Aku melanjutkan pembicaraanku dengan nada sedikit emosional. Aku tidak pernah menceritakan kisah ini kepada siapapun termasuk sahabatku sendiri. Menceritakan kisah ini seakan menceritakan kisahku sendiri.
“Kisahnya, saat sang puteri melakukan kesalahan karena mencoba kabur dari menara. Si penyihir mengutuknya dengan ilusi penglihatan sehingga setiap orang yang memiliki sifat buruk akan melihat sang puteri sebagai wanita dengan wajah yang buruk rupa. Betapa malangnya, justru ketika sang puteri telah dikutuk barulah sang pangeran datang. Sifat pangeran yang hanya memuji kecantikan itu ketakutan saat melihat wanita bergaun hitam dengan wajah seperti monster. Pangeran mengerahkan pasukannya untuk membunuh sang puteri karena dianggap sebagai mahkluk pembawa kesialan bagi kerajaan. Pada akhirnya sang puteri mati karena dibakar oleh pengerannya sendiri. Ironis bukan?”
“Dongeng favoritmu unik ra, selera kamu beda atau bagaimana?” dokter itu bertanya santai.
“Bukan seleraku yang beda, hanya saja sang puteri itu terlihat sama denganku dok. Aku selalu disalahkan dan mendapat kesialan. Aku tidak tahu pada siapa aku harus meminta pertanggungjawaban atas segala yang tertimpa padaku. Aku merasa, aku adalah Mademoiselle Noir, bukan Sang Puteri Rapunzell” Aku berbicara sebanyak ini setelah sekian lama. Berbicara pada orang asing seperti ini ternyata tidak buruk juga jika ceritaku didengarkan.
“Hmm, setiap orang punya porsi sialnya masing-masing. Aku juga pernah dapat kesialan, semua itu tentang bagaimana bisa terbuka dan mencoba percaya kepada orang lain. Memang tidak semua bisa dipercaya tetapi setidaknya bisa menjadi rumah energi untuk kita. Coba untuk memahami sesama dan berpikir secara positif, jangan lihat negatifnya saja, supaya hati kita menemukan keseimbangan.”
Bincang-bincang ringan bersama dokter ini membuatku sedikit nyaman. Iya, aku tidak boleh menyerah dalam hidupku. Aku mungkin sial, tetapi aku berhak untuk menentukan hidup seperti apa yang akan aku jalani. Aku sedikit tertarik dengan perkataan dokter itu. Rumah energi, keseimbangan, dua kata yang tidak asing tetapi mampu mempengaruhi pikiranku. Sepertinya aku memang memerlukan rumah energi yang baru.
Dokter dan beberapa polisi mendampingiku menuju suatu tempat. Sepanjang jalan menelusuri koridor rumah sakit, aku hanya diam. semuanya seakan bungkam. Aku dibawa ke ruangan yang dindingnya berlapis cermin. Setiap sisi dinding itu menampilkan bayangan diriku sendiri. Kemudian wanita berambut bob layer panjang, masuk dan duduk dihadapanku. Aku merasa ruangan ini sudah disadap sehingga pihak polisi bisa melihat apapun yang aku lakukan. Jadi aku sedikit menjaga sikapku, supaya terlihat bagus di depan kamera “penyadap?”. Aku terkadang merasa ajalku sudah dekat, setidaknya aku harus berusaha untuk bertingkah baik agar dokumentasi terakhir tentang kehidupanku terlihat seperti happy ending atau good ending. Haha, perencanaan hidup yang matang.
Wanita itu berjalan mengelilingiku yang sedang duduk terpaku kebingungan. Menyentuh sandaran kursiku dan membisikan sesuatu ditelingaku. “Santai, coba kasih tahu kakak namamu siapa,” kata-katanya memberikan sensasi aneh dalam pendengaranku. “Gara Aria Wijaya,” kataku dengan kaki tanganku yang terasa kaku. Wanita ini bahkan tidak memperkenalkan dirinya terlebih dahulu kepadaku. Apa mungkin karena aku tidak sepenting itu untuk mengetahui sekedar namanya. Rasanya itu sangat kurang ajar.
“Mengapa kamu bisa ada di sini Gara? Apa kamu tahu alasannya?”
“Karena aku tersangka yang membunuh Reihan?” wanita itu berjalan pelan menuju kursinya, menuangkan air ke dalam gelas kaca bermanik hitam merah. Lalu dia mencecap minuman itu dan meletakkan dengan sopan gelas ke wadahnya. Terlihat begitu berkelas dan menawan.
“Salah Ra, itu karena kamu terdakwa pembunuhan terhadap tiga orang.” Jawaban wanita itu membuatku shock. Banyak sekali sampai tiga orang, bukankah itu berlebihan untuk sebuah tuduhan.
“Apa kamu ingat siapa saja yang kamu bunuh sayang?” dia memandangiku seperti menilai ekspresi-ekspresi yang akan aku tampilkan. Aku tidak gugup, aku menantang matanya. Mencoba meyakinkan bahwa semua itu hanya tuduhan.
“Bagaimana aku bisa tahu siapa yang aku bunuh jika aku tidak melakukannya” kataku ngotot.
“Baiklah, lihat gelas ini ra, ada apa di gelas ini?” katanya sambil mengaduk-ngaduk air di gelas yang tersisa.
Aku melihat agak lama ke arah gelas itu, dan memiringkan kepalaku. Masih bertanya apa yang dimaksud wanita itu. Mengapa selalu pertanyaan tidak berguna yang ditanyakan orang lain kepadaku.
“Air?” kataku bingung.
“Coba perhatikan lagi,” aku pun melihat lagi putaran air pada gelas itu dan aku seperti terbawa ke dunia yang sangat familiar. Aku berkeliling sebelah kananku ada Reihan yang sedang memegang bunga mawar dengan tangan penuh duri. Aku terkaget lalu menoleh ke kanan mencoba untul lari, tetapi ternyata di kananku ada Yosi yang sedang bermandi darah disekujur tubuhnya. Aku menghadap ke depan melihat Zeno menusuk dirinya sendiri dan tangannya terulur seakan mengajakku untuk mendekatinya. Aku memundurkan langkahku, tanganku bergemetar kencang, kalau begini terus aku bisa kolaps. Aku membalikkan tubuhku, dan berlari sekencang mungkin. Lorong gelap yang aku telusuri tidak menemui titik akhir, selama tidak buntu aku masih punya kesempatan. Saat aku berlari langkahku terhenti, aku mendengar alunan piano bunda. mataku berkeliaran mencari seperti mencari sesuatu, telingaku menajamkan inderanya untuk memastikan nada-nada itu. Kemudian aku melihat bunda sedang berdansa dengan ayah, bagaikan kisah negeri dongeng terlihat serasi dengan balutan khas eropa. Nada piano berjenis tango dimainkan dengan begitu epik, mengeluarkan sisi romantis ayah dan bunda. namun, tiba-tiba seseorang bergaun hitam menusuk bunda dari belakang, bunda terjatuh. Tidak sempat bergerak, orang itu juga memukul bagian belakang kepala ayah dan ayah pun pingsan. Aku yang menyaksikan hal itu terpaku tidak bisa bergerak. Orang itu mencekik bunda dengan seulas kain, menariknya kuat sampai terdengar suara retakan. Bunda tidak menunjukkan perlawanan. Aku menangis tersedu-sedu meneriaki kedua orang tuaku. Aku melihat ke arah cermin yang ada di sampingku dan aku melihat tanganku berdarah memegang pisau dan seulas kain. Tatapan bayanganku tersenyum puas dengan wajah penuh percikan darah. Aku roboh, menatap nanar apa yang sedang aku pegang. Gaun hitam yang aku kenakan banyak noda-noda darah kering. Aku kemudian merasa sangat pusing dan mengantuk.
Aku tersadar, aku sudah ada di tempat tidur rumah sakit. Aku mengaduhkan kepalaku yang pusing. Samar-samar aku melihat abang sedang memandangku dengan mata yang sembab. Kemudian membelai sisi kepalaku dan memelukku erat. Dia mencium keningku dan berkata “Maafkan abang yang tidak pernah mengerti segala penderitaanmu” Zeno memegang tanganku dan menciumnya beberapa kali. Aku hanya diam menerima segala perlakuan yang terasa asing ini. Memandangi wajah abangku yang terlihat sangat sedih, entah mengapa hatiku sedikit bergetar.
Zeno berkata dengan nada yang lembut “Ra, kamu itu princess rapunzell yang harus abang lindungi. Maafkan abang ra, abang gagal ngejagain kamu. Ingat ra, kamu itu bukan mademoiselle noir. Kamu pantas menjadi seorang puteri.”
Aku menangis, aku seperti menemukan kata-kata yang aku inginkan dari dulu. Aku, si sial yang selalu menjadi korban bercita-cita menjadi seorang puteri di negeri dongeng dengan akhir yang bahagia. Aku sering melayangkan kata “pantaskah?” pada diriku sendiri dan tidak kunjung mendapatkan jawaban yang memuaskan. Hari ini aku mendapatkannya, energi kehidupanku kembali.
“Shall we dancing my princess? With this lovely sound and this night, our moon is shinning, our stars are sleeping, lets dancing with loneliness winds. The life is just once as like our melody. You are one and only, will you be my dancing partner?” Zeno menundukkan tubuhnya dan mengulurkan tangan kanannya didepanku. Aku mengusap sisa airmataku dan menyambut tangan abangku.
Kami menari setelah Zeno memutar musik tango dari smartphone. Aku menikmati tarian ini dengan pikiranku yang sedang melayang, membayangkan bahwa aku sedang menari dengan pangeranku. Aku merasa tenang dan bahagia karena impianku terkabulkan. Di tengah-tengah tarian, abang bertanya “Mau menonton rekaman gara kemarin dengan abang?,” aku mengangguk setuju. Aku harus tahu apa yang aku katakan disaat aku tidak sadar.
280Please respect copyright.PENANAtIrWHreyBm