Cih. Tidak bisakah mereka sedikit memberiku ketenangan?. Sekolah terlalu sulit untuk dikatakan sebagai tempat belajar. Lihatlah seisi kelas, hanya keributan dan pembullian di sini. Mereka yang dominan mencoba membuat orang di sekitarnya menjadi resesif. Dunia terlalu polos untuk disebut neraka, namun dunia juga terlalu kotor untuk dibilang surga. Kenyataan hidup selalu sukses mendorong setiap orang untuk masuk ke dalam lorong gelap yang tidak berujung. Hah, kapan pulang, terlalu pengap di sini. Satu-satunya lokasi yang aku sukai hanyalah tempat tidurku. ”Tring... Tring... seluruh pelajaran hari ini telah selesai. Sampai jumpa besok pagi”. Nah, gini dong. Memang bel pulang sekolah tidak pernah mengecewakan, selalu berbunyi dengan suara yang lebih indah dari lantunan instrumen swan lake oleh Pyotr Ilyich Tchaikovsky.
Sepanjang jalan menuju rumah lebih memuakkan daripada perjalanan ketika berangkat sekolah. Kekerasan dimana-mana. Pojokan gang sempit menjadi langganan para binatang buas sekarang. Ada yang bermain nyawa, ada yang menghisap racun, bahkan ada yang dengan bangga berperilaku sampah. Hah mereka tidak pernah berhenti membuatku menghela napas. Lalu mengapa para sampah itu dilahirkan? Setidaknya bersihkanlah sedikit kotoran itu, diruqyah atau dibaptis. Ya terserah.
Papan iklan besar di tepi jalan pusat kota menampilkan tokoh yang tidak asing. Tch, dari semua sampah dia lah yang terburuk. Suara langkah kakiku menderu dengan tenang melewati gang menuju gang berikutnya. Gang cempaka, nama yang aneh menurutku. Ya bukan apa-apa, hanya saja makna baik kantil tidak sesuai dengan penghuni kantilnya.
“Gara pulang bun, bunda tadi Gara dapat nilai A dipelajaran seni. Bunda? Bunda dengar Gara ga sih? Sudah lah. Gara ganti baju dulu ya bun, bunda jangan terlalu dekat nonton tv nya nanti bisa sakit mata”. Bunda sering diam akhir-akhir ini.
Semua kejadian membosankan dari pagi terlintas cepat, namun waktu seketika terhenti ketika aku mengingat peristiwa guru menuliskan sesuatu di papan tulis yang membuatku lepas kendali. Pemerintah terlalu egois dalam membangun sistem pendidikan fullday. Tanpa tugas katanya, menyedihkan. Daftar tugas rumah bertambah. Ini membuatku lelah. Jam dinding berdenting tujuh kali, membuatku terkesiap. Sudah malam ternyata, sepertinya aku ketiduran.
Kesadaranku masih jauh, tetapi aku tetap tidak bisa melupakan tanggung jawabku. ”Aduh, aku lupa siapin makan malam, ayah sebentar lagi pulang, bunda bisa marah kalau makan malamnya telat”. “Brak!!” aku kaget mendengar seperti suara benda terjatuh. “Bunda, apa ada yang jatuh? ayah sudah pulang?”. Hal pertama yang kulihat setelah keluar dari kamar adalah cairan kental merah membasahi lantai, tepat di depan tv yang masih menyala dengan lampu yang temaram. Samar-samar, sehingga aku harus mengucek mataku. Mencoba menyakini diriku bahwa aku sedang bermimpi. Hening jeda kalimatku terasa begitu lama, masih lamat-lamat aku menatap ayah tidak percaya.
“Bunda kenapa yah?! bunda?! bun! Bunda?! Ada apa ini yah? Bunda kenapa? Ayok ke rumah sakit ayah, bunda berdarah!”. Wajah ayahku memerah, memandangku penuh kebencian. “Diam!!! Bisa kau diam?!” Goncangan tubuh ayah yang penuh darah dan jemari gemetarnya menyadarkanku untuk satu hal. “Ayah, kau...”
Garis kuning hitam kepolisian terikat di ujung-ujung pagar. Puluhan polisi beserta wartawan berkeliaran sekitar gang cempaka. Beberapa tetangga mendatangiku satu persatu. Mereka membuatku muak.
“Aku tahu itu berat, tetapi Gara aku tahu kau gadis yang kuat”. Haruskah aku bersemangat setelah mendengar kata-kata seperti itu.
“Apa benar Pak Gema yang melakukan itu dek? ga mungkin dek, Pak Gema itu sayang sekali sama istrinya”. Hei, jangan sok tahu tentang orang yang bahkan kau tidak peduli.
“Nak, kamu tidak apa-apa kan? Jangan ditahan, kalau sedih menangislah, tante ada di sini”. Cih, orang tua satu ini, selama bunda hidup menegurpun tidak pernah.
”Gara tidak apa-apa, jangan khawatir” hanya itu yang bisa kuucapkan pada setiap percakapan. Aku bahkan tidak tahu bagaimana perasaanku sekarang. Sedih, kecewa, gelisah, aku tidak tahu apa namanya ini. Aku masih merasa aku sedang bermimpi. Iya, ini hanya khayalanku. Bunda tidak mungkin meninggalkanku secepat ini. Dia berjanji untuk selalu bersamaku. Dalam diam aku mendengar suara bunda dan ritme tuts-tutsnya. Nada indah tiada bandingannya, wanderer’s lullaby. Terngiang-ngiang lirik nya di pikiranku. There are those who’ll you you’re wrong, they will try to silent your song, but right here is you belong. Aku kemudian terus bernyanyi.
Alunan nada sayup-sayup terdengar. Permainan nada yang diberikan tekanan pada tuts-tuts piano menjadi panggung dari pertunjukan jemari saat ini. Irama bunda, nada yang dimainkan bunda sebelumku tidur. Aku selalu terpana saat nada itu dimainkan. Ritme kesedihan dan penyesalan terasa jelas. Bahkan setelah pergi, bunda tetap memainkan nada nya untukku. “Gara? Gara?”352Please respect copyright.PENANAwQw8skTvVZ
352Please respect copyright.PENANA8zxKkIIzvg
“Ha? maaf pak, bapak bilang apa tadi?” tanyaku tersadar. 352Please respect copyright.PENANAh6CrfytLxo
352Please respect copyright.PENANAKv1sqPyFhe
“Saya Yanto, dari Kepolisian Daerah Madin. Saya mengucapkan bela sungkawa atas meninggalnya ibu dari saudari Gara. Boleh kami minta waktu untuk berbicara mengenai hal ini? Hubungi saya jika saudari sudah siap untuk menjawab pertanyaan kami”352Please respect copyright.PENANAfmZHQv31aJ
352Please respect copyright.PENANAmajPnBJbLE
"Baik pak, terima kasih” Malam yang panjang. Aku melangkah gopoh, diriku merasa sangat lelah. Entah lelah batin atau fisik, intinya aku hanya butuh istirahat. Sisa air mataku mengering, tisu-tisu juga berserakan. Semenyedihkan itulah diriku sekarang. Bunda yang aku sayangi sudah tiada, bahkan ayah pahlawanku membunuh bundaku. Lalu bagaimana dengan abangku, dia bahkan masih bisa tersenyum lebar di papan iklan melihatku dengan penuh kasihan, apa dia puas tertawa melihat kesialan yang menimpaku sekarang?, dia tidak pantas menjadi saudara dari siapapun.
Ayahku, Gema Wijaya. Seorang karyawan swasta yang lahir dengan kondisi yang berkecukupan, berprestasi ketika muda dan sukses diusia dua puluh lima tahun. Menikah dengan Orlin Nasution diusia dua puluh tujuh tahun, tidak dikaruniai seorangpun anak karena dia memiliki masalah kesehatan. Setelah tiga tahun menikah, akhirnya mereka memutuskan untuk mengangkat seorang anak perempuan dari panti asuhan. Gara Aria, ketika namaku tercantum di kertas hitam putih bertanda tangan. Aku bukan lagi seorang yatim piatu, aku adalah seorang anak yang memiliki keluarga. Sekarang namaku menjadi Gara Aria Wijaya. Masih erat diingatanku, saat pertama kali aku memegang tangan seseorang yang merupakan ibuku. “Bunda, boleh aku memanggilmu bunda?”
Wanita itu tersenyum hangat lalu memelukku. Aku masih bisa merasakan kehangatan itu dan iya, bunda tidak meninggalkanku sendirian.
Aku harus segera menyelesaikan masalah ini, agar bunda bisa beristirahat dengan tenang. Pas poto ukuran dompet ini memperlihatkan tiga orang yang sedang duduk di taman. Satu memegang es-krim dan yang lainnya saling merangkul. Bahagia. Mungkin itu kata pertama yang terlintas di pikiran orang yang melihatnya. Aku meletakkan poto itu dengan hati-hati. Menyelimuti tubuhku sendiri beserta poto itu. “Bunda, biarkan aku tidur denganmu malam ini."
Lirihan suaraku seiring dengan nada tidur sang bunda. aku berharap bunda mendengar lirihanku. Malam ini tidak sunyi, irama bunda menemaniku hingga terlelap.352Please respect copyright.PENANAy83AvYvfEd
352Please respect copyright.PENANAkd3unJOq15
352Please respect copyright.PENANAs86OyOO44g
352Please respect copyright.PENANAb4kvX3gtjy
352Please respect copyright.PENANAXeYVLXW4cE
352Please respect copyright.PENANA5mLnh2flX8
352Please respect copyright.PENANAr36nw1lZjx
352Please respect copyright.PENANAFBOn13rbOc
352Please respect copyright.PENANAWRqrvPQTfN
352Please respect copyright.PENANAD9VQw49yTP
352Please respect copyright.PENANAauHGFskLg0
352Please respect copyright.PENANAda7c9fXIc3
352Please respect copyright.PENANAzx8mI490XN
352Please respect copyright.PENANAmJ7TWmB9nR
352Please respect copyright.PENANAaGJJzBLgrG
352Please respect copyright.PENANAyG6nACNvbr
352Please respect copyright.PENANA6bJsX107tQ
352Please respect copyright.PENANATFY0eqaddi
352Please respect copyright.PENANAy5MAevSFAG
352Please respect copyright.PENANAQRomPYvAmg