
Malam ini aku duduk di sofa ruang keluarga menunggu Farid pulang dari shalat Isya di masjid kompleks perumahan kami.
Suasana rumah terasa membosankan, karena yang tinggal di rumah kami ini hanya aku dan Farid suamiku saja. Kami belum dikaruniai anak meski sudah 5 tahun menikah. Untuk mengusir rasa bosan aku menyalakan TV. Tapi layar televisi 42 inch yang dulu bisa menjadi penghibur setiaku kini hanya menampilkan acara-acara membosankan yang tak mampu mengalihkan pikiranku yang mulai melanglang buana.
Jemariku bergerak gelisah memainkan ponsel, mencoba mengusir kejenuhan dengan menjelajahi media sosial. Namun, mataku tiba-tiba terarah pada ponsel hitam metalik milik Farid yang tergeletak begitu saja di atas meja kaca. Benda persegi panjang itu seolah memanggilku, menggodaku dengan sejuta kemungkinan yang tersimpan di dalamnya.
Lima tahun kami menikah dan membangun kepercayaan. Hampir tak pernah aku mengendap-endap mengecek ponselnya tanpa izin. Kalaupun pernah, itu dulu sekali, di awal-awal pernikahan, saat rasa penasaran masih lebih kuat dari rasa percaya. Karena tak pernah kutemukan hal yang mencurigakan maka aku tidak lagi memeriksa ponselnya. Farid selalu terbuka, selalu jujur.
Tapi malam ini aku tergoda memeriksa lagi ponselnya. Entah setan mana yang membisikiku, tanganku terulur mengambil ponselnya. Jantungku berdebar kencang saat jariku mengusap layar, membuka kunci dengan pola yang sudah kuhapal di luar kepala. Aplikasi pesan menjadi tujuan pertamaku, dan di sanalah aku menemukannya. Ada sebuah chat yang lumayan panjang saat aku scroll. Dan percakapan panjang itu terjadi antara suamiku dan seorang wanita teman kantornya.
Nama teman kantornya itu Sarah. Dia pegawai baru di kantor Farid yang bergabung lima bulan lalu. Usianya masih 23 tahun, sembilan tahun lebih muda dariku. Cantik, energik, dan masih lajang. Sempurna untuk membuat seorang istri gelisah kalau suaminya sampai dekat dengan gadis itu.
Awalnya, aku mencoba berpikir rasional. Pesan-pesan mereka tampak biasa saja. Chat soal laporan keuangan, jadwal meeting, dan deadline project. Tapi semakin ke bawah, nada percakapan mereka mulai membuat aku mengerutkan kening. Ada kehangatan yang terselip di antara kata-kata formal itu.
"Makasih ya, Kak Farid. Aku jadi gak bingung deh, untung ada Kakak!" Di ujung kalimat itu ada emoticon hati. Aku mulai merasa tidak enak.
"Iya, sama-sama. Lain kali coba aja dulu, pasti bisa kok."
"Tapi kalau ada Kakak, kenapa harus repot-repot? Hehehe."
Setiap emoticon yang dikirim dan setiap 'hehe' yang diketik oleh perempuan bernama Sarah itu, terasa seperti jarum yang menusuk hatiku. Aku terus mengscroll, membaca pesan demi pesan dengan dada yang semakin sesak.
"Kak, nanti pas jam makan siang aku nitip beliin aku ayam geprek ya. Please. Yang pedasnya level lima! Hehe."
"Hahaha, oke kebetulan aku juga mau makan geprek."
"Ih, Kakak baik banget! Kalau gak ada Kakak, aku gak tahu deh gimana."
Lagi-lagi emoticon hati di ujung chat itu. Dan itu seolah menamparku keras-keras. Memang tidak ada kata-kata cinta. Tidak ada janji bertemu sembunyi-sembunyi. Tapi nada manja itu, emot hati itu. Dan cara Sarah bergantung pada suamiku, serta yang lebih menyakitkan – bagaimana Farid selalu ada untuknya.
Suara pengumunan soal kegiatan dakwah dari pengeras suara masjid membuatku tersentak. Sholat isya sudah selesai, Farid akan segera pulang. Dengan tangan gemetar, aku mengembalikan ponselnya ke tempat semula. Tapi rasa kesal dan marah mulai muncul di hati aku.
Malam itu, berbaring di samping Farid yang tertidur pulas, aku tak bisa memejamkan mata. Pikiranku dipenuhi seribu pertanyaan. Haruskah aku langsung menemui Sarah? Atau berbicara dulu dengan Farid? Atau berpura-pura tidak tahu dan berharap semuanya hanya kesalahpahaman?
Yang pasti, aku merasa sangat tidak nyaman dengan chat ini dan tak tak ingin membiarkan soal ini terus berlanjut ke hal-hal yang lebih serius. Lima tahun pernikahan kami terlalu berharga untuk dihancurkan oleh sebuah emocticon hati dan ayam geprek level lima.
***
Seminggu telah berlalu sejak aku menemukan chat-chat manja seorang rekan kantor Farid malam itu. Aku berusaha bersikap normal, meski hatiku masih gelisah. Setiap kali Farid tersenyum memandang ponselnya, aku bertanya-tanya apakah Sarah yang membuatnya tersenyum seperti itu. Setiap kali dia pulang terlambat dengan alasan lembur, pikiranku mulai membayangkan hal-hal yang tidak-tidak.
Malam ini, saat Farid sedang mandi, ponselnya kembali tergeletak di atas meja. Tanganku gemetar saat membukanya. Hatiku berbisik untuk berhenti, tapi rasa penasaran mengalahkan segalanya. Dan di sanalah kutemukan pesan-pesan baru dari Sarah.
"Kak Farid, besok bisa antarkan aku ke bank ngga? Ada dokumen yang harus diserahkan ke bagian corporate banking."
"Jam berapa? Kebetulan besok aku ada meeting di daerah sana."
"Jam 11 aja Kak. Sekalian makan siang ya? Hehe. Makasih lho Kak, Kakak emang paling bisa diandalkan!" Dan emoticon hati tidak ketinggalan.
Dadaku sesak membaca percakapan mereka. Bank? Kenapa harus Farid? Bukankah kantor mereka punya sopir dan mobil operasional? Kenapa Sarah tidak meminta diantar oleh sopir pakai mobil operasional kantor itu? Dan yang lebih menyakitkan - kenapa Farid tidak menolak?
Kuscroll kembali ke chat yang lebih lama, menemukan lebih banyak permintaan-permintaan kecil Sarah. Minta diajari Excel, minta ditemani presentasi, minta dicarikan referensi untuk proposal. Selalu ada alasan pekerjaan, selalu terlihat profesional di permukaan. Tapi nada manja itu, emoticon-emoticon itu, cara dia memuji dan bergantung pada Farid semua terasa salah bagi aku. Ini tidak benar. Seorang perempuan yang masih gadis bermanja-manja kepada suami orang sungguh sangat tidak sopan.
Aku makin emosi saat membaca Sarah memanggil suamiku "My Hero" setelah Farid membantunya menyelesaikan laporan yang hampir deadline. Ini sudah keterlaluan. Aku tidak peduli dia junior atau apa, ada batas yang tidak boleh dilewati saat berurusan dengan pria yang sudah beristri.
Kudengar suara air shower berhenti. Dengan cepat kukembalikan ponsel Farid ke tempatnya. Keputusanku sudah bulat - besok aku akan ke kantor mereka. Bukan untuk membuat keributan, tapi untuk menunjukkan pada Sarah bahwa Farid bukan pria single yang bisa jadi tempat buat dia bermanja-manja sesuka hati.
ns 15.158.61.19da2