Berselang beberapa menit, kami pun mengakhiri tarian kami. Zeno mengeluarkan flashdisk dari kantong celananya. Dia memutarkan video rekaman itu dengan cara kamar sengaja dibuat remang-remang. Layar lebar versi mini terbentang disepanjang gorden putih yang terurai. Seketika itu, aku melihat ruangan putih, wanita berambut bob layer panjang, dan aku kemudian mengingat semua. Aku menceritakan semua mimpi yang pernah aku alami. Semua tokoh dimimpi itu aku mengenalnya kecuali gadis yang dia bilang. Akhirnya aku mengerti apa yang terjadi, sebagai orang yang selalu mengganggap diri sendiri sebagai sudut pandang ketiga. Inilah kisahnya.
Gadis kecil dan seorang teman lelakinya. Mereka orang asing tetapi sudah seperti saudara sendiri. Mengalami kekejaman dari ibu panti di tempat yang mereka sebut rumah. Berbagi roti hasil curian, menerima cambukan dan siksaan serta tersenyum bersama. Ikatan mereka sangat indah sekaligus menyakitkan. Lelaki kecil itu memegang tangan gadis yang kemerahan itu, berjanji untuk saling menyemangati dan mendukung. Meskipun masih bocah, dia sudah seperti pelindung bagi gadis itu. Namun semua menjadi runyam, ketika ada sepasang orang dewasa mengangkat salah satu dari mereka sebagai anak. Sang gadis tertinggal di rumah yang sudah seperti neraka, sedangkan bocah lelaki itu hidup bahagia dengan orangtua barunya. Sang gadis menemukan kebuntuan perasaan, kaki kecilnya berlari ke gerbang besar yang sudah tertutup berteriak memanggil bocah lelaki itu. Sudah dianggapnya sebagai abang, teman dan segalanya dalam hidup sang gadis. Dalam keputusasaan, sang gadis memukul-mukul pagar bercorak orchid hitam sampai terluka. Dia kembali ke kamarnya, mengutuk semua harapan yang sudah sirna. Hari demi hari, setiap tarikan napas terasa begitu berat, berkali-kali gadis itu berencana untuk menyerah. 07 Desember 2016, sudah bulat tekatnya. Dia menyiapkan segala keperluan sambil memutarkan lagu pada kotak musik kecilnya. Kemudian dia membeli spray. Setiap minggu, ibu panti pasti ke gudang bawah untuk mengambil persediaan alkohol. Gadis itu menunggu di belakang pintu, dengan tangan mungil memegang spray itu. Malam itu begitu lembab dan sejuk, dua jam lamanya menunggu. Ibu panti masuk ke gudang dan secepat yang gadis itu bisa, menyemprotkan cairan yang ada. ibu panti jatuh dan tidak sadarkan diri. Gadis itu tersenyum, rencana kecilnya berhasil. Mengikat tangan dan kaki ibu panti dengan sangat imut, memberikan pita hitam pada setiap ikatan yang dia buat, memberi sang ibu selimut agar tidak kedinginan. Kemudian kembali ke kamarnya.
Keesokan harinya, dia kembali ke gudang. Gadis itu merasa kasihan, sang ibu terlihat lapar dan haus. Gadis itu menyuapi sang ibu dengan roti hasil curiannya, lalu memberinya minum dari botol-botol alkohol yang ada di gudang itu. Gadis itu tahu persis bahwa sang ibu sangat menyukai alkohol. Satu botol, dua botol, tiga botol, hingga lima belas botol. Gadis itu terus memberi minuman itu sebagai tanda kasih sayangnya yang polos. Sang ibu terlihat sesak, gadis itu terkejut. Gadis itu berpikir mungkin ibu butuh tidur. Kemudian menyemprotkan chrolophyll spray, sang ibu tertidur dengan tenang. Sang gadis melepaskan ikatan pita yang ada pada sang ibu agar bisa tidur dengan nyenyak dan menyelimutinya. Karena cuaca yang dingin, sang gadis menyalakan lilin di dekat sang ibu agar bisa tetap hangat. Saat gadis itu keluar dari gudang dan berbalik ke belakang. Gudang itu terbakar, gadis itu berpikir tentang apa yang sedang terjadi. Lalu dia paham, sepertinya lilin itu mungkin terlalu dekat dengan selimut ibu. Setelah mengerti akan situasinya, dia pun pergi.
------------------------
14 Desember 2019, baginya sepanjang jalan menuju rumah terasa memuakkan daripada perjalanan ketika berangkat sekolah. Kekerasan dimana-mana. Pojokan gang sempit terdapat preman-preman yang memasangkan taringnya. Ada yang sedang bertarung, ada yang sedang mengisap narkoba, bahkan ada yang dengan sombong seakan berkuasa. Mereka selalu membuat gadis remaja itu menghela napas. Gadis itu selalu bertanya pada dirinya sendiri tentang bagaimana sistem dunia ini bekerja, mengapa sampah seperti mereka dilahirkan? Apa mereka tidak pernah mencoba pengalaman diruqyah atau dibaptis?, kira-kira seperti itulah pertanyaannya. Papan iklan besar di tepi jalan pusat kota menampilkan tokoh yang tidak asing. Abang sudah sukses tetapi tidak pernah menemuinya setelah pergi tanpa permisi.
"Gara pulang bun, bunda tadi Gara dapat nilai A dipelajaran seni. Bunda? Bunda dengar Gara ga sih? Sudah lah. Gara ganti baju dulu ya bun, bunda jangan terlalu dekat nonton tv nya nanti bisa sakit mata". Bunda sering diam akhir-akhir ini. "Nak, ada yang mau bunda sampaikan." gadis itu melengos dan berkata "Apa bun?," sang ibunda terdiam beberapa saat dan berbicara kembali. "Bunda hamil adik kamu, kamu senangkan nak? Kamu bakal jadi kakak."
Gadis itu memerah, emosinya berganti seketika. "Apa bunda sekarang ingin membuangku? Ibu bilang cuma aku satu-satunya anak bunda. Sekarang bunda masih ingin anak yang lain?."
Wanita itu terlihat shock, lalu kembali mengalihkan pandangannya pada televisi. Gadis itu mengambil syal mocha yang terkalung di lehernya, mencekik bundanya kuat-kuat dari belakang. Syal itu menghalangi setiap tarikan napas sang ibunda. Ibundanya hanya menangis sambil mengatakan pada anaknya, tentang bagaimana dia sangat mencintai gadis itu hingga tubuhnya tidak meronta lagi. Wanita itu tidak menunjukkan perlawanan yang berarti. Setelah sang ibunda terdiam tidak sadar diri, gadis itu tersenyum "Bunda, kau benar. Kau memang menyayangiku"
Ketika pukul 19.00. sang ayah pulang dari kerjanya, dia melihat istrinya terdiam di depan televisi yang masih menyala. Saat ingin mencium kening istrinya, sang ayah melihat lebam kebiruan di leher wanita itu. Dia buru-buru mengecek nadi wanita tersebut dan tidak sedikitpun menemukan detakan disana. Sang ayah menjadi panik, mengecek setiap kamar, kemudian melihat Gara anaknya sekilas juga terbaring di lantai kamar. Dia berlari ke ruang cctv untuk melihat siapa yang melakukan hal sekejam ini, tidak lupa mengetik sesuatu di teleponnya "911". Sang ayah berencara untuk memberikan rekaman pada kepolisian nantinya. Namun, dia terkejut bukan main ketika melihat rekaman anak angkatnya yang telah mencekik istrinya. Matanya yang sudah memerah mengeluarkan airmata. Telepon yang sudah dijawab pihak kepolisian gawat darurat diabaikan. Telepon itu terjatuh dari tangannya. Gema langsung menghapus rekaman itu. Sisi hati seorang ayah tersentuh. Hanya Gara, satu-satunya yang dia punya. Kasih sayang yang mampu menggelapkan matanya. Gema Wijaya berjalan gopoh, perlahan melangkah ke dapur. Mengambil pisau lalu kembali berlutut di depan mayat istrinya. Bibir Orlin yang pucat itu diciumnya lalu menusuk dada Orlin dengan pisau yang digenggamnya. Napas Gema terdengar begitu berat dan sesak, dia berkata "Kamu dan aku sudah berjanji akan melindungi anak kita sampai akhir. Jadi aku terpaksa melakukan ini. Demi kebaikan Gara, kamu rela mengorbankan nyawamu. Maka demi kebahagiaan Gara, aku juga bisa menusukmu. Hah... hah... ma.. maafkan aku sayang. Aku menyayangimu selamanya," Gema berdiri, sambil mengambil pisau yang ada di sisi kirinya.
Gara terbangun dan keluar dari kamar. Wajah panik yang anaknya tunjukkan membuat Gema semakin terluka. "Bunda kenapa yah?! bunda?! bun! Bunda?! Ada apa ini yah? Bunda kenapa? Ayok ke rumah sakit ayah, bunda berdarah!". Wajah Gema memerah, memandang Gara penuh kemarahan. "Diam!!! Bisa kau diam?!" Goncangan tubuh pria itu dan jemari gemetarnya menunjukkan ketidakberdayaan. Sang ayah rela menanggung semua yang terjadi dan menganggap bahwa ini adalah kesalahannya. "Ayah, kau..." Gadis itu terduduk menangis, tatapannya lurus ke arah sang bunda yang tergeletak. Demi menghapusan semua bukti, Gema menyentuh semua benda di ruangan itu, menghempaskan semua barang yang ada disekitarnya. Gara yang ketakutan seakan tidak mengerti apa yang terjadi. Mimpinya menjadi kenyataan.
-------------
19 Desember adalah hari ulang tahun Yosi. Yosi itu tidak pernah meminta hadiah apapun pada Gara, mungkin karena dia tidak ingin memberatkan atau karena dia tidak ingin terlihat seperti pengemis. Gara berpakaian rapi, dengan syal buatan bunda yang berwarna mocha sangat cocok dipadukan bersama coat coklat tua. Dia memandangi wajahnya di cermin dan berputar-putar kecil. Hmm betapa imutnya, pikirnya. Dua puluh menit gadis itu habiskan hanya untuk menepuk-nepuk wajah dan mengagumi dirinya sendiri. Keluar rumah dengan suka cita, lalu menunggu bus umum di halte sambil mendengarkan intrument yang cocok untuk saat itu. Salah satu backsound dari barbie kesukaannya, Princess Anastasia. Kemudian gadis itu masuk ke salah satu souvenir store. Di store itu banyak sekali barang-barang lucu yang lagi hits. Yosi menyukai barang-barang yang imut. Perhatian Gara tertuju ketika melihat gelang berbatu onix, itu indah sekali. Warnanya yang hitam yang jelas mengingatkannya akan tatapan Yosi yang begitu polos dan tenang. Setelah menentukan pilihan, dia meminta penjaga store untuk membungkus gelang itu. Karena bosan mengantri, gadis itu berkeliling melihat-lihat batu alam yang terpajang. Ketika Gara mengarahkan pandangannya ke pintu kaca store. Dia melihat Zeno menarik tangan Yosi dari keramaian, karena penasaran gadis itu mengintip gerak gerik mereka dari dalam store. Mereka seperti berdebat tentang sesuatu, Yosi menangis dan Zeno yang tampak marah. Sejak kapan Yosi mengenal Zeno, perasaan Gara tidak pernah mengenalkan abangnya pada Yosi, sahabatnya. Hubungan diantara mereka membuat Gara penasaran. Gara yang merasa sangat kesal, karena Yosi menyembunyikan sesuatu darinya kemudian mengabaikan keduanya begitu saja. Karena menurut gadis itu mengabaikan mereka adalah pilihan yang bijak karena mereka semua tidak berguna.
21 Desember 2019, ketika tepat pukul 21.00 smartphone Gara berdering, akhiran 009 pada ujung nomor yang menelpon menunjukkan bahwa itu adalah Reihan. "Halo, kenapa rei?"
"Ra... jangan. Jangan ke sini" lirihan suara Reihan menggetarkan gadis itu
"Apa maksudmu Rei? Reihan?!"
"Gara, datang. Jalan Rimba Tujuh sebelah kiri gudang lama." Gara kaku mendengar suara erangan Reihan dari smartphone-nya
"Abang!! Jangan sentuh Reihan. Jika kau melakukan hal yang buruk padanya. Aku akan jadi malaikat mautmu."
"Aku tidak keberatan jika kau ingin membunuhku. Bajingan ini harus mengatakan hal yang sebenarnya padamu" panggilannyapun mati.
Gara yang sedang dilanda kepanikan, mengambil pisau lalu buru-buru ke lokasi meninggalkan rumah tanpa menutup pintu. Bahkan dia tidak sempat mengambil alas kaki karena kalut. Kakinya yang kemerahan berlari memijak setiap kerikil jalan tanpa memepedulikan rasa sakitnya. Gara menyemangati dirinya dengan terus mengatakan "sedikit lagi" pada setiap langkah yang dia pijaki. Ketika sampai di lokasi, dia mendengar pembicaraan Zeno abangnya dan Reihan kekasihnya.
"Brengsek!! Kalau kau tetap diam depan Gara nanti akan kubunuh kau!!" Zeno berteriak sambil menendang-nendang Reihan yang sudah tersungkur.
"Bodoh!! Gara selalu percaya padaku." Reihan tetap bersikukuh meski sudah banyak memar terlihat di badannya. Gara bergetar dibalik dinding itu sambil mengamati keadaan.
"Setan! Kau sudah menghamili Yosi dan kau sekarang hidup seperti tidak ada rasa bersalah!" DEG!. Napas Gara seakan terhenti mendengar perkataan Zeno. Gara masih berharap itu hanya pendengaran yang salah. Namun, perkataan Reihan memperjelas semuanya.
"Hahahaha!!, bukan aku yang meminta, Yosi sendiri yang memberikan tubuhnya. Mana mungkin aku bisa menolak. Lagipula Gara tidak pernah mengizinkanku melakukan lebih selain memegang tangan. Kau pikir ada laki-laki yang mau berhubungan dengan gadis seperti itu ha?!" mata Zeno semakin memerah lalu membungkam reihan dengan kepalan tangannya. Zeno kemudian menarik napas panjang dan mendudukkan kembali Reihan ke kursi dengan baik. Dia berharap Gara segera datang dan menjelaskan semua yang terjadi.
Gara yang masih terpaku seperti kehilangan setengah nyawanya. Kata-kata Reihan menampar batinnya. Sakit sekali. Gara menundukkan kepalanya seperti sedang tertidur nyenyak. Tubuhnya bangkit dengan lunglai, mengambil pisau yang sempat terlepas dari tangannya. Matanya yang menatap lurus ke depan tampak begitu kosong. Dia mengambil kayu balok yang tidak jauh dari tempatnya.
Gadis itu datang dari arah belakang Reihan. Zeno yang sedang menunduk, melihat kehadiran Gara. Ketika Zeno mau bicara, tiba-tiba Gara menghempaskan kayu balok yang dia pegang ke leher belakang Reihan beberapa kali. Zeno yang melihat itu shock, dirinya mematung seakan terpaku dengan segala adegan yang dia saksikan. Zeno berusaha memegang tubuh Gara, menahannya agar tidak melakukannya lagi. Kepala Reihan sudah bersimbah darah dan banyak gumpalan daging yang berserah di lantai. Gara mendorong tubuh Zeno hingga pria itu kehilangan keseimbangan. Gara tidak menyia-nyiakan hal itu. Dia menusuk dada Reihan yang sudah tersungkur telungkup. Zeno mengeluarkan smartphone-nya untuk menelpon polisi, dia seakan linglung tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Setelah puas menusuk Reihan, Gara tertidur pulas di lantai gudang yang penuh debu.
ns 15.158.61.17da2