
Aku tak menyangka, setelah kejadian itu, hubunganku dengan Sarah justru semakin dekat. Seolah-olah insiden di kantor dan konflik dengan Arini malah membuka pintu yang selama ini tertutup rapat. Sarah, yang awalnya hanya menjadi teman kantor yang manja, kini mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih dalam padaku.
Suatu sore, setelah semua rekan kantor pulang, Sarah menelpon aku saat aku masih di meja kerjaku. Segera aku terima panggilan telponnya.
"Kak Farid, ada waktu sebentar? Aku pengen bicara sesuatu," ujarnya, suaranya lembut tapi penuh arti.
Aku mengangguk, merasa senag sekaligus bergairah. "Tentu, Sarah. Aku selalu ada waktu buat kamu hehehe?"
“Makasih kak.”
Sunyi sejenak sebelum akhirnya Sarah berkata, "Aku tahu ini kayak aneh banget, tapi tahu gak kak, setelah kejadian dengan istri kamu kemarin, aku jadi mikir. Aku gak pengen nutupin perasaan aku lagi. Aku... aku suka ama kakak."
Aku terkejut mendengar pengakuannya. Jantungku berdebar kencang, tapi di sisi lain, ada perasaan bangga yang menggelitik. Tanpa susah payah merayu, Sarah sudah menyatakan perasaannya tanpa malu-mali padaku. Tentu saja, aku merasa sangat bahagia. Tapi, di sudut hati kecilku, ada suara yang mencoba mengingatkanku tentang Arini, istriku yang setia.
Aku tak pernah menyangka bahwa kejenuhan dalam pernikahanku akan membawaku ke titik ini. Setahun terakhir, hubunganku dengan Arini terasa datar, seperti roda yang terus berputar di tempat tanpa arah. Kami makin jarang berhubungan intim. Arini, yang dulu begitu menggairahkan aku kini seolah membuat aku merasa jenuh. Apalag kami sampai saat ini belum dikaruniai anak. Benih-benih kejenuhan itu tumbuh menjadi keinginan untuk mencari kebahagiaan di tempat lain. Aku ingin merasakan hubungan dengan wanita lain.
Dan Sarah, rekan kantorku yang cantik dan penuh semangat, seolah menjadi jawaban atas segala kegelisahanku. Usianya yang masih 23 tahun memberikannya aura yang membuatku merasa hidup kembali.
Awalnya, kami hanya bertukar pesan ringan di WhatsApp, tapi lama-kelamaan, obrolan kami semakin intens dan kami makin akrab di luar chat-chat ringan kami. Sarah terlihat begitu wellcome terhadap aku, dan aku pun tak bisa menahan diri untuk tidak menyukainya.
"Sarah, aku... aku juga merasa hal yang sama," kataku, dengan rasa bahagia yang hampir pecah. "Tapi, kamu tahu kan, aku sudah menikah. Ini... ini tidak mudah."
"Aku tahu, kak. Tapi, aku tidak peduli. Aku hanya ingin dekat ama kakak. Aku ngerasa nyaman bersama kakak.
Aku terdiam sejenak, tapi hatiku sudah memutuskan. Aku memang jenuh dengan pernikahanku, dan Sarah adalah jawaban atas semua keinginanku. "Baiklah, Sarah. Jika kamu yakin, aku juga yakin. Tapi, kita harus berhati-hati. Aku tidak ingin ada yang tahu tentang ini."
"Aku mengerti, Dan. Kita akan merahasiakan ini. Yang penting, kita saling dekat dan itu sudah cukup bagi aku kak."
***
Setelah pengakuan Sarah lewat telepon itu bahwa dia menyukai aku hubungan kami semakin intens. Kami seperti dua magnet yang saling tarik-menarik, tak bisa jauh satu sama lain. Meskipun di kantor kami berusaha menjaga jarak, seolah hanya rekan kerja biasa, kenyataannya kami semakin sering bertemu secara diam-diam. Setiap kesempatan yang ada, kami manfaatkan untuk berduaan, seolah dunia hanya milik berdua.
Di kantor, kami berusaha keras untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Sarah dan aku sengaja tidak banyak berinteraksi, bahkan terkadang kami pura-pura saling menjauh karena insiden kedatangan Arini tempo hari. Tapi, di balik itu semua, pesan-pesan singkat di WhatsApp terus mengalir, penuh dengan kata-kata manis dan janji-janji untuk bertemu lagi. Kali ini dengan kehati-hatian penuh. Aku menghapus setiap pesan dari Sarah secermat mungkin.
Bersambung
Lanjutannya bisa di baca di https://victie.com/app/books/148/chapters/3297
Daftar dulu di victie.com setelah daftar aktifkan konten dewasa baru bisa baca cerita2 dewasa.