Masih berdiri di lokasi terakhir Qiyo dan Irina terdeteksi. Berkilo-kilometer jauhnya dari gerbang Perbatasan Kota More. Penduduk Kota More sering menyebutnya ‘Tanah Tak Bertuan’.
Persis seperti gambar yang sempat dikirim oleh Qiyo, sepanjang mata memandang, tanah tak bertuan ini hanya dipenuhi gurun pasir bergunduk-gunduk, sambung-menyambung. Terik sinar yang begitu panas pun menciptakan fatamorgana bak cermin meliuk-liuk dan menipu optik mata. Sayangnya, keduanya di sini bukan karena ingin memanjakan dua bola mata pada keindahan bentang alam yang eksotis itu.
Tepat ketika benak mereka sungguh tersita pada Qiyo dan Irina, kesulitan ditemui keduanya kemudian. Mobil yang mereka tumpangi tiba-tiba enggan meneruskan perjalanan. Meminta keduanya turun tanpa menjelaskan alasannya—hanya saja wajahnya sangat pucat—ketakutan, ketika menerima panggilan dari ponsel pintarnya sesaat sebelum benar-benar menurunkan keduanya. Uang yang telah diberikan, dikembalikan penuh oleh si supir dan meninggalkan keduanya begitu saja di tempat yang asing. Pikiran keduanya pun dipaksa memuntir-muntir cara agar membawa kedua kaki menjejak tujuan selanjutnya.
Bila dilihat di peta, hanya ada satu kota yang jaraknya beratus-ratus kilometer—mungkin akan menghabiskan setengah hari perjalanan untuk tiba ke sana. Kota Gurin, begitulah yang tertulis di peta. Diberi tanda sebagai zona merah. Pahamlah keduanya akan tanda itu tanpa perlu didiktekan maksudnya. Pantas saja bila tanah tak bertuan ini menjadi jalur yang begitu sepi. Bahkan, belum ada makhluk hidup bergerak selain keduanya yang sesekali menendang kosong pasir di sisi jalan aspal.
Ya, sudah barang tentu alasan keamananlah yang membuat jalur ini keramat. Apalagi kau tahu bila yang menunggu di sana adalah tempat yang selalu digambarkan tak bermoral dan beradab. Selain Sin, beberapa negara lain pun mengeluarkan zona merah pada peta negaranya sebagai tanda peringatan dan larangan kunjungan bagi warganya. Tak terkecuali Sirlen.
Bahkan, SPeN membatasi jumlah pasukan yang dapat menuju Kota Gurin, dan itu hanya diberikan pada anggota terpilih pasukan Dipaskus. Baik Gavin maupun Balin tidak termasuk di dalamnya. Entahlah, bagian ini mungkin sempat dipikirkan keduanya, atau memang terlewati karena terlanjur dipenuhi amarah yang malah menyesatkan mereka pada keputusan gegabah. Meski didorong emosional kesetiakawanan—dan ini tak buruk, tampaknya membuat keduanya sangat buru-buru dan terkesan tak matang.
Tiga puluh menit terlewati. Tak satu pun kendaraan melintas. Keduanya mulai menemui kebuntuan. Namun, tetap berpikir keras menemukan jalan keluar yang harus diambil setelah meyakinkan diri untuk bisa menyelamatkan Qiyo dan Irina.
Lahirlah sebuah ide. Keduanya harus memutar arah menuju gerbang Kota More. Memulainya lagi. Harus berjalan kaki berkilo-kilometer. Sampai di kota, keduanya akan menyewa mobil, memanfaatkan kemampuan menyetir Gavin. Meski itu harus menghabiskan banyak uang untuk mendapatkannya. Itulah satu-satunya cara yang terpikirkan keduanya untuk melanjutkan perjalanan.
Disaat terdesak seperti ini, anehnya alam bawah sadar manusia kadang mengejutkan, bahkan si pemiliknya. Sempat-sempatnya pikiran Gavin tersesat jauh, melayang pada seseorang di Kota Sin. Tapi, ya, ini dipicu oleh kebiasaan jemarinya yang dimasukkan ke dalam saku celana, dan tak sengaja merogoh sesuatu di dalamnya. Hanya sebuah kulit permen kosong berlaminating. Hei, bukan sekadar kulit permen biasa baginya. Didapatkannya bersama kado ulang tahun pemberian Haiwi waktu itu. Sebuah kulit permen bertuliskan di belakangnya “Berusahalah!” dengan tambahan “Tuan Tampan” pada kertas sangat kecil yang ditempelkan bersisian kata-kata penyemangat itu. Gavin tersenyum. Ini seperti mengisi ulang daya semangat pada asanya yang mulai nampak lelah. Haiwi saja yakin tentangnya. Apalagi yang harus diragukannya?
“Ada sesuatu yang lucu di sini?” Tanya Balin yang menyadari senyum Gavin.
“He-em... dan itu jelas bukan kau.”
“Aku tahu. Kau tidak ingin membagi hal lucu itu padaku?”
“Sayangnya, hal lucu ini hanya untukku.”
Balin mengangguk-angguk. “Baiklah. Setidaknya, kau masih bisa berpikir tenang.”
Di saat itu, muncul jeep hitam. Melaju dalam kecepatan sedang, lalu berhenti tepat di depan keduanya. “Kalian pasti butuh tumpangan. Naiklah!” Tunjuk si pengemudi pada pintu belakang jeep hitamnya.
Gavin dan Balin spontan mengiyakan ajakan si pengemudi. Sama sekali tak terlintas kekhawatiran akan kemungkinan tipu muslihat. Balin pun membuka pintu belakang. Saat kepalanya menyembul di pintu, matanya langsung mendapati di dalamnya telah duduk seseorang yang sangat dikenali.
Agen Nila duduk dengan tenang. Jemarinya yang selalu mengenakan sarung tangan hitam, memberikan salam jumpa, dan menunjuk tempat duduk di depannya, dengan maksud menyilakan Balin dan Gavin.
Mobil langsung melaju. Lama mereka tak bicara satu sama lain. Meresapi keheningan yang dipaksakan. Hanya sesekali Gavin dan Balin berdehem. Meregangkan kekakuan otot yang tercipta karena kesenjangan hubungan dan keingintahuan terpendam, yang terus melompat-lompat pada jaringan syaraf-syaraf dalam otak.
Gavin terus melihati gambar di tabletnya sendiri. Balin pun begitu. Sayangnya, keingintahuan keduanya tak selaras dengan pengetahuan yang didapat.
“Ini bukan sebuah kebetulan, bukan?” Tanya Balin kemudian. Pertemuan ini nampaknya memiliki penjelasan ilmiah. Bukan sekadar keadaan yang terjadi secara tidak sengaja.
Tak kunjung menjawab pertanyaannya, Balin menunjukkan gambar-gambar yang dikirimkan Qiyo di depan Agen Nila. Di balik topeng itu, ia yakin mata Agen Nila sedang memerhatikan gambar-gambar yang ditunjukkan. “Adakah yang bisa kau katakan tentang ini? Keterbatasan informasi tentang daerah yang kita tuju ini membuat rencana dan ruang gerak kami terbatas, dan harus kami akui—tidak matang.”
Agen Nila mengeluarkan peta dan tablet dari dalam ransel di sampingnya. Ia memberikannya kepada Balin. “Kalian boleh memilikinya.”
Balin dan Gavin kemudian tenggelam dalam informasi demi informasi dalam tablet Agen Nila. Isinya cukup—ah tidak, bahkan sangat lengkap, mengenai Kota Gurin. Inilah yang diperlukan keduanya. Awalnya, Balin dan Gavin sempat meragukan kemungkinan Qiyo dan Irina berada di Kota Gurin. Tablet yang kini di tangan Balin membuatnya dan Gavin tak butuh waktu lama untuk membalikkannya menjadi keyakinan bahwa dua gadis yang keduanya akan selamatkan ada di sana.
Ya, mata keduanya terperanjat kala melihat gambar tato di pergelangan satu diantara para penculik yang sama persis seperti yang dikirim Qiyo. Gambar yang tak mungkin diremehkan karena tak sekadar seni belaka yang bisa kau kagumi bentuknya dan menirunya sesuka hati. Tapi, sebuah lambang sindikat mafia besar yang bersinggasana di Kota Gurin. Lambang dengan gambar dua lingkaran saling bertaut.
Keduanya terlibat diskusi serius hingga tak sadar telah lama mengabaikan Agen Nila. Diskusi itu terputus ketika tak satu pun dari keduanya menemukan cara untuk mendekatkan nyali dan keharusan melangkah pada sindikat mafia. Lalu, sungguh diingatkan bahwa keduanya—tak pernah dibayangkan, akan segera memijakkan diri ke ‘Dunia Bawah’. Gavin menekan giginya hingga rahangnya nampak menonjol. Kekhawatirannya pada teman kecilnya menjadi berkali-kali lipat.
“Apa yang akan kau lakukan, Agen Nila?” Tanya Balin kemudian setelah merasa diskusi keduanya menemui jalan buntu. Ia yakin, Agen Nila berada dalam mobil sangar ini bersama sebuah rencana.
Agen Nila mencondongkan tubuh, mengulurkan tangan, meletakkan jemarinya ke layar tablet di pangkuan Balin, dan memperbesar ukuran gambar peta. Ia menunjuk sebuah lokasi di peta Kota Gurin, dan mengetuknya dua kali. Lalu, muncul keterangan di layar. Sebuah pelabuhan bernama Faster, terbesar di Kota Gurin. “Aku akan ke tempat ini.”
Gavin heran. “Aku? Kami tidak dalam jangkauan kerja timmu?”
“Kalian ingin bekerja tim denganku?”
Gavin dan Balin saling menoleh. Mengirimkan kata-kata lewat tatapan. Berbicara satu sama lain tanpa perlu keluar suara dari bibir. Lagipula ini pilihan paling rasional di tengah sedikitnya informasi yang diketahui keduanya. Pun berpeluang besar menemukan keberadaan Qiyo dan Irina lebih cepat. Agen Nila ada dipihak sama, bagian dari SPeN. Penampilannya saja yang membuat Pasukan Bayangan menjadi berbeda dari pasukan khusus lainnya. Inilah yang diuraikan dari tatapan yang nampaknya singkat.
Anggukan kepala Gavin dan Balin kemudian menjadi sinyal Agen Nila untuk melisankan rencananya.
“Apa itu?” Balin penasaran saat Agen Nila mengeluarkan kotak-kotak hitam pipih berbahan plastik dari ranselnya. Gavin pun tak kalah penasarannya.
“Kita akan menanam bom.”
“Bom sungguhan?” Balin terkejut. Hal serupa ditunjukkan Gavin.
“Seingatku, aku belum pernah bermain dengan bom mainan.”
“Pelabuhan dan bom. Aku tak memahami keputusanmu atas rencana ini. Bisakah kau jelaskan dalam kalimat yang dapat dimengerti seorang pemula, Agen Nila?” Tanya Gavin kemudian--agak jengkel. Menyerah pada pikirannya yang tak berhasil menemukan korelasi masuk akal antara pelabuhan dan bom. Masa iya, mereka akan meledakkan pelabuhan begitu saja tanpa ada alasan? Hei! Yang benar saja!
Agen Nila meletakkan telunjuknya di dagu—nampak berpikir, meskipun topengnya tak terlihat demikian. “Sudah kuduga, aku tak lihai dalam hal menjelaskan. Kata-kata memang seperti lautan.” Katanya sembari mengangguk-angguk sendiri. Lalu, menatap tepat ke wajah Gavin. “Tapi, kuberitahu, aku pernah beberapa kali kemari, cukup mengenal tempat ini, dan aku tahu yang harus kulakukan dengan bom-bom ini.”
Penjelasan Agen Nila sama sekali tidak membantu. Namun, setelah mendengar si pengemudi mengatakan bahwa bom-bom dirancang tak akan meledak tanpa picu ledak yang di pegang Agen Nila—dan karena tak kunjung menemukan alternatif lain, meski masih terselip ragu di hati, keduanya berakhir menyetujui rencana Agen Nila.
“Istirahatlah! Sebelum kalian merasakan ketegangan yang melelahkan.” Saran si Pengemudi
Dan, siapa si pengemudi ini? Ia nampak memahami apa yang akan mereka lakukan.
@_@
Selamat datang di Kota Gurin. Dan ya, kegilaan telah menyambut lebih dulu. Melampaui imajinasi yang bisa dibayangkan Gavin dan Balin di tempat asing. Membuat keduanya menertawai satu sama lain. Tawa yang sebenarnya tak seharfiah artinya. Tak lain, menggambarkan betapa tertekan dan leganya mereka. Kosakata pun ikut terbungkam dalam pita suara.
Baru dua puluh menit berlalu. Gavin dan Balin baru kembali pada kesadarannya. Sedang menata kembali sisa-sisa kekacauan dalam kepalanya. Jemari keduanya yang masih bergetar menggambarkan yang sesungguhnya.
“Memang tak diragukan. Kelas khusus punya kualitas di atas rata-rata.” Kata si pengemudi datang menjemput. Sempat melirik jemari-jemari dua pemula yang gemetar. Tersenyum sesaat, lalu melemparkan sepasang pakaian ganti. “Gantilah pakaian lusuh kalian itu. Dan kita harus segera pergi dari sini. Sebelum terendus oleh mereka.”
“Agen Nila?” Tanya Gavin.
“Dia berada di tempat seharusnya ia berada saat ini. Jangan khawatir, dia akan menemui kalian di saat yang tepat.”
“Aku sama sekali tak khawatir. Bom-bom itu cukup menjelaskan tentangnya.”
Lalu, dalam perjalanan menuju tempat berikutnya, sembari berusaha mengistirahatkan tubuh lelahnya, peristiwa--kegilaan, yang belum sejam berlalu itu terngiang kembali. Adalah penyamaran pertama yang akan dan benar-benar meninggalkan kesan mendalam. Menyamar dan harus meletakkan bom-bom sesuai tempat yang dipetakan Agen Nila, dan berlagak seolah tak terjadi apa-apa, sementara keduanya tak memiliki pengalaman apa pun tentang “mainan mahal” itu. Keduanya seperti didikte.
Dimulai dari pemberian pakaian yang ‘pantas’ pada penyamaran keduanya oleh Agen Nila. Pakaian yang dikenakan pun hasil rampasan diam-diam—sungguh tiba-tiba, pada dua orang anak buah kapal, yang sungguh malang karena saat itu berada pada radar Agen Nila, dan harus menerima sebuah pukulan keras bersamaan pada dua daun telinga hingga pingsan. Keduanya terbius oleh aksi yang singkat itu. Gerakan yang sangat sunyi dan rapi, tak ada gerakan yang sia-sia. Kemudian, melekatlah dua pakaian anak buah kapal itu di tubuh Gavin dan Balin yang menunggu di mobil.
Ketika tiba saatnya mereka harus bergerak masing-masing, gemuruh di dalam dada Gavin dan Balin menderu saling berkejaran. Keduanya berusaha melawan rasa gugup yang terus mengikuti. Harus membaur dengan penampilannya yang serupa dengan para anak buah kapal yang lalu lalang—bersama kesibukan, beberapa sedang rehat sembari berkelakar dengan sesama pekerja, serta mengantungi bom berukuran kecil di saku celana—pipih dan sangat ringan hingga tak sampai membuat saku celana menggembung. Setidaknya mengurangi kesempatan malfungsi kedok bom dari kesalahan konyol sebuah saku. Keduanya mendapat bagian enam bom pada dua gedung laut penyimpanan barang-barang muatan kapal, yang masing-masingnya ditanami tiga bom.
Dalam gerak yang terpisah, Gaivin maupun Balin seperti dihubungkan oleh helaan napas yang sama setiap kali satu bom berhasil diletakkan. Tapi, sungguh, tak bisa digambarkan bagaimana beratnya bom yang ringan itu membebani langkah kaki dan kegelisahan keduanya. Mengendap-endap masuk, lirik kiri-kanan, depan-belakang, mengincar titik buta pekerja yang kebetulan ada di sana, sesekali berlari kecil tanpa suara, dan kadang mengelabui mata dengan bersembunyi di himpitan barang-barang sambil menahan napas.
Setiap kali mendekati jajaran tong-tong berisi bahan bakar tak berdosa, kala itu pulalah menghela napas sembari tangan menempelkan bom—sangat mudah, namun dengan kehati-hatian, dan harus dibayar berderai keringat dingin. Yang jika posisinya tak sempurna--ideal sampai lampu kuning pada bom menyala, ia tak akan bekerja sebagaimana mestinya.
Ketika di gudang satu, Gavin sempat tersudut karena seorang pekerja memergokinya tengah mengendap-endap. Tinggal lima langkah lagi menuju tong di sudut ruangan. Untung saja, penampilannya cukup meyakinkan hingga tak sampai dicurigai. Harus berlagak membudak dan merelakan sejumlah energi besar keluar dari tubuh, mengangkat kotak-kotak kayu cukup berat ke atas sebuah truk pengangkut.
Sementara Balin, hampir saja bom keduanya merosot dari tangan, saat tiba-tiba seorang pekerja memanggilnya. Agak konyol, ia dimintai tolong oleh pekerja itu hanya untuk menggaruk punggungnya yang gatal. Ketika pekerja itu telah dilepaskan rasa gatalnya oleh Balin, ia segera pergi bersama senjata panjang yang berkalung di lehernya.
Tapi, sungguh, ada momen yang sempat membuat jantung keduanya seperti berhenti beberapa saat. Terjadi ketika bom terakhir tertanam dengan sempurna. Keduanya sama-sama dipergoki para penjaga. Dua penjaga menangkap Balin. Tiga penjaga menyergap Gavin. Untungnya tak sempat mendapati bom-bom yang susah payah mereka selesaikan. Kecurigaan itu, dimulai saat beberapa dari para penjaga merasa tak mengenali Gavin maupun Balin--meski keduanya berada di gudang berbeda. Sungguh, kejelian para penjaga tak bisa kau sepelekan.
Dan entahlah, apakah ini disebut keberuntungan atau takdir, atau formulasi keduanya, ada satu keuntungan yang dihadapkan Balin dan Gavin, bahwa--mungkin, meski tak ada obrolan sebelumnya--hanya menyampaikan efek gunanya saja, Agen Nila telah memberikan 'bekal' untuk keduanya--paling efisien untuk dapat digunakan disaat-saat seperti ini. Entahlah, apakah ini bagian dari intuisinya. Tapi, ini membutuhkan waktu yang tepat dan sandiwara yang wajar.
Dimulailah aksi Gavin dan Balin. Menggunakan kepalanya menyusun tindakan efektif yang dapat meloloskan keduanya dari jeratan si penjaga. Sangat sederhana. Melemparkan kotak pipih lainnya—berukuran lebih besar dari bom yang telah keduanya tanam, dari dalam saku dengan hati-hati sambil mata seolah ketakutan dan menuruti perintah. Cukup menekan tombol pemicu yang mudah dijangkau telunjuk. Keluarkan dari saku. Jatuhkan ke lantai. Asap kemudian mengental, memenuhi ruangan, menyebar, menutupi area jangkauan mata manusia. Hanya beberapa detik saja mampu melumpuhkan kesadaran. Gavin dan Balin pun berhasil meloloskan diri dengan sisa keberanian dalam diri dari gudang terakhirnya.
Berterima kasihlah pada Agen Nila yang memaksa keduanya meminum pil penawar asap bius ini sebelum aksi ketiganya dimulai--yang sempat disangsikan keduanya. Alih-alih, efek yang harus dibayar menyapa tiga jam kemudian. Kantuk berat melanda keduanya dalam perjalanan menuju tempat selanjutnya.
Begitulah narasi kengerian pertama keduanya hingga merasuki mimpi dalam lelap pertama keduanya di Penginapan G di Kota Gurin. Tahulah keduanya alasan Agen Nila meminta mereka meninggalkan gudang laut tak lebih dari tiga jam. Karena terlambat sedikit, kau akan diserang kehendak tidur tanpa ampun, dan akan terbangun paling cepat keesokan harinya. Gavin dan Balin sama sekali tak memiliki ingatan bagaimana keduanya berakhir tersadar di atas tempat tidur Penginapan G.
Sejauh yang bisa disadari keduanya, simulasi yang pernah dilewati Tim Singa Gunung meski membantu kesigapan mereka, namun belum mampu mengatasi sensasi emosi yang bergejolak ketika berada di lapangan sebenarnya. Jauh berbeda. Terutama ketika kau sedang dalam penyamaran dan benar-benar bersitatap dengan musuh yang setiap waktu dapat menarik pelatuk pada senjata yang dipegangnya. Degupan jantungmu seolah dapat terdengar jelas oleh telingamu. Bisa jadi kau menanggapinya dengan berlebihan. Manusiawi, karena ketakutan dapat membuat tindakanmu lebih cepat dari pikiranmu.
Tapi, bukankah, ketakutan pula dapat menyentak dirimu menjadi berani, Gavin—Balin? Bahkan, mampu melaluinya dan tak sampai tersesat.
@_@
Sudah dua hari berlalu sejak “menanam bom” ditunaikan. Agen Nila sama sekali tak menunjukkan batang topengnya. Kali ini tak ada balkon seperti penginapan sebelumnya di Kota More yang bisa membuat kesan dramatis kemunculannya yang tiba-tiba.
Keduanya sadar telah melewatkan hal penting dari sebuah kerja sama tim. Itu adalah komunikasi. Hanya si pengemudilah satu-satunya penyampai pesan Agen Nila. Tak ingin berlama-lama mengeluhkan kelalaian yang terlanjur terjadi, keduanya memiliki ide sama, “menggali” Kota Gurin. Mungkin saja ada petunjuk, walau sedikit, untuk keduanya dapat menyusun rencana lainnya. Tak terlalu menggantungkan diri pada Agen Nila. Selain itu, tak melakukan apa-apa di penginapan hanya semakin membuat hati gundah gulana.
Hanya butuh lima menit keluar dari penginapan, keduanya telah berada di tengah kota. Kota Gurin memang tak semegah Kota Sin yang tak satupun menyisakan kelesuan gedung-gedungnya atau penuh keharmonisan seperti Kota More. Di sini, banyak gedung-gedung bertingkat dan megah. Banyak pula gedung-gedung yang sudah terlihat usang, dan cat-catnya tinggal menunggu waktu mengucapkan selamat tinggal pada dinding. Kilauan lampu-lampu bangunan tak kalah hebohnya dengan Kota Sin. Papan-papan reklame berlampu hias pun ikut menghiasi kota. Tempat-tempat hiburan sangat mudah ditemui di sini--bahkan di tempat anak-anak kecil melintas, yang bila di Kota Sin, kau hanya bisa mendapatkannya di kawasan legal.
Sering tertangkap mata keduanya, pengendara roda dua-empat melaju seenaknya, tak akur dengan robot-robot lalu lintas yang tak lelah mengedipkan mata merah, kuning, dan hijaunya. Pejalan kaki nampaknya antipati akan hal ini. Hanya beberapa terlihat melenguh, wajah menghadap jalan--tapi hatinya menekuk. Seolah menanyakan kapan ketidakberaturan ini berakhir?
Ini seperti namanya. Dunia bawah. Gerigi-gerigi penggerak roda kehidupan tak begitu berpengaruh di tangan pemerintah. Kepala negara dan wilayah bagian tak lebih dari sekadar simbol kepemerintahan. Kenyataannya, kekuasaan dikendalikan oleh organisasi-organisasi mafia, tersebar dalam wilayah-wilayah penting Kota Gurin. Mereka bukan sekumpulan geng berandalan tak beraturan yang sekadar mencari ketenaran dan menebarkan ketakutan. Mereka terorganisasi dan tersistem layaknya sebuah perusahaan ternama yang dikenal karena sistem kelolanya yang baik dan memenuhi standar internasional. Bahkan, menurut informasi yang Balin dan Gavin baca, gemerlap kota yang berada di setiap wilayah akan melihatkan seberapa besar dan kuatnya organisasi, dan menunjukkan ciri khasnya.
Perlu kau ingat, berada di kota ini, artinya kau tak perlu heran bila mendapati pemandangan pria-pria bersenjata di atas bak mobil terbuka dengan moncongnya menganga ke atas. Lagi-lagi, penduduk sini terlihat tak terganggu, lumrah—atau mungkin mencoba terlihat tenang? Ya, baru saja dua buah mobil melintas di depan mata Balin dan Gavin. Ini sungguh luar biasa. Jalan kota yang ditapaki keduanya saat ini adalah wilayah mafia berjuluk serigala berbulu domba.
Langkah Gavin dan Balin semakin menjauhi pusat kota. Baru menghentikan langkah di sebuah tempat yang disebut daerah netral. Sebuah tempat di tanah lapang, cukup luas, berdiri bangunan-bangunan dari tenda berwarna-warni, diisi oleh aneka kudapan, pakaian, hingga wahana permainan seperti komidi putar, pertunjukan akrobat, dan lain-lainnya yang dapat membuat tawa lebar di wajah-wajah para pengunjung. Sebut sajalah pasar malamnya Kota Gurin. Kontras, di sini bisa dengan mudah menemukan senyum-senyum ceria dan kehangatan interaksi pengunjung. Yang tak kalah menyenangkan adalah deretan tenda-tenda begitu rapi, menyesuaikan jenis barang yang dijual. Kali pertama melihat keteraturan sederhana yang menghangatkan. Di sini, pengunjung yang datang banyak menggunakan kostum-kostum unik seolah mengekspresikan yang tak bisa dilakukan saat mereka berpijak pada kekuasaan wilayah yang dipegang para mafia.
Gavin dan Balin mendatangi tenda penjaja makanan. Lambung keduanya memanggil-manggil minta diisi. Di depan tenda-tenda penjual makanan yang berada dekat tepian sungai, disediakan sederet kursi lengkap dengan mejanya. Di sanalah keduanya duduk bersisian, menyantap makanan pesanan masing-masing.
“Kau masih ingat tentang pak tua yang kukatakan waktu itu? Dia mengatakan padaku, jika ingin menangkap hewan buruanmu, kau harus memahaminya terlebih dulu. Jika yang dimaksud pak tua itu adalah alasan di balik setiap peristiwa yang telah kita lewati, sungguh, hingga saat ini, aku belum sepenuhnya memahami peristiwa di Kota ini ataupun Kota More.” Gavin menyeruput minumannya. Sementara Balin mendengarkan seksama sembari mengunyah makanannya. “Tapi, kurasa, kasus pencurian di Kota More lebih dari sekadar berlian Lakonami. Ini lebih kompleks dari kelihatannya.”
Baru saja Balin ingin membuka mulut—menanggapi Gavin, matanya, juga mata Gavin, menangkap tampilan sesosok tak asing, serupa Agen Nila di depan mereka sedang mengambil kantong dari tangan penjual dan berjalan pergi. Seolah digerakkan oleh mantra yang sama, seketika itu juga keduanya berdiri meninggalkan makanan yang belum selesai disantap, berlari menyeruak kerumunan.
Terus berlari. Semakin menjauh dari pasar malam. Tak lagi dihiraukan bangunan-bangunan di kiri dan kanan pada lorong-lorong yang dilewati. Lurus, kemudian berbelok, ke kiri, ke kanan, ke kiri lagi, ke kanan lagi, lurus lagi. Entah sudah berapa kali mengulang. Keduanya fokus pada gesitnya tubuh Agen Nila. Tak boleh kehilangan bayangannya. Akhirnya, setelah meninggalkan lorong-lorong gedung di belakangnya, mata keduanya disambut dinding beton setinggi tujuh meter. Ah, ada sebuah pintu pendek tak lebih lima puluh sentimeter, terbuat dari kayu di bawahnya. Mantel Agen Nila baru saja hilang di baliknya. Terus mengejarnya. Menyambut kemudian angin kencang yang langsung menghantam wajah keduanya.
Sangat menyedihkan, pincang sebelah. Pengejaran itu berujung di sebuah pemukiman kumuh bersusun-susun turun ke bawah, saling menghimpit, berundak-undak. Hunian yang tak bisa kau sebut rumah layak. Hanyalah gubuk-gubuk reot mendiami bukit kecil.
Tepat di depan keduanya, ada anak tangga, hanya bisa dilewati dua orang, menjuntai malas ke bawah, retak, dan gopel di sana-sini. Dan hari yang gelap, hanya semakin menyisakan pilu dalam keremangan.
Tak nampak pendaran bohlam di sini. Hanya kebaikan sinar rembulan yang bersedia menerangi di sela teras-teras kecil, bersama cahaya jingga pelita di dalam rumah. Pakaian yang melekat di tubuh-tubuh penghuni pun sewarna dengan tempat berteduh mereka. Kotor dan lusuh. Tak dikenali lagi warna sebenarnya pakaian yang dikenakan. Anehnya, mereka masih bisa tersenyum hangat pada satu sama lain.
Langkah keduanya seirama. Terus menuruni anak tangga. Semakin cepat. Agen Nila hilang di lorong kecil sebelah kiri. Untunglah, tepat di detik-detik terakhir, masih sempat melihat kakinya masuk ke sebuah pintu rumah paling ujung. Sayangnya, ketika keduanya tiba di rumah itu, Agen Nila tak lagi bisa diikuti. Hilang sudah bayangannya. Hanya bungkusan di tangan Agen Nila saja yang kini berpindah pada genggaman jemari keriput seorang ibu tua bersama tiga anak lelaki, tengah duduk di sofa yang busanya berebutan keluar dari kulitnya. Mereka menyambut Gavin dan Balin dengan senyum ramah. Balin segera meminta maaf atas ketidaksopanan keduanya karena masuk tanpa permisi dan pamit dengan santun.
Keduanya pun kembali pulang ke penginapan bersama kehidupan pemukiman kumuh yang menyusup pada ruang empati hati. Cukup lama untuk tiba ke depan pintu kamar penginapan karena beberapa kali tersesat.
Ketika jari tengah Gavin meraih tombol lampu di dinding dekat pintu masuk kamar, keduanya dikejutkan oleh Agen Nila yang telah berdiri menyandar di langkan jendela yang daun jendelanya sudah terbuka sembari bersilang kaki. Menyapa dengan tenangnya.
Balin langsung melepas jemala nirkabel di telinga, dielapnya dengan tisu di atas meja di sampingnya, lalu menghampiri dan diserahkannya tepat di depan Agen Nila. “Ini milikku. Meski kita bergerak terpisah, setidaknya kita harus berkomunikasi.”
Agen Nila tak langsung mengiyakan. Diambil dan dilihatinya benda kecil berwarna hitam itu sampai puas, barulah mengangguk setuju. “Bersiaplah! kita akan menghibur diri malam ini.” Ujar Agen Nila. Lalu, hilang lagi. terjun dari jendela dengan punggung yang dilempar lebih dulu, persis sikap seorang penyelam yang hendak turun menyelam dengan tabung oksigen di punggungnya. Saat Gavin menyembulkan kepala dari jendela, bayangannya menghilang di sela-sela bangunan di seberang penginapan.
@_@
Berdiri mengantri, menanti giliran masuk diskotik, Balin berulang kali menggoyang-goyangkan kaki. Wajahnya jelas melihatkan raut ketidaknyamanan. Selain itu, Agen Nila belum menghubungi lagi. Ia sangat berharap suara Agen Nila terdengar ditelinganya yang memakai jemala nirkabel Gavin. Ya, baru kali ini rasanya ia sangat menginginkan kehadiran Agen Nila. Berbeda dengan Gavin yang tampak menguasai keadaan dengan sangat natural.
Ketika tiba giliran keduanya diperiksa, keduanya dikeluarkan dari barisan—tak diizinkan masuk dengan alasan belum dua puluh tahun. Gavin bersikeras untuk masuk, namun dihadang oleh tangan penjaga yang bertubuh dua kali lipat darinya. Gavin menggeleng-gelengkan kepala, tak menyangka bahwa di sini, di Kota Gurin yang katanya dunia bawah tanpa aturan, dengan tegas melarangnya masuk ke diskotik.
Sementara itu, hati Balin berteriak lega. Lalu, Balin nampak melompat. Sebuah suara yang paling ditunggu-tunggu menggema di telinga. Gavin merapat ke Balin.
Balin meminta Gavin melihat ke arah kiri tempat keduanya berdiri. Seorang laki-laki, hanya menongolkan kepalanya dari balik dinding—sepertinya jalan masuk diskotik dari pintu belakang, sekitar sepuluh meter dari keduanya, melambaikan tangan. Agen Nila meminta keduanya mengikuti pria itu dan langsung menutup instruksinya.
Tiga puluh menit kemudian, Balin dan Gavin bertransformasi menjadi seorang pelayan diskotik. Lengkap dengan kemeja putih berdasi kupu-kupu hitam, rambut ditata klimis untuk mempertegas garis wajah, celemek hitam ditali di pinggang, serta bercelana panjang hitam yang senada dengan warna pantofel.
Tibalah tugas pelayanan pertama. Mengantarkan pesanan seorang tamu di lantai dua, tempat para tamu paling istimewa berada. Meskipun tak diberitahu sosok tamu yang dilayani, keduanya tahu langkah kaki bersama nampan di tangan akan menuju pintu orang penting di Kota Gurin. Ini pun karena akal keduanya yang mulai mengenal Agen Nila, memahami bahwa tak ada istilah “biasa” menurut standar normal manusia bila telah menyangkut tentangnya.
Beberapa wanita muda sempat melirik-lirik genit dan mengedip-edip centil, mengajak bercanda dan menggoda keduanya. Gavin sepertinya memiliki naluri alami dalam hal ini. Mudah baginya meladeni setiap wanita muda yang menggodanya dan Balin.
Menjadi ujian tersulit bagi Balin. Urat bibirnya mengkhianati komando otaknya. Hasilnya, tak lebih dari senyum tawar. Syukurlah tak perlu berlama-lama dengan godaan itu. Gegap gempita di lantai dansa seketika sirna bersamaan bunyi pintu penghubung tangga lantai dua yang telah tertutup rapat, kedap suara. Berbeda dengan lantai bawah yang temaram dan diselingi lampu berkelap-kelip, di lantai ini, kesan elegan dan mewah sangat menonjol. Terlihat dari dominan pilihan warna putih gading dan keemasan yang menghiasi dinding dan pintu, serta bola-bola lampu kristal yang menggantung apik di langit-langit. Tentu saja yang membuatnya sangat berbeda malam ini adalah deretan orang-orang bertubuh besar dan tegap, berjas hitam rapi, ada yang berkacamata hitam, ada pula yang bening, berdiri dengan siap dan awas hampir di sepanjang lorong.
Di ujung lorong tempat keduanya berjalan saat ini, ada sebuah pintu, satu-satunya yang berukir dan berlapis emas murni. Di sanalah pemilik menu makanan di atas nampan di tangan keduanya. Sedikit demi sedikit dalam langkah yang dibuat setenang dan semirip mungkin sebagai seorang pelayan, keduanya mengembangkan deduksi—yang mungkin dangkal. Bahwa ruangan yang sedang dituju, mungkin saja seorang bos mafia besar di Kota Gurin. Bukankah, gambaran seperti ini sering terlihat di film-film mafia? Tak ingin rasa takut itu menguasai tekad di hati, keduanya fokus lebih dalam lagi tentang tugas yang diemban saat ini. Mengantarkan nampan-nampan dengan selamat hingga di meja tamu istimewa.
Seorang penjaga langsung menyetop Gavin dan Balin saat tiba di depan pintu emas. Dimulailah unjuk keterampilan keduanya—hasil pelatihan serba instan, di depan empat penjaga di pintu. Seorang penjaga membuka tutup nampan di tangan Balin yang membawa makanan. Balin pun kemudian mencicipi makanan satu per satu dengan sendok yang memang diperuntukkan bagi pelayan. Begitu pun Gavin, membuka penutup pada moncong poci dan menuangkan isinya pada gelas kecil miliknya, serta meminumnya dalam sekali teguk. Setelah melihat tak ada reaksi mencurigakan dari keduanya, barulah seorang pengawal lainnya di samping Balin membukakan pintu.
Hanya berhitung detik, udara dingin yang mengelilingi di dalam ruangan bak kamar hotel bintang lima itu menyergap keduanya. Mata keduanya langsung beradu pada seseorang yang tengah duduk santai bersilang kaki dengan dagu bertumpu pada buku-buku jemari kiri di sofa empuk berlengan besar dan berpunggung tinggi—laksana singgasana. Sangat berbeda dari tiga sofa empuk biasa lainnya yang mengitari meja persegi dari kayu besi.
Sudah dapat dipastikan, ia-lah bos di sini. Tak setua dan sesangar bayangan Gavin dan Balin. Usianya mungkin baru lewat tiga puluhan. Penampilannya bahkan sangat elegan, seperti datang dari keluarga bangsawan kaya raya. Tangannya dengan lembut menyilakan Gavin dan Balin meletakkan menu-menu pesanannya di atas meja di depannya.
Langkah Balin dan Gavin sempat terseok, namun masih setia pada misi. Gavin berdiri di sisi kiri meja dan Balin di sisi kanan tamu istimewa itu. Ketika hendak meletakkan menu-menu itu dengan hati-hati dan harmonis sesuai tatanan yang telah diajarkan, disaat itulah, kejadian mengejutkan dimulai. Pisau kecil melesat dengan kecepatan super di antara wajah Balin dan Gavin, dan berakhir dengan bunyi menancap tepat di atas kepala tamu istimewa. Tak pelak langsung menyulut kesetiaan pengawal yang berada di dalam, mengarahkan moncong pistol ke arah pintu, bersiap menarik pelatuk. Tapi, si pemilik pisau belum memunculkan diri.
Pisau kecil yang sempat mengejutkan sang tamu istimewa dicabut sendiri oleh tangannya dan langsung menarik perhatiannya seraya mengangkat kepalan tangannya ke udara bertepatan dengan munculnya Agen Nila di pintu. Para pengawal menurunkan pistol dengan ragu, namun sama sekali tak mengendurkan kewaspadaan. Ketegangan pun dirasakan berkali-kali lipat membelenggu syaraf-syaraf Balin dan Gavin. Inikah maksud ‘menghibur diri' malam ini?
Entah dari mana kepercayaan diri itu datang, Agen Nila berjalan dengan tenang dan duduk di kursi, berhadapan dengan tamu istimewa. Terselip kagum di hati Balin dan Gavin dan melupakan kealpaan Agen Nila yang tak menguraikan rencananya. Keduanya pun seperti tersulut sedikit keberaniannya untuk meletakkan nampan-nampan di tangan di pinggiran meja begitu saja—namun dengan sangat hati-hati—berusaha tanpa mengeluarkan suara.
Tamu istimewa itu tertawa. “Sekian lama tak berjumpa, tak bisakah kau menyapa dengan cara yang santun pada seseorang yang lebih tua darimu?” Katanya dengan suara santai bak obrolan bertemu kawan lama.
Melihat wajah tamu istimewa itu tertawa, menarik ingatan Balin. Ia pernah menjadi topik pembicaraan di sebuah majalah dunia, pernah pula muncul di halaman depan sebuah surat kabar di Kota Sin. Ia adalah seorang pengusaha yang sukses di usia muda. Namanya Dan Edoardo. Tapi, kenapa orang seperti dirinya berada di Kota Gurin?
“Ternyata, rumor yang beredar tentangmu tak sekadar isapan jempol belaka. Budak SPeN, kah?” Dan tertawa lagi.
“Kau mengambil teman-teman mereka?” Tanya Agen Nila tanpa basa-basi.
Dan mengernyit. “Maksudmu, mereka?” Dan menunjuk pada Balin dan Gavin yang telah berdiri di belakang sofa Agen Nila.
Agen Nila meluncurkan tablet miliknya dan berhenti tepat dipinggiran ujung meja Dan. Layar tablet memperlihatkan gambar tato di telapak tangan atas.
Dan mengangguk-angguk. Tangannya bersandar di lengan kursi. “Hmm... ya, itu tato--lambang organisasi yang kubesarkan.”
Gavin dan Balin saling menoleh mendengar jawaban Dan. Ini menjelaskan keberadaannya di Kota ini.
“Seseorang yang mengambil teman mereka memiliki tato itu.”
“Apakah SPeN mencuci otakmu hingga kau lupa denganku?” Dan tertawa lagi. “Aku adalah penguasa yang elegan dan mencintai kelembutan. Aku tak memerintahkan tindakan pengecut, seperti diam-diam menculik gadis muda.”
“Kalau begitu, apa yang akan kau jelaskan tentang ini?”
“Suaramu—meski bukan suaramu, sekarang terdengar lebih bersemangat, dan terdengar seperti detektif.” Ujarnya tersenyum. “Ya, beberapa bulan lalu, aku memang mengeluarkan beberapa anggotaku yang membangkang. Ketika tak lagi di wilayahku, keberadaan mereka bukan urusanku lagi. Tak patut pula mengusik wilayah orang lain.”
“Geser layar berikutnya.” Pinta Agen Nila yang lebih terdengar seperti perintah.
Dan menuruti. Ada simbol ‘mainkan’. Diketuknya simbol itu. Ekspresinya masih tenang, namun tubuhnya yang lain menunjukkan makna yang berlawanan. Kakinya tak lagi bertumpu satu sama lain. Matanya terpaku pada video rekaman langsung dari kamera pengawas di sebuah kamar, dipenuhi dengan aneka benda-benda permainan anak perempuan, berwarna-warni. Di dalamnya ada seorang gadis cilik lima tahunan bersama seorang perempuan dewasa sedang asyik bercengkrama di gunungan boneka-boneka.
“Terlalu banyak kau memberikan boneka pada putrimu. Aku sampai bingung di mana harus meletakkan boneka kuningku. Bagaimana pun juga aku harus hati-hati memilih tempat yang sesuai karena ada bom kejut di perutnya yang siap meledak kapanpun kau mainkan. Kalau menurutmu itu bukan urusanmu, kau boleh tak mengatakan apa pun. Kau tak mungkin lupa hari ulang tahunnya, kan?”
Balin dan Gavin terkesiap mendengar ucapan Agen Nila. Keduanya tak menampik, hampir selalu diselimuti keresahan setiap kali melihat Agen Nila. Tapi, tak sedikit pun menyangka Agen Nila akan memilih tindakan tak manusiawi dengan melibatkan orang-orang tak berdosa dengan 'mainannya'.
“Kadang kau bisa terlihat dungu. Lalu, tiba-tiba menjadi cerdas saat Tuanmu lengah.” Dan mengambil buku saku dari balik jas abu-abunya, menarik pulpen dari saku jas, dan menggoreskan sesuatu di atas buku saku. Lalu, didorong meluncur bersama tablet Agen Nila.
Agen Nila merobek kertas yang ditulisi Dan barusan dan mengambil tabletnya, serta meninggalkannya tanpa berpamitan. Gavin dan Balin mengikuti dari belakang.
“Kau tak pantas berada di balik topeng dan mantel itu.” Kata Dan saat Agen Nila telah mendekati mulut pintu berlapis emas.
“Kau juga tak pantas duduk di kursi itu, Tuan Dan.”
Berakhirlah pertemuan menegangkan itu. Pengawal Dan yang bersamanya di dalam ruangan heran, karena tak ada tanda-tanda perintah apa pun untuk membalas ‘sapaan’ tak sopan Agen Nila.
“Apakah Anda memberitahunya semata-mata takut kehilangan putri Anda, Tuan?” Tanya seorang pengawal Dan.
Dan tertawa. “Kau pikir dia akan melakukan hal buruk pada putriku?”
Si pengawal bingung, Tuannya malah balik bertanya.
“Aku memang berniat memberitahunya. Aku hanya ingin melihat dan bicara sedikit lebih lama dengannya setelah sekian lama. Dan ya, kalian tak mungkin memahami hubungan di antara kami. Aa~ah, sebaiknya aku bersantai di rumah.”
Sementara itu, Balin dan Gavin yang baru saja keluar dari pintu lantai dua, dan meninggalkan takjub keduanya pada tubuh-tubuh besar para penjaga yang terbaring tak sadarkan di lorong, terus berjalan menyeruak keramaian bersama perhatian yang tertuju pada tampilan Agen Nila. Melewati dapur—dilihati para koki, dan baru berhenti setelah pintu belakang tertutup.
Di sana lebih lengang, remang, dan dingin. Semakin terasa dingin ketika kemarahan Gavin dan Balin akan tindakan Agen Nila yang belum bisa dilupakan keduanya. Uneg-uneg—bahkan yang dirasakan keduanya setelah aksi menegangkan pertama di pelabuhan itu, keluar dari mulut tanpa ada yang menghentikan.
Dengan tenangnya Agen Nila mengatakan akan melanjutkan pergerakan esok malam lagi, seperti sengaja tak memedulikan kemarahan dua rekan timnya. Gavin tertawa mendengarnya. Ia sungguh tak mengerti dengan siapa bekerja sama?Bahkan, rasanya ingin mengatakan Agen Nila tak memiliki nurani. Keputusan kemudian dibuat, Balin dan Gavin menolak melanjutkan kerja sama.
Agen Nila, lagi, seolah tak peduli. Termasuk ketika kerja sama yang baru tiga hari itu kandas oleh keputusan sepihak. Ia menyetujui begitu saja. Malah, menyerahkan secarik kertas yang didapat dari Dan tadi pada Balin. Melangkah pergi kemudian.
Sebelum sempat hilang bayangan Agen Nila, Balin merasa harus mengatakan sesuatu kepadanya. Sekarang juga. “Agen Nila! Kau pasti tak lupa, bukan? Kita adalah SPeN. Tak peduli apapun sebutanmu, kau akan menjalankan keadilanmu layaknya kesatria.”
Agen Nila mendengarnya. Perlahan menjauh dan menghilang. Langkah yang terpisah itu meresah bersama gelap yang makin pekat. Pertanyaannya adalah apa yang kemudian dilakukan oleh mereka yang terpisah di tempat yang asing?
@_@
Gelap. Tak bisa bergerak leluasa. Suara-suara orang berbincang dan langkah kaki perlahan terdengar jelas. Satu diantara suara orang yang sedang berbicara itu rupanya sangat dikenali. Rasanya, baru saja mereka berdebat—ah tidak, tak mungkin jika percakapan malam itu disebut demikian. Ia sama sekali tidak membantah.
“Pelabuhan, kapal, hotel, dan bar. Ah, itu semua milikku, lambang kejayaanku. Kau ingin tawar menawar denganku? Kau cukup berani juga.” Kata suara orang yang sepertinya memiliki tubuh gempal tertawa. “Andai saja kau bukan SPeN, aku pasti sudah mempekerjakanmu di sini.”
“Melepaskan mereka adalah permintaanku.” Kata suara yang dikenali. “Aku tak pandai tawar menawar, Tuan. Dan kuberitahu, kalau permintaanku tak dikabulkan, tanganku bisa saja menekan sebuah tombol di dalam saku pakaianku dan kau tak akan seceria sekarang ini. Tempat-tempat yang kau banggakan tadi akan... Bummbb! Meledak berkeping-keping seperti remahan keripik yang menempel di jasmu.”
“Hahaha... lancang sekali! Kau ingin bermain-main denganku?”
“Hmmm... kuberitahu satu hal, Tuan. Aku jarang bermain-main dengan bomku.”
Obrolan sempat terhenti beberapa saat. Terdengar kegaduhan langkah-langkah yang nampaknya mengitari sekeliling.
“Baiklah. Kuterima permintaanmu. Buka ikatan dua laki-laki muda itu, dan antarkan mereka ke gudang dua!”
Kini, jelaslah sudah. Balin dan Gavin yang duduk tersimpuh dengan mata tertutup kain hitam dan tangan terikat, serta sempat hilang kesadarannya, telah dapat melihat sekelilingnya dan kebebasannya.
Agen Nila berdiri bak pengawal di samping kiri Gavin. Lalu, suara tawa tadi, datang dari pria yang memang bertubuh tambun, berwajah bulat, berkalung emas cukup besar, dan berkacamata coklat bening, berdiri di depan keduanya dengan setelan jas putih yang tak mampu dikancing karena perut buncitnya. Ah, mungkin ini bos mafia yang ditulis oleh Dan di secarik kertas, Tuan Mev. Di sampingnya, seorang gadis muda berambut pendek dan pemuda berambut acak-acakan—dua-duanya sama-sama berwajah datar, mengawal dengan patuhnya. Ah ya, dua orang itulah yang terakhir kali dilihat Balin dan Gavin saat mengintai sarang Tuan Mev, dan kemungkinan besar yang membuat keduanya tak sadarkan diri. Butuh waktu untuk mengingat kronologi keduanya hingga berakhir di sini.
Agen Nila, Gavin, dan Balin dikawal orang kepercayaan Tuan Mev keluar dari gudang besar itu. Saat kaki menginjak luar pintu nan besar, Gavin dan Balin disuguhi pemandangan pengawal-pengawal berbaring tak beraturan dan mengaduh. Entahlah, mereka yang berbaring itu masih bernyawa atau sekadar pingsan. Beberapa kawanan pengawal lainnya datang menolong mereka. Mata mereka mengikuti langkah Agen Nila. Sangat waspada. Sudah pasti Agen di depan keduanyalah penyebabnya.
Mereka tiba di gudang lainnya yang juga besar. Berbeda nuansanya. Sunyi menggema, membuat bulu kuduk berdiri. Lebih menegangkan daripada saat bersama Tuan Dan.
Sungguh mencengangkan. Di dalam ruangan beratap sangat tinggi dan cukup luas, gadis remaja dan wanita-wanita muda mulutnya terbungkam kain, tangan dan kaki terikat, dan melihatkan wajah-wajah diambang garis putus dan asa bersama linangan air mata tertahan menyesakkan dada. Mereka dipaksa duduk melingkar bertemu bahu, dengan penjagaan ketat para pengawal di sudut-sudut ruangan, tengah, dan pintu. Setiap pengawal siap menarik pelatuk. Sedikit saja merengek, nyawa taruhannya.
Agen Nila mendatangi lingkaran wanita-wanita muda tempat Qiyo dan Irina berada, hampir di sudut ruangan, dijaga empat pengawal. Agen Nila hanya melepaskan ikatan kaki saja. Lalu, menggiring Qiyo dan Irina keluar dari lingkaran dan bergabung bersama Balin dan Gavin yang menunggu di pintu. Jeritan-jeritan meminta tolong yang tak terdengar jelas karena mulut yang terbungkam itu pun saling bersahutan memenuhi ruangan. Namun, mendadak diam, tertelan bersama mesiu saat beberapa pengawal melepas tembakan ke udara. Mereka pun terpaksa mengabaikan dan keluar dari gudang dua seperti yang Agen Nila janjikan.
Qiyo tak henti-hentinya bergumam. Ia meronta pada Agen Nila yang terus menariknya. Barulah sesampainya di luar gudang, di antara tumpukan-tumpukan peti kemas berwarna-warni dan tong-tong bersama muatan kotak-kotak kayu, dan tak lagi terlihat pengawal-pengawal Tuan Mev di belakang mereka, Agen Nila membuka tali pengikat tangan dan kain di mulut Qiyo.
“Kita harus menyelamatkan mereka!” Ujar Qiyo segera setelah kain di mulutnya lepas. “Balin, Gavin! Kita harus menyelamatkan mereka!”
Balin dan Gavin diam. Kali ini, keduanya terpaksa setuju dengan Agen Nila.
“Apa kalian tak kasihan melihat mereka?” Qiyo terus memaksa.
“Bukan tugasmu menyelamatkan mereka.” Jawab Agen Nila. “Lagipula, kau hanya akan mengirim nyawamu sia-sia bila kembali ke sana.”
“Apa kau bilang, bukan tugasku?” Qiyo kesal. “Kau tahu ketakutan seperti apa yang dirasakan saat berada di dalam sana? Kalau kalian tak mau, aku sendiri yang ...”
PLAK!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Qiyo. Semuanya terkejut. Bukan Agen Nila yang melakukannya, melainkan Irina, teman di timnya yang cukup pendiam.
“Ke mana perginya Qiyo yang kukenal berpikir jernih?” Suara Irina agak meninggi. “Apa yang akan kau lakukan bila kembali ke sana? Hanya memohon? Jika seperti itu, berhari-hari yang lalu pun kita bisa melakukannya. Tapi, kau—kita sendirilah yang merasakan dan melihat dengan kedua mata bagaimana tak manusiawinya mereka. Seharusnya kau tahu yang dilakukan Agen Nila tak semudah kelihatannya hingga kita berdiri di sini.”
“Tapi, mereka mem...”
Kalimat Qiyo terhenti. Hanya berhitung sepersekian detik, tubuh Qiyo dan Irina rubuh menimpai tubuh Balin dan Gavin yang berakhir terbaring ke tanah. Agen Nila sengaja mendorong Qiyo dan Irina yang berada di depannya dengan sangat kuat agar Balin, Gavin pun dapat terselamatkan dari terobosan peluru dari arah belakang mereka. Sebagai gantinya, Agen Nila menggantikan tempat mereka. Seketika terduduk—bersimpuh. Kemudian, para pengawal datang mengepung bersama senjata. Dua wajah pengawal yang dilihat Balin dan Gavin sebelum hilang kesadarannya pun ikut bergabung.
Gavin dan Balin telah menduganya. Tak mungkin Tuan Mev mau mendengarkan permintaan Agen Nila begitu saja.
Tak satupun dari keempat Tim Singa Gunung memegang senjata andalan mereka. Kondisi Agen Nila saat ini pun tampak tak memungkinkan untuknya bergerak leluasa. Alih-alih menghabisi para pengawal, empat anggota Tim Singa Gunung bisa menjadi sasaran empuk pistol-pistol para pengawal Tuan Mev.
Disaat inilah keajaiban diharapkan muncul dari yang tak disangka-sangka. Mungkinkah kemudian Yang Mahamendengar mengasihani para hati yang membisik?
Bagaikan mendapat kejutan ulang tahun dibalik pintu ruangan gelap dengan kemeriahan ledakan pita-pita berwarna. Pertolongan itu datang dari dua pengawal Tuan Mev yang membuat Gavin dan Balin tak sadarkan diri.
Tak ada peringatan. Tiba-tiba saja menyerang rekan-rekannya sendiri. Kegaduhan yang membingungkan ini dimanfaatkan segera oleh Agen Nila. Seperti mengambil giliran melancarkan aksi heroik. Tak terelakkan, bunyi peluru mendarat dan menyasar tak beraturan. Gavin dan Balin cepat-cepat mengembalikan akalnya pada gerakan penyelamatan diri. Balin menarik lengan Qiyo, sementara Gavin mengalungkan tangan Irina ke bahu, menjauhkan diri dari keributan berbahaya.
Dua-tiga pengawal menyadari gerakan Balin dan Gavin, mengarahkan pistolnya dengan asal pada mereka, melesatlah peluru dan menggores lengan Gavin dan membuatnya mengaduh. Suaranya segera di sadari Agen Nila, ditembaknya pengawal itu tepat di leher, dan melanjutkan melumpuhkan titik-titik fatal tubuh dengan gerakan lincah dan gesit, serta memanfaatkan tubuh-tubuh pengawal yang dilumpuhkannya sebagai perisai, dan terus menembakkan peluru pistol untuk melumpuhkan yang lainnya sampai Tim Singa Gunung tiba di tempat yang lebih aman dari serbuan peluru.
Semuanya berakhir terasa singkat. Sedikit mengingatkan benak keempat anggota Tim Singa Gunung saat pertama kali berkenalan dengan Agen Nila.
Sempat melihat Agen Nila memberikan kotak kecil pada dua pengawal khianat Tuan Mev. Namun, teka-teki pengkhianatan tiba-tiba itu tak terjawab saat itu juga. Dua pengawal itu langsung pergi entah kemana. Begitu pun alasan Agen Nila yang tak ikut naik ke dalam mobil ketika si pengemudi datang menjemput.
@_@
Keempat anggota Tim Singa Gunung telah mendapatkan perawatan dan sekarang berada di daerah perbatasan Kota Gurin. Si pengemudi sempat memberitahu bahwa para bos mafia di sini sangat menghormati kedaulatan wilayah masing-masing dan belum pernah melanggar perjanjian “daerah netral”. Seperti misalnya daerah perbatasan ini dan pasar malam yang pernah Gavin dan Balin kunjungi. Mereka tak akan mengangkat senjatanya di daerah netral. Oleh sebab itulah, si pengemudi cukup yakin mereka akan aman dari kejaran anak buah Tuan Mev. Lagipula, sekarang, Tuan Mev sangat membutuhkan seluruh anak buahnya, bersiaga dengan segenap jiwa raga untuk melindunginya. Sarangnya telah terkepung kawanan SPeN yang telah lama mengincar atas tindak kejahatan ilegal perdagangan manusia yang dijalankannya.
Balin, Gavin, Qiyo, dan Irina belum tahu akan hal itu. Hati mereka resah untuk alasan lain. Belum ada kabar dari Agen Nila sejak sepuluh jam lalu. Semakin resah saat melihat gumpalan asap hitam dari arah Kota Gurin yang keramaiannya tak bisa terlihat dari perbatasan ini.
Diantara keresahan itu, Gavin dan Balin telah mengingat sepenuhnya kejadian yang menimpa keduanya hingga berakhir di tangan Tuan Mev. Tak ada kebanggaan dari seluruh kronologinya. Keesokan hari, setelah berpisah dengan Agen Nila, keduanya bergerak dengan rencana yang telah dirancang di kamar penginapan, mencari dan menemukan keberadaan Qiyo dan Irina sesuai denah sederhana buatan sendiri hasil terjemahan keduanya pada tulisan Tuan Dan. Keduanya memasuki wilayah Tuan Mev dan mulai mengintai. Secepat itu mereka mulai, secepat itulah keduanya berakhir di tangan dua pengawal pengkhianat. Setelahnya, hilanglah rencana intaian sesungguhnya.
Agen Nila, wujud nyata tentangnya, menyadarkan bahwa kecerobohan yang dilakukan membuat keduanya merasa tak melakukan tindakan berarti sedikit pun.
Tepat pukul 05.30 sore, sebuah mobil berhenti tak jauh di belakang mobil yang ditumpangi anggota Tim Singa Gunung. Seseorang keluar dari pintu penumpang. Ia lah yang ditunggu-tunggu, Agen Nila. Si pengemudi langsung keluar dari mobil dan menghampirinya, begitu pun Balin dan Gavin, namun sedikit mengambil jarak. Agen Nila terlihat menyerahkan tablet dan membisikkan sesuatu di telinga si pengemudi. Lalu, berbalik tanpa berpamitan pada mantan rekan kerja samanya.
“Hei! Kau terluka!” Gavin berteriak rendah. Terperanjat begitu menyadari tetesan cairan kental berwarna merah jatuh ke tanah dari balik mantel Agen Nila.
“Kau tak pergi bersama kami?” Giliran Balin yang melihatkan iba.
Agen Nila tak menjawabnya. Malah, berjalan memunggungi mereka, melempar benda kecil berwarna hitam tepat ke arah Balin yang segera disambut, dan kemudian melambaikan tangan kanannya. Tanda salam perpisahan. Kali ini, benar-benar berpisah.
Tak ada yang berbicara setelahnya. Hanya suara-suara dan musik dari radio mengisi kehampaan ruang mobil. Antena telinga mereka langsung mencuat ketika hiburan radio beralih berita hangat Kota Gurin. Narasi yang disiarkan hanya mengisahkan kehebatan sejumlah prajurit SPeN tanpa sedikit pun menyebutkan nama Agen Nila. Padahal, ia juga berperan besar atas keberhasilan meruntuhkan sarang Tuan Mev. Mereka sendirilah saksinya. Mendengar celotehan pembaca berita seolah membenarkan Agen Nila hanyalah bayangan yang hilang di kegelapan. Tak pernah benar-benar ada dan bersama mereka melewati keresahan dan kesulitan demi kesulitan.
“Berita yang kita dengar ini tak sepenuhnya salah.” Kata si pengemudi kemudian. Nampaknya ia sedikit peduli pada ekspresi wajah para penumpangnya. Terutama Gavin dan Balin yang hatinya berada ‘di antara’. Gambaran emosi yang tak tahu harus diwujudkan sebagai rasa legakah? Bahagiakah? Banggakah? Pun ada pula iba dan sedih menggelayut di wajah-wajah muda mereka. “Sudah lama—bahkan sebelum ujian misi ditentukan, beberapa anggota Dipaskus Kelas Kesatria telah ditugaskan di sini. Diluar dugaan, Qiyo dan Irina menjadi korban, dan kalian—Balin dan Gavin, memutuskan bergerak sendiri. Karena itulah, ada sedikit perubahan rencana dan Agen Nila hanya ikut terlibat di dalamnya.” Si pengemudi tersenyum. “Tak perlu khawatir. Berita semacam ini tak akan membuatnya depresi. Pujian kehebatan bukan alasan keberadaannya. Lagi pula, dia memang berbeda. Dia ditempa dengan cara berbeda dari yang kalian dapatkan di SPeN. Yang tidak biasa tentangnya adalah ini kali pertama aku melihatnya bekerja sama dengan kalian.” Si pengemudi tersenyum lagi. “Ah ya, ada pesan darinya untuk kalian, Balin dan Gavin. Katanya, kalian melakukan kesalahan. Dia bukanlah kesatria." Si pengemudi menganggu-angguk. "Ya, begitulah. Kurasa, kali ini aku setuju dengannya.”
“Sebenarnya, Anda siapa, Tuan Pengemudi?” Tanya Gavin yang duduk di kursi paling belakang. Pertanyaan yang juga muncul di benak yang lainnya.
“Aku? Aku hanyalah pengemudi.”
Saat itu, mereka telah bermil-mil jauhnya dari perbatasan Kota Gurin. Putaran roda yang melaju kencang membawa mereka pada perbatasan negara berikutnya, yang saat ini dilihat Balin dan lainnya. Sebuah gerbang terbuat dari beton sangat besar dan megah, serta memiliki ukiran-ukiran khas, dan bertuliskan nama negaranya, Wakahunga. Sebuah negara yang menurut cerita masih kental dengan tradisi leluhurnya dan dilimpahi kemakmuran. Tapi, mereka hanya akan melewatinya saja karena tak di sini tujuan mereka.
@_@
ns 15.158.61.21da2