunyian. Apalagi yang dituju keduanya saat ini berada paling sudut ruangan.
Masuklah keduanya ke sebuah kamar. Di dalamnya, dua perawat bersiaga menjaga seorang pasien.
Gavin menyilakan Haiwi duduk di sampingnya. Sempat memandang Haiwi, sebelum akhirya terpaku dalam pada perempuan berambut panjang yang terbuka matanya, tapi raganya seolah sedang tersesat entah di mana. Kemudian, dimulailah ceritanya tentang sosok perempuan asing itu pada Haiwi.
Perempuan itu adalah kakak kandung Gavin. Dokter mengatakan kakaknya dalam keadaan vegetatif, ada pula yang mengatakannya dalam keterjagaan yang tidak responsif. Entahlah, apapun yang dikatakan para dokter, kelopak matanya yang saat ini terbuka sama sekali tak mampu Gavin temukan emosi kakak tercintanya di sana.
Ini terjadi tepat setelah tiga minggu Gavin memulai kelas khususnya di SPeN. Seperti kebiasaannya, ia akan masuk begitu saja ke ruangan belajar kakaknya ketika tak dapat menemukan keberadaannya di manapun di ruangan dalam rumah, karena kakaknya lebih banyak menghabiskan waktunya di ruang belajar. Tak kunjung mendapatkan balasan telpon maupun pesan teks, ia pun mulai tak sabaran dan membuka-buka apa saja di atas meja. Lalu, dari balik laci, ia menemukan sebuah amplop. Isinya membuatnya marah seketika. Padahal ia tahu betul, itu adalah impiannya sejak lama. Berkuliah di perguruan tinggi, beribu-ribu mil jauhnya dari kota ini. Hanya memedulikan kekecewaannya—berpikir bahwa kakaknya akan pergi meninggalkannya sendirian di kota ini, ia pun pergi dari rumah dan melakukan apapun yang disukanya—yang selalu berusaha dilarang kakaknya. Apalagi sejak hari itu, kakaknya sama sekali berkabar. Bulat sudah kebencian padanya. Tapi, sungguh saat itu, ia merasa cukup dipuaskan oleh perasaan negatif tentang kakaknya. Seperti cukup ampuh menghalau kepedihannya pada orang-orang yang sebenarnya sangat dicintai, namun pergi tanpa permisi, dan ini terjadi dua kali. Sangat menyesakkan. Apalagi, ayah bukanlah tempatnya bisa berbagi gembira, apalagi sedih. Makin dalamlah kesesatannya pada sesuatu yang selalu kakaknya cegah sejak kematian ibunya.
Yang membuatnya begitu frustasi adalah ketika kakak berkali-kali dan selalu menyeretnya untuk kembali mengejar mimpinya masuk SPeN, menjadi yang pertama mengarahkannya setelah ibunya tiada, malah tiba-tiba menghilang tanpa jejak—tanpa menyapanya dan memberinya salam jumpa, bahwa keduanya akan bertemu kembali.
Sampai akhirnya, pemilik kunci-kunci semua yang tidak kau ketahui, memberikannya jawaban. Ingatkah saat pertemuan keduanya di Bukit Bintang? Ia bertengkar hebat dengan ayahnya. Pertengkaran itu memberikan uraian yang sangat jelas dan mengoyak hatinya—lagi. Berbalik menghantamnya yang sejatinya telah berkhianat pada janjinya kepada kakak tanpa mengetahui apapun. Bahwa di hari yang bersamaan ketika kemarahannya meledak pada kakak—untuk kesekian kali, ternyata kakak pergi memberikan balasan jawaban pembatalan masuk perguruan tinggi yang diimpikannya, dan ketika perjalanan pulang, hari buruknya dimulai. Ia tertabrak mobil van yang melaju kencang, sekaligus merenggut kesadarannya.
Gavin menunjukkan gelang di tangannya. Gelang itu adalah hadiah dari kakaknya ketika dinyatakan di kelas khusus SPeN. Ia juga yang menjadi satu-satunya orang yang menjadi sandarannya. Tanpa sadar, ia pun memaksa menggeser peran kakaknya sebagai kakak menjadi sosok ibu. Padahal usianya hanya lima tahun di atasnya. Egois—tamak, begitulah ia mengartikan dirinya kini. Kembali ke SPeN adalah awal yang ingin ditebusnya pada pengkhianatan kebaikan kakaknya. Masih panjang untuk mengatakan sepenuhnya berubah. Tapi, ia juga tak ingin mengambil waktu terlalu lama untuk bisa menunjukkan kesungguhannya di depan kakaknya dengan bangga.
Demikianlah, cerita panjang itu berakhir menyusupi telinga Haiwi. Diteruskan ke otak dan berkolaborasi dengan hati untuk mencernanya menjadi informasi penting, agar segera mereaksi. Tapi ya, sekali lagi, seperti saat dirinya menghapi Lota saat di Bukit Bintang, diksi pada kosakata yang dimilikinya tak memberikannya pilihan untuk performansi seseorang yang bisa menenangkan lewat kata-kata.
Dipegangnya lengan Gavin di sampingnya, lalu ditepuk bahunya dua kali dengan lembut. Membuat Gavin terperanjat. Ini pertama kalinya Haiwi mengadakan kontak fisik, setelah sebelumnya sempat menyatakan ketidaksukaannya pada hal-hal yang menurutnya intim.
“Apakah ayahmu yang mengajarkan untuk melakukan ini?” Kata Gavin menebak. Dan sebenarnya mencoba mengajak Haiwi bercanda.
“Kau hebat, bisa menebaknya dengan tepat.” Haiwi heran Gavin dapat langsung menebaknya dengan benar—meski ya, kau tak perlu repot-repot membayangkan wajah terkejutnya karena wajah innocent alaminya. “Ayah selalu melakukan gerakan itu ketika ingin mengalirkan dukungan dan semangatnya. Dan itu, cukup membantu saat aku belajar bersepeda dengan ayah. Siapapun yang ditinggalkan orang terkasihnya, pasti jauh dalam lubuk hatinya ingin dihangatkan kesendiriannya. Meski, ”
Gavin tersenyum. Haiwi telah melewati batas simpati dan memasuki area empati yang membuatnya bercokol pada pesona yang tak bisa mengelit dari hatinya.
Setelah jam jenguk keduanya usai, dengan berat Gavin meninggalkan ruangan kamar kakaknya. Keduanya kemudian berjalan menuju pusat kota, rencananya Gavin ingin membawa Haiwi ke suatu tempat yang telah lama ingin dikunjunginya. Namun, rencananya sepertinya harus ditunda. Gavin lupa bahwa hari ini sedang diadakan parade perayaan pernikahan putri presiden dan putra seorang bangsawan negara Sin. Alhasil, jalur pedestrian pusat kota dipadati lautan manusia yang tak ingin ketinggalan menyaksikan keceriaan dan kemegahan parade. Lihatlah, dua pasangan yang sedang berbahagia di atas mobil bertingkat tiga melambai-lambai pada ribuan mata yang juga larut dalam euforia kebahagian.
Tanpa memberitahu Gavin, Haiwi berusaha menerobos kerumunan agar bisa sampai pada jajaran paling depan. Gavin mengikutinya dari belakang dengan susah payah. Ketika berhasil berdiri paling depan, pandangan Haiwi tersita pada pasangan muda itu. Pandangannya datar, tapi bila kau mengenalnya, kau akan tahu saat ia benar-benar serius pada sesuatu. Pandangannya hari ini adalah satu diantaranya. Pikirannya baru benar-benar kembali saat dalam perjalanan kembali ke tempat les piano Lota, menuju kereta bawah tanah.
Dan ya, Gavin sedikit meyadarinya, namun tak ingin mendesak Haiwi menceritakannya. Sebaliknya, Gavin ingin mendengar jawaban Haiwi untuk pertanyaan lainnya. Bahkan, ingin dilakukannya lima hari lalu saat kembali bersekolah. Ia tak menyangka sekembalinya dari misi—dengan harapan akan langsung bertemu Haiwi saat di sekolah, Haiwi malah absen lebih lama darinya. Pun belum mengikuti susulan ujian akhir semester. Ia juga harus menyampaikan sesuatu.
Gavin mendehem. “Seminggu lagi akan diadakan upacara penyambutan prajurit baru.”
“Hmmm.. kau pantas untuk itu. Selamat, Tuan Tampan.”
Gavin tersipu. “Ah ya, Haiwi, kau tak masuk hampir lebih dari tiga minggu. Apakah kau menjalani terapimu selama itu?”
Haiwi tak langsung menjawab. “Hmmm... ya, bila disebut terapi, aku pernah menjalaninya lebih dari itu.”
“Bagaiamana keadaanmu?”
“Aku masih Haiwi.”
Gavin tak menanyakan lebih jauh lagi. “Besok, kau masuk sekolah, kan?”
Haiwi mengangguk.
Berjalanlah kereta bawah tanah membawa keduanya pada Lota yang telah menunggu. Dan ya, jawaban Haiwi, belum mampu memadamkan rasa yang kuat dari Gavin untuk memahaminya—setidaknya untuk saat ini.
@_@
Sebuah jawaban—mungkin juga kado SPeN, dipersembahkan oleh Komandan Galen seminggu yang lalu dengan membawa dua orang yang mereka sebut manusia malam. Ah, tapi mereka harus mengalihkan sejenak perhatiannya pada kasus-kasus itu. Upacara akbar penyambutan 1500 prajurit baru telah digelar di aula besar SPeN. Para petinggi SPeN pun telah duduk di kursi kehormatan masing-masing. Tak sopan rasanya bila membuyarkan wajah-wajah baru yang hatinya dipenuhi luapan bahagia menjadi bagian keluarga besar SPeN yang mendunia dengan kasus menegangkan itu.
Lihatlah, wajah-wajah baru penuh semangat sedang merayakan upacara penyambutannya. Riuh rendah tepuk tangan dan sumringah mewarnai aula saat sang pewara memperkenalkan masing-masing divisi. Tumbuh kebanggaan di hati dan decak kagum tatkala nama divisi dan perwakilan prajurit dari masing-masing divisi muncul dan menempati kursi yang telah disiapkan, serta kehebatan-kehebatan yang dilakukan oleh divisi yang dipilihnya disebutkan oleh pewara.
Namun, decak kagum dan tepuk tangan yang menggema di ruang aula perlahan digantikan cengang membisu ketika muncul tiga prajurit bermantel hitam dan bertopeng biru, berjalan di belakang lima anggota pasukan 13 Kesatria. Auranya yang gelap meletup-letup. Langkah dan topeng yang dikenakan menghipnotis setiap mata.
Ya, hari ini, pasukan bayangan secara resmi diperkenalkan kepada seluruh prajurit SPeN. Kesannya sulit dilupakan benak begitu saja. Masih banyak yang terus membicarakannya meski telah duduk di balik pintu aula divisi masing-masing. Apalagi, mereka yang tergabung dalam Dipaskus, menjadi degupan tersendiri saat mencoba menebak-nebak akan ada kelanjutan pengenalan seluruh pasukan elitnya. Degupan itu terlihat seperti anak kecil yang menantikan balon-balon berwarna-warni terbang ke angkasa tanpa tahu kenapa balon-balon itu bisa terbang.
Dengungan degupan masih dan akan berlanjut. Di ruang berbeda. Aula gedung pusat Dipaskus. Saat ini telah dipenuhi wajah-wajah prajurit baru dan perwakilan dari berbagai tingkatan kelas, yaitu Zero, Pasukan Elang, Kesatria bintang satu, Kesatria bintang dua, dan Kesatria bintang tiga, serta Tunas—pasukan bentukan baru di bawah naungan pasukan elit 13 Kesatria.
Wajah-wajah tak asing pun telah duduk di sana. Gavin, Balin, dan Qiyo bersama Tim Singa Gunung lainnya, yang saat ini menjadi bagian dari Tunas, duduk berdampingan di barisan kursi sebelah kanan pintu, barisa paling depan. Mereka sedang terlibat obrolan santai. Di seberang mereka, di barisan kiri pintu, khusus prajurit baru, ada Kine yang yang duduk bersama Sera di kursi barisan sebelah kiri, paling depan juga, dan di pinggir sela-sela jalan. Kine sempat menyapa Gavin dan lainnya. Lalu, lima kursi dari Sera, ada Femi dan Danne. Kine yang ramah pun sempat memberikan senyum pada keduanya. Namun, ya, seperti yang dapat kau pastikan, tak mendapatkan balasan yang sepadan akan hal baik yang dilakukannya itu.
Acara penyambutan lebih khusus masing-masing divisi dimulai. Para prajurit yang hadir di dalam aula, berdiri, menyambut kedatangan Komandan Galen dan Letnan Rastha yang berjalan di belakangnya. Sang komandan Dipaskus berdiri di mimbar, memberikan penyambutan—mengucapkan selamat datang dan bergabung bersama Dipaskus yang diiringi tepuk tangan bahagia. Usai memberikan sambutannya, komandan Galen tetap berdiri di mimbar, dan Letnan Rastha masih berdiri di samping kanan belakangnya.
Pewara mengomando para prajurit untuk berdiri kembali. “Mari kita sambut dua pasukan elit Dipaskus yang telah banyak berjasa pada tugas-tugas luar biasa SPEN. Inilah dia—” Pintu aula lainnya, berada di depan barisan prajurit, terbuka otomatis, perhatian semua mata tersedot ke arah pintu, ada yang terlihat berjingkat-jingkat, memiringkan kepala ke kiri dan ke kanan demi mendapatkan kesempatan melihat para pemilik langkah gagah yang menggema aula. “Pasukan 13 Kesatria!—” masuklah 13 anggota berseragam putih, berjalan satu per satu dalam barisan teratur. “Dan—” hanya berjarak lima langkah dari barisan paling akhir pasukan 13 Kesatria, di belakang Sienna, berjalan masuk pasukan berseragam abu-abu sangat gelap—serupa hitam, “Pasukan Bayangan!”
Banyak mata terperanjat. Kekaguman dan kebanggaan seketika bercampur dengan rasa bingung. Pasukan bayangan yang baru diperkenalkan hari ini, dan sebelumnya bermantel hitam bertopeng biru tua, selaras dengan misteri yang melekat pada mereka, tiba-tiba menanggalkan semua atribut ciri khas keberadaannya. Sebagian dari mereka belum ingin percaya, masih menunggu-nunggu, barangkali di belakang barisan prajurit berseragam abu-abu sangat gelap masih ada barisan prajurit berseragam serba hitam. Namun sayangnya, pintu aula segera tertutup tepat setelah anggota terakhir pasukan berseragam abu-abu sangat gelap itu memasuki pintu.
Ciluk ba! Itulah mereka. Pemilik aura hitam telah menanggalkan topengnya. Jelas sekali garis-garis wajah itu merasuki barisan kanan pintu, barisan paling depan.
Prajurit Dipaskus, kecuali prajurit baru, yang hadir di dalam aula sebagiannya mempercayai pasukan bayangan adalah pasukan rahasia SPeN yang dibentuk oleh Dipaskus. Wajar saja bila berpikir demikian karena hanya sedikit anggota Dipaskus yang mengetahui kebenaran pembentukan pasukan bayangan dan jati diri ketujuh anggotanya. Tapi, entah bagaimana kehebatan pasukan bayangan telah menjadi topik isu yang lumrah diperbincangkan oleh para prajurit Dipaskus meski secara fisik tak bertemu langsung. Hanya satu dari seratus prajurit yang pernah bertemu pasukan bayangan sebelum akhirnya dikenalkan secara resmi hari ini. Pertanyaan seputar mereka kemudian seolah menggelayut dan menggema dalam bisikan benak di langit-langit aula.
Kenapa baru hari ini diperkenalkan? Bukankah seragamnya menunjukkan rahasia itu sendiri? Ah, apakah mereka pasukan pendukung 13 Kesatria? Atau...
Rasa bingung itu berkali-kali lipat dirasakan, manakala Kine, Gavin, Sera, Balin, Qiyo, kemudian Femi dan Hara, memusatkan perhatiannya pada seseorang dari enam anggota pasukan bayangan yang berjalan paling belakang. Waktu seperti berjalan sangat lambat dan berhenti beberapa saat. Berdiri tenang di sana, di depan semua prajurit Dipaskus, di samping kiri mimbar tempat Komandan Galen berdiri, setelah barisan pasukan 13 Kesatria. Ia adalah pemilik rambut lurus panjang berwarna hitam dan berponi, serta berkacamata bulat yang sangat mereka kenal. Haiwi.
Tak mudah menggambarkan perasaan mereka yang sangat dekat dengannya saat ini. Otak mereka sama-sama menyadari, namun tak bisa menemukan alasan tepat antara Haiwi dan SPeN, atau Haiwi dan pasukan elit, apalagi hubungan Haiwi dan pasukan bayangan.
Khususnya Kine, langsung menghubung-hubungkannya dengan Sienna yang menurutnya aneh ketika beberapa hari lalu melarangnya berhubungan dekat dengan Haiwi. Apakah ada kaitannya dengan ini? Tapi kenapa? Ada apa dengan pasukan bayangan?
Sementara Gavin dan Balin yang baru mendapatkan segelintir informasi tentang pasukan bayangan, benar-benar tak ingin mempercayai ini. Apa yang keduanya gelisahkan tentang Pasukan Bayangan? Apakah hanya karena warnanya yang gelap lantas menunjukkan siapa mereka? Apakah warnanya yang gelap menjadi mereka monster? Padahal, belum ada fakta dan bukti masuk akal tentang mereka yang harus ditakutkan? Tapi, sungguh aura yang pernah dikirimkan Pasukan Bayangan telah lebih dulu menanamkan kesan mendalam auranya yang—bila dapat dikatakan jauh dari kebaikan dan kebajikan. Dan ya... baru kemarin, mereka—kecuali Femi, masih berbicara santai dengan Haiwi di sekolah tanpa merasa ada rahasia besar yang akan menjadi kejutan paling dahsyat. Sungguh, apa alasan yang tepat untuk ini?
Upacara yang seharusnya menjadi euforia bergabungnya prajurit baru, serta peresmian pasukan Tunas telah berubah menjadi upacara perenungan dan keheningan bagi mereka yang dekat dan kenal dengan Haiwi Vinaren. Bahkan Gavin sempat hampir melangkahkan kakinya ketika pasukan elit, khususnya Pasukan Bayangan beranjak meninggalkan ruangan, namun cepat disadari dan ditahan oleh Balin.
@_@
Materi pertama setelah upacara penyambutan pun dimulai. Singa Gunung telah masuk ke dalam ruangannya. Kesatria Nina dari Pasukan 13 Kesatria hari ini yang menjadi pengajar. Disampaikannya sejarah Dipaskus dengan sangat rinci.
Sebagai satuan divisi, Dipaskus tergolong yang paling muda. Baru dibentuk delapan tahun lalu. Meski begitu, Dikenal sebagai divisi pencetak prajurit lapangan paling berkualitas. Pasukan elit Dipaskus, seperti yang sudah diketahui, yaitu Pasukan 13 Kesatria dan Pasukan Bayangan.
Prajurit bertanda pangkat dengan lambang matahari bersinar, lambang yang hanya dimiliki pasukan 13 Kesatria, terdengar pasukan elit yang istimewa dengan hak yang juga cukup istimewa. Masing-masing anggotanya memiliki unit beranggotakan paling sedikit sepuluh prajurit. Sebutan setiap unit disesuaikan dengan tingkatannya. Unit satu hingga tiga belas. Setiap unit terdiri dari Kesatria Bintang Tiga, Dua, dan Satu terpilih. Lalu, ditampilkanlah di layar proyektor nama masing-masing Pasukan 13 Kesatria berikut foto, profil, dan aggotanya. Khusus Gavin, Balin, dan Qiyo, mengenal satu diantaranya sejak lama, anggota ke-13 dan juga memimpin Unit 13, Ve Sienna Kimbi Galen.
Tibalah saatnya pengungkapan pasukan bayangan. Beralilhlah layar proyektor pada layar berikutnya yang mendebarkan. Tak ada lagi yang ditutup-tutupi seperti ketika pertama kali bertemu dengan beberapa dari mereka. Tak seperti Pasukan 13 Kesatria, pasukan bayangan tak memiliki unit. Jumlah mereka saja, seperti yang disunggung Kesatria Ninan, tak lebih dari sepuluh. Satu per satu anggota pasukan bayangan bermunculan di layar lengkap dengan foto dan profilnya. Tentu saja ada batasan sejauh mana yang harus diketahui oleh Singa Gunung dan dituntut tak cukup ceroboh mengalirkan cerita ke telinga lainnya di luar ruang-ruang prajurit Kesatria Tunas. Seperti saat akses Singa Gunung yang terkunci untuk mengetahui identitas Pasukan Bayangan.
Zeran Zoma atau dikenal ZZ. 50 tahun. Ia telah menjadi pimpinan tentara bayaran diusianya yang sangat muda, dua puluh tiga tahun. Dikabarkan lebih dari seribu warga sipil meninggal selama aksinya. Tak hanya itu, ia juga dalang utama pemberontakan di kota kelahirannya. Secara mengejutkan, sepuluh tahun lalu, ia menyerahkan diri pada pengadilan Internasional. Ia-lah Kapten Pasukan Bayangan.
Mengejutkan—sekali lagi, tak ikut saat upacara penyambutan tadi, anggota kedelapan, Vole Mura, 28 tahun. Atau dikenal dengan Pak Hanse, wali kelas XI-a, yang juga kelas Gavin, Balin, Qiyo—juga Haiwi saat ini. Ia adalah Prajurit elit SPeN yang pernah berkhianat. Dijatuhi hukuman penjara seumur hidup.
Dawana Caldini. 25 tahun. Menamai dirinya dengan panggilan Pangeran Salju. Anak seorang jutawan Kota Sin yang berdomisili di Kota Vega. Namanya telah dihapus dari daftar pewaris maupun silsilah Caldini. Secara fisik, tak ada yang istimewa darinya. Tak menggambarkan prajurit lapangan. Seorang seniman sains yang sangat menikmati berada di balik layar komputer dengan kode-kode dan bahasa algoritma, seolah taman bermainnya. Ia menjadi peretas sejak usianya belum genap empat belas tahun. Menjadi peretas paling dicari sejak lima tahun lalu karena beberapa kali mencoba meretas sistem bank di beberapa bank di Kota Sin dan di negara lainnya. Dijatuhi hukuman penjara 20 tahun.
Mira Mayes, 24 tahun, seorang perakit bom. Pekerjaan itu mulai ditekuni sejak usianya masih enam belas tahun. Ia menjadi perakit bom paling dicari setelah kasus bom di March, Negara persemakmuran Sin. Pengeboman di Kota Ame adalah perjalanan terakhirnya. Ia dijatuhi hukuman seumur hidup.
Siyen Ho Lefifi. 17 tahun. Berasal dari Kota Gurin. Anggota keempat. Hampir sama seperti Zeran, ia juga seorang tentara bayaran. Cukup unik, ia menjadi anggota sukarela bergabung dengan Pasukan Bayangan.
Anggota kelima, Ren Duw Nungga Aramoa. Dudu panggilannya. 17 tahun. Berasal dari Suku Woma dan seorang pangeran dari Kerajaan Wakahunga. Atas tindakannya yang mencoba membunuh ayahnya, Raja Aramoa kesembilan, ia diasingkan dari negaranya.
Anggota terakhir, yang telah diketahui beberapa saat lalu, Haiwi Vinaren. 16 tahun. Berasal dari Kota Ame. Belum genap dua tahun berada di Kota Sin, namun sudah dua tahun secara resmi menjadi bagian Pasukan Bayangan.
Alih-alih menjadi anggota Pasukan Bayangan tanpa catatan kriminal, malah—dalam beberapa kondisi bisa menjadi alasan utama pertahanan keraguan muncul di hati. Pertanyaan-pertanyaan yang berusaha dihalau, pun terus melompat-lompat di benak. Bukan tak mungkin Haiwi menjadi satu diantaranya, bukan? Meski ini yang tak diharapkan oleh Gavin dan Balin.
Kesatria Nina menegaskan sebuah pernyataan lainnya yang justru menaburkan benih penasaran lainnya. Yang seolah menuntut nurani mereka untuk mencurigai teman sendiri. Sungguh, atas nama keadilan yang telah dipilih, kau tak boleh mendeskripsikan kebenaran dalam pemikiran yang sempit.
Selain hampir seluruh anggotanya memiliki catatan kriminal—yang tidak biasa. Tak pernah dituliskan secara jelas kualifikasi Pasukan Bayangan. Tapi, bila melihat latar belakang anggotanya, Singa Gunung tidak memenuhi kriteria pasukan bayangan. Wewenang perekrutan, sepenuhnya ditangan Komandan Galen. Tanggung jawab pun berada di pundak beliau. Itulah konsekuensi yang kemudian mengikuti ke mana dan apa yang dikerjakannya.
Ini belum berakhir. Satu lagi yang harus Singa Gunung ketahui bahwa Dipaskus, memiliki satu lagi pasukan elit yang namanya jarang sekali disebutkan ketimbang Pasukan Bayangan. Bahkan, ini hanya menjadi topik tabu para Kesatria Bintang Tiga. Mereka disebut Si Penjaga. Masing-masing pasukan elit ini seolah memiliki tingkat kerahasiaan—ah, mereka bukan pasukan rahasia, anggaplah eksistensi publik pada level berbeda. Pasukan 13 Kesatria sering menjadi citra Dipaskus dan SPeN. Sering menjadi tajuk berita di halaman depan koran dan topik hangat di televisi.
Sementara Pasukan Bayangan, seperti namanya, bergerak tanpa banyak yang menyadari keberadaan mereka. Namun, identitas masih melekat pada diri mereka apa adanya. Hanya sistem akses mereka terkunci untuk orang-orang tertentu dan tugas misi yang sering dijalankan mereka jarang sekali bersinggungan dengan Kesatria lainnya.
Lalu, Si Penjaga. Tak pernah ada yang tahu jumlah mereka sebenarnya. Nama dan wajah pun mutlak diketahui hanya Komandan Besar Divisi dan Komandan Besar SPeN. Tugas mereka bisa menjadi apa saja. Seni berperang yang lebih lembut, namun harus berani mengambil resiko keberhasilan misi.
“Demikianlah yang dapat kusampaikan pada kalian. Melihat wajah-wajah serius yang memendam penasaran kalian, kuharap aku dapat menjawab pertanyaan yang akan diajukan. ”
“Bagaimana dengan kemampuan mereka?” Tanya Anan.
“Aku tidak dapat membuktikan sejauh mana kemampuan mereka. Tapi aku pernah bekerja sama dengan seorang diantara Pasukan Bayangan beberapa bulan lalu. Dia, seorang penembak jitu. Saat itu, aku bertugas menjadi pengamat dan bersamanya hampir sepanjang hari. Bisa kurasakan, keahliannya sebagai penembak jitu menyamai Kapten kami. Seorang yang memiliki tingkat kearutan paling tinggi membidik target dari balik lensa teleskopnya.” Kesatria Nina berhenti sejenak. “Seperti kau, Anan, aku juga menanyakan hal yang sama pada Kapten. Cukup mengejutkan mendengar jawaban dari seorang yang paling kuat di pasukan 13 Kesatria. Ia mengatakan jika suatu hari mereka menyatukan kemampuannya untuk kemudian mengkhianati SPeN atau Kota Sin, maka seluruh Divisi SPeN harus bekerja sama.”
“Jika demikian, pasti ada alasan mengapa saat ini kita merasa baik-baik saja dan mereka yang begitu tenang hingga bersedia membantu SPeN.” Simpul Gavin.
“Komandan Galen, para petinggi, dan Kesatria tertentu yang mengetahui semua alasan itu. Tapi, aku bisa menunjukkan satu bukti kesediaan mereka.” Kesatria Nina mempelihatkan gambar sebuah jam tangan di layar. “Semua anggota pasukan bayangan memakai jam tangan ini. Di mana dan apapun yang mereka lakukan akan terekam jelas. Alat pengontrol mematikan. Jika perjanjian dilanggar, jam itu siap menghakimi mereka detik itu juga.”
“Menghakimi? Ini tidak sama artinya dengan mengakhiri hidupnya, bukan?” Tutur Gavin menduga.
Kesatria Nina hanya tersenyum
Senyum hampir selalu memiliki banyak makna. Jika benar seperti yang Gavin duga, ini seperti bertaruh nyawa dengan sebuah jam. Dan berakhirlah kisah tentang pasukan bayangan. Mengisi keraguan lainnya di hati yang terlanjur mulai melekat.
“Jika pengamatanku benar, berarti topeng yang sebelumnya dikenakan pasukan bayangan sebenarnya menjelaskan status mereka di SPeN, bukan? Topeng biru tua dan abu-abu. Mereka menggunakan kedua topeng itu dengan syarat tertentu. Biru tua menegaskan tahanan. Sementara abu-abu ketika mereka bertugas.”
“Kau jeli sekali, Qiyo! Aku sangat menghargai itu. Sangat penting bagi seorang Kesatria menyadari sekelilingnya.” Kesatria Nina melihat jam di tangannya. “Baiklah, kita akhiri sampai di sini. Silakan lanjut ke kelas kalian selanjutnya. Sekali lagi kuucapkan selamat datang para Kesatria. Jaga tanggung jawab dan hayati makna keadilan yang kalian janjikan di hati.”
Kesatria Nina meninggalkan ruang. Gavin dan Balin tampak menekuk di atas meja masing-masing. Terpaku pada informasi yang mereka dapatkan dari Kesatria Nina dan yang Singa Gunung coba himpun beberapa hari lalu.
“Aku merasa, sejak upacara tadi siang hingga sekarang, Balin dan Gavin terlihat lebih sendu.” Kata Irina ketika latihan masing-masing tim dimulai.
“Haiwi Vinaren,” Jawab Qiyo, “adalah siswi di sekolah kami. Duduk di ruang kelas yang sama. Bahkan, dua orang yang sedang sendu itu cukup dekat dengannya. Mengetahui seseorang yang dikenal cukup baik dan dekat berada pada satu kondisi yang mudah kita katakan tidak seharusnya, pastilah cukup mengguncang hati dan pikiran. Tapi, ya, inilah kenyataannya.”
Mungkin benar yang dikatakan Qiyo. Tapi, kenyataan tak selalu semudah kita melihat dengan dua mata. Sebaliknya, tak mempercayai pun kadang bisa mengkhianati kebenaran.
Satu pertanyaan yang ingin Balin tanyakan pun akhirnya tak tersampaikan. Ini tentang alasan penyebutan Kesatria baru yang lulus ujian pada misi lalu, yang dipanggil dengan Kesatria Tunas.
@_@
ns 15.158.61.8da2