Seorang diri, bersepeda menuju puncak Bukit Bintang. Haiwi mengayuh pedal dengan santai di atas jalanan beraspal, berkelok-kelok—menanjak. Dimanjakan jalinan pohon-pohon tinggi hijau meneduhkan. Benar-benar menikmati hari santainya. Menjelma menjadi kebisuan yang menenangkan.
Tepat di belakangnya, terdengar suara cekikikan renyah. Lalu, melewatinya, tiga perempuan, kakak beradik barangkali, menyalipnya dalam tawa canda, menciptakan dunia gembiranya sendiri.
Menggelitik imajinasi Haiwi pada orang-orang di dekatnya. Seorang gadis lebih muda darinya yang bersepeda keranjang di depannya, mengingatkan pada gadis seminggu lalu yang baru dikenalnya di taman sepeda dan tanpa persetujuannya mengikrarkan dirinya sebagai teman Haiwi. Sementara, gadis paling kecil, mengingatkannya pada Lota.
Ah ya, Lota, sudah dua malam berlalu, ia masih saja mendiamkannya. Bahkan, hari ini, setelah menjauh darinya saat di mobil, untuk pertama kalinya, Lota terang-terangan menyatakan ketidakinginan bersamanya. Lota tak mengizinkannya ikut mengunjungi Rumah Stroberi. Padahal, sedari sebulan lalu Lota tak berhenti menceritakan keseruan Rumah Stroberi dan akan pergi ke sana bersamanya.
Haiwi tak marah. Ia tak bisa marah pada adik semata wayangnya. Hanya saja, ia belum mahir membujuk. Diksinya belum memberikannya pilihan untuk menyenangkan ataupun menenangkan orang-orang di dekatnya. Akhirnya, bersama dengan diam, ia memendam rasa bersalahnya.
Dan karena malam ini akan menjadi malam terakhir liburan, Haiwi tak ingin berdiam diri di rumah saja sambil menunggu kedatangan ayah, ibu, dan Lota. Sesuai rencana, malam ini akan menutup hari libur mereka di Bukit Bintang. Atas persetujuan ayah dan ibu, jadilah ia duluan ke sana dengan bersepeda seorang diri di jalanan bukit ini. Dengan syarat, membawa serta tas obat milik ibu yang sekarang menyelempang di tubuhnya. Akhir-akhir ini, kentara sekali kekhawatiran ibu padanya. Haiwi tak benci. Sebaliknya, menyukainya dari lubuk hati.
Setibanya di pintu masuk puncak Bukit Bintang, Haiwi memarkirkan sepedanya di halaman parkir sepeda. Meneruskan perjalanan menuju puncak bukit dengan berjalan kaki bersama pejalan kaki lainnya sembari menikmati romansa pemandangan indah di kanan-kiri. Tapi, ada pula yang memilih untuk tak sampai ke atas, duduk di pinggiran kursi batu-batu tersusun di sisi pagar. Rasanya, Haiwi mengenali satu diantaranya. Pemuda yang cukup mencolok dengan kesendiriannya. Lagi, membuatnya tak bisa melewatkannya dengan abai.
Pemuda itu tengah melamun. Tak ada orang di kanan-kirinya. Mengkhusyukkan benaknya yang seolah sedang menyeberangi hamparan pegunungan dan lautan lepas, tepat di depannya. Terpaan angin dingin yang menusuk pori-pori wajah tak dihiraukan. Nyeri memar bersisa darah di tepian bibirnya pun seperti dilupakan.
Kali ini, Haiwi cukup mengerti alasan kebiasaan ibu membekali dirinya dengan tas obat. “Hei, Tuan Tampan!” Panggil Haiwi pada satu-satunya yang dipanggil demikian. Gavin. “Kau perlu diobati.”
Gavin menoleh pada Haiwi. “Berbicara denganku?”
“Aku tidak melihat orang dengan darah di bibir di sini selain dirimu.”
Gavin memerhatikan gadis yang menyapanya itu dengan keengganan. Kemudian memori pengingatnya yang begitu kuat—yang kadang membuatnya sangat jengkel, mengingat Haiwi, gadis yang dalam ingatannya sengaja mengikutinya beberapa hari lalu. “Kau menguntitku?” lantas tersenyum kecut. “Aku biasanya tak keberatan, bahkan untuk ditemani seorang penguntit. Tapi, kali ini, pergilah! Aku sedang tak ingin melayani siapa pun.” Katanya sembari membuang muka.
Haiwi mengacuhkannya sembari melepaskan tas obat milik ibu. “Hmmm… kau membuat kebiasaan ibuku menjadi sia-sia.”
Lantas, disela-sela senandung angin, Haiwi beraksi. Ia memungut kerikil kecil di dekat kaki. Lantas, melemparnya ke tubuh Gavin. Tiga kali. Membuat Gavin terusik.
Gavin menoleh sambil melenguh. “Sudah kubilang…”
Haiwi langsung melemparkan tas ibu kepada Gavin. Untunglah, dengan gerak reflek Gavin, tas ibu mendarat sempurna di atas kedua tangannya.
“Kembalikan saat kau selesai.” Kata Haiwi sembari melambai, meninggalkan Gavin. “Aku akan menunggu di sana!” katanya lagi menunjuk puncak bukit.
***
Biru menjingga. Indah. Menyuarakan kebebasan tanpa cela. Menyihir keramaian menjadi kesunyian. Meninabobokan sang bumi. Menghipnotis jutaan bola mata untuk melihat padanya tanpa pendulum. Memesona ruang-ruang gelisah untuk menikmati lukisan cakrawala menawan di atas sana. Menentramkan. Ditambah angin menerpa seluruh tubuh dengan suka, yang pula singgah di telinga membisikkan alunan murni musik alam nan merdu. Hingga mampu membawa setiap benak melayang pada napak tilas kehidupan lalu.
Demikianlah kepala Haiwi menghidupkan titian jalinan syaraf-syaraf cerita hidupnya. Begitu saja mengayunkan memori bahagia yang pernah direkamnya dulu. Menampilkan dua sosok gadis kecil sedang berkenalan dalam panggung memori kenangan. Yang seorang berambut pendek berwajah dingin dan seorang lagi berwajah ceria dengan rambut indah panjangnya. Perkenalan itu terjalin kikuk karena gadis berwajah dingin itu tak pandai membalas setiap pembicaraan yang dilontarkan gadis berwajah ceria. Lantas, rol memori menggeser cepat, membawa perkenalan dalam kepalanya pada tayangan baru yang lebih indah.
Dua gadis kecil itu telah menjalin pertemanan, berlari-lari dalam tawa, saling mengejar satu sama lain di sebuah halaman rumput hijau sangat luas, di bawah cahaya langit jingga persis seperti saat ini. Berakhirlah, rekaman memorinya di sana. Dibukanya mata, masih menengadah ke langit. Menghirup udara, menghembuskan perlahan, mengakhirinya dengan senyum simpul, dan bunyi perut. Ah, tapi bukan dari perutnya.
Terdengar suara dehem untuk mengalihkan bunyi perut tadi. Berdiri tepat sejengkal di samping Haiwi. Ia menyodorkan tas ibu dengan kikuk.
Haiwi melihat Gavin sejenak dan menerimanya. Tangannya balik memberikan sebuah pisang kuning yang disimpannya dalam saku jaket pada Gavin.
Gavin menerimanya malu-malu. Lalu mata keduanya sama-sama melihat pada pemandangan di depannya.
Berbeda dengan tempat Gavin tadi, dari sini, kau bisa melihat pemandangan lembah bangunan gedung-gedung tinggi yang mulai berpendar. Semakin lama semakin terang seolah ingin mengalahkan cahaya bintang-bintang di langit. Kelap-kelip cahaya dari lampu kendaraan pun ikut menyemarakkan gemerlap kota. Mungkin karena inilah, bukit ini dinamakan Bukit Bintang. Bila hari cerah seperti ini, kau bisa sekaligus melihat bintang-bintang di langit dan hamparan pendaran cahaya di daratan.
Begitu banyak orang di atas bukit ini. Wajah yang diperlihatkan seolah sama. Takjub dan bahagia di bawah langit yang menggelap. Karenanya, Haiwi pun ikut tersenyum simpul.
“Apa yang kau suka dari ini?” Akhirnya Gavin merespon senyum Haiwi yang tak sengaja tertangkap ujung matanya.
“Ibu dan Ayah pernah bilang padaku, malam dan siang sama-sama luar biasa. Ada yang hanya kau lihat di malam hari seperti yang kau lihat di depanmu. Ada yang hanya kau lihat di siang hari. Keduanya ada, saling berdampingan, mengisi, dan melengkapi. Melihat orang-orang di atas bukit malam hari ini, aku sedikit mengerti maksud perkataan mereka.” Haiwi menarik nafas dalam-dalam, “Aku pun diberi tahu seorang nenek arif bahwa manusia diciptakan berbeda warna kulit, bersuku-suku karena untuk saling mengenal, mengasihi, dan menolong. “ Haiwi tertawa rendah. “Indah. Menurutmu kita bisa hidup rukun?” Ucapannya, mungkin terdengar random bagi yang tak mengenalnya.
Gavin tersenyum tawar. “Yang kupahami, bahwa pemandangan indah di depanmu ini tak lebih dari polusi cahaya.”
Haiwi diam. Tak lagi ada pembicaraan di antara keduanya. Kembali pada dimensi benak masing-masing. Mengingatkan alasan perputaran roda keduanya kemari. Sampai akhirnya, ayah datang menghampiri dan memutuskan kesunyian tak bersahabat itu.
“Hai, siapa pemuda gagah di samping putriku ini?”
“Kita bersekolah di sekolah yang sama.” Jawab Haiwi melihat Gavin tak merespon.
Gavin menoleh tajam pada Haiwi. Mudahnya Haiwi mengarang kebohongan hanya karena kehadirannya. Tak lebih dari gadis-gadis munafik yang dikenalnya. Begitu pikiran sempit Gavin menggelantung di langit-langit benaknya.
“Ah, teman sekolah rupanya.” Ayah tampak gembira. “Hai, pemuda, kau tak ingin memberitahu namamu?”
“Gavin… namaku Gavin, Paman.” Kata Gavin canggung dan berusaha menyamarkan benih kebenciannya pada Haiwi.
“Bagaimana kalau kau bergabung bersama kami?”
“Ah, terima kasih, Paman. Aku harus segera pergi.”
“Baiklah. Mungkin di lain kesempatan!” Kata Ayah mencoba mengerti keputusan Gavin.
Sembari menoleh lagi pada Haiwi—sebuah sorot peringatan, memastikan tak akan lagi melihatnya—tak ingin mengenalnya. Kemudian, membungkuk pada ayah, Gavin pun pergi. Dan setelah bayangan Gavin tak nampak lagi, ayah merangkul Haiwi dan membawanya ke tempat ibu dan Lota berada.
***
Dan ketika detak waktu telah sepenuhnya milik keluarga Vinaren, ibu dan ayah memberikan waktu berdua pada Haiwi dan Lota untuk menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi.
Sepenuhnya Haiwi mengerti ayah dan ibu yang berdiri menjauh darinya dan Lota. Namun, diksinya masih saja belum memberikannya pilihan. Jika sudah seperti ini, pilihan yang dapat diambil spontan adalah dengan mewujudkan niatannya dalam tindakan. Sayangnya, ia pun masih belum terbiasa dengan tindakan yang seharusnya dilakukan di saat-saat melankolis seperti ini.
Seolah Lota menjawab kebingungan Haiwi, tiba-tiba saja memeluk tubuhnya. Hanya berselang detik, terdengar isak tangis. Setidaknya, ia mengerti reaksi manusiawi air mata manusia. Bahwa air mata Lota mengantarkan reaksi tentang yang dirasakannya beberapa hari ini. Haiwi mengeratkan pelukannya pada Lota. Ini satu-satunya yang dipahami untuk membalasnya. Membuat tangisan Lota semakin menjadi-jadi.
Ah, Lota telah memendamnya cukup lama. Ini pasti sangat menyakitkan hatinya. Adik kecilnya telah memendam emosi jenuh atas kekalahan, kesedihan, dan kekecewaan bersamaan. Mungkin saja, ia menunggu cukup lama dibalik keegoisannya. Bahwa ia ingin menangis dalam pelukan Haiwi. Dan seharusnya, ia mampu merangkul Lota lebih dulu.
Tapi, sekali lagi, ia belum bisa berkata banyak. Bahkan dengan kesalahan yang dibuatnya. Ia hanya bisa merasakan lehernya tercekat. Sungguh, menyesakkan. Kini, benar-benar disadarinya, melihat adiknya seperti ini adalah saat paling tak diinginkannya. Hatinya diselimuti sesal.
Ibu datang kemudian, merangkul kedua putrinya. Menenangkan kedua putrinya tanpa berkata-kata manis. Ketika mereda isak Lota, lantas menunjuk pada ayah yang sedang menunggu dan menunduk melihat dua sepatu kulitnya yang semakin menua. Lalu, menghampirinya.
Saatnya kembali ke vila sewaan milik teman ayah. Seperti janji ibu dan ayah, di malam terakhir ini, ibu akan menyajikan makanan terbaik buatannya, dan ayah pun tak mau kalah ingin memperlihatkan kemampuannya memanggang daging ayam kesukaan Lota. Dan bila ini menjadi malam terakhir liburan mereka, sepertinya akan menjadi penutup penuh kehangatan.
***
Di malam yang sama, di dalam ruang kerja bernuansa klasik, seorang pria paruh baya, Ken Rahuta Galen, seorang komandan di SPeN, duduk bersandar sembari menangkupkan kedua buku-buku jemarinya di depan wajah. Pikirannya menerawang jauh melewati batas-batas deretan tulisan dokumen di depannya. Teringat akan ucapan dari seseorang lima tahun lalu. “Suatu saat, anak-anakku akan kembali. Saat mereka di sini, jadilah tempat kembali yang ramah”. Begitulah kata seseorang itu. Saat itu Komandan Galen tak menjawab apapun.
“Bahkan aku pun belum menjadi tempat yang ramah bagi anak-anakku. Kau selalu memberikan tugas sulit untukku, Zen.” Gumam Komandan Galen pada dirinya sendiri yang tak sempat disampaikannya dulu.
“Komandan!” Panggil Letnan Rastha. Menegahkan secara halus akan lamunan yang mungkin mengganggu komandannya.
Komandan Galen melirik almanak kecil di atas mejanya. “Mungkin karena sebentar lagi peringatan kematian adikku, aku jadi teringat cerita lama.” Kemudian matanya melirik layar TV di atas meja samping kiri yang mengarah kepadanya dan menampilkan rekaman mata kamera di rumah besarnya ini. “Kurasa, kau bisa membukakan pintu untuk tamu kita, Rastha.”
Terdengar suara ketukan pintu. Letnan Rastha bergegas membukanya. Seorang pria berkemeja putih dipadu jas rompi biru gelap dengan setelan celana di atas mata kaki yang juga berwarna senada, menyambutnya dengan senyum lebar. Ikut serta bersamanya seorang pria—lebih muda, berkacamata bening, bersetelan putih-hitam. Keduanya bersepatu kasual biru gelap dengan bantalan kaki putih.
“Lama tak berjumpa, Tuan Galen!” Sapa pria muda berjas rompi biru gelap. “Sepertinya kau sungguh menantiku.”
Komandan Galen yang tetap duduk dengan tenang, menatap cukup lama pada pria berjas rompi biru gelap. “Selamat malam, Ruwi! Bagaimana kabarmu?” Dengan tangannya, Komandan Galen menyilakan tamunya duduk di kursi di depan mejanya. Sementara Letnan Rastha dan pria muda yang bersama Ruwi, duduk di kursi tamu sudut ruangan.
Pria berjas rompi biru gelap, Ruwi, sedikit mengernyitkan dahi, dan tersenyum. Lalu, ia duduk menempatkan tubuhnya yang jangkung di kursi berlengan di depan komandan Galen. “A~ah, aku dan Lintar, sejauh ini—baik-baik saja, Tuan Galen. Kuharap, kau dan letnan setia di sana pun baik-baik saja.”
Komandan Galen menuangkan teh ke dalam gelas yang sengaja disediakan di meja kerjanya kepada Ruwi. Ini sudah menjadi kebiasaannya. “Kurasa, kau sudah tahu, bukan?”
“Ah, tentu. Bagaimana aku bisa mengabaikan sesuatu yang akan membahayakan diriku. Bahkan, untuk menghormati itu, aku datang kemari dengan sangat hati-hati. Pun tak ada pilihan lain, aku tak bisa mengabaikan panggilan dari teman lamaku.” Tangannya yang elegan mengambil minuman yang dituangkan komandan Galen. Menghirup aroma uap teh. “Aku juga merindukan jamuan teh Tuan Galen yang harum dan menghangatkan ini.” Ruwi menyeruput tehnya dengan wajah sumringah.
Komandan Galen memandangi serius setiap gerakan Ruwi yang sedang menikmati teh suguhannya. Seolah tertulis rahasia di wajah oval Ruwi yang harus dipecahkan saat itu juga.
Ruwi menyadari tatapan pria tua di depannya. Lantas, meletakkan gelasnya ke atas meja seraya tertawa rendah. “Amplop yang kukirimkan dua bulan lalu padamu, tidak sedang menggerogoti kewaspadaanmu kan, Tuan Galen? Amplop itu—aku hanya ingin menunjukkan sebuah kebenaran padamu. Dan kurasa, garisan takdir yang sama-sama kita lewati hanyalah bagian sebuah ironi cerita kehidupan yang bisa terjadi pada siapa pun. Faktanya, kita berada pada kapal berbeda.”
“Ya, kita berada pada kapal berbeda.” Komandan Galen menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, lebih santai dari sebelumnya. “Tapi, bukan berarti kita tak bisa berlabuh di tempat yang sama, bukan?”
“Kurasa, yang lebih menarik saat ini adalah ini.” Ruwi menyerahkan sebuah amplop besar cokelat di pangkuannya pada komandan Galen. Mata komandan Galen pun mengikuti gerekan telunjuk dan jari tengah Ruwi yang mendorong amplop di atas meja ke arahnya. “Yang ingin Anda ketahui tentang tiga pulau terluar Sin, semua tersimpan dalam amplop ini.”
“Kau berada dipihak mana, Ruwi?”
Ruwi menghabiskan sisa teh hangatnya. “Hmmm... aku berpihak pada diriku sendiri, Tuan Galen.” Ia tertawa rendah, mengedipkan mata kanannya. “Seorang informan sepertiku bisa dan hanya memberitahu apapun jika menguntungkannya.” Kali ini tersenyum lebar, “Seperti rumor yang beredar di SPeN, aku adalah seorang informan yang patut diwaspadai. Sebaiknya, Anda tidak lengah.” Lalu beranjak dari duduknya, memberikan salam hormat dua jari pada komandan Galen. Begitupun Lintar yang duduk di kursi tamu, ikut berdiri. “Sayang sekali, kita hanya dipertemukan dalam waktu singkat seperti ini. Sampai jumpa di hari yang lebih bersahabat, Tuan Galen.” Hilanglah bayangan Ruwi dan Lintar di balik pintu.
Baru saja Ruwi dan Lintar mendekati pintu masuk utama rumah bergaya ukiran klasik, tak sengaja, keduanya berjumpa dengan seorang gadis yang baru muncul membuka pintu dari arah luar.
“Kau semakin cantik saja, Nona Sienna.” Ruwi langsung menggodanya.
Wajah serius gadis yang baru muncul dari balik pintu itu terkejut bukan kepalang. Sensori otaknya langsung mengirim informasi ingatannya pada dua bola mata yang segera mengenali pria muda di depannya. Sama sekali tak menduga akan berpapasan dengannya—di rumahnya pula. Rautnya berubah serupa mewaspadai orang yang tak disukai.
Ruwi bermimik cemberut. “Hmmm... sepertinya kau tidak mengingatku.”
“Apa yang kau lakukan di sini?” Nada Sienna tegas.
“Kau tak perlu khawatir, aku kemari tak akan menyakiti siapa pun di rumah ini. Apalagi, ingin membahayakan posisi Tuan Galen, orang tua yang sangat kau hormati itu di SPeN. Itu tidak akan terjadi.” Ruwi menggoyangkan jari telunjuknya ke kiri dan ke kanan di depan wajah Sienna. “Jadi, bisakah kau berikan kami jalan? Aku harus segera pergi dari sini. Kecuali, kau tak rela melihatku pergi.”
Agak tertahan, tapi wajah Sienna tak bisa menyembunyikan ekspresi jijik, dan membuatnya segera menarik diri ke arah pinggir pintu, membukakan jalan untuk dua orang asing itu.
“Ah, satu lagi. Saat kita bertemu kembali, kuharap tak melihat sikap dinginmu itu padaku. Hatiku teriris melihatnya. Semoga bermimpi indah, Nona Sienna! Daa!” Ruwi Mengedipkan mata sambil melambaikan tangan, meninggalkan rumah bernuansa era victoria.
Kehadiran Ruwi mengusik ketenangan malam Sienna. Ia cukup mengetahui kebenaran tentang Ruwi. Di matanya, sikap ramah dan ceria yang ditunjukkan Ruwi secara natural tak lebih dari sebuah topeng. Meskipun begitu, ucapan Ruwi yang terdengar bercanda berhasil menyusupi kegelisahan benak, berujung pada kebingungannya yang lain.
Dan begitulah, di bawah guyuran hujan malam ini, sesuatu yang tak terlihat telah ikut menggerakkan jarum detik kebenaran yang dipegang para pencari kebenaran dengan cara yang dipilih masing-masing. Bila dikehendaki, detik-detik itu akan saling menyapa. Dan hei, meski masih samar, mereka telah bergerak, saling mendekat satu sama lain.
@_@
ns 15.158.61.8da2