
Malam itu, berbaring di samping Farid, aku menyusun rencana dalam kepala. Besok aku akan berdandan secantik mungkin. Akan kukenakan gaun merah pemberian Farid yang selalu dia puji. Aku akan datang tepat saat Sarah dan Farid pulang dari bank.
"Kamu belum tidur, sayang?" suara Farid membuyarkan lamunanku.
"Belum ngantuk," jawabku pendek, berusaha menyembunyikan gemuruh di dadaku.
"Besok aku mungkin pulang agak telat. Ada urusan di bank, terus harus nemuin client."
Hatiku mencelos. Dia bahkan bilang ada urusan di Bank yang sebenarnya bukan urusan dia. Dia juga tidak menyebut nama Sarah yang meminta dia menemani ke Bank. Sejak kapan suamiku mulai menyembunyikan sesuatu dariku?
"Oh ya? Sama siapa?" tanyaku, berusaha terdengar kasual.
"Sama..." dia terdiam sejenak, "team finance."
Kebohongan kecil yang menyakitkan. Aku membalikkan badan, berpura-pura mengantuk untuk menyembunyikan air mata yang mulai menggenang. Air mata kecewa kesal dan rasa curiga yang mulai membesar.
Besok. Ya, besok aku akan mengakhiri semua ini. Sarah harus tahu bahwa di balik "Kak Farid" yang dia jadikan sebagai tempat bermanja-manja, ada seorang istri yang tidak akan tinggal diam melihat rumah tangganya terancam.
Bersambung
548Please respect copyright.PENANAusrdc57D3E
Kira-kira pukul dua siang, aku sudah berada di lobi kantor Farid. Setelah memastikan dari pesan WhatsApp bahwa Farid sedang meeting dengan klien di luar. Berarti Sarah sudah balik ke kantor dari Bank, aku memberanikan diri masuk. Jantungku berdegup kencang, gaun merahku terasa mencolok di antara karyawan berseragam kantor.
"Selamat siang mbak Lia, saya mencari Sarah dari divisi Finance dia ada? Dan ruangannya di mana?" ucapku pada resepsionis dengan senyum yang kupaksakan.
"Selamat siang ibu Arini, apa kabar? Mau ketemu Mbak Sarah ya? Kebetulan dia baru saja kembali dari bank. Meja beliau di lantai 3, area Finance." Sahut Lia petugas resepsionis yang cukup aku kenal.
“Kabar baik, mbak Lia. Oh iya makasih. Aku mau nemui Sarah kalau gitu.”
“Sama-sama bu Arini.”
Sepanjang perjalanan di lift, aku merapalkan kata-kata yang sudah kususun semalaman. Aku harus tetap tenang. Elegan. Tidak boleh terlihat seperti istri yang sedang terbakar cemburu.
Divisi Finance tidak sulit ditemukan. Dan di sanalah aku melihatnya. Sarah wanita itu terlihat muda dan lebih cantik dari yang kubayangkan. Dia sedang tertawa dengan rekan kerjanya, mungkin masih bahagia setelah makan siang dengan suamiku.
"Sarah?" panggilku pelan.
Dia menoleh, masih dengan senyum di wajahnya. "Iya, saya sendiri. Ada yang bisa saya bantu?"
"Bisa kita bicara sebentar?"
Sarah mengangguk, terlihat bingung tapi tetap ramah. Kami berjalan ke pantry yang kebetulan sedang sepi.
"Maaf mengganggumu di jam kerja," aku memulai, berusaha menjaga suaraku tetap tenang. "Perkenalkan, saya Arini. Istri Farid."
Senyum di wajah Sarah langsung memudar. Matanya melebar, dan aku bisa melihat rona merah mulai merambat di pipinya. Ada keterkejutan di sana.
"Oh... Mbak Arini..." dia tergagap. "Apa ada yang bisa saya bantu?"
"Saya tidak akan lama," potongku lembut tapi tegas. "Saya hanya ingin bicara tentang hubungan profesional antara kamu dan suami saya."
“Oh itu, kami berhubungan cukup profesional sesuai prosedur kantor.” Sahut Sarah mencoba bicara dengan tenang.
“Profesional kata kamu? Ngajak dia makan siang bareng, minta di tolongin ini itu kamu bilang profesional sesuai prosedur?”
"Mbak, saya dan Kak Farid tidak ada apa-apa..." Sarah mencoba menjelaskan.
"Mungkin iya tak ada apa-apa. Tapi cara kamu berkomunikasi dengannya... emoticon-emoticon yang kamu kirimkan dalam chat kamu itu, panggilan yang terlalu akrab, permintaan-permintaan tolong yang sebenarnya bisa kamu tujukan ke orang lain..." aku menarik napas dalam. "Sebagai sesama wanita, kamu pasti mengerti bagaimana perasaan seorang istri membaca pesan-pesan seperti itu."
Sarah menunduk, jemarinya saling meremas gelisah. "Saya... saya minta maaf, Mbak. Saya tidak bermaksud..."
"Saya yakin kamu tidak bermaksud buruk. Tapi ada batas yang tidak boleh dilewati saat berurusan dengan pria yang sudah berkeluarga. Panggilan 'my hero', ajakan makan siang, minta diantar ke sana-sini... itu semua tidak pantas."
Air mata mulai menggenang di mata Sarah. "Saya benar-benar minta maaf, Mbak. Saya... saya tidak sadar sudah kelewatan."
"Saya tidak ingin membuat masalah di kantor ini. Saya hanya minta kamu lebih menjaga sikap. Farid adalah suami saya. Tolong hormati itu."
Sarah mengangguk cepat. "Saya mengerti, Mbak. Saya janji tidak akan mengulanginya lagi."
Aku tersenyum tipis, lega karena konfrontasi ini berjalan lebih baik dari yang kubayangkan. "Terima kasih atas pengertiannya. Saya permisi dulu."
Saat berjalan keluar dari kantor, beban di dadaku terasa sedikit lebih ringan. Aku tidak tahu apakah Sarah akan benar-benar berubah, tapi setidaknya dia tahu sekarang - di balik "Kak Farid" yang dia andalkan untuk bermanja-manja, ada seorang istri yang siap mempertahankan rumah tangganya.
***
Matahari sudah terbenam saat Farid pulang. Dari suara pintu yang dibanting, aku sudah tahu ada yang tidak beres. Wajahnya merah padam saat melangkah masuk ke ruang keluarga, tempat aku duduk dengan jantung berdebar.
"Kamu ke kantor tadi?" suaranya rendah, menahan amarah. "Kamu nemuin Sarah?"
Aku menegakkan punggung, berusaha terlihat tegar meski kakiku gemetar. "Iya. Dan aku rasa aku punya hak untuk—"
"HAK APA?" Farid membentak, memotong kata-kataku. "Hak untuk mempermalukan aku di depan semua orang kantor? Untuk membuat aku jadi bahan gossip di kantor? Kamu tahu tidak, sekarang semua orang ngomongin aku?"
"Jadi kamu lebih peduli sama gossip kantor dibanding perasaan istrimu?" suaraku bergetar. "Aku lihat chat kalian, Mas. Aku lihat bagaimana dia bermanja-manja ama kamu, minta ini itu, pakai emoticon hati segala. Dan kamu... kamu selalu ada buat dia!"
"Ya Allah..." Farid mengusap wajahnya kasar. "Itu cuma chat biasa! Dia junior, wajar kalau minta bantuan. Kamu yang terlalu sensitif, terlalu cemburuan!"
Air mataku jatuh. Bukan karena bentakannya, tapi karena dia membela Sarah. "Jadi aku yang salah? Aku yang berlebihan? Coba kamu pikir, Mas, kalau ada laki-laki yang chat ke aku seperti itu, kamu bakal diam aja?"
"Ini beda! Ini konteks kerja!"
"Konteks kerja tidak perlu pakai emoticon hati! Tidak perlu manja-manjaan! Dan yang paling penting, kamu harusnya sadar dan menolak saat dia mulai kelewatan!"
"Cukup!" Farid menggebrak meja. "Kamu sudah bikin malu aku. Sarah sampai nangis di kantor. Sekarang semua orang mikir aku ada affair sama dia. Kamu puas?"
Dadaku sesak. Ini bukan Farid yang kukenal. Suamiku yang pengertian, yang selalu mendahulukan perasaanku. Kenapa dia begitu marah hanya karena aku menegur Sarah?
Tanpa pikir panjang, aku bangkit dan berjalan ke kamar. Air mata mengaburkan pandanganku saat memasukkan beberapa helai baju ke dalam tas.
"Kamu mau kemana?" Farid berdiri di ambang pintu.
"Ke rumah Nela. Aku butuh waktu sendiri," jawabku sambil mengusap air mata. "Kalau memang aku yang salah, yang berlebihan... mungkin kita sama-sama butuh waktu untuk berpikir."
ns 15.158.61.18da2