#51948Please respect copyright.PENANAmxjy59a9W6
Di Bawah Hujan
1948Please respect copyright.PENANAZofDoQOkwY
Hari ini aku lanjut melakukan penelitian pohon jati milik Pak Kades di lahan lainnya. Nita kembali bersedia menemaniku untuk menunjukkan di mana lokasinya.
Siang hari kujemput dia, lalu memboncengnya menuju lokasi lahan pohon jati milik bapaknya. Kucium aroma wangi dari tubuh Nita saat berada di belakangnya.
“Kali ini lokasinya agak jauh ya, dan jalannya lumayan sulit,” kata Nita.
“Siap. Di mana pun siap kudatangi, asal bersama kamu. Haha,” ucapku, sambil terus mengendarai motor melewati jalanan yang masih belum beraspal.
Nita mencubit pinggangku. “Pinter gombal ya anak kota. Haha,” katanya.
“Aku ini anak desa Nit. Nenek dan ibuku asli sini,” kataku.
“Kalau tahu ada wanita secantik kamu di sini, aku minta tinggal di sini sejak kecil. Haha.” Aku kembali menggoda Nita.
Lagi-lagi Nita mencubit pinggangku saat mendengar apa yang kukatakan.
“Kalau kamu tinggal di sini, mungkin tidak akan kuliah. Mungkin kamu sudah kerja di sawah atau di kebun. Haha,” katanya.
Entah kenapa, aku dan Nita bisa secepat ini akrab. Ya mungkin karena dia orangnya humble dan suka bercanda. Kami juga nyambung dalam ngomong apapun.
Nita terus memberi petunjuk di mana lokasi lahan pohon jati milik bapaknya.
Makin lama jalanan tidak enak. Banyak bebatuan dan berlubang. Kami melewati jalan yang sempit, cukup untuk satu motor saja. Ditambah jalanan agak menanjak.
Lama-lama kami seperti masuk hutan. Kanan-kiri banyak ditumbuhi pohon besar. Suasana sepi. Jarang kami menemui orang.
“Masih jauh Nit?” tanyaku.
“Bentar lagi nyampe. Di depan ada belokan ke kanan. Sudah sampai,” katanya.
“Kalau sendirian aku takut ke sini, takut dibegal,” ketaku.
“Orang sini baik-baik, gak mungkinlah ada yang berbuat jahat,” ucap Nita. Kini badannya jadi menempel di badanku. Gara-gara jalan tidak enak. Kurasakan payudara Nita kadang menempel ke punggungku saat kami melewati jalan berlubang.
“Aku maunya dibegal sama kamu,” godaku lagi.
“Mau aku begal di sini? gak bisa pulang kamu loh,” katanya.
“Boleh, asal bisa berdua sama kamu terus, aku rela tidak pulang. Haha.”
“Dasar!” Nita mencubit pinggangku lagi.
Akhirnya kami sampai di lokasi. Aku dan Nita seperti berada di tengah hutan. Lalu langsung aku mengecek pohon jati yang sudah besar-besar ini. Sepertinya 5 tahun lagi, pohon ini sudah siap ditebang.
“Enak ya jadi anak Pak Kades, punya banyak pohon jati. Ini bentar lagi siap ditebang, pasti buat kamu ini hasilnya. Haha,” ucapku.
“Biasa aja, ini kan punya orangtuaku, bukan punyaku,” katanya.
“Kalau ini sudah dijual, kamu minta mobil, pasti dibelikan ini,” kataku sambil mengukur diamater salahsatu pohon.
“Aku gak suka minta-minta ke orangtua,” jawabnya.
“Wah, anak yang pinter, pasti kedua orangtuamu bangga. Haha.”
Sudah setengah jam kami di sini, kemudian langit tiba-tiba gelap-mendung. Sebentar lagi sepertinya akan turun hujan.
“Kayaknya mau hujan, kita pulang ya sebelum kehujanan,” ajakku.
“Terserah kamu, sudah selesai?” tanyanya.
“Bentar, sedikit lagi,” kataku.
Namun… ketika kami hendak pulang, hujan turun. Aku dan Nita panik.
“Aduh, hujan kan, gimana ini,” kataku.
“Ayo kita berteduh dulu di gubuk itu,” ajak Nita, mengajak ke sebuah gubuk yang ada di lahan bapanya.
Hujan makin deras. Kami berteduh di sebuah gubuk.
“Untung bapak bikin gubuk ini,” kata Nita.
“Tahu kayaknya kalau kita akan kehujanan dan akan berteduh berdua di sini. Hehe,” ucapku.
“Yeeee….. bisa aja kamu,” jawabnya. Hujan makin deras, disertai angin.
“Aduh, makin deras ya. Maaf ya Nit, suda ngerepotin kamu,” kataku.
“Tidak apa-apa, sekalian aku juga mau lihat lahan ini. Karena lama aku tidak ke sini,” jawabnya.
Kami terjebak hujan di gubuk itu. Langit makin gelap. Hujan makin deras. Begitupun dengan angin yang makin kencang berhembus. Aku mulai takut, bagaimana jika ada pohon yang tumbang.
Rasa dingin pun menyelimuti tubuhku.
“Tadi gak bawa jaket ya. Dingin banget sekarang,” kataku.
Kulihat Nita juga kedinginan, dia mulai menggigil.
“Kamu kedinginan juga?” tanyaku.
“Iya, tidak apa-apa, tenang aja,” ucapku.
Kami sama-sama tidak bawa jaket. Dingin makin menyentuh tubuh kami.
“Maaf ya Nit,” aku jadi merasa bersalah ketika melihatnya tambah menggigil-kedinginan.
“Tidak apa-apa kok Dan,” jawabnya dengan mulut bergetar.
Aku kemudian lebih mendekatinya. Duduk pas di sampingnya. Kemudian tanganku nekat merangkulnya.
“Maaf ya Nit, biar kamu gak kedinginan,” kataku. Tanganku sudah melingkar di lehernya.
Nita diam saja. Tidak menolaknya. Tapi kemudian kepalanya bersandar di pundakku.
Selanjutnya tidak ada kata-kata yang keluar dari mulut kami. Hatiku mulai berdetak lebih kencang mendapati momen ini.
Aku tak menyangka bakal berduaan dengan Nita di tengah hujan.
“Masih dingin?” tanyaku. Nita menganggukkan kepalanya.
Kemudian aku nekat lagi, kugenggam tangannya yang bergetar-kedinginan. Tangan kami pun jadi terasa hangat.
Tak berselang lama tiba-tiba tangan Nita melingkar di tubuhku. Ah, jantungku makin berdetak tak karuan.
“Maaf ya Dan, dingin banget,” katanya.
“Iya gak apa-apa.” Aku pun berani memeluknya juga, biar kami sama-sama merasakan hangat.
Selanjutnya tak ada lagi kata-kata yang keluar. Aku senang sekali mendapat kesempatan ini dibalik ketakutanku karena berada di tengah hutan ini.
Kulihat wajah Nita, makin cantik saat kulihat lebih dekat. Tapi Nita kemudian melirik, dia jadi tahu kalau aku memperhatikan dia. Kami pun saling memandang. Lalu dia tersenyum. Aku ikut tersenyum.
“Semoga cepat redah ya hujannya,” kataku.
Nita menganggukkan kepalanya. Kami terus saling memandang.
Di momen seperti ini, laki-laki mana yang tidak tergoda untuk melakukan hal-hal aneh ketika berdua dengan wanita di tempat yang sepi.
Nita terus memandangiku, begitupu aku. Kemudian lebih kudekatkan wajahku ke wajahnya, dia diam saja. Bibirku dan bibirnya makin mendekat. Akhirnya aku nekat, mengecup bibirnya yang mulai pucat-kedinginan.
Nita diam saja. Tidak marah ketika kukecup bibirnya. Aku tersenyum padanya. Dia membalas senyuamnku.
Seperti mendapat angin segar, aku kembali mengecup bibirnya. Dia tidak menolaknya lagi. Aku pun berani berbuat lebih. Kini bibirku lebih lama menempel di bibirnya. Munculah kehangatan di antara bibir kami yang saling bertaut.
Aku makin berani ketika melihat respon Nita. Kini bibirku mulai bergerak melumat bibirnya. Aku tak menyangka, Nita kemudian ikut menggerakan bibirnya, membalas ciumanku.
Bibir kami pun saling beradu. Kurasakan kehangatan dari bibirnya makin terasa. Tak cukup sampai di situ, lidaku kemudian kumainkan, menjilati bibirnya, terasa makin hangat.
Lagi-lagi respon dari Nita bikin aku senang, dia ikut menggerakan lidahnya. Ciuman kami pun seakan melenyapkan dingin yang ada.
Sambil terus berciuman, tanganku makin erat mendekapnya. Begitupun dengan Nita, kurasakan tangannya begitu erat memelukku. Hingga aku bisa merasakan payudaranya yang berukuran sedang menempel di dadaku.
Kami seakan tidak peduli dengan hujan. Kami tidak peduli dengan di sekitar. Karena, hanya ada kami berdua di sini.
Entah berapa lama kami sudah berciuman dan saling memeluk.
Lalu tiba-tiba Nita melepas ciuman kami. Tangannya juga lepas dari tubuhku.
“Ayo kita pulang, hujan sudah berhenti,” katanya. Aku pun baru sadar hujan sudah redah, karena terbawa suasana yang romantis dengan Nita.
“Eh iya….. hehe,” aku tersenyum padanya. Nita ikut tersenyum.
“Kenapa berhenti hujannya sih. Aku pengen lama di sini. Hehe,” kataku. Nita lalu memukul pundakku dan tertawa kecil, dia seperti salah tingkah.
“Ayo pulang sebelum tambah gelap…” ajak Nita lagi.
“Iya, masak mau menginap di sini. Haha,” ujarku.
Kami pun beranjak dari gubuk itu untuk pulang.
“Hati-hati jalannya licin,” ucap Nita.
Benar saja, saat pulang, jalannya makin sulit. Banyak kubangan dan licin. Aku pun dengan penuh hati-hati mengendarai motor, agar tidak jatuh.
Sampailah di pemukiman, aku lega. Jalan sudah mulai enak.
Saat hendak sampai di rumah kades, ponselku berbunyi. Kuhentikan motor. Kuambil ponsel yang ada di saku. Aduh ternyata Linda telepon, bagaimana ini. Dia sudah berkali-kali telepon dan mengirim pesan WA nampaknya. Namun karena baru ada sinyal, baru masuk notifikasinya.
Akhirnya diangkat telponnya, takut dia marah.
“Halo….” kataku.
“Ke mana aja kamu seharian, ditelpon dan di-WA tidak dibalas!” ucap Linda dengan nada tinggi.
“Maaf, baru dapat sinyal. Di sini agak susah sinyalnya,” kataku.
“Ah, alasan saja,” kata Linda, lalu menutup telepon.
Aduh sial, Linda marah.
“Pacarnya ya?” tanya Nita.
“Ehhh…. bukan,” jawabku.
“Ngaku aja, gak apa-apa kok,” kata Nita. Aku tak menjawab.
Lalu lanjut kuantar Nita ke rumahnya. ***
1948Please respect copyright.PENANAtCqPoDQyIb