Aku terbangun dan mendapatkan diriku ada di kamar. Apa aku bermimpi? Malam itu terasa sangat nyata. Aku merenung memikirkan hal yang telah terjadi. Tetapi masih bertanya-tanya siapa yang membawa aku kembali ke rumah. Kalau Reihan sepertinya tidak mungkin. Apa abang? Dia sudah pernah masuk ke rumah sekali. Iya aku rasa dia. Aku pun menelpon abang.
“Halo bang? Abang ya yang mengantarkan..” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, Zeno langsung memotongnya.
“Tumben nelpon, bukannya Gara gamau abang ikut campur urusan Gara”
“Bukan bang, tadi malam itu beneran kan?”
“Apa maksudmu? Dari kemaren abang ada kerja di luar kota.”
“Ha?! Ahh maaf bang, jadi ganggu abang. Gara tutup dulu.” Aku terheran. Apa itu benar-benar cuma mimpi. Aku pun menelpon Reihan, tetapi nomornya tidak aktif.
Aku segera bersiap untuk ke sekolah, berharap mendapat kabar dari Reihan. Sesampainya di sekolah, Reihan ternyata absen. Perasaanku sudah tidak enak. Aku tidak bisa berpikir jernih. Aku kemudian mendapat kabar kalau Reihan meninggal dunia karena insiden kekerasan dan semacamnya. Aku tidak percaya dan memutuskan untuk pergi mengunjungi rumahnya. Haha, yang benar saja, bendera putih sudah terpasang di depan rumah Reihan. Rumah itu terlihat ramai. Aku mencoba menerobos masuk, aku melihat Reihan sudah dikafani. Aku luruh sejatuh-jatuhnya. Apa yang terjadi, mengapa aku tidak ingat. Aku kemudian berlari keluar rumah. Menangisi semua yang terjadi, lalu tiba-tiba aku melihat Reihan berdiri tidak jauh dariku. Aku kejar bayangan itu, tetapi semakin aku kejar rasanya aku semakin jauh darinya.
Aku menelpon Zeno untuk kedua kalinya hari ini. “Jelaskan Zen!! Apa yang terjadi pada Reihan?!!” lawan bicaraku hanya terdiam. Aku semakin frustasi. Semuanya seakan mempermainkanku, aku seperti orang buta. Aku semakin kehilangan arah. Aku memutuskan untuk bertemu dengan Zeno dan lagi-lagi aku tidak bisa menemuinya karena dia tidak ada di kantor maupun di rumahnya. Pembunuh itu, pasti Zeno yang membunuh Reihan. Lalu mengapa Reihan tidak membunuhku. Ooh iya, mungkin dia masih ingin menyiksaku?. Apa sebaiknya aku mati saja. Semua kalimat retorisku mengarah ke hal yang tidak masuk akal. Sepertinya memang benar kalau aku sudah gila. Apa yang harus aku lakukan.
Pukul 20.00, aku memutar gramofon dengan lagu Balance Ton Quoi. Lagu yang cocok yang menggambarkan laki-laki zaman sekarang seperti Zeno. Senandungku berirama mengikuti setiap aliran nada yang terdengar. Aku hanya bisa menikmati hidupku setelah semuanya pergikan?. Mereka yang sudah meninggal pasti tidak ingin aku hanya menangis meratapi nasibku. Tiba-tiba bel rumah berbunyi. Perasaanku, aku tidak memiliki siapapun lagi yang peduli padaku. Aku mengintip lewat lubang pintu dan mendapati Pak Yanto berdiri di depan pintu dengan dua orang lelaki lainnya. Mereka ada urusan dengan seorang gadis yang tinggal di rumah tanpa penjagaan. Sikap polisi sekarang semakin memburuk.
Aku mempersilahkan mereka masuk, lalu mereka mulai dengan mode seriusnya. Menjengkelkan sekali hahaha. “Kami dari Kepolisian Kota Madin menetapkan anda sebagai tersangka pembunuhan. Dengan surat perintah penangkapan, anda kami tahan.” Omong kosong apa ini? aku perlihatkan ekspresi penyangkalan. Aku menatap mereka seperti sedang melihat binatang-binatang tidak berguna. “Hah. Kesimpulan ini yang kalian dapatkan, setelah semua yang aku alami? Bukankah kalian tahu aku yang paling menderita di sini?”
Mereka menatapku tajam lalu salah satu dari mereka berkata “Jelaskan semua itu di kantor.” Aku mendengus dan berkata “Tidak perlu pakai borgol berkarat itu, aku bisa langsung ikut kalian. Aku tidak akan kabur.” Aku kemudian mengikuti polisi dan menyampahkan semua ucapan buruk yang aku pikirkan. Pasti abang menggunakan kekuasaannya untuk membuatku menjadi pelaku. Ohh, jadi ini alasan mengapa dia tidak membunuhku. Alasan pergi keluar kota itu sangat tidak berkelas.
Akhirnya aku mengikuti polisi yang katanya sedang M-E-N-A-N-G-K-A-P-K-U. Aku sepanjang perjalanan merasa tenang. Ha, orang yang tidak bersalah seharusnya memang seperti ini. Mensyukuri semua yang terjadi dan menikmatinya. Sekejam apapun nasibku dan sehancur apapun hatiku, aku masih berhak untuk merasakan kenyamanan dunia. Air mataku sudah tidak keluar lagi, apa ini adalah level tertinggi perasaan setelah mengalami penderitaan tingkat S. Ujung-ujungnya, ekspresiku bertindak semena-mena. Perasaan ingin tertawa sekarang, bagaimana bisa aku setenang ini. Sudah pasti aku akan berlumut di penjara, tidak ada daya untukku memenangkan pertarungan dengan abangku. Dunia mengapa kejam sekali ya. Zeno, psikopat itu. Aku akan menghancurkannya suatu hari nanti. Aku yakin, dunia akan berpihak kepada kebaikan.
Suasana di ruangan berdinding abu-abu ini sangat mencekam, hanya ada satu meja dan dua kursi yang saling berhadapan. Apa aku sedang kencan sama pak tua yang ada di hadapanku ini. Menjijikkan.
“Saudari Gara, anda merupakan tersangka pembunuhan Reihan Gazelova. Anda mengakuinya atau menyangkalnya?”
“Saya menyangkalnya”
“Alm. Reihan Gazelova meninggal akibat retaknya tulang leher dan beberapa tusukan dada kiri dari belakang. Kami menemukan pisau yang pelaku gunakan dan hanya sidik jari anda yang terdeteksi.”
Aku ingat, aku memang menjatuhkan pisau itu sebelum aku tidak sadar diri. Tetapi bukan aku yang menusuk Reihan. Lagi pula apa tadi, retak tulang leher?. Apa aku sanggup mematahkan tulang leher laki-laki?. Tidak masuk akal.
“Bukan aku yang melakukannya. Memang aku ada di tempat kejadian dan itu memang pisauku. Tetapi yang aku saksikan abangku sedang membantai Reihan. Lalu bagaimana bisa aku meretakkan tulang leher Reihan, aku tidak segila itu.”
“Hasil otopsi mengatakan tulang retak itu akibat benturan benda tumpul, meretakkan tulang leher bukan hal sesulit itu. Bahkan anak sekolahan sekarang bisa melakukannya.”
Dasar psikopat!. Polisi sekarang mudah sekali mengatakan hal mengerikan seperti itu. Kemudian polisi itu kembali berkata hal yang mengejutkanku.
“Abangmu, Zeno adalah saksi pembunuhan yang anda lakukan.” Mataku menatap polisi itu tidak percaya. Bagaimana bisa setelah melimpahkan segala kesalahannya padaku, bahkan dia yang melaporkan ke polisi. Hahaha, aku rasa aku akan semakin gila.
“Tidak. Bukan aku yang membunuh Reihan. Bukan. Bukan aku. Bagaimana aku bisa membunuh kekasihku sendiri!! Dasar brengsek, kalau kerja yang benar! Bisa-bisanya kalian menuduh orang tidak bersalah! Zeno!! Dia yang membunuh Reihan, aku melihatnya. Aku saksi, bukan pelaku. Bukan aku percayalah....,”
Apa aku harus putus asa sekarang?. Aku hanya tidak tahu cara menghadapi polisi ini. aku harus tetap hidup agar bisa membalas atas semua yang abang lakukan padaku. Aku menjerit histeris mengeluarkan segala penderitaan yang sudah lama mengendap di dalam diriku. Polisi terlihat kualahan dengan tangan yang masih memegangku seakan menyuruhku untuk kembali tersadar. Iya, aku sekarang sudah gila.
ns 15.158.61.17da2