
Nela tersenyum kecil dan menggenggam tanganku. “Apa pun yang terjadi nanti, ingat, kamu selalu punya tempat di sini.”
Aku tersenyum tipis. “Makasih, Nel.”
Setelah merapikan barang-barangku, aku pamit dan keluar dari rumah Nela. Malam masih menyisakan dinginnya, dan sepanjang perjalanan pulang, pikiranku dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah Farid masih marah? Apakah aku harus meminta maaf? Atau justru dia yang seharusnya memahami perasaanku?
Saat aku tiba di depan rumah, jantungku berdetak lebih cepat. Aku menarik napas dalam, lalu mengetuk pintu. Tak lama kemudian, pintu terbuka, dan Farid berdiri di sana.
Tatapan kami bertemu. Wajahnya masih menyiratkan kelelahan, tapi tidak lagi sekeras semalam. Aku melangkah masuk tanpa berkata apa-apa, dan dia menutup pintu di belakangku.
Ruangan terasa sunyi. Aku bisa merasakan ketegangan di antara kami.
Farid akhirnya berbicara lebih dulu. “Aku nggak suka cara kamu datang ke kantorku tanpa bilang dulu,” katanya dengan suara lebih tenang dibanding semalam.
Aku menghela napas. “Dan aku nggak suka cara Sarah memperlakukan kamu seolah-olah dia lebih dari sekadar rekan kerja.”
Farid terdiam. Aku bisa melihat dia sedang mencoba memahami maksudku.
“Aku nggak pernah berniat menyakiti kamu,” lanjutku. “Aku hanya... aku merasa tidak dihargai, Mas. Aku istrimu, dan aku butuh kamu paham kalau ada batasan yang harus dijaga.”
Dia menatapku lama sebelum akhirnya menghela napas. “Aku nggak pernah lihat Sarah seperti itu. Buat aku, dia cuma rekan kerja. Tapi aku ngerti sekarang kenapa kamu ngerasa nggak nyaman.”
Aku menggigit bibir, menahan emosi yang kembali muncul. “Aku nggak minta kamu berhenti berteman atau berbuat baik sama orang lain. Aku cuma mau kamu lebih peka. Aku mau kamu tahu kalau ada hal-hal kecil yang bisa menyakiti aku.”
Farid menunduk sebentar, lalu akhirnya mendekat dan menggenggam tanganku. “Maaf,” katanya lirih. “Aku nggak maksud bikin kamu ngerasa tersisih.”
Air mataku menggenang. “Aku juga minta maaf kalau caraku menyelesaikan ini terlalu gegabah.”
Dia menarikku ke dalam pelukannya, dan di sanalah akhirnya aku merasa beban di dadaku mulai berkurang. Kami tidak sempurna, dan hubungan kami tidak selalu berjalan mulus. Tapi satu hal yang pasti, kami masih ingin berjuang bersama.
“Aku janji bakal lebih hati-hati,” kata Farid pelan. “Dan aku janji buat lebih dengerin kamu.”
Aku mengangguk dalam pelukannya. “Aku juga janji nggak akan bertindak tanpa bicara dulu sama kamu.”
Malam itu, kami duduk berdua di ruang tamu, berbicara lebih dalam daripada yang pernah kami lakukan sebelumnya. Bukan hanya tentang Sarah, tapi tentang hubungan kami, tentang rasa percaya, dan tentang bagaimana kami bisa saling memahami lebih baik.
Mungkin kejadian ini adalah ujian. Tapi aku percaya, selama kami masih mau berusaha, hubungan ini masih bisa diperbaiki.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar tenang.
***
240Please respect copyright.PENANA9qPbSOWayL
Hari itu, aku sedang berbelanja kebutuhan rumah tangga di sebuah minimarket dekat rumah. Udara siang yang terik membuatku ingin cepat-cepat menyelesaikan belanjaan dan pulang. Saat aku sedang memilih beberapa barang di rak, tiba-tiba ada suara yang memanggil namaku.
“Halo Arini.” suara itu terdengar familiar.
Aku menoleh dan melihat Glend, suami Nela. Glend tersenyum lebar, wajahnya terlihat lebih cerah, dia mengenakan kemeja casual dan celana jeans, tampak santai tapi tetap rapi.
“Hai, jalan sendiri?” tanyaku, mencoba menyembunyikan kejutan karena bertemu dengannya di tempat seperti ini.
“Iya, Arini. Aku juga kaget lihat kamu di sini. Lagi belanja buat masak malam ini?” tanyanya sambil melihat keranjang belanjaanku.
“Iya, nih.” jawabku sambil tersenyum.
Glend mengangguk, lalu tiba-tiba dia mengajak, “Eh, gimana kalau kita ngopi sebentar di teras minimarket ini? Aku ada sesuatu yang pengen aku ceritain.”
Aku sedikit ragu, tapi akhirnya mengiyakan. Kami pun duduk di teras minimarket, masing-masing memegang secangkir kopi panas. Udara sore yang mulai sejuk membuat suasana terasa nyaman.
“Jadi, ada apa, Glend? Kok tiba-tiba ajak ngopi gini?” tanyaku penasaran.
Glend terdiam sejenak, menatap kopinya sebelum akhirnya mengangkat wajah dan menatapku. “Arini, aku nggak bisa berhenti memikirkan kejadian malam itu,” katanya dengan suara serius.
Aku langsung merasa jantungku berdebar. Aku juga terus terang masih mengingta kejadian itu.
“Kejadian apa, Glend?” tanyaku, seolah lupa.
“Masak sih kamu lupa? Aku malam itu telanjang di depan kulkas abis gituan dengan Lena? Kamu ngeliat punya aku gak?” tanyanya, matanya menatapku tajam.
Gila pertanyaan macam apa ini. Pikirku.
Kejadian itu kembali terbayang dan aku tidak bisa menyangkal bahwa aku terkesan. Tapi tentu saja, aku tidak bisa mengakuinya.
“Nggak, Glend. Aku nggak lihat apa-apa. Kenapa?” jawabku, mencoba terdengar meyakinkan.
Glend mengerutkan kening, seperti tidak percaya. “Masak, sih? Aku rasa kamu lihat, Arini. Kamu nggak perlu bohong sama aku.”
Aku merasa wajahku memanas. “Glend, serius, aku nggak lihat apa-apa. Lagian, kenapa kamu kepikiran soal itu?”
Dia menghela napas, lalu tersenyum kecil. “Arini, aku mau jujur. Sejak malam itu, aku nggak bisa berhenti memikirkanmu. Kamu udah lihat punya aku. Dan itu kepikiran terus di kepala. Terbayang wanita cantik kayak kamu udah lihat punya aku.”
Aku terkejut dengan apa yang dikatakan oleh Glend suami teman dekatku itu. “Glend, kamu ngomong apa sih? Ingat kamu itu suami Lena teman dekat aku.!”
“Aku tahu, Arini. Aku hanya penasaran saja. Kamu lihat punya aku malam itu, kan? Aku penasaran gimana perasaan kamu lihat punya aku,” katanya dengan nada menggoda.
Aku merasa seperti terjebak. Aku tidak bisa menyangkal bahwa muncul perasaan aneh yang sulit aku jelaskan saat melihat kemaluan Glend, tapi aku tahu ini salah.
“Glend, ini nggak benar. Kita nggak boleh ngomong kayak gini.”
Dia mendekat, suaranya berbisik. “Arini, kalau kamu mau liat lagi atau pengen ngerasain aku selalu siap. Kamu nggak akan menyesal.”
Aku merasa jantungku berdebar kencang. Glend suami Nela yang selalu aku puji-puji sebagai suami andalan karena sering ketemu selalu jalan berdua dengan Nela. Kadang-kadang bertemu dengan aku di mall, di pasar atau berpapasan di jalan mereka selalu mesra dan berdua. Sementyara aku saat bertemu mereka berdua saat jalan sendiri. Aku kadang iri karena aku mulai jarang jalan berdua dengan Farid akhir-akhir ini. Tapi mendengar omongannya barusan aku merasa Glend ini aneh juga orangnya.
“Glend, tolong. Jangan ngomong kayak gitu, ingat Nela istri kamu.”
Glend menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk pelan. “Oke, Arini. Aku ngerti. Tapi kalau kamu berubah pikiran, aku selalu siap.”
Aku segera berdiri, merasa perlu segera pergi dari situasi ini. “Aku harus pulang, Glend. Maaf!”
Dia tersenyum kecil, tapi ada sedikit kekecewaan di matanya. “Oke, Arini. Hati-hati di jalan.”
240Please respect copyright.PENANAc4AZrUVAdA