“Hallo, pagi Pak Yanto. Saya Gara, saya bersedia pak. Kiranya dimana kita bisa bertemu?”273Please respect copyright.PENANAxmos12nl8r
273Please respect copyright.PENANAw0zxtB3B9G
Aku menghela napas dan berkata lagi “Baik pak.”
Firasatku tidak enak, sepertinya hari ini bukan hari yang menyenangkan. Setelah memutuskan panggilan, aku ambil handuk yang tergantung di kamarku. Aku berusaha untuk menyingkirkan semua asumsi yang aku prediksi. Namun fokusku terganggu akibat suara dering smartphone. Firasatku benar, si sampah itu menelponku. Enggan tak enggan, akhirnya kujawab juga.
“Aku sudah dengar kabar itu, aku akan mengirimmu alamat, datanglah ke sana. Ada yang ingin aku bicarakan padamu”. Apa lagi kali ini? Apa kau masih ingimenyiksaku dengan perhatianmu, saudaraku?
“Iya bang, nanti Gara kabari lagi”. Aku tidak perlu memusingkan apa yang dikatakan Zeno. Kemudian aku bergegas keluar untuk menemui Pak Yanto. Rasanya seperti menjadi pelaku kriminal, pertemuan ini tidak akan berjalan mulus. Dari semua tempat mengapa harus kantor polisi. Bukankah saksi akan lebih nyaman jika berkomunikasi di tempat yang santai. Aku terus saja merutuki semua kesialan yang menghinggapiku sepanjang perjalanan.
“Pertanyaan saya sederhana Saudari Gara, tolong nyamankan diri anda dan jawablah ini dengan jujur.”
“Baik pak.” Nyaman? Berhentilah mengatakan omong kosong.
“Coba saudari ceritakan kronologis kejadian malam itu. Hal sekecil apapun akan menjadi perhatian kami.”
“Aku tertidur setelah pulang dari sekolah, ketika bangun aku memanggil bunda. lalu aku melihat ayah berada di depan mayat bunda yang berdarah. Aku menyeru ayah untuk membawa bunda ke rumah sakit, tetapi ayah malah membentakku dan menyuruhku untuk diam. Ada sebilah pisau di tangan kiri nya. Mata ayah memerah dan dia menangis lalu mengamuk. Ayah membanting semua barang yang ada di dekatnya.”
“Setelah diidentifikasi, Buk Orlin meninggal akibat tercekik sesuatu. Artinya dia meninggal sebelum ditusuk oleh pisau itu. Apa saudari melihat Pak Gema mencekik Buk Orlin?”
“Entahlah, seandainya aku bangun lebih awal itu tidak akan terjadi. Sore itu adalah tidur yang paling aku sesali dalam hidupku.”
“Baiklah, terima kasih atas kerja samanya. Maaf kami bertanya disaat anda sedang berduka.”
“Tidak apa-apa pak, ini juga demi kebaikan ibunda.”
Selama ini aku mengidolakan seonggok sampah. Ayah yang aku kagumi ternyata tidak lebih dari seorang yang hanya membuang kotorannya, tidak berguna. Diantara semua pria, mengapa dia yang harus menjadi ayahku. Dia bahkan belum tentu berhak untuk bernapas di dunia ini, lalu mengapa dia lancang mengambil nyawa orang seakan dia berhak untuk itu.
Aku masih lekat melihat smartphone di tanganku dengan gelisah. Rasa kebingungan menghantui diriku sekarang. Zeno telah mengirimkan alamat untuk pertemuan kami. Apa aku harus menemuinya? Abangku sudah secara pribadi menghubungiku hanya untuk membicarakan hal ini. Seharusnya pria itu tidak ikut campur urusanku. Selama ini pun dia tidak pernah peduli, sekarang mengapa harus repot mengurusiku. Setelah berpikir beberapa lama, aku memutuskan untuk tidak terlalu menanggapi prihal itu. Aku merasa keputusanku ini bukan semata-mata lari dari kenyataan, tetapi keputusan ini untuk menghindari konflik yang berkelanjutan. Masa laluku hanyalah debu, sekarang sudah saatnya aku menghilangkan segala jejak dan memulai hidup dengan tenang.
Namun aku tidak terburu-buru. Hanya tinggal beberapa bulan masa sekolah sebelum tamat, jadi aku pikir aku harus menamatkan studi terlebih dahulu kemudian pergi dari semua yang ada di sini. Di pulau terpencil bahkan desa yang tidak pernah terjangkau. Aku rasa itulah tempat aman dan baik untukku. Aku sudah sehari meliburkan diri karena urusan dengan Pak Yanto. Jadi seharusnya aku ke sekolah besok supaya tidak ketinggalan jauh. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi besok, yang aku tahu sekarang, aku hanya ingin menjalankan hidup dengan seharusnya.
Malam berganti seiring detik-detik jam berlalu. Aku sadar aku hanya mendengar detikan jarum jam sepanjang malam tanpa tertidur. Apa bunda sudah pergi? Bunda tidak memainkan nadanya malam ini. Pukul tiga malam akhirnya aku memutuskan untuk keluar dari kamar, kakiku terhenti di depan piano yang selalu dimainkan oleh ibunda. Ting.. ting.. bunyi piano terdengar halus ketika aku menyentuh tuts-tuts itu. “Gara, mau main piano dengan bunda nak?”. Raut wajah bunda terlihat suram. Dress putih bunda tampak lusuh, jemarinya memainkan nada klasik summer dari Antonio Vivaldi. Nada itu mengeruk kelam jiwaku, seakan-akan menarik tulang dari dagingku. Mengacaukan isi otakku dan aku tidak bisa mengendalikan kesadaranku. Kenangan bersama ayah dan bunda berputar cepat dipikiranku, seperti menonton film lama yang rusak. Aku tutup telingaku kuat-kuat berusaha untuk menghalangi setiap gelombang nada yang mencoba merasukiku. Tidak ada pilihan lain, aku hanya bisa memekik, mencoba mengalahkan lantunan nada dengan suaraku sendiri. Namun akhirnya aku kalah dan gelap. Sangat gelap, menenggelamkanku ke samudra terdalam pikiranku.
Suara alarm pagi berbunyi keras. Aku perlahan membuka mata dan hal pertama yang aku lihat adalah langit-langit rumah yang berwarna coklat kayu. Sepertinya aku terbawa suasana rindu hingga tertidur di bawah piano bunda. Sekolah. Aku ingat bahwa hari ini aku harus ke sekolah. Aku merasa sedikit gelisah, karena bangun tanpa melihat ibunda. Namun aku berusaha untuk tidak terpengaruh. Membalikkan roti dengan tenang, membuatkan susu vanilla untuk diriku sendiri. Setelah semuanya disiapkan, aku bergegas ke sekolah. Jalanan gang kembali seperti semula, sepi. Padahal malam itu, sangat riuh di sini. Munafik semua mereka, datang seperti lalat hanya untuk melihat kotoran dan pergi setelah kotoran dibersihkan. Setibanya di sekolah, semua memandangku tidak nyaman. Tch padahal bukan aku yang berbuat kriminal. Hal ini membuatku sadar, bahwa aku memang membenci penghuni sekolah ini. Tidak, sepertinya perasaan ini lebih dari sekedar benci. Dendamkah?. Aku berjalan di koridor sekolah. Pandangan-pandangan aneh itu aku hiraukan, ada yang memandang sinis, tatapan kasihan dan ada juga pandangan jijik seakan aku adalah sampah. Tiba-tiba seseorang memanggilku dari kejauhan.
“Gara!!, Gara!!” . Aku sangat mengenal suara itu “Apa Yos?” kataku merespon.
Yosi memegang tanganku dan berkata “Kamu ga apa-apa kan ra? Aku mendengar berita itu, itu membuatku sedih.”
Aku sedikit heran dan berkata “Tidak apa-apa, santai aja Yos, justru jangan ingatkan aku soal itu. Itu membuat hatiku sakit”. Dia tersenyum lagi, entah kenapa aku tidak menyukai senyuman itu.
“Baiklah, ayok ke kelas, sepertinya hari ini kita bakal ada tryout jadi kita harus belajar dulu dan ...”
Setiap bualan yang diucapkan Yosi terdengar samar olehku. Pikiranku jauh pergi memaksakan ingatanku untuk dibuang kemanapun, ke tempat dimana aku tidak bisa mengingatnya lagi. Aku tidak percaya sama semua orang selain bunda, bahkan Yosi. Setelah kejadian itu, bangun tidurku terasa ada yang hilang. Sakin stresnya aku sampai menggaruk kepalaku hingga terasa perih dan membuat ujung jemariku memerah. Hanya bunda yang bisa menenangkanku disaat-saat seperti itu. Sekarang siapa? Tidak ada. Aku sekarang seperti manusia nolife yang tidak berguna. Padahal aku ingin menjadi orang yang berguna. Seperti patah kemudi dengan ebamnya.
“Gar! kamu dengerin aku ga sih?”
“Apa? Oh, maaf aku tadi kepikiran hal lain, kamu tadi bilang apa Yos?”
“Gara? Kamu ga sakit kan? Kalau sakit ayok kita ke UKS.”
“Ngga kok, aku baik-baik aja, aku cuma kurang tidur.”
“Yaudah, nanti waktu istirahat kita beli susu vanilla kesukaanmu ya, biar ke-isi lagi tu energimu ra. Kau terlihat lesu sekarang.”
“Hmm, baiklah. Terima kasih Yos.”
“Hahaha, santai aja kali”.273Please respect copyright.PENANAuQtSRbLCJI
273Please respect copyright.PENANAfxFtzus20K
273Please respect copyright.PENANAb2kUXhEio4
273Please respect copyright.PENANAyOErhKRttG
273Please respect copyright.PENANA988Gmqx5ie
273Please respect copyright.PENANAp85t32hqBg
273Please respect copyright.PENANAfr30aXPgX2
273Please respect copyright.PENANAVuR3JzOZ0U
273Please respect copyright.PENANADz4zXZgGVk
273Please respect copyright.PENANAm2NNqKT3cV
273Please respect copyright.PENANAmEfAx0qyHB
273Please respect copyright.PENANAwFx8zNASvD
273Please respect copyright.PENANAmwCbgXLVtg
273Please respect copyright.PENANAOAqHWIuvBy
273Please respect copyright.PENANAq6PJjEwnCf
273Please respect copyright.PENANA3KZl1LDbXb
273Please respect copyright.PENANA4Hxlj1AJdP
273Please respect copyright.PENANAY1Nbzwodtw
273Please respect copyright.PENANAx2ZQL4ZCVM
273Please respect copyright.PENANAriHaLp66DF
273Please respect copyright.PENANAg3LyUBAZ9Y
273Please respect copyright.PENANA9rnWzXmFiT
273Please respect copyright.PENANAaywwm1SFJW
273Please respect copyright.PENANAV3dNP8T6pE
273Please respect copyright.PENANAktPKM8GgKt
273Please respect copyright.PENANALqgdp6QLtm
273Please respect copyright.PENANASjoyhM8865
273Please respect copyright.PENANAyiDUiGG4Cn
273Please respect copyright.PENANAsGKt9LknkD
273Please respect copyright.PENANAmrb4rkoeRr
273Please respect copyright.PENANAT1Hh86UFDx
273Please respect copyright.PENANAPwH0WYprBy
273Please respect copyright.PENANA10nRP4WzUR
273Please respect copyright.PENANA91LouSOgL4
273Please respect copyright.PENANAcVZjaYoi4t