Keajaiban hadir kepada mereka yang berhati mulia. Keajaiban bukanlah sesuatu yang dapat dirasionalkan atau dianalisiskan. Hanya mereka yang berhati luas seluas hamparan langit, yang percaya bahwa keajaiban itu ada dan nyata. Bukan dongeng, bukan mitos bukan pula khayalan.
Mayang adalah keajaiban yang hadir untuk keluarga Pak Bambang. Ia tercipta tanpa kesengajaan dan hidup karena tidak ingin tiada. Kehidupannya dipenuhi dengan kehangatan cinta dan ketulusan kasih sayang keluarga. Kehidupan yang indah untuk hidup yang sementara. Ia seharusnya lenyap dalam hitungan detik, tapi kini hidup beberapa tahun. Menjalani kehidupan, mewarnai dan memberi warna, menciptakan keajaiban dan tiada demi cinta.
Kekuatan Mayang bukanlah kekuatan yang tak terbatas. Setiap kali ia menggunakan kekuatan, waktu hidupnya akan terus berkurang. Saat ini waktu hidupnya tinggal 6 bulan saja. Tubuhnya yang rapuh tak mampu menahan kekuatan yang bersinergi di dalam tubuhnya. Oleh karena itu, ia pingsan setelah menyembuhkan Pak Bambang. Tapi, sekarang nyawa Hermawan berada di ujung kematian.
Ambisi Paman Doni membutakan mata hatinya sehingga ia mampu berbuat keji kepada saudara dan keponakannya. Harta dan kedudukan membangkitkan monster yang selama ini bersemayam di hati Paman Doni. Ia rela melakukan apa saja demi memenuhi hasrat dan tujuannya. Sungguh mengerikan saat kegelapan hati mulai mengambil kendali diri.
Selama penculikan Mayang, ketiga anak Paman Doni dan Damar terus mencari tempat Mayang di sekap. Mereka bekerjasama untuk menemukan keberadaan Mayang. Bisma mencari ke utara dengan kudanya. Bram dan Rio mencari ke barat dengan kereta kuda. Sedangkan Damar berlari mencari ke timur.
Disisi lain Mayang mulai siuman. Ia terkejut karena tangan dan kakinya terikat. Ia ingin berteriak tapi mulutnya ditutup dengan lakban. Ia ingin menggunakan kekuatannya lagi tapi kondisi tubuhnya tidak memungkinkan. Akhirnya ia mencari cara, ia berusaha agar tangannya yang terikat ke belakang bisa diarahkan ke depan. Saat ia berhasil, ia segera membuka lakban agar ia bisa membuka ikatan tangannya dengan mulutnya.
Beberapa menit kemudian Mayang berhasil lolos dari tempat penyekapan. Ia berlari tanpa tau arah. Untunglah dalam pelarian itu, ia menemukan Bisma. Bisma segera mengangkat Mayang ke kudanya.
“Lepaskan aku! Aku ingin pulang” Mayang merontah mengira bahwa Bisma bersekongkol dengan para penculik tersebut.
“Diamlah, aku akan mengantarmu pulang. Hermawan sedang sekarat” Mayang berhenti merontah mendengar ucapan Bisma. Bisma menghubungi Bram, Rio dan Damar bahwa ia sudah mendapatkan Mayang dan akan segera menuju ke Hermawan. Ia memacuh kudanya dengan cepat sambil memeluk Mayang yang sedang menangis.
Sesampainya di rumah sakit, Mayang berlari dengan cepat untuk menemui Hermawan dan Pak Bambang.
“Ayah... Bagaimana Kak Mawan?” Air mata Mayang mengalir deras.
“Mayang, kamu baik-baik saja nak?” Pak Bambang segera memeluk Mayang karena bahagia. Ia bersyukur karena Mayang telah kembali.
“Bisma! Bagaimana keadaan Mayang?” Damar, Bram dan Rio datang bersama dan sangat mengkhawatirkan kondisi Mayang.
“Dia disana” Bisma menunjuk ke ruangan Hermawan.
Mereka bertiga segera berlari melihat Mayang, “Mayang, bagaimana kondisimu? Apa penculik itu berbuat jahat kepadamu?” Damar memeluk Mayang dengan perasaan lega karena ia telah kembali.
“Kak, ini bukan saatnya untuk mengkhawatirkan Mayang. Kak Mawan bagaimana kak?” Mayang melepaskan pelukan Damar.
“Mayang, sebaiknya kamu tenang dan istirahat dulu. Nanti Kak Damar dan Paman akan memberitahu kronologinya” Rio mencoba untuk membuat Mayang tenang.
“Bagaimana aku bisa tenang, jika aku tidak tau mengenai kondisi Kak Mawan” Mayang sangat marah karena khawatir.
Pak Bambang akhirnya menceritakan kondisi Hermawan. Mayang jatuh karena lemas setelah mendengar penjelasan Pak Bambang. Kepalanya mulai pusing dan keluar darah dari hidungnya. Semua orang terkejut dan khawatir dengan Mayang, tapi ia mengusir semua orang untuk keluar ruangan.
Nenek Pon datang menemui Mayang yang berada di dalam ruangan bersama Hermawan.
“Nak, jangan pakai kekuatanmu. Kamu pun tau, untuk menyelamatkan orang dari kematian membutuhkan sisa waktu hidup sebanyak 6 bulan. Itu artinya kamu akan tiada jika anak ini hidup” Nenek Pon berusaha mencegah Mayang
“Tidak. Aku sudah merasa cukup bersyukur hidup bersama mereka. Oleh karena itu, aku rela mengorbankan diriku demi menyelamatkan mereka” Keteguhan hati Mayang membuat Nenek Pon tersentuh.
Akhirnya Nenek Pon menunjukkan cermin benggala miliknya untuk memperlihatkan siapa dalang dari semua kejadian buruk yang menimpah keluarganya. Setelah itu, Nenek Pon berusaha untuk menyeimbangkan kekuatan di dalam tubuh Mayang agar sisa waktu hidupnya bertambah meskipun hanya dua hari. Mayang sangat berterima kasih kepada Nenek Pon.
Setelah Nenek Pon menghilang, Mayang bersiap untuk menyembuhkan Hermawan. Seluruh tubuhnya perlahan bersinar. Sinar itu kemudian mengalir ke tubuh Hermawan. Selama proses penyembuhan, Damar, Bram, Bisma dan Rio terkejut melihat Mayang.
“Saat aku terbaring karena bisa ular, Mayanglah yang menyembuhkanku. Tapi Mayang ingin aku merahasiakannya dari siapapun. Ayah juga tidak tau bagaimana Mayang bisa jadi seperti itu” Pak Bambang melihat Mayang penuh haru.
Tiba-tiba saja darah dari hidung Mayang kembali mengalir. Meskipun demikian, ia tetap berkosentrasi untuk menyembuhkan Hermawan. Tak lama kemudian, asap hitam dari tubuh Hermawan keluar dan masuk ke dalam tubuh Mayang. Bersamaan dengan masuknya asap hitam ke tubuhnya, Mayang muntah darah berkali-kali.
“Sebenarnya aku ingin menyerap semua ilmu hitam ini, tapi tubuhku tidak sanggup lagi menahannya. Terpaksa aku akan mengembalikan sebagian kepada si pengirim. Maafkan aku Paman Doni, aku tidak ingin kehilangan Kak Mawan” Mayang bergumam dalam hatinya karena mulutnya sudah penuh dengan darah hitam.
Asap hitam itu sebagian dilempar ke atas oleh Mayang, bersamaan dengan itu ia terjatuh ke lantai dan pingsan. Hermawan masih belum juga sadarkan diri. Pak Bambang dan lainnya yang sedari tadi khawatir melihat Mayang memuntahkan darah kini berhasil mendobrak pintu dan masuk untuk menemui Mayang.
“Mayang, nak, bangun nak. Kamu kenapa? Mayang?” Pak Bambang memeluk Mayang sambil sesekali menepuk pipi Mayang agar ia sadar.
“Mayang, aku mohon bangunlah” Damar membersihkan darah di wajah dan mulut Mayang. Tangan Pak Bambang gemetar melihat kondisi Mayang. Air matanya pun tak mampu lagi dibendung.
“Cepat Dok, Tolong periksa kondisi teman saya” Bram yang panik segera memanggil dokter dan mengantarnya kepada Mayang.
Dokter pun memeriksa kondisi Mayang, tapi dokter tidak menemukan kondisi medis yang fatal. Dokter tidak tau harus menjelaskan apa kepada mereka mengenai kondisi Mayang. Seharian itu, mereka menunggu di sana mengkhawatirkan Mayang dan Hermawan.
Disisi lain, dukun itu meninggal karena ilmunya sendiri dan Paman Doni buta karena imbas ilmu hitam si dukun. Paman Doni sangat kesal dan marah karena rencananya gagal dan kini ia tidak bisa melihat. Ia mengamuk bagaikan banteng dalam arena matador. Ia harus menerima hukuman atas perbuatannya.
Keesokan harinya Hermawan sudah sadar. Pak Bambang dan Damar langsung memeluknya. Mereka menangis lega karena Hermawan selamat dari kematian.
“Dimana Mayang?” Hermawan khawatir karena ia ingat bahwa Mayang telah diculik.
“Mayang sudah ditemukan, tapi...” Damar tertunduk, ia tak sanggup meneruskan ucapannya.
Pak Bambang hanya bisa menggelengkan kepala.
Damar berusaha untuk menceritakan kejadian dan kronologinya mulai pencarian Mayang hingga kondisi Mayang saat ini. Hermawan terkejut mendengar penjelasan Damar. Ia segera berlari menemui Mayang.
Bram dan kedua saudaranya berada di ruangan Mayang. Mereka sangat khawatir dengan Mayang dan menunggu Mayang untuk sadar. Mereka melihat Hermawan berlari dengan kondisi yang belum stabil masuk untuk menemui Mayang.
“Mayang, sadarlah. Aku sudah sembuh. Aku ada disini. Bukalah matamu, aku mohon” Hermawan memegang tangan Mayang sambil memohon.
Mayang pun perlahan membuka matanya, Hermawan dan yang lainnya tersenyum lega. Namun, perlahan tubuhnya menjadi transparan lalu kembali normal lagi. Semua orang pun terkejut melihatnya. Kebahagian dan perasaan lega seketika berubah menjadi ketakutan dan rasa khawatir. Hal itu terjadi karena Mayang telah menggunakan kekuatannya yang terakhir agar ia sadar dan bisa melihat kondisi Hermawan secara langsung.
“Kak Mawan” Suara Mayang terdengar lemas
“Mayang aku disini dan aku baik-baik saja. Aku mohon cepatlah sembuh.” Hermawan segera menggenggam erat tangan Mayang.
Mayang tersenyum lega melihat Hermawan baik-baik saja. “Tolong bantu aku untuk duduk” Hermawan menuruti permintaan Mayang.
Mayang segera bercerita mengenai dirnya, bidadari dan Nenek Pon. Semua orang terkejut dengan cerita Mayang.
“Kak Bram, Kak Bisma dan Kak Rio maafkan aku karena aku tidak mampu menyerap semua kekuatan ilmu hitam yang Paman Doni kirimkan kepada Kak Mawan. Mungkin Paman Doni sekarang terkena imbas dari ilmu hitam yang ia kirimkan” tanpa mendengar jawaban mereka Mayang meneruskan kembali pembicaraannya, “Ayah, Kak Damar dan Kak Mawan bidadari yang aku ceritakan itu adalah ibu kakak. Ia berpesan kepadaku kini ia bahagia karena kalian selamat dan baik-baik saja” Tubuh Mayang kembali terlihat transparan.
Pak Bambang dan kedua anaknya segera memeluk Mayang ketika tubuh Mayang menjadi transparan. “Terima kasih untuk semua kasih dan sayang kalian, aku sangat senang bisa bersama dengan kalian” Air mata Mayang mengalir deras. Pak Bambang dan kedua anaknya pun tak sanggup menahan air mata. “Tolong jaga diri kalian dan...” Ucapan Mayang terhenti saat ia tau waktunya tak banyak. Mayang tersenyum manis dan berkata “Aku sangat mencintai kalian”. Setelah itu seluruh tubuh Mayang berubah menjadi kumpulan gelembung.
Gelembung-gelembung itu terbang ke atas dan meletus. Pak Bambang dan semua yang ada di ruangan itu seketika menangis terseduh-seduh. Mereka bahkan belum sempat berpamitan dan megucapkan terima kasih. Tapi Mayang sirna begitu saja dalam dekapan. Hujan gerimis pun turun menemani tangisan mereka.
Perpisahan itu begitu cepat, hingga menyisakan duka yang mendalam bagi mereka yang ditinggalkan. Damar dan Hermawan sangat kehilangan, mereka terus menangis hingga dada mereka terasa sesak. Pak Bambang mencoba menenangkan kedua anaknya dalam dekapannya, “Tolong kalian jangan terlalu bersedih demi Mayang. Ia pasti akan sedih jika melihat kalian seperti ini”.
Bram, Bisma dan Rio pergi dari rumah sakit dengan tangisan dan sesak di dada. Bram teringat tentang nasehat Mayang bahwa ia harus menjadi dirinya sendiri. Bisma teringat akan kenangan bersama Mayang dan celotehan Mayang saat ia marah, “Hei, kamu tidak akan pernah mendapatkan cinta, jika caramu memperlakukan orang yang kamu sayangi begitu kasar. Seharusnya kamu lebih menghargai dan memperhatikan orang yang kamu sayangi, bukan malah menjahilinya”. Sedangkan Rio teringat ucapan Mayang saat kencan di akuarium “Kamu terlihat tampan jika saja kamu lebih dewasa dan mandiri”.
Mereka berjanji kepada diri mereka sendiri untuk menjadi seperti keinginan Mayang. Sepulang dari rumah sakit, mereka bercerita kepada ibunya. Tante Maria terkejut dan menangis dengan penuh penyesalan. Ia pun segera berlari menemui Pak Bambang, Damar. Tante Maria meminta maaf atas semua perbuatannya dan suaminya. Ia juga mengembalikan semua harta adiknya kepada Pak Bambang karena ia merasa bersalah kepada adiknya. Keluarga Paman Doni dan keluarga Pak Bambang pun akhirnya berbaikan.
Semua kenangan bersama Mayang mengalir dalam tiap tetes air mata. Tangisan mereka pun bercampur dengan derasnya gerimis saat itu. Dimana ada pertemuan pasti ada perpisahan. Jika keajaiban bisa datang, maka ia juga bisa pergi kapanpun. Keajaiban datang membawa harapan untuk dijadikan kenyataan, pergi meninggalkan duka dan kepercayaan.
TAMAT
ns 15.158.61.20da2