
"Arini..." nada suaranya melunak, tapi aku sudah terlanjur terluka.
"Jangan hubungi aku dulu," potongku, melangkah melewatinya. "Kalau memang Sarah lebih penting dari perasaan istrimu, mungkin kamu perlu evaluasi lagi pernikahan kita."
Sepanjang perjalanan ke rumah Nela, tangisku tak berhenti. Bukan hanya karena Sarah, tapi karena untuk pertama kalinya dalam lima tahun pernikahan, Farid memilih membela orang lain daripada aku. Untuk pertama kalinya, aku merasa begitu sendirian dalam pernikahan ini.
Aku tiba di depan rumah Nela dengan perasaan campur aduk. Tanganku gemetar saat menekan bel, dan hanya butuh beberapa detik sebelum pintu terbuka. Nela berdiri di sana, mengenakan piyama longgar, matanya sedikit mengantuk, tapi begitu melihat ekspresiku, wajahnya langsung berubah serius.
“Kamu kenapa?” tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Aku mencoba tersenyum, tapi rasanya bibirku kaku. “Boleh nginep di sini?” suaraku nyaris bergetar.
Tanpa banyak tanya, Nela langsung menarikku masuk dan menutup pintu. Aku merasa sedikit lega, tapi di saat yang sama, hatiku terasa berat. Aku duduk di sofa, melepaskan tas dari bahuku, lalu menatap kosong ke lantai.
“Kamu abis berantem sama Farid?” Nela duduk di sebelahku, menyodorkan segelas air.
Aku mengangguk pelan. “Hebat banget,” suaraku lirih.
Nela tidak langsung bertanya lebih jauh. Dia tahu aku butuh waktu. Aku meminum air yang diberikannya, mencoba menenangkan diri, tapi mataku mulai terasa panas. Dan tanpa bisa kutahan, air mata itu akhirnya jatuh.
Nela menarikku ke dalam pelukannya, mengusap punggungku dengan lembut. “Udah, nangis aja kalau itu bisa bikin lega,” bisiknya.
Aku terisak, dadaku terasa sesak. “Aku kesal, Nel. Aku kesal banget.”
“Ceritain ke aku,” katanya lembut.
Dengan suara yang masih bergetar, aku mulai menceritakan semuanya. Tentang Sarah, tentang pesan-pesan yang kubaca, tentang perasaanku yang terus-menerus dihantui kegelisahan. Tentang keputusanku untuk menemui Sarah, dan akhirnya, tentang pertengkaranku dengan Farid.
Nela mendengarkan dengan seksama, sesekali menghela napas panjang. Saat aku selesai bicara, dia menatapku dengan sorot mata tajam.
“Kamu nggak salah,” katanya tegas. “Aku ngerti kenapa kamu merasa nggak nyaman. Aku juga pasti bakal ngerasa gitu kalau ada perempuan lain yang mulai kelewat batas sama pasangan aku.”
Aku mengusap wajahku, mencoba mengatur napas. “Tapi Farid marah besar, Nel. Dia ngerasa aku mempermalukan dia.”
Nela mendesah. “Ya, karena dari sudut pandangnya, kamu bikin drama di tempat kerja dia. Tapi dia juga harus ngerti perasaan kamu. Ini bukan sekadar soal dia dan Sarah, tapi soal batasan, soal rasa hormat dalam hubungan kalian.”
Aku terdiam. Kata-kata Nela masuk akal, tapi entah kenapa, hatiku masih terasa berat.
Nela menggenggam tanganku. “Sekarang gini aja. Kamu tenangin diri dulu. Jangan ambil keputusan pas kamu lagi emosi. Kamu butuh waktu buat berpikir jernih. Lagian, kalau Farid emang sayang sama kamu, dia bakal coba ngerti.”
Aku mengangguk pelan, meskipun di dalam hati masih ada keraguan. Aku ingin percaya bahwa Farid akan memahami perasaanku, tapi... bagaimana kalau tidak?
237Please respect copyright.PENANAUcs36UkJmG
Malam itu, udara terasa begitu pengap. Aku duduk di sofa rumah Nela, teman dekatku, mencoba menenangkan diri setelah pertengkaran hebat dengan suamiku, Farid. Aku masih tidak bisa menerima kenyataan bahwa Farid terlalu dekat dengan teman kantornya, . Aku merasa cemburu, dan rasa itu membakar hatiku. Padahal, aku tahu, mungkin aku hanya berlebihan. Tapi, entah mengapa, aku tak bisa menahan diri.
“Kamu yakin mau menginap di sini?” tanya Nela, membawakan secangkir teh hangat untukku.237Please respect copyright.PENANAQGU8RATXKm
“Iya, Nela. Aku butuh waktu untuk sendiri. Aku tidak bisa tidur di rumah saat suasana masih seperti ini,” jawabku, mencoba tersenyum.
Nela menghela napas. “Oke semoga kamu betah meski kamarnya ga ada ACnya loh.”
Aku mengangguk. “Tidak masalah. Aku cuma butuh tempat untuk tenang sebentar.”
“Btw Glend suami kamu mana?”
“Dia lagi kerja. Sekarang jadi sopir taxi online.”
237Please respect copyright.PENANATMCiKRXAbi
***
237Please respect copyright.PENANA6gbegesgRF
Setelah berbincang sebentar, Nela mengajakku ke kamar tamu. “Ini kamarmu. Kalau butuh apa-apa, bilang saja, ya.”237Please respect copyright.PENANALQQ00CwBQs
“Terima kasih, Nela. Maaf merepotkan,” ujarku.237Please respect copyright.PENANAxmXr1WK9Ny
Nela tersenyum. “Sudah, jangan banyak bicara. Istirahatlah.”
Tapi, tidur tak kunjung datang. Pikiranku masih dipenuhi oleh pertengkaran dengan Farid. Aku mencoba memejamkan mata, tapi bayangan Farid dan Sarah terus menghantuiku. Hingga akhirnya, jam menunjukkan pukul 12 malam. Aku merasa haus dan memutuskan untuk pergi ke dapur mengambil minum.
“Astaga! Maaf, Arini! Aku gak tahu kamu ada di sini!” ujar Glend, wajahnya memerah.237Please respect copyright.PENANAsZ8Q2BjGgP
Aku segera memalingkan muka. “Aduh, Glend! Kenapa kamu tidak pakai baju?”237Please respect copyright.PENANA3J54sTe9xT
“Maaf, maaf! Aku baru habis… eh, kamu tahu lah… sama Nela. Aku langsung haus dan lupa kalau kamu ada di sini, Nela juga gak bilang-bilang kalau ada kamu” jawabnya, masih terdengar gugup.237Please respect copyright.PENANASOsbbHFRKR
Aku menghela napas. “Ya sudah, cepat pakai baju dulu. Aku cuma mau ambil air.”237Please respect copyright.PENANAe41iVO2zf2
Glend buru-buru mengambil handuk yang tergantung di dekatnya dan melilitkannya di tubuhnya. “Ini, aku sudah pakai handuk. Silakan ambil airnya.”
Aku mengambil segelas air dari kulkas dan meminumnya. Suasana terasa canggung. Glend masih berdiri di dekatku, sepertinya ingin mengatakan sesuatu.237Please respect copyright.PENANAcI0EjJimEa
“Arini, maaf ya tadi. Aku benar-benar lupa,” ujarnya lagi.237Please respect copyright.PENANAAEiOCLuvwQ
Aku mengangguk. “Iya, tidak apa-apa. Tapi lain kali, tolong lebih hati-hati, ya.”237Please respect copyright.PENANAkP2WVF8ZeY
237Please respect copyright.PENANAHNnrSzOjb1
237Please respect copyright.PENANA8fY6SazdiZ
Setelah Glend pergi, aku kembali ke kamar tamu. Pikiranku masih berputar-putar. Aku mencoba tidur, tapi bayangan Glend telanjang tadi malah membuatku tersenyum sendiri. “Apa-apaan ini,” gumamku. Aku mencoba mengalihkan pikiran, tapi rasa cemburu terhadap Farid masih mengganggu.
Keesokan paginya, Nela mengetuk pintu kamarku.
“Arini, bangun! Aku sudah siapkan sarapan.”237Please respect copyright.PENANAPRn6sJ5AOo
Aku membuka pintu dan melihat Nela tersenyum lebar.
“Kamu tidur nyenyak?” tanyanya.
“Lumayan.” Sahut aku berbohong.
Setelah sarapan aku dan Nela duduk di teras rumah sambil minum kopi. Baru saja aku mengangkat cangkir untuk minum kopi, tiba-tiba ponselku bergetar di meja. Nama Farid tertera di layar.
Aku terdiam.
Nela melirikku. “Diangkat?”
Aku menelan ludah. Tanganku gemetar saat mengambil ponsel. Dengan hati yang ragu, akhirnya aku menggeser layar dan menjawab panggilan itu.
"Halo?"
Suara Farid terdengar dari seberang. Lelah, tapi tetap dengan nada tegas. “Kamu di mana?”
Aku menggigit bibir. “Di rumah Nela.”
Hening sejenak.
“Pulang,” kata Farid akhirnya.
Hatiku mencelos. Aku ingin bertanya, kenapa? Aku ingin mendengar sesuatu yang lebih dari sekadar perintah. Tapi suaraku seakan tertahan di tenggorokan.
“Please,” tambahnya, lebih pelan.
Aku menoleh ke arah Nela. Dia tidak berkata apa-apa, hanya menatapku dengan ekspresi penuh arti.
Aku menarik napas dalam.
“Aku bakal pulang, Farid. Tapi kita perlu bicara.”
Farid diam sejenak sebelum menjawab, “Iya, kita akan bicara.”
Aku menutup telepon. Jantungku berdetak lebih cepat.
Apakah ini awal dari akhir? Atau justru kesempatan untuk memulai kembali?
Aku tidak tahu. Tapi yang pasti, aku siap untuk mencari jawabannya.
Setelah menutup telepon, aku duduk diam selama beberapa saat, mencoba mengatur napas. Perasaanku masih bercampur aduk—antara lega karena Farid akhirnya menghubungiku, dan gugup membayangkan apa yang akan terjadi nanti.
Nela menatapku dengan penuh pengertian. “Kamu yakin mau pulang sekarang?” tanyanya lembut.
Aku mengangguk pelan. “Iya. Aku harus hadapi ini. Aku nggak mau hubungan kami berakhir cuma gara-gara kesalahpahaman.”
ns 15.158.61.18da2